HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA (HAM)
DALAM ISLAM
Disusun Oleh: Kelompok 5
Nama : ARLAN HARAHAP
YUSUF ANWAR SIREGAR
KURNIA SALEH DONGORAN
Kelas : I-B
Dosen Pengampu : AFDHAL ILAHI, S.Pdi., M.Pd.
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN GURU SEKOLAH DASAR
INSTITUT PENDIDIKAN TAPANULI SELATAN
2023
KATA PENGANTAR
Assalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Alhamdulillah puji syukur penulis sampaikan kehadirat Allah SWT yang telah memberikan waktu dan kesempatan serta kesehatan sehingga penulis dapat menyelesaikan makalah ini dengan judul “Hukum dan Hak Asasi Manusia dalam Islam” sebagai pemenuhan suatu tugas terstruktur mata kuliah Pendidikan Agama yang diampu oleh Bapak Afdhal Ilahi, S.Pdi., M.Pd. Shalawat dan salam kita hadiahkan ke ruh nabi besar Muhammad SAW yang telah membawa kita dari alam kegelapan kealam yang terang benerang yang dihiasi iman dan takwa, yang kita harapkan syafaatnya di kemudian hari. Aamiin.
Makalah ini telah penulis susun semaksimal mungkin dan juga mendapat bantuan dari berbagai pihak sehingga dapat memperlancar pembuatan makalah ini. Untuk itu penulis menyampaikan banyak terima kasih kepada semua pihak yang telah berkontribusi dalam penulisan makalah ini.
Meskipun penulis berharap isi dari makalah ini bebas dari kesalahan dan kekurangan, namun tentunya penulis menyadari bahwa penulis adalah manusia biasa yang tidak luput dari kesalahan dan kekurangan karena kesempurnaan hanya milik Allah semata. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun demi kesempurnaan makalah ini di waktu mendatang. Semoga Allah SWT memberkahi makalah ini dan dapat memberi mamfaat kepada kita semua. Aamiin.
Wassalamu’alaikum Warahmatullahi Wabarakatuh.
Padangsidimpuan, 19 Oktober 2023
Kelompok 1
DAFTAR ISI
COVER
KATA PENGANTAR i
DAFTAR ISI ii
BAB I PENDAHULUAN 1
Latar Belakang 1
Rumusan Masalah 1
Tujuan Penulisan 2
BAB II PEMBAHASAN 3
Pengertian Hukum Islam 3
Sumber-Sumber Hukum Islam 3
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam 9
Perberdaan Prinsip antara Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam dan Barat 10
Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum di Indonesia 12
BAB III PENUTUP 15
Kesimpulan 15
Saran 15
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Islam berkembang sangat pesat ke seluruh penjuru dunia dengan kecepatan yang menakjubkan, yang sangat menarik dan perlu diketahui bahwa Dinul Islam yang dibawa oleh Nabi Muhammad SAW adalah suatu agama yang sekaligus menjadi pandangan atau pedoman hidup. Banyak sumber-sumber ajaran Islam yang digunakan mulai zaman muncul pertama kalinya Islam pada masa rasulullah sampai pada zaman modern sekarang ini.
Sumber-sumber yang berasal dari agama Islam merupakan sumber ajaran yang sudah dibuktikan kebenarannya yaitu bertujuan untuk kemaslahatan umat manusia, sumber-sumber ajaran Islam merupakan sumber ajaran yang sangat luas dalam mengatasi berbagai permasalahan seperti bidang akhidah, sosial, ekonomi, sains, teknologi dan sebagainya. Islam sangat mendukung umatnya untuk mempelajari ilmu pengetahuan, terutama yang bersumber dari sumber ajaran Islam yaitu Al-Qur’an, Sunah, Ijma’, Qiyas dan juga ijtihad.
Begitu sempurna dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam. Namun permasalahan disini adalah banyak umat Islam yang belum mengetahui betapa luas dan lengkapnya sumber-sumber ajaran Islam guna mendukung umat Islam untuk maju dalam bidang pengetahuan
Rumusan Masalah
Apa Pengertian Hukum Islam?
Apa Sumber-Sumber Hukum Islam?
Bagaimana Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam?
Apa Perberdaan Prinsip antara Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam dan Barat?
Bagaimana Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum di Indonesia?
Tujuan Penulisan
Mengetahui Pengertian Hukum Islam.
Mengetahui Sumber-Sumber Hukum Islam.
Mengetahui Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam.
Mengetahui Perberdaan Prinsip antara Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam dan Barat.
Mengetahui Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum di Indonesia.
BAB II
PEMBAHASAN
Pengertian Hukum Islam
sumber hukum adalah segala sesuatu yang dapat menimbulkan aturan yang bersifat memaksa, yaitu aturan-aturan yang apabila dilanggar mengakibatkan adanya sanksi yang tegas dan nyata. Sumber hukum Islam merupakan rujukan, landasan, atau dasar yang utama dalam pengambilan hukum Islam. Oleh karena itu, segala ketentuan dalam kehidupan harus bersumber atau berpedoman pada hukum tersebut. Sumber hukum dalam Islam digolongkan menjadi tiga, yaitu Al-Qur’an, hadis, dan ijtihad.
Al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum Islam yang memuat panduan kehidupan manusia. Adapun hadis merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an yang berisi perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Sementara itu, ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis. Ijtihad digunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, harus memenuhi kaidah berijtihad dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Setiap muslim seharusnya berpegang teguh pada ketiga sumber hukum tersebut agar memiliki pedoman dalam menjalani kehidupan.
Sumber-Sumber Hukum Islam
Al-Qur’an Sebagai Sumber Hukum Islam
Secara bahasa (etimologi) Al-qur’an merupakan bentuk masdar (kata benda) dari kata kerja Qoro-a yang bermakna membaca atau bacaan. Ada yang berpendapat bahwa qur’an adalah masdar yang bermakna isim maf’ul, karenanya ia berarti yang dibaca atau maqru’. Menurut para ahli bahasa, kata yag berwazan fu’lan memiliki arti kesempurnaan. Karena itu Al-qur’an adalah bacaan yang sempurna. Sedangkan pengertian menurut istilah (terminologi) Al-qur’an adalah:” kitab Allah yang diturunkan kepada utusan Allah, Muhammad SAW. Yang ter maktub dalam mushaf, dan disampaikan kepada kita secara mutawatir, tanpa ada keraguan”.
Secara mutawatir, ditulis dalam mushaf, dimulai dengan surah al-Fatihah dan diakhiri dengan surah an-Nas. Membacanya berfungsi sebagai ibadah, sebagai mukjizat Nabi Muhammad saw. dan sebagai hidayah atau petunjuk bagi umat manusia. Allah Swt. berfirman:
“Sungguh, al-Qur’an ini memberi petunjuk ke (jalan) yang paling lurus dan memberi kabar gembira kepada orang mukmin yang mengerjakan kebajikan, bahwa mereka akan mendapat pahala yang besar.” (Q.S. al-Isra/17:9)
Sebagai sumber hukum Islam, al-Qur’an memiliki kedudukan yang sangat tinggi. Al-Qur’an merupakan sumber utama dan pertama sehingga semua persoalan harus merujuk dan berpedoman kepadanya. Hal ini sesuai dengan firman Allah Swt. dalam al-Qur’an:
“Wahai orang-orang yang beriman! Taatilah Allah dan taatilah Rasul-Nya (Muhammad), dan Ulil Amri (pemegang kekuasaan) di antara kamu. Kemudian, jika kamu berbeda pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah kepada Allah Swt. (al- Qur’an) dan Rasul-Nya (sunnah), jika kamu beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya.” (Q.S. an-Nisa’/4:59)
Dalam ayat yang lain Allah Swt. menyatakan:
“Sungguh, Kami telah menurunkan Kitab (al-Qur’an) kepadamu (Muhammad) membawa kebenaran, agar engkau mengadili antara manusia dan apa yang telah diajarkan Allah kepadamu, dan janganlah engkau menjadi penentang (orang yang tidak bersalah), karena (membela) orang yang berkhianat.” (Q.S. an-Nisa’/4:105)
Berdasarkan dua ayat dan hadis di atas, jelaslah bahwa al-Qur’an adalah kitab yang berisi sebagai petunjuk dan peringatan bagi orang-orang yang beriman. Al- Qur’an sumber dari segala sumber hukum baik dalam konteks kehidupan di dunia maupun di akhirat kelak. Namun demikian, hukum-hukum yang terdapat dalam Kitab Suci al-Qur’an ada yang bersifat rinci dan sangat jelas maksudnya, dan ada yang masih bersifat umum dan perlu pemahaman mendalam untuk memahaminya.
Hadist Sebagai Sumber Hukum Islam
Secara bahasa, hadis berarti perkataan atau ucapan. Sedangkan menurut istilah, hadis adalah segala perkataan, perbuatan, dan ketetapan (takrir) yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw. Hadis juga dinamakan sunnah. Namun demikian, ulama hadis membedakan hadis dengan sunnah. Hadis adalah ucapan atau perkataan Rasulullah saw., sedangkan sunnah adalah segala apa yang dilakukan oleh Rasulullah saw. yang menjadi sumber hukum Islam.
Hadis dalam arti perkataan atau ucapan Rasulullah saw. terdiri atas beberapa bagian yang saling terkait satu sama lain. Bagian-bagian hadis tersebut antara lain sebagai berikut.
Sanad, yaitu sekelompok orang atau seseorang yang menyampaikan hadis dari Rasulullah saw. sampai kepada kita sekarang ini.
Matan, yaitu isi atau materi hadis yang disampaikan Rasulullah saw.
Rawi, yaitu orang yang meriwayatkan hadis.
Sebagai sumber hukum Islam, hadis berada satu tingkat di bawah al-Qur’an. Artinya, jika sebuah perkara hukumnya tidak terdapat di dalam al-Qur’an, yang harus dijadikan sandaran berikutnya adalah hadis tersebut. Hal ini sebagaimana firman Allah Swt:
“… dan apa-apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah ia. Dan apa-apa yang dilarangnya, maka tinggalkanlah.” (Q.S. al-Ḥasyr/59:7)
Demikian pula firman Allah Swt. dalam ayat yang lain:
“Barangsiapa menaati Rasul (Muhammad), maka sesungguhnya ia telah menaati Allah Swt. Dan barangsiapa berpaling (darinya), maka (ketahuilah) Kami tidak mengutusmu (Muhammad) untuk menjadi pemelihara mereka.” (Q.S. an-Nisa’/4:80)
Rasulullah saw. sebagai pembawa risalah Allah Swt. bertugas menjelaskan ajaran yang diturunkan Allah Swt. melalui al-Qur’an kepada umat manusia. Oleh karena itu, hadis berfungsi untuk menjelaskan (bayan) serta menguatkan hukum-hukum yang terdapat dalam al-Qur’an.
Fungsi hadis terhadap al-Qur’an dapat dikelompokkan menjadi empat yaitu, sebagai berikut.
Menjelaskan ayat-ayat al-qur’an yang masih bersifat umum. Contohnya adalah ayat al-Qur’an yang memerintahkan salat. Perintah salat dalam al-Qur’an masih bersifat umum sehingga diperjelas dengan hadis-hadis Rasulullah saw. tentang salat, baik tentang tata caranya maupun jumlah bilangan rakaatnya. Untuk menjelaskan perintah salat tersebut, misalnya keluarlah sebuah hadis yang berbunyi, “Salatlah kalian sebagaimana kalian melihat aku salat”. (H.R. Bukhari).
Memperkuat pernyataan yang ada dalam al-qur’an. Seperti dalam al-qur’an erdapat ayat yang menyatakan, “Barangsiapa di antara kalian melihat bulan, maka berpuasalah!” Kemudian ayat tersebut diperkuat oleh sebuah hadis yang berbunyi, “… berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya …” (H.R. Bukhari dan Muslim)
Menerangkan maksud dan tujuan ayat yang ada dalam al-qur’an. Misal, dalam surat at-Taubah ayat 34 dikatakan, “Orang-orang yang menyimpan emas dan perak, kemudian tidak membelanjakannya di jalan Allah Swt., gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih!” Ayat ini dijelaskan oleh hadis yang berbunyi, “Allah Swt. tidak mewajibkan zakat kecuali supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati.” (H.R. Baihaqi)
Menetapkan hukum baru yang tidak terdapat dalam al-qur’an. Maksudnya adalah bahwa jika suatu masalah tidak terdapat hukumnya dalam al-Qur’an, diambil dari hadis yang sesuai. Misalnya, bagaimana hukumnya seorang laki-laki yang menikahi saudara perempuan istrinya. Hal tersebut dijelaskan dalam sebuah hadis Rasulullah saw.: Dari Abi Hurairah ra. Rasulullah saw. bersabda: “Dilarang seseorang mengumpulkan (mengawini secara bersama) seorang perempuan dengan saudara dari ayahnya serta seorang perempuan dengan saudara perempuan dari ibunya.” (H.R. Bukhari)
Ijtihad Sebagai Upaya Memahami Al-qur’an Dan Hadits
Kata ijtihad berasal bahasa Arab ijtahada – yajtahidu -ijtihadan yang berarti mengerahkan segala kemampuan, bersungguh-sungguh mencurahkan tenaga, atau bekerja secara optimal. Secara istilah, ijtihad adalah mencurahkan segenap tenaga dan pikiran secara sungguh-sungguh dalam menetapkan suatu hukum. Orang yang melakukan ijtihad dinamakan mujtahid.
Karena ijtihad sangat bergantung pada kecakapan dan keahlian para mujtahid, dimungkinkan hasil ijtihad antara satu ulama dengan ulama lainnya berbeda hukum yang dihasilkannya. Oleh karena itu, tidak semua orang dapat melakukan ijtihad dan menghasilkan hukum yang tepat. Berikut beberapa syarat yang harus dimiliki seseorang untuk melakukan ijtihad.
Memiliki pengetahuan yang luas dan mendalam.
Memiliki pemahaman mendalam tentang bahasa Arab, ilmu tafsir, usul fikih, dan tarikh (sejarah).
Memahami cara merumuskan hukum (istinbat).
Memiliki keluhuran akhlak mulia.
Ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam setelah al-Qur’an dan hadis. Ijtihad dilakukan jika suatu persoalan tidak ditemukan hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis. Namun demikian, hukum yang dihasilkan dari ijtihad tidak boleh bertentangan dengan al-Qur’an maupun hadis. Hal ini sesuai dengan sabda Rasulullah saw.:
“Dari Mu’az, bahwasanya Nabi Muhammad saw. ketika mengutusnya ke Yaman, ia bersabda, “Bagaimana engkau akan memutuskan suatu perkara yang dibawa orang kepadamu?” Muaz berkata, “Saya akan memutuskan menurut Kitabullah (al- Qur’an).” Lalu Nabi berkata, “Dan jika di dalam Kitabullah engkau tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?” Muaz menjawab, “Jika begitu saya akan memutuskan menurut Sunnah Rasulullah saw.” Kemudian, Nabi bertanya lagi, “Dan jika engkau tidak menemukan sesuatu hal itu di dalam sunnah?” Muaz menjawab, “Saya akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikitpun.” Kemudian, Nabi bersabda, “Maha suci Allah Swt. yang memberikan bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan suatu sikap yang disetujui Rasul-Nya.” (H.R. Darami)
Rasulullah saw. juga mengatakan bahwa seseorang yang berijtihad sesuai dengan kemampuan dan ilmunya, kemudian ijtihadnya itu benar, maka ia mendapatkan dua pahala, Jika kemudian ijtihadnya itu salah maka ia mendapatkan satu pahala. Hal tersebut ditegaskan melalui sebuah hadis:
“Dari Amr bin As, sesungguhnya Rasulullah saw. Bersabda, “Apabila seorang hakim berijtihad dalam memutuskan suatu persoalan, ternyata ijtihadnya benar, maka ia mendapatkan dua pahala, dan apabila dia berijtihad, kemudian ijtihadnya salah, maka ia mendapat satu pahala.” (H.R. Bukhari dan Muslim).
Ijtihad sebagai sebuah metode atau cara dalam menghasilkan sebuah hukum terbagi ke dalam beberapa bagian, yaitu sebagai berikut.
Ijma’
Ijma’ adalah kesepakatan para ulama ahli ijtihad dalam memutuskan suatu perkara atau hukum. Contoh ijma’ di masa sahabat adalah kesepakatan untuk menghimpun wahyu Ilahi yang berbentuk lembaran-lembaran terpisah menjadi sebuah mushaf al-Qur’an yang seperti kita saksikan sekarang ini.
Qiyas
Qiyas adalah mempersamakan/menganalogikan masalah baru yang tidak terdapat dalam al-Qur’an atau hadis dengan yang sudah terdapat hukumnya dalam al-Qur’an dan hadis karena kesamaan sifat atau karakternya.
Contoh qiyas adalah mengharamkan hukum minuman keras selain khamar seperti Brandy, Wisky, Topi Miring, Vodka, dan narkoba karena memiliki kesamaan sifat dan karakter dengan khamar, yaitu memabukkan. Khamar dalam al-Qur’an diharamkan, sebagaimana firman Allah Swt:
“Wahai orang-orang yang beriman! Sesungguhnya minuman keras, berjudi, (berkurban untuk) berhala, dan mengundi nasib dengan anak panah adalah perbuatan keji dan termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah (perbuatan- perbuatan) itu agar kamu beruntung.” (Q.S. al-Maidah/5:90)
Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam
Islam adalah agama yang menempatkan manusia sebagai makhluk yang berharga, berkepribadian dan bertanggung jawab. Dan atas tanggung jawabnya, manusia diberi kebebasan untuk menentukan pilihan untuk menerima atau menolak agama Allah; tidak dibenarkan adanya diskiriminasi antara sesama manusia dan diberi keleluasaan memperkembangkan hidupnya dalam rangka mempertinggi martabat umat manusia.
Islam mempunyai pandangan egaliteran kepada pemeluknya. Ajarannya tidak membedakan asal usul apakah ia dari golongan elite, ningrat, jutawan, pangkat, teknokrat, ataupun rakyat jelata; mereka diperlakukan sama. Sebab ditinjau dari segi manusiawi, mereka sama-sama manusia, sehingga yang membedakan manusia dengan manusia lain hanyalah ketakwaannya kepada Allah SWT. Allah SWT berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang pria dan seorang wanita dan Kami jadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling kenal mengenal (hidup rukun damai). Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling bertakwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal”. (Q.S. al-Hujarat: 13)
Islam menerangkan bahwa Allah SWT telah memberikan kebebasan seluas-luasnya kepada manusia untuk memilih tindakannya. Akan tetapi kebebasan tersebut dibatasi oleh tanggung jawab manusia itu sendiri, sesuai dengan petunjuk al-Qur'an dalam memanfaatkan kebebasan tersebut. Allah SWT memberikan kebebasan itu yang disebut sebagai hak
asasi manusia. Manusia bebas berbuat apa saja, tetapi harus senantiasa dibarengi dengan tanggung jawab.
Hak asasi manusia diberikan oleh Allah SWT kepada semua manusia sebagai makhluk ciptaan-Nya dengan tujuan agar manusia mampu memanfaatkan hak-haknya tersebut dengan sebaik-baiknya sehingga dapat melaksanakan tanggung jawab yang telah dibebankan Allah SWT kepadanya yaitu menjadi khalifatullah fil Ardli sekaligus sebagai hamba Allah SWT yang bertanggung jawab.
Perberdaan Prinsip antara Konsep Hak Asasi Manusia dalam Islam dan Barat
Berbeda dengan HAM ala Barat yang antrophosentris, HAM dalam hukum Islam bukan saja mengakui hak antar sesama manusia (huququl ‘ibad) tetapi hak itu dilandasi kewajiban asasi manusia untuk mengabdi kepada Allah swt (huququllah).
Islam berbeda dengan sistem lain dalam hal bahwa hak-hak manusia sebagai hamba Allah tidak boleh diserahkan dan bergantung kepada penguasa dan undang-undangnya. Tetapi semua harus mengacu pada hukum Allah. Sampai kepada soal shadaqah tetap dipandang sebagaimana hal-hal besar lain. Misalnya Allah melarang bershadaqah (berbuat baik) dengan hal-hal yang buruk. "Dan janganlah kamu memilih yang buruk-buruk lalu kamu nafkahkan dari padanya..."(QS. 2: 267).
Hak-hak alamiah manusia telah diberikan kepada seluruh ummat manusia sebagai makhluk yang diciptakan dari unsur yang sama dan dari sumber yang sama pula.
Hak hidup
Allah menjamin kehidupan, diantaranya dengan melarang pembunuhan dan meng-qishas pembunuh (lihat QS. 5: 32, QS. 2: 179).Bahkan hak mayit pun dijaga oleh Allah. Misalnya hadist nabi: "Apabila seseorang mengkafani mayat saudaranya, hendaklah ia mengkafani dengan baik." Atau "Janganlah kamu mencaci-maki orang yang sudah mati.Sebab mereka telah melewati apa yang mereka kerjakan." (Keduanya HR. Bukhari).
Hak Kebebasan Beragama dan Kebebasan Pribadi
Kebebasan pribadi adalah hak paling asasi bagi manusia, dan kebebasan paling suci adalah kebebasan beragama dan menjalankan agamanya, selama tidak mengganggu hak-hak orang lain. Firman Allah: "Dan seandainya Tuhanmu menghendaki, tentulah beriman orang di muka bumi seluruhnya. Apakah kamu memaksa manusia supaya mereka menjadi orang beriman semuanya?"(QS. 10: 99)
Sedangkan dalam pandangan barat ada tiga prinsip utama dalam pandangan normatif hak asasi manusia, yaitu berlaku secara universal, bersifat non-diskriminasi dan imparsial.
Prinsip keuniversalan ini dimaksudkan agar gagasan dan norma-norma HAM telah diakui dan diharapkan dapat diberlakukan secara universal atau internasional. Prinsip ini didasarkan atas keyakinan bahwa umat manusia berada dimana-mana,disetiap bagian dunia baik di pusat-pusat kota maupun di pelosok pelosok bumi yang terpencil. Berdasar hal itu ham tidak bisa didasarkan secara partikular yang hanya diakui kedaerahahan dan diakui secara lokal.
Prinsip kedua dalam norma HAM adalah sifatnya yang non-diskriminasi. Prinsip ini bersumber dari pandangan bahwa semua manusia setara (all human being are equal). Pandangan ini dipetik dari salah satu semboyan Revolusi Prancis, yakni persamaan (egalite). Setiap orang harus diperlakukan setara. Seseorang tidak boleh dibeda-bedakan antara satu dengan yang lainnya. Akan tetapi latar belakang kebudayaan sosial dan tradisi setiap manusia diwilayahnya berbeda-beda
Prinsip ketiga ialah imparsialitas. Maksud dari prinsip ini penyelesaian sengketa tidak memihak pada suatu pihak atau golongan tertentu dalam masyarakat. Umat manusia mempunyai beragam latar belakang sosial aupun latar belakang kultur yang berbeda antara satu dengan yang lain hal ini meupakan sebuah keniscayaan. Prinsip imparsial ini diimaksudkan agar hukum tidak memihak pada suatu golongan.Prinsip ini juga dimaksudkan agar pengadilan sebuah kasus diselesaikan secara adil atau tidak meihak pada salah satu pihak. Pemihakan hanyalah pada norma-norma ham itu sendiri .
Bagaimana Kontribusi Ummat Islam dalam Perumusan dan Penegakan Hukum di Indonesia
Hukum islam mempunyai dua sifat, yaitu; Al- tsabat (stabil), hukum islam sebagai wahyu akan tetap dan tidak berubah sepanjang masa dan At-tathawwur (berkembang), hukum islam tidak kaku dalam berbagai konddisi dan situasi sosial.
Dilihat dari sketsa historis, hukum islam masuk ke indonesia bersama masuknya islam ke Indonesia pada abad ke 1 hijriyah atau 7/8 masehi. Sedangkan hukum barat bary diperkenalkan VOC awal abad 17 masehi. Sebalum islam masuk indonesia, rakyat indonesia menganut hukum adat yang bermacam-macam sistemnya dan sangat majemuk sifatnya. Namun setelah islam datang dan menjadi agama resmi di berbagai kerajaan nusantara, maka hukum islam pun munjadi hukum resmi kerajaan-kerajaan tersebut dan tersebar manjadi hukum yang berlaku dalam masyarakat.
Secara yuridis formal, keberadaan negara kesatuan indonesia adalah diawali pada saat proklamasi 17 Agustus 1945. Pada tanggal 18 Agustus 1945 kemudian diakui berlakunya Undang-Undang Dasar 1945. Pada saat itulah keinginan para pemimpin islam untuk kembali menjalankan hukum islam baggi umat islam berkobar, setelah seacra tidak langsung hukum islam dikebiri melalui teori receptie. Dalam pembentukan hukum islam di indonesia, kesadaran berhukum islam untuk pertama kali pada zaman kemeerdekaan adalah di dalam Piagam Jakarta 22 juni 1945 , yang di dalam dasar ketuhanan diikuti dengan pernyataan “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Tetapi dengan pertimbangan untuk persatuan dan kesatuan bangsa Indonesia akhirnya mengalami perubahan pada tanggal 18 Agustus 1945 yang rumusan sila pertamanya menjadi “ketuhanan yang maha esa”.
Meskipun demikian, kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum di Indonesia tampak jelas setelah Indonesia merdeka. Sebagai hukum yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat, hukum Islam telah menjadi bagian dari kehidupan bangsa Indonesia yang mayoritas beragama Islam. Penelitian yang dilakukan secara nasional oleh Universitas Indonesia dan BPHN (1977/1978) menunjukkan dengan jelas kecenderungan umat Islam Indonesia untuk kembali ke identitas dirinya sebagai muslim dengan mentaati dan melaksanakan hokum Islam. Kecenderungan ini setelah tahun enam puluhan diwujudkan dalam bentuk kewajiban menyelenggarakan Pendidikan Agama Islam di sekolah-sekolah dibawah naungan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (sekarang Departemen Pendidikan Nasional). Realitas kehidupan beragama di Indonesia lainnya adalah maraknya kehidupan beragama Islam setelah tahun 1966 dan perkembangan global kebangkitan umat Islam di seluruh dunia. Selain dari itu, perkembangan hokum Islam di Indonesia ditunjang pola oleh sikap pemerintah terhadap hokum agama (hokum Islam) yang dipergunakan sebagai sarana atau alat untuk memperlancar pelaksanaan kebijakan pemerintah, misalnya dalam Program Keluarga Berencana dan program-program lainnya. Setelah Indonesia merdeka, muncul pemikir hukum Islam terkemuka di Indonesia, seperti Hazairin dan TM.Hasbi ash-Shiddieqy, mereka berbicara tentang pengembangan dan pembaharuan hokum Islam bidang muamalah di Indonesia
Kontribusi umat Islam dalam perumusan dan penegakan hukum pada akhir-akhir ini semakin tampak jelas dengan diundangkannya beberapa peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan hokum Islam, seperti Undang-undang Republik Indonesia Nomor I Tahun 1974 tentang perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 tahun 1977 tentang Perwakafan Tanah Milik , Undang-undang Republik Indonesia Nomor 7 tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Instruksi Presuden Nomor I tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam, Undang-undang Republik Indonesia Nomor 38 tahun 1999 tentang Pengelolaan Zakat, dan Undang-undang Republik Indonesia Tahun 1999 tentang Penyelenggaraan Haji.
Dengan demikian kontribusi umat islam dalam petrumusan dan penegakan hukum sangat besar. Ada pun upaya yang harus dilakukan untuk penegakan hukum dalam praktek bermasyarakat dan bernegara yaitu melalui proses kultural dan dakwah. Apabila islam telah menjadikan suatu keebijakan sebagai kultur dalam masyarakat, maka sebagai konsekuensinya hukum harus ditegakkan. Bila perlu “law inforcement” dalam penegakkan hukum islam dengan hukum positif yaitu melalui perjuangan legislasi. Sehingga dalam perjaalananya suatu ketentuan yang wajib menurut islam menjadi waajib pula menurut perundangan
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Al-Qur’an merupakan sumber pertama hukum Islam yang memuat panduan kehidupan manusia. Adapun hadis merupakan sumber hukum Islam setelah Al-Qur’an yang berisi perkataan, perbuatan, dan ketetapan Nabi Muhammad saw. Sementara itu, ijtihad memiliki kedudukan sebagai sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Qur’an dan hadis. Ijtihad digunakan untuk menetapkan suatu hukum Islam yang belum disebutkan secara tegas dalam Al-Qur’an dan hadis. Akan tetapi, harus memenuhi kaidah berijtihad dan tidak boleh bertentangan dengan Al-Qur’an dan Hadis. Setiap muslim seharusnya berpegang teguh pada ketiga sumber hukum tersebut agar memiliki pedoman dalam menjalani kehidupan.
Saran
Dalam makalah yang berjudul yang telah disusun penulis ini, tentunya banyak sekali kekeliruan yang tanpa disengaja oleh penulis, baik dari segi isi maupun dari segi penulisan. Maka dari itu penulis berharap kepada dosen pengampu maupun para pembaca yang lainnya untuk dapat memberi kritik dan saran yang membangun sebagai bahan evaluasi bagi penulis, agar dapat menulis karya ilmiah yang lebih bagus lagi dan tidak melakukan kesalahan-kesalahan yang serupa di lain waktu.
DAFTAR PUSTAKA
As Suyuthi, Jalaludin. 2008. Sebab Turunnya Ayat Al-Qur’an. Jakarta: Gema Insani Press.
Kementerian Agama RI. 2011. Al-Qur’an dan Tafsirnya. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama RI. 2011. Islam Rahmatan Lil’alamin. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Kementerian Agama RI. 2012. Tafsir al-Qur’an Tematik. Jakarta: Kementerian Agama RI.
Mu’thi, Fadlolan Musyaffa’. 2008. Potret Islam Universal. Tuban: Syauqi Press.
Sarwat, Ahmad. 2011. Seri Fiqih dan Kehidupan (2): Thaharah. Jakarta: DU Publishing.
Shihab, Quraisy. 1998. Wawasan Al-Qur’an. Bandung: Mizan.
Syaltut, Mahmud. 1990. Tafsir Al-Qur’anul Karim. Bandung: Diponegoro.
Choose EmoticonEmoticon