-->

Jumat, 24 Agustus 2018

Pemberontakan DI/TII pernah terjadi di berbagai daerah di Indonesia. Gerakan DI/TII sebenarnya sudah lama ada, yaitu sejak lahirnya Komite Pembela Kebenaran PSII sebagai akibat dari perpecahan yang terdapat dalam Partai Sarikat Islam Indonesia (PSII). Perpecahan itu membuat Kartosuwiryo mendirikan perguruan Suffah yang ada pada masa pendudukan Jepang dikembangkan menjadi pusat latihan kemiliteran bagi pemuda-pemuda Islam, terutama Hizbullah dan Sabilillah. Pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) adalah suatu gerakan yang menginginkan berdirinya sebuah negara Islam Indonesia. Pemberontakan DI/TII bermula di Jawa Barat, kemudian menyebar ke daerah-daerah lain, seperti Jawa Tengah, Aceh, Sulawesi Selatan, dan Kalimantan Selatan.



Pemberontakan DI/TII di Daerah

Berikut ini akan dijelaskan latar belakang dan proses pemberontakan DI/TII di beberapa daerah.

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat

Pemberontakan DI/TII di Jawa Barat dipimpin oleh Sekarmadji Maridjan Kartosuwiryo (S.M. Kartosuwiryo). Pada zaman pergerakan nasional, Kartosuwiryo merupakan tokoh pergerakan Islam Indonesia yang cukup disegani. Selama pemerintahan Jepang, Kartosuwiryo menjadi anggota Masyumi. Bahkan, ia terpilih sebagai Komisaris Jawa Barat merangkap Sekretaris I. Dalam kehidupannya, Kartosuwiryo mempunyai cita-cita untuk mendirikan Negara Islam Indonesia. Untuk memujudkan cita-citanya, Kartosuwiryo mendirikan sebuah pesantren di Malangbong Garut, yaitu Pesantren Sufah. Pesantren Sufah selain menjadi tempat menimba ilmu keagamaan juga dijadikan sebagai tempat latihan kemiliteran Hizbullah dan Sabillah. Dengan pengaruhnya, Kartosuwiryo berhasil mengumpulkan banyak pengikut yang kemudian dijadikan sebagai bagian dari pasukan Tentara Islam Indonesia (TII). Dengan demikian, kedudukan Kartosuwiryo semakin kuat.

Pada bulan Februari diselenggarakan sebuah konferensi di Casayong, Jawa Barat. Dalam konferensi itu diputuskan untuk mengubah ideologi Islam dari partai menjadi Negara. Masyumi Jawa Barat dibekukan dan sebagai gantinya diangkat Kartosuwiryo sebagai imam bagi umat Islam Jawa Barat. Untuk menyempurnakan keputusan itu, maka dibentuklah Tentara Islam Indonesia (TII) dan sebagai puncaknya pada tanggal 7 Agustus 1949 diadakan Proklamasi pendirian Negara Islam Indonesia (NII).

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah

Pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dipimpin oleh Amir Fatah dan Mahfu’dz Abdurachman (Kyai Somalangu). Amir Fatah ialah seorang komandan laskar Hizbullah di Tulangan, Sidoarji, dan Mojokerto. Setelah mendapat pengikut, Amir Fatah kemudian memproklamasikan diri untuk bergabung dengan DI/TII pada tanggal 23 Agustus 1949 di Desa Pengarasan, Tegal. Amir Fatah Kemudian diangkat sebagai Komandan Pertempuran Jawa Tengah dengan pangkat Mayor Jenderal Tentara Islam Indonesia.

Selain itu, di Kebumen muncul pemberontakan DI/TII yang dilancarkan oleh Angkatan Umat Islam (AUI) yang dipimpin oleh Kyai Somalangu. Kedua gerakan ini bergabung dengan DI/TII Jawa Barat, pimpinan Kartosiwiryo. Pemberontakan di Jawa Tengah ini menjadi semakin kuat setelah Batalion 624 pada Desember 1951 membelot dan menggabungkan diri dengan DI/TII di daerah Kudus dan Magelang.

Untuk mengatasi pemberontakan-pemberontakan tersebut, Pemerintahan RI membentuk pasukan khusus yang disebut dengan Banteng Raiders. Pasukan Raiders ini melakukan serangkaian operasi kilat penumpasan DI/TII, yaitu Operasi Gerakan Banteng Negara (OGBN) di bawah pimpinan Letnan Kolonel Sarbini, kemudian diganti oleh Letnan Kolonel M. Bachrun, dan selanjutnya dipegang oleh Letnan Kolonel A. Yani. Berkas operasi tersebut, pemberontakan DI/TII di Jawa Tengah dapat ditumpas pada 1954. Adapun yang mengatasi pembelotan Batalion 624, pemerintah melancarkan Operasi Merdeka Timur yang dipimpin oleh Letnan Kolonel Soeharto.

Pemberontakan DI/TII di Aceh

Pada tanggal 20 September 1953 terjadi proklamasi bahwa Aceh merupakan bagian dari Negara Islam Indonesia pimpinan Kartosuwiryo. Pernyataan itu diberikan oleh Daud Beureueh setelah dikecewakan pimpinan Republik Indonesia yang menghapuskan status Aceh sebagai Daerah Istimewa. Daud Beureueh yang menjabat sebagai ketua PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh) serta bekas Gubernur Militer Daerah Istimewa Aceh di masa Revolusi menjadi banyak yang mendukung gagasannya.

Pemberontakan DI/TII di Kalimantan Selatan

Pernyataan sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo juga terjadi di Kalimantan Selatan pada bulan Oktober 1950. Ibnu Hajar alias Haderi bin Umar alias Angli adalah bekas Letnan Dua TNI yang bersama anggota kesatuannya melakukan desersi dan menyatakan bergabung dengan gerakan Kartosuwiryo. Bahkan Ibnu Hajar diangkat menjadi Menteri Negara oleh Kartosuwiryo.

Pemberontakan DI/TII di Sulawesi Selatan

Kahar Muzakkar di Sulawesi Selatan juga melakukan hal yang sama setelah dikecewakan oleh Pimpinan RI. Sebagai ketua Komando Gerilya Sulawesi Selatan (KGSS) yang beranggotakan sekitar 15.000 gerilyawan menuntut pemerintah agar semua anggotanya diangkat menjadi tentara pemerintah, Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS), dengan nama Brigade Hasanuddin. Tuntutan ditolak, karena keanggotaan APRIS melalui seleksi. Penolakan itu mengecawakan, karena yang lolos seleksi justru Andi Aziz dan anak buahnya yang bekas tentara KNIL. Kekecawaan memuncak ketika Letkol Warouw diangkat sebagai komandan Korps Cadangan Tentara Nasional (CTN), sehingga Kahar Muzakkar melarikan diri ke hutan dan memproklamasikan diri sebagai bagian dari NII pimpinan Kartosuwiryo.

Gerakan DI/TII secara bertahap dapat dipadamkan. Operasi militer yang paling lama adalah pengkapan Kartosuwiryo yang baru memperoleh hasil pada tanggal 14 Agustus 1962. Melalui pengadilan Mahkamah Angkatan Darat, Kartusowiryo dijatuhi hukuman mati.

Sekian uraian tentang Pemberontakan DI/TII di Berbagai Daerah, semoga bermanfaat.




Baca Artikel Terkait:




Choose EmoticonEmoticon