Pada masa pertumbuhan dan perkembangannya, juga pada masa-masa berikutnya mempunyai dua sasaran yaitu : generasi muda (sebagai generasi penerus) dan masyarakat bangsa lain yang belum menerima ajaran islam, untuk sasaran kedua yaitu, penyampaian ajaran islam dan usaha internalisasinya dalam masyarakat bangsa yang baru menerimanya yang didalamislam lazim disebut sebagai da’wah islami. Sedangkan dalam arti yang pertamayaitu pewarisan ajaran islam kepada generasi penerus disebut sebagai pendidikan islam.
Dengan demikian terbentuklah satu setting nilai danbudaya islami yang lengkap dan sempurna dalam ruang lingkupnya yang sepadan, baik dari segi situasi dan kondisi maupun waktu dan perkembangan zamannya. Setting tersebutlah yang diwariskan kepada generasi berikutnya untuk dikembangkan, baik secara kualitatif maupun kuantitatif.pengembangan secara kualitatif dalam arti bahwa nilai dan budaya yang ada ditingkatkan kualitasnya sehingga menjadi lebih baik dan lebih sempurna, sedangkah pengembangan secara kuantitatif mengarah kepada pembentukan ajaran dan budaya barru untuk menambah kesempurnaan dan kesejahteraan hidup manusia, sumber pengembangan tersebut tidak lain kecuali wahyu allah yang telah dengan sempurna disampaikan kepada manusia oleh nabi muhammad SAW yaitu al-qur’an dan Assunnah.
Berbarengan dengan pengembangan daerah kekuasaan islam pada masa-masa berikutnya, berkembang pula pusat-pusat kegiatan pendidikan islam, baik mereka yang baru masuk islam, bagi para generasi muda (anak-anak), maupun bagi mereka yang memperdalam dan mengembangkan ilmu pengetahuan dalam islam
1. Pusat-pusat Pendidikan Islam
Mahmud yunus dalam bukunya sejarah pendidikan islam, menerangkan bahwa pusat-pusat pendidikan tersebut tersebar dikota-kota besar sebagai berikut :
1. dikota Makkah dan Madinah (Hijaz)
2. Dikota Basrah dan kuffah (Irak)
3. dikota Damsik dan falistina (syam)
4. Dikota fistat (mesir)
Dipusat- pusat pendidikan tersebut para sabahat memberikan pelajaran agama islam kepada muridnya, baik yang berasal dari penduduk setempat maupun yang datang dari daerah lain. Dipusat-pusat pendidikan islam tersebut timbullah madrasah-madrasah, yang masih merupakan sekedar tempat memberikan pelajaran dalam bentuk Khalaqah di mesjid atau tempat pertemuan lainya.
Selanjutnya dalam praktek dan pengajaran agama pada awal masa pertumbuhan ini, mahmud yunus menjelaskan :
Ulama-ulama tersebar keseluruh kota-kota kenegara islam yang terus bertambah luas. mereka itulah pendiri madrasah-madrasah pada tiap-tiap kota itu.
Sedangkan mereka itu mempunyai keahlian ilmiah yang berbeda-beda dan kepribadian yang berlainan. Yang sangat termansyur diantara mereka itu ialah
1. Abdullah bin Umar di Madinah
2. Abdullah bin Mas’ud di Kuffah
3. Abdullah bin Abbas di Mekkah
4. Abdullah bin Amr bin al-ash di Mesir.
Inilah empat orang Abdullah yang besar sekali jasanya dalam mengajarkan ilmu-ilmu agama kepada murid-muridnya.
2. Pengajaran Al-qur’an
intisari ajaran islam adalah apa yang termasuk didalam al-qur’an. Sedangkah hadist ataupun sunnah Rasulullah yang merupakan penjelasan apa-apa yang dimaksudkan oleh al-qur’an. Nabi Muhammad Saw telah dengan sempurna menyampaikan al-qur’an kepada para sahabat dan telah sempurna pula memberikan penjelasan-penjelasan menurut keperluanya pada masa itu.
Sumber pengajaran Al-qur’an pada masa itu adalah para sahabat. Mereka pula yang bertanggung jawab untuk mengajarkan al-qur’an memberikan penjelasan dan pengertian yang terkandung oleh Al-qur’an agar dimengerti oleh orang-orang yang baru masuk islam.
3. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan islam
Sebagaimana telah dikemukakan bahwa akibat pendidikan adalah mewariskan nilai-nilai budaya kepada generasi muda dan mengembangkanya
Kalau masa Nabi Muhmmad Saw dianggap sebagai masa penyamaian nilai kebudayaan islam kedalam system budaya bangsa arab pada masa itu, dengan meluasnya ajaran islam dipeluk oleh bangsa-bangsa diluar bangsa arab yang mempunyai system budaya yang berbeda-beda, maka pendidikan islam masa ini berarti penanaman secara luas nilai dan kebudayaan islam agar tumbuh dengan suburnya dalam lingkungan yang lebih luas.
Pada garis besarnya pemikiran islam dalam pertumbuhanya muncul dalam 3 pola yaitu
1. Pola pemikiran yang bersifat Scolastik, yang terikat pada dokma-dokma dan berpikir dalam rangka mencarai pembenaran terhadap dokma-dokma agama.
2. pola pemikiran yang bersifat rasional, yang lebih mengutamakan akal pikiran.
3. pola pemikiran yang bersifat batiniah dan intuitif, yang berasal dari mereka yang mempunyai pola kehidupan sufistis.
Sistem Pendidikan Islam pada masa kejayaan
a. Kurikulum
Menurut Ahmad Tafsir kurikulum adalah sejumlah mata pelajaran yang harus ditempuh atau dipelajari oleh siswa lebih luas lagi Kurikulum bukan saja sekedar rencana pelajaran, tetapi semua yang secara nyata terjadi dalam proses pendidikan.
Pada masa kejayaan islam mata pelajaran bagi kurikulum sekolah tingkat rendah adalah al-qur’an dan agama, membaca, menulis dan syair. Dalam berbagai kasus ditambahkan Nahwu cerita, dan berenang, dalam kasus-kasus lain dikhususkan untuk membaca al-qur’an dan mengajarkan sebagian prinsip-prinsip pokok agama. Sedangkah untuk anak-anak Amir dan penguasa kurikulum tingkat rendah cukup berbeda. Diistana-istana biasanya ditegaskan pentingnya pengajaran Kittabah ilmu sejarah, cerita perang, cara-cara pergaulan, disamping ilmu-ilmu pokok seperti al-qur’an syair dan fikkih.
Setelah usai menempuh pendidikan tingkat rendah siswa bebas memilih bidang studi yang ingin dia dalami ditingkat tinggi nanti. Jika ia ingin mendalami pikkih ia harus belajar fikih kepada para ulama fikkih yang ia kehendaki jika hendak mendalami hadist iaa mesti berguru kepada ulama-ulam hadist seperti kasus Imam Al-bukhari. Semula ia bermula belajar kepada muhammad Bin al-Hasan.tetapi setelah Muhammad Bin Al-hasan melihat bahwa ilmu hadis lebih sesuai bagi Al-bukhari, ia menyarankan agar al-bukhari belajar hadist. Contoh lain diriwayatkan bahwa Yunus bin Habib pernah belajar Ilmu ‘Arudh kepada al-khalil bin Ahmad, tetapi ia mengalami kesukaran terhadap ilmu tersebut. Maka ia tinggalkan pelajaran tersebut lalu ia berpindah mempelajari ilmu nahwu sehingga ia berhasil menjadi ahli terkemuka dalam bidang Nahwu.
B. Metode pengajaran.
Metode pengajaran yang dipakai pada masa dinasti Abbasiyah dapat dikelompokkan kedalam tiga macam yaitu Lisan, hafalan dan tulisan. Metode lisan bisa berupa dikte ceramah qira’ah dan diskusi. Dikte (imla) adalah metode untuk menyampaikan pengetahuan yang dianggap baik dan aman karena pelajar mempunyai catatan. Jika daya ingat pelajar tidak kuat, catatan bisa membantunya. Metode ini dianggap penting, karena pada masa klasik buku-buku catatan seperti sekarang sulit sekali dimiliki. Metode ceramah disebut juga metode al samak, sebab dalam metode ceramah guru membaca bukunya atau menjelasakan isi buku dengan hafalan, sedangkan murid mendengarkanya. Pada saat tertentu guru berhenti dan memberi kesempatan kepada pelajar-pelajar untuk menulis dan bertanya metode kira’ah atau membaca biasanya digunakan untuk belajar membaca. Sedangkan diskusi merupakan metode yang khas dalam pendidikan islam dimasa ini. Ulama-ulama sering mengadakan majelis-majelis diskusi atau perdebatan. Metode ini banyak digunakan dalam pengajaran ilmu-ilmu yang bersifat filosofis dan fikkih, bahkan menurut ahmad Amin aliran Mu’tazilah menjadikan salah satu rukun islam. Dalam proses penyerapan ilmu, diskusi adalah metode yang lebih efektif dari pada metode-metode diatas. Diskusi dapat menjadikan murid aktif. Diskusi juga melatih murid menguraikan ilmu dan menggunakan daya berfikir secara aktif, sedangkan menulis membaca dan sebagainya lebih fasif.
c. Rihlah Ilmiyah
salah satu ciri yang paling menarik dimasa klasik yaitu sistem rihlah ilmiyah yaitu ilmiyah pengembaraan atau perjalanan jauh untuk mencari ilmu.
Dengan demikian sistem rihlah ilmiyah dalam pendidikan islam dimasa klasik tidak hanya dibatasi dengan dinding kelas. Pendidikan islam memberi kebebasan kepada murid-murid untuk belajar kepada guru-guru yang mereka kehendaki selain murid-murid guru-guru juga melakukan perjalanan dan pindah dari satu tempat ketempat yang lain untuk mengajar sekaligus belajar. Dengan demikian sistem rihlah ilmiyah disebut Learning Sociaty (masyarakat belajar).
d. Wakaf
menurut Syalabi bahwa Khalifah Al-Mah’mun adalah orang yang pertama kali mengemukakan pendapat tentang pembentukan badan waqaf. Ia berpendapat bahwa kelangsungan kegiatan keilmuan tidak tergantung pada subsidi negara dan ketermawanan penguasa-penguasa tetapi juga membtuhkan kesadaran untuk bersama-sama negara menagung biaya pelaksanaan Pendidikan.
Peranan sangat waqaf sangat besar dalam menunjang pelaksanaan pendidikan. Dengan waqaf umat islam mendapat kemudahan dalam menuntut ilmu. Karena waqaf pendidikan islam tidak terlalu menuntut biaya bagi pelajar-pelajar sehingga baik miskin atau kaya mendapat kesepakatan mendapat belajar yang sama, bahkan mereka khususnya yang miskin akan mendapat fasilitas-fasilitas yang luar biasa dan tiada putusnya.
sumber:makalah
Choose EmoticonEmoticon