-->

Kamis, 19 Juli 2018

Sejarah Perkembangan Islam di Afrika selatan

CICI ELFIKA/S/EB

Islam adalah agama yang mulia, keberadaan islam memberikan cahaya kepada semau umat manusia.Islam di Afrika Selatan mungkin tiba sebelum zaman kolonial, dan terdiri dari perhubungan terpencil dengan pedagang Arab dan Afrika Timur. Banyak orang Muslim Afrika Selatan dijelaskan sebagai orang Coloured, utamanya di Tanjung Barat, termasuk yang nenek moyang datang sebagai budak dari Kepulauan Indonesia (Melayu Tanjung). Yang lainnya dijelaskan sebagai orang India, terutamanya di Kwazulu-Natal, termasuk mereka 
yang nenek moyangnya datang sebagai pedagang dan pegawai dari Asia Selatan; mereka telah bergabung oleh orang lain dari bagian lain Afrika serta mengkonversi Afrika Selatan yang berkulit putih atau hitam. Namun, tradisi Muslim saat ini di negara tersebut berasal dari kedatangan Syeikh Abdurahman Matebe Shah, seorang syekh Melayu dari Sumatra, pada tahun 1668.[Agama Islam masuk ke wilayah Afrika sejak abad ke-17. Salah satu penyebarnya adalah warga negara keturunan Indonesia, yakni Syekh Yusuf Makassar. Hingga saat ini, umat Islam di Afrika Selatan mencapai 1,25 juta jiwa atau sekitar tiga persen dari total penduduknya yang berjumlah 49 juta jiwa.

Kendati minoritas, mereka ada di salah satu pusat pertumbuhan Islam terpesat di Benua Afrika saat ini. Sebagai ilustrasi, di Kota Soweto, tak jauh dari Johannesburg, pada pertengahan 1970-an, cuma ada 10 orang Muslim. Namun, pada awal 2002, jumlahnya berlipat seribu kali menjadi sekitar 10 ribu orang.

Masjid dan madrasah sangat mudah dijumpai. Jumlah orang di berbagai townships, pusat-pusat permukiman penduduk berkulit hitam dan miskin, semakin hari terus bertambah yang menjadi Muslim. Setiap tahun berlangsung "Festival Syahadat" yang diprakarsai oleh Syekh Dr Abdalqadir as-Sufi. Sejak awal 2000, ratusan orang memeluk Islam. Terakhir, 22 Mei 2010, sebanyak 71 orang, khususnya dari Suku Zulu, serentak kembali kepada Islam di Durban.

Mengapa Islam menarik mereka? Islam dirasakan sebagai jalan keluar dari ancaman gangsterisme dan problem sosial lain, seperti obat terlarang, kekerasan seksual, wabah korupsi, dan dekadensi moral masyarakat lain yang terus merebak di berbagai kawasan di Afrika Selatan. Perhatian Islam atas nasib kaum miskin menarik hati mereka. Dalam situasi politik rasis puluhan tahun sebelumnya, agama Islam telah dipandang sebagai salah satu bentuk resistensi dan penolakan atas tatanan masyarakat yang didasarkan doktrin apartheid tersebut.

Perlu diketahui bahwa penyebaran agama Islam di Afrika Selatan dimulai terutama oleh para ulama, bangsawan, dan para tahanan politik penjajah Belanda. Hal ini memberikan pengaruh khusus atas perkembangan Islam di Afrika Selatan. Sejarah Islam di sana memang bersamaan dengan sejarah kolonialisme. Islam telah berada di Afrika Selatan selamakurang lebih tiga ratus tahun lamanya. Meski relatif kecil, peran mereka kini semakin besar dan penting.

Media massa Muslim, baik elektronik maupun cetak, sebagai satu indikasi yang mudah dilihat, telah berkembang dan menempati posisi penting di mata publik. Di seluruh Afrika Selatan, pada 2005, diperkirakan terdapat sekitar 455 masjid dan 408 lembaga-lembaga pendidikan mulai dari madrasah, sekolah lanjutan, sampai universitas. Jumlah organisasi sosial dan kesejahteraan, lembaga budaya dan perdagangan, serta media massa mencapai 465 lembaga. Sejak awal 2006, organisasi sosial kemasyarakatan ini bahkan telah meningkat menjadi 1.328 lembaga.

Kaum Muslim di Afrika Selatan terpusat di dua kota besar, yaitu Durban dan Cape Town, selain di Johannesburg, Port Eliazabeth, Pretoria, dan Soweto. Cape Town, khususnya, merupakan pusat keberadaan kaum Muslim di Afrika Selatan. Di sini, jumlah Muslim sekitar 700 ribu orang atau 30 persen dari jumlah penduduknya.Jadi, suasana di berbagai sudut Cape Town tak ubahnya seperti kota Muslim lain di mana pun penuh orang berpakaian Muslim berlalu lalang, banyak restoran dan kedai halal, serta kubah dan menara masjid tampak menjulang di seantero kota. Di sini pula, anak keturunan Syekh Yusuf al-Makassari dan bangsawan ulama dari nusantara lainnya beserta para pengikutnya bermukim. Oleh pemerintah kolonial Belanda dulu dan diteruskan selama masa Apartheid, mereka disebut sebagai Cape Malay. Jumlahnya sekarang diperkirakan sekitar 170 ribuan orang.

Tapi, istilah Cape Malay ini perlu diberi catatan tersendiri. Achmat Davids, sejarawan setempat, menolak istilah tersebut dengan dua alasan. Pertama, istilah ini digunakan oleh pemerintah kolonial dan menimbulkan tembok pembatas rasial, yang tentu saja tidak sesuai dengan ajaran Islam. Kedua, dalam kenyataannya, mereka lebih-banyak berasal dari Indonesia dan bukan dari Semenanjung Malaysia. Sampai hari ini, pengaruh kekeliruan tersebut menimbulkan semacam kerancuan di kalangan Cape Muslim-istilah yang lebih disukai oleh Achmat Davids-tentang asal muasal mereka. Kebanyakan dari mereka lebih mengenal dan merasa memiliki ikatan emosional dengan Malaysia dibanding dengan Indonesia.

Menyedihkannya lagi, kesalahkaprahan seperti ini juga ada di tingkat akademisi. Dalam sebuah buku sejarah karya seorang penulis setempat, Mogamat Hoosain Ebrahim, dikatakan bahwa "Nama Syekh Yusuf yang sebenarnya adalah Abidin Tadia Tjoessoep dan ia lahir pada 1626 di Makassar, Selebes (sekarang Sulawesi), salah satu dari kepulauan Malaysia. Begitulah, ibarat peribahasa sapi punya susu, kerbau punya nama.

Terlepas dari soal itu, kita mudah mendapatkan bukti-bukti sejarah tentang keindonesiaan mereka. Selain makam Syekh Yusuf di kota kecil Macassar, sekitar 30 km dari pusat Cape Town, ada sejumlah kosakata Indonesia yang tertinggal dalam percakapan sehari-hari mereka. Kata maaf dan trema (terima) kasih serta jalan-jalan adalah tiga kata yang masih umum dalam percakapan sehari-hari masyarakat Cape Muslim. Kata-kata buka (puasa), bacha (baca) dalam pengertian mendaras Alquran, lebaran untuk hari raya Idul Fitri, serta kramat untuk menyebut makam para wali dan ulama masih dipakai.

Para petugas penyuci jenazah disebut toekamandi. Kata maskav untuk kata maskawin. Sementara itu, nama tempat dalam bahasa Indonesia, selain Macassar yang disebut di atas, ada perkampungan Tana Baru, tempat Tuan Guru, ulama lain asal Indonesia, dimakamkan.

Patut juga ditambahkan karena umumnya masyarakat Cape Muslim sehari-harinya berbicara dalam bahasa Afrikaans, yang berasal dari bahasa Belanda Kuno. Sejumlah kata dan istilah lain yang sama-sama dipakai adalah kantor, karcis, gratis, tas, rok, keran (air), praktik, transaksi, kuitansi, indikasi, polisi, dan semacamnya sampai kata pisang.

Tentu penulisan kata-kata tersebut di sana dan di Indonesia sedikit berbeda. Di negeri ini, kata-kata tersebut mengalami proses Indonesianisasi, sedangkan di Afrika Selatan masih dipertahankan sesuai dengan aslinya meski pengucapannya relatif sama. Malah sebaliknya, yang pernah terjadi atas kebiasaan dan istilah yang semula berasal dari bahasa Indonesia ini adalah Belandanisasi. Misalnya, nama Muhammad" dituliskan Mogamad atau nama Khadijah dituliskan sebagai "Gadijah meski tetap dilafalkan sebagai Muhammad dan Khadijah.

Selain itu, terjadi modifikasi nama-nama nusantara yang semula tidak menggunakan sistem nama keluarga (sure name), ditambahkan nama keluarga, terkait dengan sistem administrasi kolonial. Bagaimana nama-nama orang yang didatangkan dari nusantara itu berubah?

Inilah yang terjadi. Karena orang-orang Muslim nusantara tersebut umumnya diperbudak, penambahan nama keluarga pada belakang nama mereka dilakukan berdasarkan nama keluarga tuan atau pemiliknya. Lazimnya adalah nama Belanda Hendricks, Edwards, Martin, dan sebagainya. Maka, jangan heran kalau nama warga Muslim keturunan Indonesia di Afrika Selatan saat ini merupakan kombinasi yang bagi kita kurang lazim. Terkesan seperti campuran nama Islam dan nama Kristen Sulaeman Edwards, Yusuf Hendricks, Fatimah Vellie, dan seterusnya. Tentu, hal ini pada akhirnya hanyalah kebiasaan. Jadilah nama gado-gado semacam itu.

Satu hal yang patut kita hargai, perhatian dan minat bangsa Afrika Selatan pada Indonesia umumnya sangat besar. Begitu besarnya penghormatan masyarakat Afrika Selatan kepada Syekh Yusuf hingga mereka menganugerahinya The Companions of Oliver Tambo yang diserahkan saat menjelang Ramadhan 1427 Hijrah (2005 M). Selain Syekh Yusuf, hanya ada satu tokoh lain yang pernah mendapatkan penghargaan serupa, yaitu Ir Soekarno, presiden pertama RI. Artinya, mereka telah menyetarakan Syekh Yusuf sebagai pahlawan nasional Afrika Selatan. Ulama ini dipandang sebagai salah satu inspirator bagi pembebasaan bangsa Afrika Selatan dari belenggu politik apartheid.

Pesatnya perkembangan Islam di Afrika Selatan adalah lantaran kemiskinan. Islam memberikan jawaban atas kemiskinan lewat zakat, sedekah, wakaf dan sejenisnya. Bagi masyarakat Afrika, Islam memberikan jalan keluar untuk masalah sosial. Afrika adalah negeri dengan mayoritas Kristen lantaran lama dijajah Eropa dan lantas menjadi koloni Inggris. Namun klausul tentang zakat ternyata menarik penduduk asli untuk pindah agama. Sementara bagi intelektual muda, reformasi sosial dan gaya hidup yang dianggap lebih suci merupakan faktor penentu. Tahun 1976, hanya ada sekitar 10 orang warga berkulit hitam yang beragama Islam di Soweto. Mereka dekat satu  sama lain. Beberapa warga yang memeluk Islam lantas mengubah namanya menjadi nama Islam. Hanya nama belakang saja yang dibiarkan sebagai identitas pribadi. Mereka mengindentikkan diri dengan Bilal, seorang budak yang dimerdekakan dan lantas menjadi muadzin pada zaman Rasulullah SAW.

Sejak itu pertumbuhan Islam di Afrika Selatan sangat pesat. Sebagian besar memang kalangan muda. Mereka tertarik karena kehidupan Islam bisa membuat mereka meninggalkan kehidupan ala preman dan obat-obatan. Islam menjadi agama yang pertumbuhannya tercepat di tanah hitam itu saat ini. Mereka percaya kembali ke Islam dapat memperbaiki dekadensi moral yang melanda negerinya. Gerakan kembali ke Islam fundamental bukan cuma terjadi di Negeria tapi menyusup ke belahan bumi Afrika lainnya. Tak terkecuali Afrika Selatan. Kemerosotan ekonomi adalah faktor utama yang mendukung meruyaknya gerakan Islam fundamental di Afrika. Dengan segera gerakan yang semula berkembang di Nigeria memiliki pengikut di Ghana, Kamerun, Benin. Para pemuda menjadi pelopor kebangkitan Islam di tanah hitam. Ini sepintas mengingatkan kita pada kebangkitan Islam di Mesir saat negeri itu dipimpin Anwar Sadat dengan munculnya gerakan Ikhwanul Muslimun.

Seperti di Indonesia, gerakan konservatif atau radikal fundamental ini tentu saja berseberangan dengan kubu liberal. Afrika Selatan saat ini, setelah post-apartheid, tengah berjalan menuju demokrasi liberal. Dengan sendirinya, gerakan fundamental tidak saja berhadapan dengan pihak yang ingin meninggalkan kehidupan agama tapi juga pihak Muslim yang menempuh jalur liberal. Bagi kalangan Islam liberal, perubahan sosial harusa dipertimbangkan. Pluralisme, demokrasi, keadilan sosial, dan egalitarian adalah nilai inti dari Islam. Karena itu mereka menolak gagasan kembali ke fundamentalisme. Sementara bagi kalangan konservatif tradisional, gerakan yang dilakukan kubu modernis liberal adalah sebuah konspirasi menghancurkan identitas Islam Afrika. Mereka menolak setiap gagasan berbau Barat. Demokrasi yang digaungkan adalah suara dan kepentingan Barat. Dan Afrika bukan Barat. Mereka pernah hancur karena dijajah Barat.

Dua perkembangan Islam yang berbeda, radikal dan liberal, adalah fenomena yang terjadi  tidak saja di Afrika tapi juga Asia. Namun pertumbuhan di Afrika adalah pengulangan atas sejarah Ikhwanul Muslimun. Historia repitie. Sejarah selalu berulang. Entah apakah Islam radikal bisa mencapai posisi seperti Ikhwanul Muslimun di Mesir karena  hambatan yang mereka hadapi sangat ketat. Seperti Indonesia, Afrika Selatan adalah negeri yang sedang tumbuh. Hanya saja Indonesia lama terpuruk pada krisis ekonomi yang berkepanjangan akibat korupsi puluhan tahun. Karena itu keinginan yang tumbuh di Afrika Selatan, mengedepankan nilai Islam juga ada di Indonesia. Hanya saja pemerintah seolah keburu meredam gejolak tersebut.

Di Afrika Selatan, gerakan radikal Islam menolak disebut sebagai fundamental. Mereka lebih senang disebut Islam kaffah karena yang mereka tempuh adalah mengedepankan nilai Islam keseluruhan. Afrika adalah bangsa yang pernah dekat dengan Islam. Karena itu kembali kepada nilai-nilai spiritual yang lama hilang adalah keniscayaan. Maka mereka mengoptimalkan masjid, imam, anak muda dan seluruh komponen pendukung. Secara kuantitas, tak dapat dipastikan berapa persen pertumbuhan umat Islam di negeri Nelson Mandela itu. Itu karena peng-Islaman biasanya dilakukan secara informal. Bahkan juga tidak ada angka statistik yang jelas tentang jumlah Muslim Afrika Selatan. Hanya ada angka perkiraan kasar yang menyatakan jumlah Muslim di Soweto mencapai 10 ribu orang. Jumlah yang sama juga tumbuh di kota-kota besar lain.

Hampir 72 persen warga kulit hitam beragama Kristen. Sisanya masih menganut kepercayaan lokal. Hanya jumlah kecil yang beragama Islam, Hindu, dan Yahudi. Islam datang ke Afrika lewat pedagang Arab. Hanya saja kemudian terpinggirkan oleh gerakan misionaris. Kemudian politik apartheid juga membatasi gerak Islam untuk tumbuh. Dana dari Muslim India dan warga kulit hitam  sebetulnya sangat membantu mengurangi penduduk miskin. Hanya kemudian ada benturan di antara mereka. Warga kulit hitam menilai India rasis. Indian juga sangat radikal yang karenanya dilekatkan dengan gerakan teroris. Yang belakangan itu merujuk pada adanya warga Indian yang terlibat pemboman restoran di Cape Town.

Muslim kulit hitam menganggap dirinya lebih moderat kendati masih bersimpati dengan warga Palestina dan Afghanistan. Sedangkan kelompok Indian Muslim dianggap lebih memperhatikan politik praktis dan perkembangan dunia luar ketimbang warganya sendiri. Muslim kulit hitam pada akhirnya harus berjuang sendiri mengumpulkan dana untuk pendidikan dan kesejahteraan umat Islam. Terbukti, gerakan ini lebih menarik penduduk miskin untuk masuk Islam. Sementara warga Indian terlibat dalam aktivitas radikal yang menurut mereka bisa mengeluarkan mereka dari penghancuran Islam dengan alasan kebudayaan.

Kesimpulan

Islam di Afrika Selatan mungkin tiba sebelum zaman kolonial, dan terdiri dari perhubungan terpencil dengan pedagang Arab dan Afrika Timur. Banyak orang Muslim Afrika Selatan dijelaskan sebagai orang Coloured, utamanya di Tanjung Barat, termasuk yang nenek moyang datang sebagai budak dari Kepulauan Indonesia (Melayu Tanjung). Yang lainnya dijelaskan sebagai orang India, terutamanya di Kwazulu-Natal, termasuk mereka yang nenek moyangnya datang sebagai pedagang dan pegawai dari Asia Selatan; mereka telah bergabung oleh orang lain dari bagian lain Afrika serta mengkonversi Afrika Selatan yang berkulit putih atau hitam. Namun, tradisi Muslim saat ini di negara tersebut berasal dari kedatangan Syeikh Abdurahman Matebe Shah, seorang syekh Melayu dari Sumatra, pada tahun 1668.

Referensi:

Suara Muhammadiyah,Edisi 15 2004

Soeratman Darsti. 2012. Sejarah Afrika, ombak, Yogyakarta

Sumber: wartasejarah




Baca Artikel Terkait:




Choose EmoticonEmoticon