Roland Barthes adalah penerus pemikiran Saussure. Saussure tertarik pada cara kompleks pembentukan kalimat dan cara bentuk-bentuk kalimat menentukan makna, tetapi kurang tertarik pada kenyataan bahwa kalimat yang sama bisa saja menyampaikan makna yang berbeda pada orang yang berbeda situasinya.
Roland Barthes meneruskan pemikiran tersebut dengan menekankan interaksi antara teks dengan pengalaman personal dan kultural penggunanya, interaksi antara konvensi dalam teks dengan konvensi yang dialami dan diharapkan oleh penggunanya.
Model Teori Semiotika Roland Barthes. |
Pada dasarnya, ada perbedaan antara denotasi dan konotasi dalam pengertian secara umum serta denotasi dan konotasi yang dimengerti oleh Barthes. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimaknai sebagai makna harfiah, makna yang “sesungguhnya,” bahkan kadang kala juga dirancukan dengan referensi atau acuan. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut sebagai denotasi ini biasanya mengacu kepada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap.[3]
Akan tetapi, di dalam semiologi Roland Barthes dan para pengikutnya, denotasi merupakan sistem signifikasi tingkat pertama, sementara konotasi merupakan tingkat kedua. Dalam hal ini denotasi justru lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna dan, dengan demikian sensor atau peretisi politis.Sebagai reaksi yang paling ekstrem melawan keharfiahan denotasi yang bersifat opresif ini, Barthes mencoba menyingkirkan dan menolaknya.Baginya, yang ada hanyalah konotasi semata-mata. Penolakan ini mungkin terasa berlebihan, namun ia tetap berguna sebagai sebuah koreksi atas kepercayaan bahwa makna “harfiah” merupakan sesuatu yang bersifat alamiah. Baca juga: Teori Interaksi Simbolik
Dalam kerangka Barthes, konotasi identik dengan operasi ideologi, yang disebutnya sebagai ‘mitos’, dan berfungsi untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu.[4] Mitos yang berurusan dengan semiologi telah berkaitan dengan dua istilah, yakni penanda signifier (significant) dan petanda signified (signife), dan kemudian bertautan lagi dengan istilah sign (tanda).
Barthes juga melihat aspek lain dari penandaan yaitu “mitos” yang menandai suatu masyarakat. “Mitos” menurut Barthes terletak pada tingkat kedua penandaan, jadi setelah terbentuk sistem sign-signifier-signified, tanda tersebut akan menjadi penanda baru yang kemudian memiliki petanda kedua dan membentuk tanda baru. Jadi, ketika suatu tanda yang memiliki makna konotasi kemudian berkembang menjadi makna denotasi, maka makna denotasi tersebut akan menjadi mitos.
Dalam hal hubungan mitos dan semiologi, Barthes berhutang budai pada Sussure. Sebab Saussure melihat studi linguistik sebagai studi kehidupan tanda dalam masyarakat, yang kemudian diadopsi dengan namasemiologi. Semiologi berasal dari kata semion yang berarti tanda.Semiologi tidak berurusan dengan isi melainkan dengan bentuk yang membuat suara, imaji, gerak, dan seterusnya yang berfungsi sebagai tanda.Mitologi terdiri dari semiologi dan ideologi.Semiologi sebagai formal science dan ideologi sebagai historical science. Mitologi mempelajari tentang ide-ide dalam suatu bentuk.
Secara terperinci, Barthes dalam bukunya Mythology menjelaskan bahwa sistem signifikasi tanda terdiri atas relasi (R = relation) antara tanda (E = expression) dan maknanya (C = content). Sistem signifikasi tanda tersebut dibagi menjadi sistem pertama (primer) yang disebut sistem denotatif dan sistem kedua (sekunder) yang dibagi lagi menjadi dua yaitu sistem konotatif dan sistem metabahasa. Di dalam sistem denotatif terdapat antara tanda dan maknanya, sedangkan dalam sistem konotatif terdapat perluasan atas signifikasi tanda (E) pada sistem denotatif.Sementara itu di dalam sistem metabahasa terhadap perluasan atas signifikasi makna (C) pada sistem denotatif. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa sistem konotatif dan sistem metabahasa merupakan perluasan dari sistem denotatif.
Sumber : Yaol Josefat
Choose EmoticonEmoticon