Sejarah Perkembangan Islam di Granada
Islam memiliki sejarahnya sendiri di tanah Spanyol dan selama ratusan tahun Islam membangun peradabannya di negeri ini hingga kemudian mengalami penaklukan. Penyusuran sekelumit jejak Islam itulah yang membuat saya begitu bersemangat menginjakan kaki di Granada, sebuah kawasan di Andalusia yang menyimpan harta karun peradaban Islam berupa arsitektur megah bernama Alhambra.
Saya menempuh empat setengah jam perjalanan dengan kereta api Renfe dari Stasiun Puerta de Atocha, Madrid menuju Granada. Ketika itu saya sengaja mencari kereta pagi supaya bisa menikmati pemandangan sepanjang perjalanan. Dari stasiun kereta saya menggunakan taxi menuju hotel Guadalupe yang kebetulan berada tidak jauh dari pintu masuk komplek Alhambra. Pilihan hotel ini didasarkan pada pertimbangan supaya saya tidak perlu berangkat dari subuh dan mengantrimenunggu loket buka.
Stasiun Puerta de Atocha Madrid, stasiun awal saya bertolak menuju Granada
Saya tidak tinggal lama di Granada, hanya dua hari saja sehingga hari pertama saya putuskan untuk berkeliling dengan menggunakan city tour bus yang mudah ditemui di halaman parkir Alhambra karena area tersebut merupakan salah satu dari 11 titik pemberhentian bus tour dalam kota. Mengapa saya absen berkeliling komple k Alhambra di hari pertama, adalah karena untuk mengelilingi seluruh komplek tersebut memerlukan waktu seharian, sehingga saya putuskan untuk mengunjungi Alhambra keesokan harinya.
Salah satu sudut kota Granada
Tanah Yang Indah
Granada berada di ketinggian 738 meter diatas permukaan laut dan terletak di kaki pegunungan Sierra Nevada, pada pertemuan tiga sungai yaitu Beiro, Darro dan Genil. Ketika datang disaat musim salju maka pemandangan sekeliling kota bisa menjadi sangat dramatis karena pegunungannya seluruhnya berwarna putih ditutup salju, tetapi datang di saat pegunungan menghamparkan pemandangan hijau segar pun tak kalah luar biasanya. Ketika itu saya tiba di bulan Juni dan meskipun menurut informasi yang saya dapat kalau Granada merupakan kota yang cenderung lebih dingin ketika musim dingin dan lebih panas ketika musim panas, tetapi pada saat itu suhu udara sangat bersahabat, tidak terlalu dingin dan tidak terlalu panas. Sempurna.
Granada adalah kota yang benar-benar cantik, seolah merepresentasikan namanya yang berarti buah delima. Didalam bus city tour terdapat audio yang menerangkan tempat-tempat yang terlewati oleh bus dan diterjemahkan ke dalam tujuh bahasa, masing-masing bisa didengarkan melalui earphone yang diberikan cuma-cuma kepada pembeli tiket bus. Titik pemberhentian bus kebanyakan berupa gereja-gereja dan katedral, hanya beberapa saja yang bukan berbentuk gereja, seperti misalnya lapangan adu banteng tertua di Spanyol, Plaza de Toros dan Palacio de la Madrazayang dulunya merupakan madrasah atau sekolah islam di era kepemimpinan Dinasti Nasrid. Saat ini bangunan tersebut merupakan bagian dari Universitas Granada. Katedral yang bersebrangan dengan Palacio de la Madraza ini pun dahulunya adalah sebuah masjid yang diubah fungsi.
Siapa sangka dibalik keindahannya, kota ini menyimpan cerita menyedihkan yang sepertinya berusaha untuk dikubur dalam-dalam. Fakta bahwa tidak banyak informasi mengenai jejak islam yang disajikan dalam rangkaian tour menjadi salah satu indikasinya.
Plaza De Toros, Lapangan adu banteng tertua di Spanyol berada di Granada.
Sejarah yang berhak terkuak
Mungkin tidak banyak yang tahu bahwa Granada merupakan kerajaan muslim selama kurang lebih 800 tahun, yang terlama berkuasa di wilayah Spanyol. Peninggalan arsitektur megah umat islam hanya sebagian kecil dari bukti kejayaan peradaban islam di negeri ini. Selain arsitektur, ilmu pengetahuan berkembang sangat pesat di wilayah Andalusia ketika umat muslim berkuasa. Berbagai literatur berbahasa Arab dalam jumlah ribuan dahulu dapat ditemukan disini hingga kemudian terjadi penyerahan wilayah Andalusia kepada Monarki Katolik, dengan Granada sebagai wilayah terakhir yang menyerahkan kekuasaannya. Penaklukan Granada menandai fase baru dalam hubungan Muslim-Kristen.
Kejatuhan Islam tidak semata-mata terjadi karena kekuatan musuh yang besar, tetapi juga karena kondisi umat Muslim sendiri pada saat itu. Sebelumnya umat Muslim bersatu di bawah kekhalifahan yang kemudian terpecah belah menjadi beberapa negara kecil yang disebut taifas. Karena terpecah belah kemudian taifas-taifas ini dapat dengan mudah di invasi dan satu persatu jatuh ke tangan musuh. Granada jatuh ke tangan Monarki Katolik dalam waktu yang relatif lama, sekitar 244 tahun setelah wilayah lain menyerah, menjadi wilayah Islam terakhir yang bertahan di semenanjung Iberia.
Penyerahan kekuasaan sebenarnya dibarengi dengan ditandatanganinya Perjanjian Granada oleh Sultan Granada dan duo Ferdinand dan Isabella yang mewakili Monarki Katolik. Dalam perjanjian tersebut dinyatakan bahwa terdapat jaminan kebebasan dan toleransi beragama bagi umat muslim serta adanya jaminan keselamatan bagi mereka. Disebutkan pula dalam perjanjian bahwa umat muslim masih tetap dapat mempertahankan masjid-masjid, institusi keagamaan, serta penggunaan bahasa, hukum dan adat istiadat mereka. Sebagai timbal baliknya tentu saja umat muslim harus membayar upeti kepada Monarki Katolik, hal yang sama berlaku bagi warga non muslim yang diharuskan membayar jizyah kepada Sultan ketika umat muslim memimpin.
Namun perlu dicatat bahwa pada saat Monarki Katolik memimpin, tidak ada hukum yang didasarkan pada kitab suci mereka berkenaan dengan status orang-orang Yahudi dan Muslim. Yang ada hanyalah hukum yang tanduk pada keinginan penguasa dan demi kepentingan Raja Ferdinand dan Ratu Isabella. Kemudian muncul doktrin mengenai murninya iman seseorang yang disamakan dengan kemurnian darah, oleh sebab itu semua kristen baru yang berasal dari Yahudi atau Muslim tetap diberi label sebagai pelaku bid’ah. Maka hanya dalam waktu tujuh tahun saja perjanjian ini kemudian dilanggar.
Konversi agama secara besar-besaran terjadi pada era kepemimpinan Kardinal Cisneros yang fanatik, dilanjutkan dengan pembakaran semua teks agama berbahasa Arab. Pemimpin muslim di Granada dibujuk untuk menyerahkan lebih dari 5000 buku berharga, yang kemudian dibuang di perapian dan hanya beberapa buku yang berkaitan dengan pengobatan saja yang diselamatkan. Konversi agama secara masif ini kemudian memicu pemberontakan dan dijadikan alasan oleh Kerajaan Katolik untuk mencabut perjanjian mereka.
Sebagai penduduk minoritas yang kalah, umat islam Spanyol yang dikenal juga dengan sebutan bangsa Moor, kemudian dikerdilkan keberadaannya dan berganti menjadi Morisco atau “bangsa Moor kecil”. Setiap aspek kehidupan yang meliputi bahasa, pakaian dan perangkat sosial dicap sebagai tidak beradab dan kafir. Bahkan seseorang yang menolak minum anggur atau makan babi akan dicela sebagai muslim yang di inkuisisi.
Inkuisis merupakan institusi pengadilan gereja yang mengadili perkara-perkara bid’ah yang didirikan oleh Monarki Katolik di Spanyol pasca Reconquista atau penaklukan semenanjung Iberia oleh kerajaan Kristen dari bangsa Muslim Moor. Padahal sebelumnya Spanyol merupakan kumpulan masyarakat berbeda agama yang relatif damai, hingga kemudian terjadi kekerasan anti Islam dan anti Yahudi sehingga banyak umat Islam dan Yahudi yang terpaksa pindah agama menjadi katolik atau melarikan diri. Pengusiran orang-orang muslim dari wilayah Spanyol yang terakhir terjadi lebih dari satu abad kemudian. Ini berarti ketika itu terdapat populasi bangsa Moor yang besar di Spanyol setelah masa keemasan dan titik tertinggi kebudayaan Islam di Andalusia pada abad kesebelas.
Di masa Inkusisi umumnya orang-orang yang memiliki paham yang tidak sesuai dengan doktrin Paus akan dibakar hidup-hidup. Tetapi banyak juga yang kemudian disita seluruh harta bendanya dan mengalami siksaan fisik. Ketika itu diperkirakan sebanyak lebih dari 300.000 orang yang dinyatakan melakukan bid’ah dan mengalami hukuman mati serta penyiksaan. Konon jumlah ini belum ditambah dengan korban tidak terhitung yang mati dibawah tanah karena penyiksaan serta dikurung di dalam lubang kotor penuh penyakit dan binatang seperti tikus akibat tumpukan mayat yang membusuk. Selain itu juga terjadi pengusiran paksa warga Muslim dan Yahudi yang menolak untuk menjadi Katolik dengan taksiran jumlah mencapai 160.000 jiwa.
Sejak saat itu sejarah Moriscos di Spanyol boleh dikatakan sudah habis meski Inkuisisi masih terus berlanjut bahkan hingga abad ke 20, dengan orang-orang kristen sendiri sebagai korbannya. Empat abad lamanya Inkusisi Spanyol berlangsung dengan menelan banyak korban demi keinginan gereja dan masyarakat Katolik ketika itu untuk memurnikan darah masyarakatnya.
Kegemilangan Alhambra yang Tersisa
Keesokan harinya adalah jadwal saya untuk menelusuri kemegahan Alhambra. Saya berangkat pagi sekali dari hotel berjaga-jaga pada kemungkinan kehabisan tiket atau berlama-lama mengantri di loket. Pemerintah kota membatasi jumlah pengunjung yang masuk setiap harinya, sehingga memang ada baiknya untuk memesan tiket sebelum tiba di Granada. Anggap saja waktu itu saya beruntung karena tidak menemukan antrian panjang seperti yang diceritakan seorang teman. Sebelum masuk, saya menyewa perangkat audio demi mendapat penjelasan mengenai seluk beluk Alhambra.
Pengunjung yang masuk akan disambut oleh sebuah gerbang besar bernama Gate of Pomegranate atau Puerta de las Granadas, menuju tiga jalur berbeda. Ketiga jalur tersebut kabarnya merupakan representasi tiga sungai yang bertemu. Pilihan jalur tersebut menuju ke arah menara merah atau Torres Bermejas, Generalife atau area taman yang dulunya digunakan oleh keluarga kerajaan sebagai tempat beristirahat dari hiruk pikuknya urusan kerajaan, serta Pilar de Carlos V atau air mancur Charles V.
The Wine Gate (Puerta del Vinos) yang nama aslinya ketika itu adalah Red Gate (Bib al-hamra) gerbang yang merupakan salah satu konstruksi tertua di Alhambra.
Alhambra pertama kali didirikan pada tahun 1238 oleh Muhammad Ibn Al-Ahmar yang kemudian pembangunannya diperluas secara masif oleh Muhammad ibn Nasr dari Dinasti Nasrid dan keturunannya. Meski begitu transformasi sebenarnya bangunan ini adalah pada abad ke 14 ketika Sultan Yusuf I dan Muhammad V memimpin, ketika dibangunnya taman labirin yang mengagumkan. Suasan romantis sangat kental terasa di taman-taman yang berada di sekitar komplek Alhambra.
Alhambra berasal dari bahasa Arab al-qala al-hamra yang berarti kastil merah. Warna merah merujuk pada warna tembok-tembok di sekeliling Alhambra yang jelas terlihat pada waktu matahari terbit dan terbenam. Alhambra tidak lain adalah ekspresi seni tingkat tinggi yang bercampur dengan simbol dominasi dan kekuasaan. Komplek megah ini adalah peninggalan berharga sekaligus saksi bisu masa keemasan umat Muslim di Spanyol dimana ketika itu bahasa Arab menjadi bahasa ibu dan kebudayaan Islam sangat maju. Pada saat itu perpustakaan dan perguruan tinggi didirikan, literatur, puisi dan arsitektur pun berkembang pesat. Baik muslim maupun non muslim memiliki kontribusi yang sangat besar pada masa ini. Masa kepemimpinan muslim di Spanyol juga disebut-sebut sebagai masa keemasan bagi toleransi umat beragama dan toleransi etnis yang terjalin harmonis antara Muslim, Kristen dan Yahudi.
Tidak mengherankan jika kemudian bangunan ini diklaim sebagai karya arsitektur Islam terbaik di seluruh Eropa dan merupakan bangunan yang paling banyak dikunjungi. Arsitektur bangunan ini merupakan simbol dari apa yang tampak mustahil diwujudkan pada saat itu namun ternyata mampu berdiri kokoh berkat kecerdasan masyarakatnya. Struktur bangunan, sistem pintar aliran air dan pengaturan suhu ruangan yang dilakukan manual berdasarkan perhitungan banyak hal menjadi bukti kehebatan masyarakat saat itu.
Comares Palace (Cuarto o Palacio de Comares), kediaman resmi raja yang dibangun oleh Yusuf I untuk memukau para tamu yang berkunjung. Pembangunan Comares Palace diteruskan oleh putranya Muhammad V.
Detail yang menghiasi banyak ruang di komplek Alhambra, baik kediaman raja dan keluarga maupun ruang-ruang serbaguna lainnya.
Pada setiap dekorasi yang berupa ukiran buatan tangan indah ini selalu diselipkan kalimat-kalimat tauhid seperti “Kemenangan hanya milik Allah”.
Romantisme Alhambra mencuat ketika banyak penjelajah dan penulis mengisahkan Alhambra melalui tulisan-tulisan mereka. Yang paling terkenal adalah karya seorang penulis dan diplomat Amerika, Washington Irving berjudul “Tales from the Alhmbra” yang mempopulerkan kisah bangsa Moor di Granada. Nama Irving kemudian diabadikan di salah satu ruangan di komplek megah Alhambra.
Beruntung kejatuhan Granada tidak mengakibatkan penghancuran besar-besaran seperti di Cordoba, sehingga Alhambra masih dapat berdiri dengan kokoh meskipun kenyataannya banyak hal telah direstorasi dan dihilangkan seperti masjid-masjid, sekolah-sekolah, barak-barak, gedung pusat administratif, pemandian umum, makam raja-raja dan percetakan uang logam. Yang tersisa hanyalah benteng atau yang disebut Alcazaba, tempat kediaman keluarga kerajaan atau The Palatial, dan taman-tamannya saja.
Penambahan arsitektur pun terjadi ketika Monarki Katolik berkuasa, seperti dibangunnya Palace of Charles V yang merupakan bangunan bergaya Renaisans. Bangunan berbentuk kotak di bagian luar tetapi di dalamnya dibuat melingkar seperti lapangan adu banteng ini tampak begitu kontras dengan bangunan-bangunan yang didirikan di masa kerajaan Islam. Palace of Charles Vdibangun oleh seorang arsitek bernama Pedro Machuca atas perintah Charles V yang ingin memiliki kediaman di dalam komplek megah Alhambra, tetapi bangunan tersebut tidak pernah benar-benar selesai dan kabarnya Charles V sama sekali tidak menyukai bangunan tersebut.
Bangunan Palace Charles V yang kontras dengan bangunan lain disekitarnya
Sungguh sulit untuk bisa menyembunyikan euforia berlebih dalam diri saya ketika mencoba bernostalgia dengan sejarah Islam di Tanah Spanyol, khususnya Granada. Membayangkan ketika dulu di masa silam, menjadi Islam berarti menjadi bagian dari umat yang begitu maju dan terpelajar, yang membawa kemanfaatan dan merupakan identitas orang-orang yang membangun peradaban. Mungkin sesungguhnya memang itulah hakikat menjadi muslim. Hakikat yang mengalami kemunduran namun semoga semoga akan kembali di jayakan.
The Arms Square (Plaza de Armas), aslinya merupakan gerbang masuk menuju kastil, The Alcazaba.
Taman-taman yang kental nuansa romantis
The Patio of the Irrigation Ditch (Patio de la Acequia) merupakan bagian paling penting dari Generalife (The Architect’s Garden), meskipun penampakan bangunan dan tamannya sudah banyak berubah sejak masa kepemimpinan dinasti Muslim
Albaycin, sebuah distrik di Granada yang kental dengan pengaruh Islam. Ketika terjadi penaklukan wilayah ini merupakan satu-satunya wilayah yang diperuntukan bagi umat muslim meskipun tidak berlangsung lama karena terjadi konversi agama dan pengusiran penduduk besar-besaran.
Lavender yang cantik banyak ditemui di taman sekitar Alhambra
salah satu sudut taman cantik di Alhambra
Bangunan gereja di dalam komplek Alhambra
Sumber: https://travelistanotes.wordpress.com/2017/04/05/jejak-peradaban-islam-di-granada/
Choose EmoticonEmoticon