Pengamat sejarah Deddy Effendie menyatakan, sebagian besar buku sejarah Indonesia tentang penyebaran agama Islam di Tatar Sunda dihubungkan dengan tokoh fatahilah sebagai utusan Demak, yang diidentikan dengan Sunan Gunung Jati pendiri Kesultanan Cirebon ketika pemerintahan Padjadjaran dikuasai Prabu Surawisesa atau Ratu Sangiang (1521-1535 M).
Surawisesa pamannya Sunan Gunung Jati sedangkan Sunan Gunung Jati adalah cucu Prabu Siliwangi atau Sri Baduga Maharaja Ratu Haji di Pakuan Padjadjaran Sri Sang Ratu Dewata, dari Lara Santang yang sejak balita mendapatkan pendidikan Islam dari ibunya Subanglarang, ujar Deddy Effendie kepada garut.go.id di Garut, Selasa.
Dia menyebutkan, Istri Prabu Siliwangi yang dikenal Nyi Mas Sindangksih, Subanglarang dan Nyi Mas Kentringmanik Mayang Sunda, Subanglarang melahirkan tiga orang anak terdiri Walangsungsang, Lara Santang dan Raden Sangara, kemudian Kentringmanik Mayang Sunda melahirkan putra Mahkota yang menjadi Raja Padjadjaran generasi kedua yakni Prabu Surawisesa.
Sementara itu, Raden Walangsungsang memiliki banyak nama antara lain Maulana Ifdil Hanafi, Haji Tan Eng Hoat, Haji Abdullah Iman atau Sunan Rohmat atau Sunan Godok atau Kean Santang.
Tokoh inilah yang disebut-sebut dari sumber tradisi Garut sebagai putra Raja Padjadjaran (Prabu Siliwangi) yang berselisih paham tentang keyakinan agama, tapi akhirnya mereka bersepakat Kean Santang diberi keleluasaan untuk menyebarkan agama Islam di seluruh wilayah Kerajaan Padjadjaran, petilasan yang bertalian dengan Kean Santang berada di Godog Garut berupa makam, gunung Nagara berupa bekas pertahanan dan di Cilauteureun.
Menurut Deddy Effendie, berdasarkan sumber tradisi Garut diceriterakan Kean Santang di Islam- kan oleh Syaidina Ali (Ali bin Abi Thalib) dan memiliki pedang Nabi Besar Muhammad SAW.
Dari keterangan itu, kita dihadapkan pada kebingungan luar biasa seperti Prabu Siliwangi hidup pada abad ke 15-16 M atau menjadi penguasa Pakuan Padjadjaran pada 1482-1521 M, sedangkan Ali bin Abi Thalib hidup pada zaman Rasulallah yakni permulaan tahun Hijrah atau abad ke-6 M (579 M).
Maka, rentang waktu 10 abad itu tidak masuk akal, terlebih lagi adanya anggapan bahwa Prabu Siliwangi menentang Islam, padaghal istrinya Islam.
“Info Terbaru”
Berdasarkan informasi terbaru dari tokoh Ulama Mesir yang dikemukakan kepada Ir H. Dudung Fathirrohman menyatakan, Ali bin Abi Thalib dalam pertempuran menalukkan Cyprus, Tripoli dan Afrika Utara, serta dalam membangun kekuasaan Muslim di Iran, Afghanistan dan Sind (644-650 M) mendapatkan bantuan dari seorang tokoh asal Asia Timur Jauh.
Maka jika meneliti naskah Pangeran Wangsakerta besar kemungkinan Tokoh dari Asia Timur Jauh itu adalah Prabu Kretawarman (561-628 M) Maharaja Tarumanagara generasi VIII yang memiliki dua orang putri, pertama Putri dari Calankayana, dan istri yang kedua berasal dari Sumatera tidak memiliki anak sehingga menangkat anak kemudian diakuinya sebagai anaknya sendiri bernama Brajagiri.
Kretawarman merasa dirinya mandul, tahta Kerajaan diwariskan kepada adiknya Prabu Sudawarman padahal sesungguhnya tanpa disadari sempat memiliki keturunan dari anak seorang pencari kayu bakar (wwang amet samidha) Ki Prangdami bersama istrinya Nyi Sembada tinggal di dekat hutan Sancang di tepi Sungai Cikaengan Pesisir Pantai selatan Garut.
Putrinya Setiawati dinikahi Kretawarman yang hanya digaulinya selama sepuluh hari, setelah itu ditinggalkan dan mungkin dilupakan.
Setiawati merasa dirinya dari kasta sundra, tidak mampu menuntut kepada suaminya seorang Maharaja, ketika mengandung berita kehamilannya tidak pernah dilaporkan kepada suaminya hingga melahirkan anak laki-laki yang ketika melahirkan meninggal dunia.
Anaknya oleh Ki Parangdami dopanggil Rakeyan mengingat keturunan seorang Raja, kelak Rakeyan dari Sancang itu pada usia 50 tahun pergi ke tanah suci hanya untuk menjajal kemampuan “kanuragan” Syaidina Ali(42) yang dikabarkan memiliki kesaktian ilmu perang/ ilmu berkelahi yang tinggi.
Sumber lainnya menyebutkan (640 M) Rakeyan Sancang tidak sempat berkelahi dengan Syaidina Ali namun menyatakan kalah akibat tidak mampu mencabut tongkat Syaidina Ali yang hanya menancap di tanah berpasir.
Sejak itulah Rakeyan Sancang menyatakan dirinya masuk Islam kemudian meneruskan berguru kepada Syaidina Ali, ujar Deddy effendie.
Di pesisir selatan wilayah Tarumanagara (Cilauteureun, Leuweung / hutan Sancang dan gunung Nagara) secara perlahan Islam diperkenalkan oleh Rakeyan Sancang yang ketika itu yang mau menerima Islam sedikit sekali.
Upaya Rakeyan Sancang menyebarkan Islam terdengar oleh Prabu Sudawarman, yang dinilai bisa mengganggu stabilitas pemerintahan, timbulah pertempuran yang ketika itu Senapati Brajagiri (anak angkat Sang Kretawarman) turut memimpin pasukan.
Rakeyan Sancang unggul, Prabu Sudawarman sempat melarikan diri yang dikejar Rakeyan Sancang, tapi tusuk konde Rakeyan Sancang jatuh pertempuran terhenti kemudian mereka saling menceriterakan silsilah sehingga ada pengakuan Rakeyan Sancang anak Sang Kretawarman.
Peristiwa tersebut berkembang menjadi ceritera dari mulut ke mulut yang menyatakan Kean Santang mengejar Prabu Siliwangi untuk di Islam-kan.
Kisah Rakeyan Sancang itupun setelah sepuluh abad kemudian terungkap kembali, ketika Walangsungsang dari Cirebon menyusuri sungai Cimanuk sampai ke hulu sungai kemudian menemukan pedang yang disebut-sebut sebagai pedang Nabi Muhammad SAW, pedang itu milik Rakeyan Santang atau Kean Santang, pemberian Ali bin Abi Thalib ketika membantu Ali dalam peperangan menagakkan Syariat Islam, Walahualam, kata Deddy Effendie mengakhiri paparan telaahan sejarahnya itu.
Sumber: jolok
Choose EmoticonEmoticon