Makalah Bimbingan dan Konseling sebagai Profesi
BAB II
PEMBAHASAN
BIMBINGAN DAN KONSELING SEBAGAI PROFESI
A. Pengertian dan ciri-ciri profesi
Istilah “profesi” memang selalu menyangkut pekerjaan, tetapi tidak semua pekerjaan dapat disebut profesi. Untuk mecegah kesimpang-siuran tentang arti profesi dan hal-hal yang bersangkut paut dengan itu, berikut ini dikemukakan beberapa istilah dan ciri-ciri profesi. “Profesi” adalah suatu jabatan atau pekerjaan yang menuntut keahlian dari para petugasnya. Artinya, pekerjaan yang disebut profesi, tidak bisa dilakukan oleh orang yang tidak terlatih dan tidak disiapkan secara khusus terlebih dahulu untuk melakukan pekerjaan itu.[1]
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut.[2] Secara estimologi, istilah profesi berasal dari bahasa Inggris yaitu profession atau bahasa latin profecus yang artinya mengakui, adanya pengakuan, menyatakan mampu, atau ahli dalam melakukan suatu pekerjaan. Sedangkan secara terminologi, profesi berarti suatu pekerjaan yang mempersyaratkan pendidikan tinggi bagi pelakunya yang ditekankan pada pekerjaan mental; yaitu adanya persyaratan pengetahuan teoritis sebagai instrumen untuk melakukan perbuatan praktis, bukan pekerjaan manual.[3]
Jadi suatu profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Kata Profesi dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia diartikan sebagai bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (ketrampilan, kejuruan, dsb) tertentu. Di dalam profesi dituntut adanya keahlian dan etika khusus serta standar layanan. Pengertian ini mengandung implikasi bahwa profesi hanya dapat dilakukan oleh orang-orang secara khusus di persiapkan untuk itu. Dengan kata lain profesi bukan pekerjaan yang dilakukan oleh mereka yang karena tidak memperoleh pekerjaan lain. Profesi adalah suatu pekerjaan yang dalam melaksanakan tugasnya memerlukan/menuntut keahlian (expertise), menggunakan teknik-teknik ilmiah, serta dedikasi yang tinggi. Keahlian diperoleh dari lembaga pendidikan yang khusus diperuntukkan untuk itu dengan kurikulum yang dapat dipertanggungjawabkan.[4]
Profesi mempunyai dua pengertian yaitu janji/ikrar dan pekerjaan. Bila artinya dibuat dalam pengertian yang lebih luas menjadi kegiatan “apa saja” dan “siapa saja” untuk memperoleh nafkah yang dilakukan dengan suatu keahlian tertentu. Sedangkan dalam arti sempit profesi berarti kegiatan yang dijalankan berdasarkan keahlian tertentu dan sekaligus dituntut daripadanya pelaksanaan norma-norma sosial dengan baik. Profesi merupakan kelompok lapangan kerja yang khusus melaksanakan kegiatan yang memerlukan ketrampilan dan keahlian tinggi guna memenuhi kebutuhan yang rumit dari manusia, di dalamnya pemakaian dengan cara yang benar akan ketrampilan dan keahlian tinggi, hanya dapat dicapai dengan dimilikinya penguasaan pengetahuan dengan ruang lingkup yang luas, mencakup sifat manusia, kecenderungan sejarah dan lingkungan hidupnya serta adanya disiplin etika yang dikembangkan dan diterapkan oleh kelompok anggota yang menyandang profesi tersebut.[5]
Profesi merupakan bagian dari pekerjaan, namun tidak setiap pekerjaan adalah profesi. Seorang petugas staf administrasi bisa berasal dari berbagai latar ilmu, namun tidak demikian halnya dengan Akuntan, Pengacara, Dokter yang membutuhkan pendidikan khusus. Profesi merupakan suatu pekerjaan yang mengandalkan keterampilan dan keahlian khusus yang tidak didapatkan pada pekerjaan-pekerjaan sebelumnya. Secara tradisional ada 4 profesi yang sudah dikenal yaitu kedokteran, hukum, pendidikan, dan kependetaan.[6]
Ada beberapa istilah yang berkaitan dengan profesi, antara lain :
· Profesi adalah jabatan yang menuntut keahlian seseorang walau profesi tersebut tidak bersifat komersial.
· Profesional mengacu pada dua hal yaitu, pertama orang yang menyandang suatu profesi. Kedua, penanpilan seorang dalam melakukan pekerjaan sesuai profesinya.
· Profesionalisme adalah suatu tingkah laku, suatu tujuan atau suatu rangkaian kwalitas yang menandai atau melukiskan coraknya suatu “profesi”. Profesionalisme mengandung pula pengertian menjalankan suatu profesi untuk keuntungan atau sebagai sumber penghidupan.
· Profesionalitas merupakan kemampuan sikap seorang anggota profesi untuk bertindak secara professional.
· Profesionalisasi meruju kepada suatu proses pengembangan keprofesionalan para anggota suatu profesi.[7]
B. Ciri-ciri Profesi
Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu :
1. Adanya pengetahuan khusus, yang biasanya keahlian dan keterampilan ini dimiliki berkat pendidikan, pelatihan dan pengalaman yang bertahun-tahun.
2. Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi. Hal ini biasanya setiap pelaku profesi mendasarkan kegiatannya pada kode etik profesi.
3. Mengabdi pada kepentingan masyarakat, artinya setiap pelaksana profesi harus meletakkan kepentingan pribadi di bawah kepentingan masyarakat.
4. Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi. Setiap profesi akan selalu berkaitan dengan kepentingan masyarakat, di mana nilai-nilai kemanusiaan berupa keselamatan, keamanan, kelangsungan hidup dan sebagainya, maka untuk menjalankan suatu profesi harus terlebih dahulu ada izin khusus.
5. Kaum profesional biasanya menjadi anggota dari suatu profesi.
6. Lebih mementingkan pelayanan kemanusiaan yang ideal dibandingkan dengan kepentingan pribadi.[8]
Di lain pihak, D. Westby Gibson (1965) menjelaskan ada empat ciri yang melekat pada profesi,[9]yaitu :
1. Pengakuan oleh masyarakat terhadap layanan tertentu yang hanya dapat dilakukan oleh kelompok pekerja dikategorikan sebagai suatu profesi.
2. Dimilikinya sekumpulan bidang ilmu yang menjadi landasan sejumlah teknik dan prosedur yang unik.
3. Diperlukannya persiapan yang sengaja dan sistematik sebelum orang mampu melaksanakan suatu pekerjaan professional.
4. Dimilikinya organisasi profesional yang disamping melindungi kepentingan anggotanya dari saingan kelompok luar, juga berfungsi tidak saja menjaga, akan tetapi sekaligus selalu berusaha meningkatkan kualitas layanan kepada masyarakat, termasuk tindak-tindak etis profesional kepada anggotanya.
C. Pengembangan Profesi Bimbingan dan Konseling
Diyakini bahwa pelayanan bimbingan dan konseling adalah suatu profesi yang dapat memenuhi ciri-ciri dan persyaratan tersebut diatas. Namun, berhubung dengan perkembangannya yang masih tergolong baru, terutama di Indonesia, dewasa ini pelayanan bimbingan dan konseling belum sepenuhnya mencapai persyaratan yang diharapkan. Sebagai profesi yang handal, bimbingan dan konseling masih perlu dikembangkan, bahkan diperjuangkan.[10]
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui standardisasi untuk kerja profesional konselor dan standardisasi penyiapan konselor.[11]
1. Standardisasi Unjuk Kerja Profesional Konselor
Masih banyak orang yang memandang bahwa pekerjaan dan bimbingan dan konseling dapat dilakukan oleh siapa pun juga, asalkan mampu berkomunikasi dan berwawancara. Anggapan lain mengatakan bahwa pelayanan bimbingan dan konseling semata-mata diarahkan kepada pemberian bantuan berkenaan dengan upaya pemecahan masalah dalam arti yang sempit saja. Ini jelas merupakan anggapan yang keliru. Sebagaimana telah diuraikan pada makalah sebelumnya bahwa pelayanan bimbingan dan konseling tidak semata-mata diarahkan kepada pemecahan masalah saja, tetapi mencakup berbagai jenis layanan dan kegiatan yang mengacu pada terwujudnya fungsi-fungsi yang luas.
Berbagai jenis bantuan dan kegiatan menuntut adanya unjuk kerja profesional tertentu. Di Indonesia memang belum ada rumusan tentang unjuk kerja profesional konselor yang standar. Usaha untuk merintis terwujudnya rumusan tentang unjuk kerja itu telah dilakukan oleh Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia (IPBI) pada Konvensi Nasional VII IPBI di Denpasar, Bali (1989). Upaya ini lebih dikonkretkan lagi pada Konvensi Nasional VIII di Padang (1991). Rumusan unjuk kerja yang pernah disampaikan dan dibicarakan dalam konvensi IPBI di Padang itu dapat dilihat pada lampiran.
Walaupun rumusan butir-butir (sebanyak 225 butir) itu tampak sudah terinci, namun pengkajian lebih lanjut masih amat perlu dilakukan untuk menguji apakah butir-butir tersebut memang sudah tepat sesuai dengan kebutuhan lapangan, serta cukup praktis dan memberikan arah kepada para konselor bagi pelaksanaan layanan terhadap klien. Hasil pengkajian itu kemungkinan besar akan mengubah, menambah merinci rumusan-rumusan yang sudah ada itu.
2. Standardisasi Penyiapan Konselor
Tujuan penyiapan konselor ialah agar para (calon) konselor memiliki wawasan dan menguasai serta dapat melaksanakan dengan sebaik-baiknya materi dan ketrampian yang terkandung di dalam butir-butir rumusan unjuk kerja. Penyiapan konselor itu dilakukan melalui program pendidikan prajabatan, program penyetaraan, ataupun pendidikan dalam jabatan (seperti penataran). Khusus tentang penyiapan konselor melalui program pendidikan dalam jabatan, waktunya cukup lama, dimulai dari seleksi dan penerimaan calon peserta didik yang akan mengikuti program sampai para lulusannya diwisuda. Program pendidikan pra jabatan konselor adalah jenjang pendidikan tinggi.
Seleksi/Penerimaan Peserta didik atau pemilihan calon peserta didik merupakan tahap awal dalam proses penyiapan konselor. Kegiatan ini memegang peranan yang amat penting dan menentukan dalam upaya pemerolehan calon konselor yang diharapkan. Bukanlah bibit yang baik akan menghasilkan buah yang baik pula? Komisi tugas, standar, dan kualifikasi konselor Amerika Serikat (Dalam Mortensen & Schmuller, 1976) mengemukakan syarat-syarat pribadi yang harus dimiliki oleh konselor sebagai berikut : Untuk dapat melaksanakan tugas-tugas dalam bidang bimbingan dan konseling, yaitu unjuk kerja konselor secara baik (calon) konselor dituntut memiliki pengetahuan, ketrampilan, dan sikap yang memadai. Pengetahuan, ketrampilan, dan sikap tersebut diperoleh melalui pendidikan khusus.
Untuk pelayanan profesional bimbingan dan konseling yang didasarkan pada jenjang dan jenis pendidikan tertentu, maka pengetahuan, sikap dan ketrampilan konselor yang (akan) ditugaskan pada sekolah tertentu itu perlu disesuiakan dengan berbagai tuntutan dan kondisi sasaran layanan, termasuk umur, tingkat pendidikan, dan tahap perkembangan anak.[12]
D. Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam profesi BK
1. Memahami secara mendalam konseli yang hendak dilayani
Menghargai dan menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan, individualitas, kebebasan memilih, dan mengedepankan kemaslahatan konseli dalam konteks kemaslahatan umum:
· Mengaplikasikan pandangan positif dan dinamis tentang manusia sebagai makhluk spiritual, bermoral, sosial, individual, dan berpotensi;
· Menghargai dan mengembangkan potensi positif individu pada umumnya dan konseli pada khususnya;
· Peduli terhadap kemaslahatan manusia pada umumnya dan konseli pada khususnya;
· Menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia sesuai dengan hak asasinya;
· Toleran terhadap permsalahan konseli,
· Bersikap demokratis
2. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling.
3. Menguasai landasan teoritik bimbingan dan konseling :
· Menguasai ilmu pendidikan dan landasan keilmuannya;
· Mengimplementasikan prinsip-prinsip pendidikan dan proses pembelajaran;
· Menguasai landasan budaya dalam praksis pendidikan
4. Menguasai esensi pelayanan bimbingan dan konseling dalam jalur, jenjang, dan jenis satuan pendidikan:
· Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jalur pendidikan formal, non formal, dan informal;
· Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenis pendidikan umum, kejuruan, keagamaan, dan khusus;
· Menguasai esensi bimbingan dan konseling pada satuan jenjang pendidikan usia dini, dasar dan menengah.
E. Perkembangan Gerakan bimbingan di Indonesia
Pada dasarnya terdapat tiga periode perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia yakni periode prawacana (1960-1970), periode pemasyarakatan (1970-1990), periode konsolidasi (1990-sekarang). Dalam beberapa tahun terakhir ini organisasi profesi bimbingan dan konseling di Indonesia ABKIN (dulunya IPBI) beserta segenap pakar dan ahli di bidang bimbingan dan konseling mengupayakan beberapa hal yang sangat signifikan pengaruhnya terhadap perkembangan profesi BK di Indonesia yakni yang berkaitan dengan penataan pendidikan profesional konselor dan penataan pedoman penyelenggaraan layanan bimbingan dan konseling dalam jalur pendidikan formal.
Konteks tugas dan ekspektasi kerja konselor yang semula sangat minim ditemukan dalam UU No. 20 tahun 2003 tentang sisdiknas, bahkan tidak tercantum dalam PP No. 19 Tahun 2005 tentang standar nasional pendidikan maupun PP No. 14 Tahun 2005 tentang Guru dan Dosen, perlahan mulai dimunculkan ke permukaan melalui sejumlah pergerakan-pergerakan.
Salah satu hasil dari pergerakan tersebut, adalah dengan diterbitkannya PP No. 74 tahun 2008 tentang guru, dalam PP tersebut dicantumkan dengan jelas mengenai deskripsi tugas guru BK atau konselor (terkait dengan peserta didik), jenis layanan yang diberikan oleh guru BK atau konselor beserta kegiatan pendukungnya, beban kerja minimum guru BK, dan juga tugas pengawas BK. Hal tersebut menandakan bahwa bimbingan dan konseling telah memiliki deskripsi tugas tersendiri sebagai salah satu syarat sebuah profesi.
Sejalan dengan makin jelasnya tugas konselor dalam ranah pendidikan formal, maka skenario lain dirancang untuk mencapai peningkatan profesionalisme konselor di Indonesia, salah satunya adalah dengan merintis program pendidikan profesi bimbingan dan konseling. Pendekatan pendidikan profesi bimbingan dan konseling dapat dilakukan melalui program sertifikasi, akreditasi, dan kredensialisasi. Sertifikasi dan akreditasi diberikan oleh LPTK yang memiliki program khusus dalam bidang bimbingan dan konseling, misalnya oleh perguruan tinggi. Sertifikasi kompetensi konselor mengarah pada profil kemampuan konselor, sedangkan lisensi konselor mengatur aspek legalisasi praktik konselor. Sertifikat diberikan oleh LPTK yang memiliki program khusus, sedangkan lisensi konselor diberikan oleh asosiasi profesi (di Indonesia diberikan oleh ABKIN).
Berdasarkan penelaahan yang cukup kritis terhadap perjalanan historis gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia, perkembangan gerakan bimbingan dan konseling di Indonesia melalui empat periode yaitu :
1. Prawacana (sebelum 1960 sampai 1970-an)
Pada perioode ini pembicaraan tentang bimbingan dan konseling telah dimulai,terutama oleh para pendidik yang telah mempelajari diluar negeri dengan dibukanya juruan bimbingan dan penyuluhan di UPI Bandung pada tahun 1963. Pembukaan jurusan ini menandai dimulainya periode kedua yang secara tidak langsung memperkenalkan bimbingan dan penyuluhan kepada masyarakat,akademik,dan pendidikan. Kesuksesan periode ini ditandai dengan diluluskannya sejumlah sarjana BP dan semakin dipahami dan dirasakan kebutuhan akan pelayanan tersebut.
2. Pemasyarakatan (1970 sampai 1990-an)
Pada periode ini diberlakukan kurikulum 1975 untuk sekolah dasar sampai sekolah menengah tingkat atas dengan mengintregasikan layanan BP untuk siswa.Pada tahun ini terbentuk organisasi profesi BP dengan nama IPBI (Ikatan Petugas Bimbingan Indonesia).Pda periode ketiga ini ditandai dengan berlakunya kurikulum 1984 yang difokuskan pda bimmbingan karir.Pada periode ini muncul beberapa masalah seperti:berkembangnya pemahaman yang keliru yaitu mengidentikan bimbingan karir (BK) dengan BP sehingga muncul istilah BP/BK,kerancuan dalam mengimplementasikan SK Menpa no 26 tahun 1989 terhadap penyelenggaraan bimbingan di sekolah yang menyatakan bahwa semua guru dapat diserahi tugas melaksanakan pelayanan BP yang mengakibatkan pelayanan BP menjaddi kabur baik pemahaman maupun mengimplementasikannya.
3. Konsolidasi (1990-2000)
Pada periode ini IPBI berusaha keras untuk mengubah kebijakan bahwa pelayanan BP itu dapat dilaksanakan oleh semua guru yang ditandai dengan :
· Diubahnya secara resmi kata penyuluhan menjadi konseling istilah yang dipakai sekarang adalah bimbingan dan konseling “BK”.
· Pelayanan BK disekolah hanya dilaksanakan oleh guru pembimbing yang secara khusus ditugasi untuk itu.
· Mulai diselenggarakan penataran (nasional dan daerah) untuk guru-guru pembimbing
· Mulai adanya formasi untuk mengangkat menjadi guru pembimbing
· Dalam bidang pengawasan sekolah dibentuk bidang pengawaan BK
· Dikembangkannya sejumlah panduan pelayanan BK disekolah yang lebih operasional oleh IPBI.[13]
BAB III
PENUTUP
A. Simpulan
Profesi adalah pekerjaan yang membutuhkan pelatihan dan penguasaan terhadap suatu pengetahuan khusus. Suatu profesi biasanya memiliki asosiasi profesi, kode etik, serta proses sertifikasi dan lisensi yang khusus untuk bidang profesi tersebut. Profesi harus memiliki tiga pilar pokok, yaitu pengetahuan, keahlian, dan persiapan akademik. Secara umum ada beberapa ciri atau sifat yang selalu melekat pada profesi, yaitu ; Adanya pengetahuan khusus, Adanya kaidah dan standar moral yang sangat tinggi, Mengabdi pada kepentingan masyarakat, Ada izin khusus untuk menjalankan suatu profesi.
Pengembangan profesi bimbingan dan konseling antara lain melalui standardisasi untuk kerja profesional konselor dan standardisasi penyiapan konselor. Perkembangan Gerakan bimbingan di Indonesia Pada dasarnya terdapat tiga periode perkembangan bimbingan dan konseling di Indonesia yakni periode prawacana (1960-1970), periode pemasyarakatan (1970-1990), periode konsolidasi (1990-sekarang).
B. Kritik & Saran
Dari makalah kami yang singkat ini mudah-mudahan dapat bermanfaat bagi kita semua umumnya kami pribadi. Yang baik datangnya dari Allah, dan yang buruk datangnya dari kami. Dan kami sedar bahwa makalah kami ini jauh dari kata sempurna, masih banyak kesalahan dari berbagai sisi, jadi kami harafkan saran dan kritik nya yang bersifat membangun, untuk perbaikan makalah-makalah selanjutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010.
Syamsu Yusuf, Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys, 2005, hal :107
[1] Syamsu Yusuf, Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys, 2005, hal :103
[2] Dikutip dari : http://id.wikipedia.org/wiki/Profesi
[3] Dikutip dari : http://www.kawan-kuliah.com/download/semester%20VII/etika%20danprofesi/etika
[4] Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010,hal : 32
[5] Syamsu Yusuf, Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys, 2005, hal :107
[6] Dikutip dari : http://www.kawan-kuliah.com/download/semester%20VII/etika%20danprofesi/etika
[7] http://himitsuqalbu.wordpress.com/2011/11/15/bimbingan-dan-konseling-sebagai-profesi/
[8] Syamsu Yusuf, Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys, 2005, hal :110-112
[9] http://himitsuqalbu.wordpress.com/2011/11/15/bimbingan-dan-konseling-sebagai-profesi/
[10] Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010,hal :40
[11] Syamsu Yusuf, Program Bimbingan dan Konseling di Sekolah/Madrasah. Bandung : CV Bani Qureys,2005,hal :113
[12] http://akhmadsudrajat.wordpress.com/2008/02/17/kompetensi-konselorguru-bk/
[13] Syamsu Yusuf & Juntika Nurihsan, Landasan Bimbingan & Konseling, Bandung : Remaja Rosdakarya, 2010,hal : 54-59
sumber:http://rudisiswoyo89.blogspot.co.id/2013/11/makalah-bimbingan-dan-konseling-sebagai.html
Choose EmoticonEmoticon