Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru - Kota Bertuah
Sejarah berdirinya Kota Pekanbaru diawali dengan cerita panjang yang menemani perjalanan perkembangannya. Kota yang memiliki termparatur panas ini mempunyai pesona tersendiri untuk menarik perhatian masyarakat kota lain untuk berkunjung. Hal itulah yang kemudian menyebabkan keberagaman suku di kota ini berkembang. Banyak masyarakat suku dan budaya lain bermigrasi ke Ibukota Provinsi Riau ini. Hasilnya selain suku aslinya yakni Suku Melayu, Pekanbaru juga ditinggali oleh beberapa suku lain. Di antaranya Minang, Jawa, Batak dan Tionghoa.
Namun, keberagaman tersebut tidak menimbulkan perpecahan di kota ini. Warga Pekanbaru hidup dengan rukun dan damai dalam menjalankan aktivitasnya. Apabila dilihat pada waktu sekarang ini, kota Pekanbaru nampak megah karena berdirinya gedung-gedung yang bertingkat lagi mewah. Namun, tahukah kalian apabila sebenarnya pekanbaru pada zaman dahulu adalah sebuah kerajaan? Jadi bagaimana sebenarnya sejarah kota pekanbaru dari duhulu hingga seperti saat ini? Berikut ini adalah ulasan mengenai sejarah Kota Pekanbaru.
Sejarah Berdirinya Kota Pekanbaru
Tidak ada yang tahu pasti mengenai asal mula dari sejarah berdirinya Kota Pekanbaru. Kota Pekanbaru diperkirakan sudah ada sejak abad ke-15 Masehi. Kota yang berjuluk Kota Bertuah ini bermula dari sebuah kampung yang berada di aliran Sungai Siak yang bernama Payung Sekaki. Pada awalnya, Payung Sekaki ini hanyalah sebuah ladang. Namun, akhirnya berkembang menjadi sebuah kampung. Adapun suku yang bermukim di sana adalah Suku Sinapelan yang mempunyai seorang kepala suku dengan sebutan Batin.
Daerah yang dulunya bernama Payung Sekaki ini kemudian berubah nama menjadi Batin Senapelan yang lebih dikenal dengan Senapelan atau Chinapelan. Namun juga ada yang menyebutnya Sungai Pelam. Wilayah Senapelan ini kemudian dipimpin oleh seorang Bujang Sayang. Seiring berjalannya waktu, wilayah kekuasaan yang dipimpin oleh Bujang Sayang ini meluas ke berbagai daerah. Hal tersebut tentu saja menimbulkan persaingan dengan negeri Petapahan yang terletak di Muara Sungai Tapung.
Di sisi lain, Portugis pada tahun 1511 M berhasil menaklukkan Malaka. Kekalahan Malaka inilah yang kemudian membuat perpindahan pusat pemerintahan ke Djohor-Riau. Akibatnya Senapelan juga terkena dampaknya dengan menjadi tempat penumpukan komoditi perdagangan. Baik itu yang berasal dari luar maupun dari pedalaman. Kondisi tersebut berlangsung hingga tahun 1721.
Pada satu tahun berikutnya, berdirilah sebuah kerajaan yang bernama Siak Sri Indrapura. Pada kala itu, Senapelan/Pekanbaru dipilih untuk menjadi Ibukota Kerajaan Siak. Hal itu menyebabkan Senapelan menjadi pintu gerbang perdagangan dan pelabuhannya terletak di Teratak Buluh. Sultan Siak Alamuddinsyah kemudian merintis berdirinya pekan di Senapelan. Sejak saat itu tepatnya Selasa 21 Rajab 1204 H atau 23 Juni 1784 M nama Senapelan berganti menjadi Pekan Baharu.
Pada tahun 1765, Sultan meninggal dunia yang kemudian digantikan oleh putranya yang bernama Raja Muhammad Ali bergelar Sultan Muhammad Ali Abdul Jalil Muazamsya. Namun, di bawah kepemimpinan putranya pengembangan Pekan berjalan lambat. Hal itu menyebabkan pemindahan lokasi ke tempat yang baru yaitu di Pelabuhan sekarang.
Sedangkan, Pekan Baharu yang lebih sering disebut Pekanbaru pada tahun 1784 ditetapkan menjadi Ibukota Siak. Sejak saat itu, resmilah Pekanbaru menjadi ibukota provinsi dari sepuluh provinsi Kerajaan Siak. Menurut kitab Babul Qawaid (Pintu segala pegangan), kerajaan Siak dibagi menjadi 10 propinsi, salah satunya Provinsi Pekanbaru.
Provinsi Pekanbaru ini dikepalai oleh Datuk Syahbandar yang mempunyai kewenangan sebagai kepala pemerintahan, kehakiman bahkan kepolisian. Kedudukan Pekanbaru sebagai ibukota provinsi bertahan sampai tahun 1916.
Selanjutnya, pada tahun 1916-1942 Pekanbaru sebagai kedudukan districthoop yang dipimpin oleh Datuk Pesisir Muhammad Zen. Jabatan Disricthoop dan Onderdistricthoop ini memegang kekuasaan pemerintahan, kehakiman dan juga kepolisian. Selain itu, juga ada jabatan jaksa, ajun jaksa dan cranie (juru tulis).
Ketika pemerintahan Siak berada di bawah kepemimpinan Sultam Hasyim mulailah masuk pengusaha-pengusaha Belanda. Mereka membuka kebun karet di selatan kota Pekanbaru yaitu kebun karet Sukajadi dan kebun karet Cinta Raja. Area perkebunan tersebut berada di Kampung Dalam, Kampung Baru, Kampung Bukit, serta kampung lainnya di sepanjang Sungai Siak.
Pertambahan penduduk yang terjadi di Pekanbaru diarahkan untuk membuka usaha pertanian meliputi perkebunan gambir, lada serta karet. Selain itu, komoditi lainnya yang juga dikembangkan lainnya adalah hasil hutan diantaranya rotan, damar, kayu, getah, perca dan sebagainya. Namun, Pekanbaru tidak mempunyai hasil untuk kebutuhan yang menyebabkan semua keperluan itu harus didatangkan dari Singapura. Kemudian, pada tahun 1930 kedudukan Controluer juga dipindahkan dari Kampar Kiri ke Pekanbaru.
Perkembangan yang cukup pesat inilah yang kemudian mendorong penduduk untuk membangun gedung-gedung toko di Pasar Bawah, rumah penduduk di pinggir jalan. Pada masa kekuasaan Districthoop Datuk Wan Abdurrakhman, perluasan kota pun dilakukan. Kali ini perluasan dilakukan ke arah timur menuju Sungai Sail, yaitu dari RRI ke jalan Datuk (sekarang). Selain itu, juga dirintis jalan ke selatan, akan tetapu belum telaksanan akibat pecahnya Perang Asia Timur Raya.
Pada masa penjajahan Jepang, Pekanbaru yang diduduki oleh Jepang dijadikan ibukota pemerintahan militer Jepang untuk daerah Riau Daratan dan disebut dengan Riau Syu. Riau Syu ini dipimpin oleh seorang yang disebut Cokang. Kedudukan Pekanbaru dapat disejajarkan dengan ibukota Provinsi militer. Akibatnya, pemerintahan sultan-sultan dan raja-raja pun dibekukan.
Pada tahun 1945, berita mengenai proklamasi kemerdekaan juga diterima di pekanbaru. Kemudian ditunjuklah Aminuddin sebagai residen, namun beliau justru tidak menerima dan malah masuk ke pihak Belanda. Hal tersebut tidak membuat pemuda-pemuda PTT gentar, mereka tetap bertekad untuk pantang mundur.
Pekanbaru ditetapkan menjadi daerah otonomi disebut Haminte atau Kota B melalui kpts tgl. 17 Mei 1946 No. 103. Selanjutnya berdasarkan Penetapan Komisaris Negara Urusan Dalam Negeri tgl.28 Nopember 1947, No.13/DP yang menetapkan batas-batas Kota B : sebelah Utara adalah sungai Siak, sebelah Selatan adalah Sungai Nyamuk, sebelah timur adalah Sungai Sail dan sebelah barat adalah sungai Air Hitam.
Pekanbaru menjadi Ibu Kota Provinsi Riau, dalam status Kotamadya, Kota Besar/Bandaraya (Metropolitan Perjuangan rakyat Riau untuk menjadikan Riau sebagai provinsi daerah otonomi swatantra tingkat I sejak tahun 1954). Puncaknya, diselenggarakanlah Kongres Riau di Pekanbaru pada 31 Januari s/d 2 Februari 1956 yang memutuskan supaya Riau dijadikan provinsi Otonom.
Pada akhirnya, perjuangan tersebut membuahkan hasil dengan ditetapkannya UU Darurat RI No.19 tahun 1957 tanggal 9 Agustus 1957 dan diundangkan tgl 10 Agustus 1957 dalam Lembaran Negara No.75. Realisasi pembentukan Provinsi Riau ini diselenggarakan sejak 5 Maret 1958 dengan dilantiknya Mr. S.M. Amin sebagai Gubernur Riau pertama di Tanjung Pinang.
Pada 12 Maret 1958, Pekanbaru dapat diduduki oleh pasukan tentara pusat di bawah pimpinan Kaharuddin Nasution. Sesuai Kawat Mentri Dalam Negeri No.15/15/6 kepada Gubernur Riau tentang meminta Dewan Penasehat Gubenur Riau segera memberikan pertimbangan kepada Mendagri tentang pemindahan ibu kota Provinsi Riau dari Tanjung Pinang ke Pekanbaru.
Berdasarkan Kawat tersebut, Gubernur kemudian menetapkan Panitia untuk menyelidiki pemindahan ibukota tersebut. Pada 20 Desember 1958, Keputusan Mendagri menetapkan bahwa Pekanbaru sebagai ibukota Provinsi Riau. Secara berangsur-angsur sejak Februari 1960 realisasi pemindahan dilakukan dan status Pekanbaru menjadi Kotamadya.
sumber : Doc. Kementerian Dalam Negeri Republik Indonesia (Kemendagri RI)
Choose EmoticonEmoticon