Makalah Pendidikan Konvensional dan Pendidikan Pesantren
BAB I
PENDAHULIAN
A. Latar Belakang
Pendidikan merupakan tolak ukur kemapanan seseorang. Selama ini pendidikan sistem konvensional merupakan pendidikan pilihan yang laris manis bagaikan pisang goreng. Mulai dari buruh pabrik sampai pejabat di negeri ini mengirimkan anak mereka kesekolah dengan dalih meraih masa depan. Namun, pertentangan pemberlakuan sistem pendidikan yang berubah-ubah menyeret pertentangan hebat dikalangan masyarakat. Mulai dari kurikulum yang berubah setiap 4 tahun sekali sampai pro-kontra UAN (Ujian Akhir Nasional). Pertentangan tersebut memunculkan fenomena pemilihan pendidikan alternatif.
Masyarakat menanggapi carut marutnya pendidikan dengan berbagai macam cara. Munculnya sekolah unggulan berbasis kebebasan berfikir sampai homeschooling. Kita disibukkan berita di media massa dengan berita mengenai profil sekolah alternatif unggulan seperti, SMA ,Sekolah Alam, Akselerasi, sampai SBI (Sekolah Berstandar Internasional). Tak kalah hebohnya para Psikolog dan praktisi pendidikan sampai kalangan selebritis mempromosikan homeschooling. Fenomena homeschooling melirik banyak orang untuk mengenalnya bahkan mengujicoba program tersebut.
Homeschooling yang berkembang di Indonesia sekarang hampir mengarah marketisasi pendidikan. Bayangkan saja Homeschooling setingkat Sekolah Menengah Atas hampir menelan biaya 10-20 juta perbulannya. Kemerdekaan berfikir akankah dibayar mahal semahal itu.
Belajar di kelas sudah menjadi rutinitas bagi setiap siswa. Belajar juga merupakan suatu kewajiban bagi mereka yang masih menyandang status sebagai seorang pelajar. Kegiatan belajar tidak hanya berlangsung di sekolah namun juga dapat berlangsung di luar sekolah. Pada umumnya waktu yang dihabiskan siswa untuk belajar di sekolah, cenderung lebih sedikit dari pada waktu yang dihabiskan di luar sekolah. Waktu yang dihabiskan siswa di sekolah hanya 7 hingga 8 jam dari 24 jam dalam sehari, dan sisanya diisi dengan berbagai kegiatan yang dilakukan di luar jam pelajaran sekolah. Seperti bermain, menjalankan hobi, menonton TV dan lain sebagainya.
Kegiatan belajar yang berlangsung di sekolah atau yang disebut dengan pembelajaran formal diatur oleh peraturan-peraturan dari pemerintah dan memiliki kurikulum yang telah ditentukan. Kurikulum pendidikan di Indonesia telah berganti selama beberapa kali. Kurikulum pendidikan yang pernah diterapkan di Indonesia diantaranya adalah KBK (Kurikulum Berbasis Kompetensi) dan KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan). KTSP yang berlaku di Indonesia saat ini memberikan ruang bagi guru untuk membuat kurikulum bagi sekolahnya masing-masing. Di satu sisi kurikululum ini dapat menjadi ruang bagi para guru yang kreatif untuk menuangkan ide-ide cemerlangnya tentang kurikulum yang tepat untuk diterapkan dalam sistem belajar mengajar sehingga mampu mencapai hasil belajar yang maksimal dari para siswanya. Namun di sisi lain bagi para guru yang kurang memiliki kreatifitas, maka perkembangan pembelajarn di sekolahnyapun akan ikut gerak jalan atau bahkan semakin menurun.
Sementara itu ujian nasional tetap diadakan dengan tujuan pemerataan pendidikan nasional. Padahal KTSP yang diterapkan dapat menyebabkan terjadinya ketidak merataan hasil pendidikan. SDM guru yang dimiliki oleh sekolah-sekolah di daerah bagian barat tentu saja jauh berbeda dengan potensi atau SDM guru yang dimiliki oleh sekolah-sekolah bagian timur, terutama daerah-daerah pelosok desa yang sekolahnya saja masih memiliki ruang kelas yang tidak layak pakai. Hal ini menunjukan perlu dilakukan suatu sinkroniisasi oleh pemerintah terkait dengan metode dan tujuan pencapain pendidikan Indonesia agar tidak menyebabkan kebingungan di kalangan orang-orang yang berkecimpung di dunia pendidikan. Semoga KTSP atau yang berupa otonomi pendidikan yang diberikan pemerintah kepada sekolah memang bertujuan untuk memberikan ruang yang lebih kepada sekolah untuk mengembangkan pembelajaran di sekolahnya dan bukan merupakan dalih pemerintah untuk lepas tangan terhadap sistem dan hasil pendidikan di Indonesia.
Pendidikan formal cenderung menekankan pembelajaran yang berada di dalam kelas yang disesuaikan dengan kurikulum yang berlaku di sekolah tersebut. Biasanya pembelajaran ini hanya akan berjalan jika ada guru dan sekelompok siswa. Terkadang guru hanya menyampaikan dan menjelaskan tentang berbagai materi dan teori-teori yang sesuai dengan kurikulum. Tak jarang ada juga guru yang masuk kelas dan menuntut siswanya untuk bertanya sebanyak-banyaknya. Penyampaian materi pembelajaran ini sebagian besar hanya bertujuan memberikan pemahaman dan pengertian tentang suatu materi. Ada juga guru yang hanya berpatokan pada soal-soal yang diprediksikannya akan muncul pada ujian ataupun ulangan umum.
Maka dari itu materi pembelajaran akan lebih terbatas dan hanya berkutat dan berpatokan pada soal-soal ujian sehingga materi yang dianggap tidak keluar pada ujian pada akhirnya akan diabaikan, biarpun materi itu sesungguhnya penting untuk menunjang kehidupan sehari-hari. Bagi guru yang menuntut siswanya untuk bertanya sebanyak-banyaknya, maka para siswa hanya akan mendapatkan materi sesuai dengan apa yang ditanyakan, tak jarang materi justru melenceng dari topik bahasan. Alhasil pengetahuan siswa kembali hanya terbatas seputar pertanyaan-pertanyaan yang diajukan saja.
B. Tujuan
Tujuan penyusunan makalah ini adalah guna memenuhi tugas terstruktur berkelompok mata kuliah Kapita Selekta Pendidikan . Dengan harapan lain, dapat menambah banyak pengalaman dan wawasan kami tentunya.
C. Perumusan Masalah
Perumusan masalah dalam makalah ini dimaksudkan untuk memberi jawaban atas pertanyaan berikut;
1. Apa yang dimaksud pendidikan Konvensional ?
2. Bagaimana awal terbentuknya aliran konvensionald indonesia?
3. Bagaimana karakteristik dan bentuk konvensional pendidikan?
4. Bagaimana konsep atau wujud sistem pendidikan konvensional ?
5. Apa yang dimaksud pesantren dan sistem pendidikan Islam?
6. Bagaimana awal berdiri dan berkembangnya pesantren?
7. Bagaimana karakteristik, dan bentuk pesantren?
8. Bagaimana konsep atau wujud sistem pendidikan Islam?
9. Bagaimana proses pesantren menjadi sistem pendidikan Islam?
10. Bagaimana peran pesantren terhadap arus globalisasi?
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Konvensional
Salah satu model pembelajaran yang masih berlaku dan sangat banyak digunakan oleh guru adalah model pembelajaran konvensional. Pembelajaran konvesional. Pembelajaran konvensional mempunyai beberapa pengertian menurut para ahli, diantaranya:
Djamarah (1996), metode pembelajaran konvensional adalah metode pembelajaran tradisional atau disebut juga dengan metode ceramah, karena sejak dulu metode ini telah dipergunakan sebagai alat komunikasi lisan antara guru dengan anak didik dalam proses belajar dan pembelajaran. Dalam pembelajaran sejarah metode konvensional ditandai dengan ceramah yang diiringi dengan penjelasan, serta pembagian tugas dan latihan.
Freire (1999), memberikan istilah terhadap pengajaran seperti itu sebagai suatu penyelenggaraan pendidikan ber “gaya bank” penyelenggaraan pendidikan hanya dipandang sebagai suatu aktivitas pemberian informasi yang harus “ditelan” oleh siswa, yang wajib diingat dan dihafal.[1]
B. Awal Terbentuknya Aliran Konvensional
1. Pendidikan Zaman Kolonial.
Sekolah pendidikan di Indonesia dimulai sejak kekuasaan Belanda yang menggantikan Portugis di Indonesia. Brugmans menyatakan pendidikan ditentukan oleh pertimbangan ekonomi dan politik di Indonesia (Nasution, 1987;3). Pendidikan dibuat berjenjang, tidak berlaku untuk semua kalangan dan berdasarkan tingkat kelas. Pendidikan lebih diutamakan untuk anak-anak Belanda, sedangkan untuk anak-anak Indonesia dibuat dengan kualitas rendah. Pendidikan bagi kaum pribumi berfungsi untuk menyediakan tenaga kerja murah yang sangat dibutuhkan oleh penguasa.
Masalah lain yang paling mendasar adalah penduduk sulit mendapatkan uang sehingga pendidikan bagi orang kurang mampu merupakan beban yang berat. Jadi pendidikan semakin sulit dijangkau oleh orang kebanyakan. Pendidikan dibuat untuk alat penguasa, orang kebanyakan menjadi target yang empuk diberi pengetahuan untuk dijadikan tenaga kerja yang murah. Pendidikan yang dibuat Belanda memiliki ciri-ciri :
a. Gradualisme yang luar biasa untuk penyediaan pendidikan bagi anak-anak Indonesia. Belanda membiarkan penduduk Indonesia dalam keadaan yang hampir sama sewaktu mereka menginjakkan kaki, pendidikan tidak begitu diperhatikan.
b. Dualisme diartikan berlaku dua sistem pemerintahan, pengadilan dari hukkum tersendiri bagi golongan penduduk. Pendidikan dibuat terpisah, pendidikan anak Indonesia berada pada tingkat bawah.
c. Kontrol yang kuat. Pemerintah Belanda berada di bawah kontrol Agubernur Jenderal yang menjalankan pemerintahan atas nama raja Belanda. Pendidikan dikontrol secara sentral, guru dan orang tua tidak mempunyai pengaruh langsung politik pendidikan.
d. Pendidikan berguna untuk merekrut pegawai. Pendidikan bertujuan untuk mendidik anak-anak menjadi pegawai perkebunan sebagai tenaga kerja murah.
e. Prinsip konkordasi yang menjaga agar sekolah di Hindia Belanda mempunyai kurikulum dan standar yang sama dengan sekolah di negeri Belanda, anak Indonesia tidak berhak sekolah di pendidikan Belanda.
f. Tidak adanya organisasi yang sistematis. Pendidikan dengan ciri-ciri tersebut hanya merugikan anak-anak yang kurang mampu. Pemerintah Belanda lebih mementingkan ekonomi daripada pengetahuan anak-anak Indonesia.
Pemerintah Belanda juga membuat sekolah desa (1907). Sekolah desa sebagai siasat untuk mengeluarkan biaya murah. Tipe sekolah desa yang dianggap cocok oleh Gubernur Jenderal Van Heutz sebagai sekolah murah dan tidak mengasingkan dari kehidupan agraris. Kalau lembaga pendidikan disamakan dengan sekolah kelas dua, pemerintah takut penduduk tidak bekerja lagi di sawah. Pendidikan pada zaman Belanda mempunyai catatan sejarah yang kelam. Penjajah membuat pendidikan sebagai alat untuk meraup keuntungan melalui tenaga kerja murah. Sekolah juga dibuat dengan biaya murah, agar tidak membebani kas pemerintah.
2. Pendidikan zaman Jepang.
Jepang membawa ide kebangkitan Asia yang tidak kalah liciknya dengan Belanda. Pendidikan semakin menyedihkan dan dibuat untuk menyediakan tenaga cuma-Cuma (romusha) dan kebutuhan prajurit demi kepentingan perang Jepang. Sistem penggolongan dihapuskan oleh Jepang. Rakyat menjadi alat kekuasaan Jepang untuk kepentingan perang. Pendidikan pada masa kekuasaan Jepang memiliki landasan idiil hakko Iciu yang mengajak bangsa Indonesia bekerja sama untuk mencapai kemakmuran bersama Asia Raya. Pelajar harus mengikuti latihan fisik, latihan kemiliiteran dan indoktrinasi yang ketat.
Kebangkitan Asia menjadi slogan omong kosong pada kenyataannya. Sejarah Belanda sampai Jepang dipahami sebagai alur penjelasan kalau pendidikan digunakan sebagai alat komoditas oleh penguasa. Pendidikan dibuat dan diajarkan untuk melatih orang-orang menjadi tenaga kerja yang murah. Runtutan penjajahan Belanda dan Jepang menjadikan pendidikan sebagai senjata ampuh untuk menempatkan penduduk sebagai pendukung biaya untuk perang melaui berbagai sumber pendapatan pihak penjajah.
3. Pendidikan dalam Masa Ki Hajar Dewantoro
Di bawah menteri pendidikan Ki Hadjar Dewantara dikembangkan pendidikan dengan sistem “among” berdasarkan asas-asas kemerdekaan, kodrat alam, kebudayaan, kebangsaan, dan kemanuasiaan yang dikenal sebagai “Panca Dharma Taman Siswa” dan semboyan “ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tut wuri handayani” (“di depan menjadi teladan, di tengah membangun semangat, dari belakang mendukung”). Semboyan ini masih tetap dipakai dalam dunia pendidikan rakyat Indonesia.
Atas jasa-jasanya dalam merintis pendidikan umum, ia dinyatakan sebagai Bapak Pendidikan Nasional Indonesia dan hari kelahirannya dijadikan Hari Pendidikan Nasional (Surat Keputusan Presiden RI no. 305 tahun 1959, tanggal 28 November 1959).
4. Pendidikan zaman kemerdekaan hingga tahun 1967.
Perubahan bersifat sangat mendasar menyangkut bidang pendidikan. Badan pekerja KNIP mengusulkan kepada kementrian pendidikan, pengajaran dan kebudayaan supaya cepat untuk menyediakan dan mengusahakan pembaruan pendidikan dan pengajaran sesuai dengan rencana pokok usaha pendidikan. Lalu pemerintah mengadakan pemberantasan buta huruf. Program buta huruf tidak mudah dilaksanakan dengan berbagai keterbatasan sumber daya, gedung sekolah dan guru. Kementrian P dan K juga mengadakan usaha menambah guru melalui kursus selama dua tahun. Jadi kegiatan pemberantasan buta huruf di pedesaan yang diprogramkan oleh pemerintah untuk menanggulangi angka buta aksara dan buta pengetahuan dasar, tetapi pendidikan kurang lebih berdampak pada rumah tangga kurang mampu.
Secara umum pendidikan orde lama sebagai wujud interpretasi pasca kemerdekaan di bawah kendali kekuasaan Soekarno cukup memberikan ruang bebas terhadap pendidikan. Pemerintahan yang berasaskan sosialisme menjadi rujukan dasar bagaimana pendidikan akan dibentuk dan dijalankan demi pembangunan dan kemajuan bangsa Indonesia di masa mendatang. Pada prinsipnya konsep sosialisme dalam pendidikan memberikan dasar bahwa pendidikan merupakan hak semua kelompok masyarakat tanpa memandang kelas sosial. Pada masa ini Indonesia mampu mengekspor guru ke negara tetangga, dan banyak generasi muda yang disekolahkan di luar negeri dengan tujuan agar mereka kelak dapat kembali ke tanah air untuk mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat. Tidak ada halangan ekonomis yang merintangi seseorang untuk belajar di sekolah, karena diskriminasi dianggap sebagai tindakan kolonialisme. Pada saat inilah merupakan suatu era di mana setiap orang merasa bahwa dirinya sejajar dengan yang lain, serta setiap orang memiliki hak untuk mendapatkan pendidikan Sangatlah jelas bahwa pemerintahan orde lama menaruh perhatian serius yang sangat tinggi untuk memajukan bangsanya melalui pendidikan.
Pada 1950 diundangkan pertama kali peraturan pendidikan nasional yaitu UU No. 4/1950 yang kemudian disempurnakan (jo) menjadi UU No. 12/1954 tentang dasar-dasar pendidikan dan pengajaran di sekolah. Pada 1961 diundangkan UU No. 22/1961 tentang Pendidikan Tinggi, dilanjutkan dengan UU No.14/1965 tentang Majelis Pendidikan Nasional, dan UU No. 19/1965 tentang Pokok-Pokok Sitem Pendidikan Nasional Pancasila. Pada masa akhir pendidikan Presiden Soekarno, 90 % bangsa Indonesia berpendidikan SD.
a. Posisi Siswa sebagai Subjek dalam Kurikulum Orde Lama
Jika kita berbicara tentang kurikulum, maka sudah sepatutnya kita membicarakan seperangkat rencana dan pengaturan mengenai tujuan, isi, dan bahan pelajaran serta cara yang digunakan sebagai pedoman penyelenggaraan kegiatan pembelajaran untuk mencapai tujuan pendidikan tertentu. Kurikulum pada era Orde Lama dibagi manjadi 2 kurikulum di antaranya:
1) Rentang Tahun 1945-1968
Kurikulum pertama yang lahir pada masa kemerdekaan memakai istilah dalam bahasa Belanda “leer plan” artinya rencana pelajaran. Perubahan arah pendidikan lebih bersifat politis, dari orientasi pendidikan Belanda ke kepentingan nasional. Sedangkan, asas pendidikan ditetapkan Pancasila. Kurikulum yang berjalan saat itu dikenal dengan sebutan “Rencana Pelajaran 1947”, yang baru dilaksanakan pada tahun 1950. Orientasi Rencana Pelajaran 1947 tidak menekankan pada pendidikan pikiran. Yang diutamakan adalah: pendidikan watak, kesadaran bernegara dan bermasyarakat.
Pada masa tersebut siswa lebih diarahkan bagaimana cara bersosialisasi dengan masyarakat. Proses pendidikan sangat kental dengan kehidupan sehari-hari. Aspek afektif dan psikomotorik lebih ditekankan dengan pengadaan pelajaran kesenian dan pendidikan jasmani. Oleh karena itu, yang lebih penting adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran bela negara.
2) Rencana Pelajaran Terurai 1952
Kurikulum ini lebih merinci setiap mata pelajaran yang disebut “Rencana Pelajaran Terurai 1952”. Silabus mata pelajarannya jelas sekali, dan seorang guru mengajar satu mata pelajaran. Pada masa ini memang kebutuhan peserta didik akan ilmu pengetahuan lebih diperhatikan, dan satuan mata pelajaran lebih dirincikan. Namun, dalam kurikulum ini siswa masih diposisikan sebagai objek karena guru menjadi subjek sentral dalam pentransferan ilmu pengetahuan. Guru yang menentukan apa saja yang akan diperoleh siswa di kelas, dan guru pula yang menentukan standar-standar keberhasilan siswa dalam proses pendidikan.
3) Kurikulum 1964
Fokus kurikulum 1964 adalah pada pengembangan daya cipta, rasa, karsa, karya, dan moral (Panca wardhana). Mata pelajaran diklasifikasikan dalam lima kelompok bidang studi: moral, kecerdasan, emosional/artistik, keterampilan, dan jasmaniah. Pendidikan dasar lebih menekankan pada pengetahuan dan kegiatan fungsional praktis. Pada kurikulum 1964 ini, arah pendidikan mulai merambah lingkup praksis. Dalam pengertian bahwa setiap pelajaran yang diajarkan disekolah dapat berkorelasi positif dengan fungsional praksis siswa dalam masyarakat.
5. Pendidikan Masa Orde Baru
Orde baru berlangsung dari tahun 1968 hingga 1998, dan dapat dikatakan sebagai era pembangunan nasional. Dalam bidang pembangunan pendidikan, khususnya pendidikan dasar, terjadi suatu loncatan yang sangat signifikan dengan adanya Instruksi Presiden (Inpres) Pendidikan Dasar. Namun, yang disayangkan adalah pengaplikasian inpres ini hanya berlangsung dari segi kuantitas tanpa diimbangi dengan perkembangan kualitas. Yang terpenting pada masa ini adalah menciptakan lulusan terdidik sebanyak-banyaknya tanpa memperhatikan kualitas pengajaran dan hasil didikan.
Pelaksanaan pendidikan pada masa orde baru ternyata banyak menemukan kendala, karena pendidikan orde baru mengusung ideologi “keseragaman” sehingga memampatkan kemajuan dalam bidang pendidikan. EBTANAS, UMPTN, menjadi seleksi penyeragaman intelektualitas peserta didik. Selain itu, masa ini juga diwarnai dengan ideologi militeralistik dalam pendidikan yang bertujuan untuk melanggengkan status quo penguasa. Pendidikan militeralistik diperkuat dengan kebijakan pemerintah dalam penyiapan calon-calon tenaga guru negeri.
Depdiknas di bawah Menteri Wardiman Djojohadiningrat (kabinet pembangunan VI) mengedepankan wacana pendidikan “link and match”sebagai upaya untuk memperbaiki pendidikan Indonesia pada masa itu.
1) Kurikulum 1968
Kelahiran Kurikulum 1968 bersifat politis, mengganti Rencana Pendidikan 1964 yang dicitrakan sebagai produk Orde Lama. Dengan suatu pertimbangan untuk tujuan pada pembentukan manusia Pancasila sejati. Kurikulum 1968 menekankan pendekatan organisasi materi pelajaran: kelompok pembinaan Pancasila, pengetahuan dasar, dan kecakapan khusus. Muatan materi pelajaran bersifat teoritis, tidak mengaitkan dengan permasalahan faktual di lapangan.
Pada masa ini siswa hanya berperan sebagai pribadi yang masif, dengan hanya menghapal teori-teori yang ada, tanpa ada pengaplikasian dari teori tersebut. Aspek afektif dan psikomotorik tidak ditonjolkan pada kurikulum ini. Praktis, kurikulum ini hanya menekankan pembentukkan peserta didik hanya dari segi intelektualnya saja.
2) Kurikulum 1975
Kurikulum 1975 menekankan pada tujuan, agar pendidikan lebih efektif dan efisien berdasar MBO (management by objective). Metode, materi, dan tujuan pengajaran dirinci dalam Prosedur Pengembangan Sistem Instruksional (PPSI), yang dikenal dengan istilah “satuan pelajaran”, yaitu rencana pelajaran setiap satuan bahasan. Setiap satuan pelajaran dirinci menjadi : tujuan instruksional umum (TIU), tujuan instruksional khusus (TIK), materi pelajaran, alat pelajaran, kegiatan belajar-mengajar, dan evaluasi.
Pada kurikulum ini peran guru menjadi lebih penting, karena setiap guru wajib untuk membuat rincian tujuan yang ingin dicapai selama proses belajar-mengajar berlangsung. Tiap guru harus detail dalam perencanaan pelaksanaan program belajar mengajar. Setiap tatap muka telah di atur dan dijadwalkan sedari awal. Dengan kurikulum ini semua proses belajar mengajar menjadi sistematis dan bertahap.
3) Kurikulum 1984
Kurikulum 1984 mengusung “process skill approach”. Proses menjadi lebih penting dalam pelaksanaan pendidikan. Peran siswa dalam kurikulum ini menjadi mengamati sesuatu, mengelompokkan, mendiskusikan, hingga melaporkan. Model ini disebut Cara Belajar Siswa Aktif (CBSA) atau Student Active Leaming (SAL). CBSA memposisikan guru sebagai fasilitator, sehingga bentuk kegiatan ceramah tidak lagi ditemukan dalam kurikulum ini. Pada kurikulum ini siswa diposisikan sebagai subjek dalam proses belajar mengajar. Siswa juga diperankan dalam pembentukkan suatu pengetahuan dengan diberi kesempatan untuk mengemukakan pendapat, bertanya, dan mendiskusikan sesuatu.
4) Kurikulum 1994
Kurikulum 1994 merupakan hasil upaya untuk memadukan kurikulum-kurikulum sebelumnya, terutama kurikulum 1975 dan 1984. Pada kurikulum ini bentuk opresi kepada siswa mulai terjadi dengan beratnya beban belajar siswa, dari muatan nasional sampai muatan lokal. Materi muatan lokal disesuaikan dengan kebutuhan daerah masing-masing, misalnya bahasa daerah kesenian, keterampilan daerah, dan lain-lain.
Berbagai kepentingan kelompok-kelompok masyarakat juga mendesak agar isu-isu tertentu masuk dalam kurikulum. Akhirnya, Kurikulum 1994 menjelma menjadi kurikulum super padat. Siswa dihadapkan dengan banyaknya beban belajar yang harus mereka tuntaskan, dan mereka tidak memiliki pilihan untuk menerima atau tidak terhadap banyaknya beban belajar yang harus mereka hadapi.
6. Pendidikan Era Reformasi
Era reformasi telah memberikan ruang yang cukup besar bagi perumusan kebijakan-kebijakan pendidikan baru yang bersifat reformatif dan revolusioner. Bentuk kurikulum menjadi berbasis kompetensi. Begitu pula bentuk pelaksanaan pendidikan berubah dari sentralistik (orde lama) menjadi desentralistik. Pada masa ini pemerintah menjalankan amanat UUD 1945 dengan memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya 20% dari anggaran pendapatan belanja negara.
“Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen (20%) dari anggaran pendapatan dan belanja negara, serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional.”
Pendidikan di era reformasi 1999 mengubah wajah sistem pendidikan Indonesia melalui UU No 22 tahun 1999, dengan ini pendidikan menjadi sektor pembangunan yang didesentralisasikan. Pemerintah memperkenalkan model “Manajemen Berbasis Sekolah”. Sementara untuk mengimbangi kebutuhan akan sumber daya manusia yang berkualitas, maka dibuat sistem “Kurikulum Berbasis Kompetensi”.
Memasuki tahun 2003 pemerintah membuat UU No.20 tahun 2003 tentang sistem pendidikan nasional menggantikan UU No 2 tahun 1989., dan sejak saat itu pendidikan dipahami sebagai:
“usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan Negara.”
Mendiknas kabinet bersatu Bambang Sudibyo memperkenalkan beberapa inovasi penting bagi daerah yang berhasil melaksanakan pembangunan pendidikan, mengelola pengadaan buku untuk sekolah, dan mengembangkan wajib belajar 9 tahun, menetapkan guru sebagai profesi agar bisa sejajar dengan profesi terhormat lainnya
Tak ada gading yang tak retak, pendidikan di masa reformasi juga belum sepenuhnya dikatakan berhasil. Karena, pemerintah belum memberikan kebebasan sepenuhnya untuk mendesain pendidikan sesuai dengan kebutuhan dan kepentingan lokal, misalnya penentuan kelulusan siswa masih diatur dan ditentukan oleh pemerintah. Walaupun telah ada aturan yang mengatur posisi siswa sebagai subjek yang setara dengan guru, namun dalam pengaplikasiannya, guru masih menjadi pihak yang dominan dan mendominasi siswanya, sehingga dapat dikatakan bahwa pelaksanaan proses pendidikan Indonesia masih jauh dari dikatakan untuk memperjuangkan hak-hak siswa.
1) Kurikulum Berbasis Kompetensi
Pada pelaksanaan kurikulum ini, posisi siswa kembali ditempatkan sebagai subjek dalam proses pendidikan dengan terbukanya ruang diskusi untuk memperoleh suatu pengetahuan. Siswa justru dituntut untuk aktif dalam memperoleh informasi. Kembali peran guru diposisikan sebagai fasilitator dalam perolehan suatu informasi. KBK berupaya untuk Menekankan pada ketercapaian kompetensi siswa baik secara individual maupun klasikal, berorientasi pada hasil belajar (learning outcomes) dan keberagaman.
Kegiatan pembelajaran menggunakan pendekatan dan metode yang bervariasi, sumber belajar bukan hanya guru, tetapi juga sumber belajar lainnya yang memenuhi unsur edukatif. Hal ini mutlak diperlukan mengingat KBK juga memiliki visi untuk memperhatikan aspek afektif dan psikomotorik siswa sebagai subjek pendidikan. Pengembangan KBK mempunyai beberapa keunggulan dibandingkan dengan model-model lainnya.
· Pendekatan ini bersifat alamiah (kontekstual), karena berangkat, berfokus, dan bermuara pada hakekat peserta didik untuk mengembangkan berbagai kompetensi sesuai dengan potensinya masing-masing.
· Kurikulum berbasis kompetensi boleh jadi mendasari pengembangan kemampuan-kemampuan lain. Penguasaan ilmu pengetahuan, keahlian tertentu dalam suatu pekerjaan, kemampuan memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-hari, serta pengembangan aspek-aspek kepribadian dapat dilakukan secara optimal berdasarkan standar kompetensi tertentu.
· Ada bidang-bidang studi atau mata pelajaran tertentu yang dalam pengembangannya lebih tepat menggunakan pendekatan kompetensi, terutama yang berkaitan dengan keterampilan.
2) Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan (KTSP) 2006
Secara umum KTSP tidak jauh berbeda dengan KBK namun perbedaan yang menonjol terletak pada kewenangan dalam penyusunannya, yaitu mengacu pada desentralisasi sistem pendidikan. Pemerintah pusat menetapkan standar kompetensi dan kompetensi dasar, sedangkan sekolah dalam hal ini guru dituntut untuk mampu mengembangkan dalam bentuk silabus dan penilaiannya sesuai dengan kondisi sekolah dan daerahnya.
Jadi pada kurikulum ini sekolah sebagai satuan pendidikan berhak untuk menyusun dan membuat silabus pendidikan sesuai dengan kepentingan siswa dan kepentingan lingkungan. KTSP lebih mendorong pada lokalitas pendidikan. Karena KTSP berdasar pada pelaksanaan KBK, maka siswa juga diberikan kesempatan untuk memperoleh pengetahuan secara terbuka berdasarkan sistem ataupun silabus yang telah ditetapkan oleh masing-masing sekolah.
Dalam kurikulum ini, unsur pendidikan dikembalikan kepada tempatnya semula yaitu unsur teoritis dan praksis. Namun, dalam kurikulum ini unsur praksis lebih ditekankan dari pada unsur teoritis. Setiap kebijakan yang dibuat oleh satuan terkecil pendidikan dalam menentukan metode pembelajaran dan jenis mata ajar disesuaikan dengan kebutuhan siswa dan lingkungan sekitar. Kurikulum ini diharapkan mampu memfasilitasi siswa untuk mengenal nilai-nilai sosial yang ada di masyarakat sekitar dengan cara menginventarisir kebutuhan, menentukan metode pengembangan, mempelajari, dan terjun langsung ke lapangan. Siswa pun menjadi subjek yang berhak pula menentukan pelajaran apa yang akan mereka dapatkan di sekolah, sehingga ketika mereka lulus, mereka dapat langsung mengaplikasikan ilmu yang telah mereka dapat disekolah pada masyarakat sekitar.
C. karakteristik dan bentuk konvensional pendidikan
Secara umum, (Djamarah, 1996) menyebutkan ciri-ciri pembelajaran konvensional sebagai berikut:
Peserta didik adalah penerima informasi secara pasif, dimana peserta didik menerima pengetahuan dari guru dan pengetahuan diasumsinya sebagai badan dari informasi dan keterampilan yang dimiliki sesuai standar.
Belajar secara individual
Pembelajaran sangat abstrak dan teoritis
Perilaku dibangun berdasarkan kebiasaan
Kebenaran bersifat absolut dan pengetahuan bersifat final
Guru adalah penentu jalannya proses pembelajaran
Perilaku baik berdasarkan motivasi ekstrinsik
Interaksi di antara peserta didik kurang
Guru sering bertindak memperhatikan proses kelompok yang terjadi dalam kelompok-kelompok belajar.
Namun perlu diketahui bahwa pembelajaran dengan model ini dipandang cukup efektif atau mempunyai keunggulan, terutama:
Berbagai informasi yang tidak mudah ditemukan di tempat lain
Menyampaikan informasi dengan cepat
Membangkitkan minat akan informasi
Mengajari peserta didik yang cara belajar terbaiknya dengan mendengarkan
Mudah digunakan dalam proses belajar mengajar.
Sedangkan kelemahan dari pembelajaran model ini, menurut Suyitno (dalam Sulistiyorini, 2007) antara lain sebagai berikut:
Kegiatan belajar adalah memindahkan pengetahuan dari guru ke peserta didik. Tugas guru adalah memberi dan tugas peserta didik adalah menerima.
Kegiatan pembelajaran seperti mengisi botol kosong dengan pengetahuan. Peserta didik merupakan penerima pengetahuan yang pasif.
Pembelajaran konvensional cenderung mengkotak-kotakkan peserta didik.
Kegiatan belajar mengajar lebih menekankan pada hasil daripada proses.
Memacu peserta didik dalam kompetisi bagaikan ayam aduan, yaitu peserta didik bekerja keras untuk mengalahkan teman sekelasnya. Siapa yang kuat dia yang menang.[2]
D. konsep atau wujud sistem pendidikan konvensional
Sistem pembelajaran yang selama ini dilakukan mayoritas masih menggunakan sistem pembelajaran konvensional (faculty teaching) yang biasa disebut ceramah murni atau ceramah dengan menggunakan alat bantu white board (papan tulis), yang kental dengan suasana instruksional dan dirasa kurang sesuai dengan dinamika perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat (Dabutar, 2008 : 2). Sistem pembelajaran konvensional kurang fleksibel dalam mengakomodasi perkembangan materi kompetensi karena pendidik harus intensif menyesuaikan materi, selain itu dalam sistem konvensional selalu ada peserta didik yang mengantuk atau malah tertidur dalam kelas, ada juga yang suka membolos hal ini dikarenakan suasana belajar yang membosankan.
Kejadian semacam ini adalah wajar, karena menurut Petersen (2004:3), dalam proses belajar mengajar seorang pendidik menghadapi banyak peserta didik yang masing-masing mempunyai kepribadian, potensi, latar belakang kehidupan, serta masalah belajar yang berbeda tiap peserta didik. Dengan demikian peserta didik dalam menerima dan memahami uraian dari seorang pendidik juga mengalami perbedaan pula sesuai dengan kemampuan daya serap masing-masing. Ada yang cepat menerima dan memahami materi yang disajikan, ada pula yang lambat bahkan ada pula yang sangat lambat sekali, dan tidak menutup kemungkinan ada juga yang tidak dapat memahami walaupun dijelaskan pendidik.
Upaya pendidik untuk berinovasi dalam mengajar sangat diperlukan untuk mengatasi berbagai “gaya belajar” peserta didik, pendidik dituntut tidak hanya menggunakan satu metode mengajar tapi berbagai metode yang dipadukan sehingga setidaknya dapat mengakomodir berbagai “gaya belajar” peserta didik. Seperti penggunakan metode ceramah dengan didukung oleh penggunaan media pembelajaran berbasis komputer, sehingga kreativitas pendidik dalam mengajar sangat diperlukan.
Menurut Mursell & Nasution (2006:11-12), cara mengajar yang konvensional atau tradisional seperti bahan pelajaran dibagikan dan peserta didik ditugaskan untuk mempelajari yang kemudian pendidik menyampaikan kembali di kelas membuat peserta didik belajar dengan cara yang sangat tidak efisien, peserta didik tidak sanggup membaca dengan suatu tujuan khas, tidak sanggup menilai apa yang dipelajari, tidak sanggup menggunakan teknik matematis atau ilmiah, tidak sanggup menyusun fakta dan mengambil kesimpulan, karena mereka tidak memperoleh hasil belajar yang autentik.
Selain itu dalam pembelajaran konvensional, komunikasi yang terjadi satu arah, peserta didik pasif, peserta didik hanya menggunakan satu alat indra yaitu pendengaran, peserta didik tidak diharuskan berpikir dan mengutamakan hapalan (Nasution,1999:80). Padahal menurut Marjono (2008:1), kemampuan menerima pesan yang paling tinggi adalah perpaduan indera pendengaran dan indera penglihatan. Sehingga dengan menggunakan alat bantu media pembelajaran berbasis komputer yang memadukan indra penglihat dan pendengar dalam proses penerimaan pesan peserta didik dapat dengan mudah mengikuti pelajaran dan rasa jenuh yang dihadapi dapat dikurangi.
Proses pembelajaran yang didominasi dengan tuntutan untuk menghafalkan dan menguasai pelajaran sebanyak mungkin untuk menghadapi ujian, dimana peserta didik harus mengeluarkan apa yang telah dihafalkannya. Kondisi ini sangat bertentangan dengan kondisi spikologis peserta didik dimana proses transfer pengetahuan bakal efektif jika melalui “gaya belajar” peserta didik sendiri. Oleh karena itu, gaya mengajar pendidik harus disesuaikan dengan gaya belajar peserta didik tersebut. Hal ini pun sejalan dengan pendapat Sudjana (2005:40), bahwa peserta didik adalah insan yang aktif serta perlu diperdayakan untuk berpartisipasi penuh dalam penentuan dan pembentukan cara belajarnya. Tetapi kenyataannya, dalam pembelajaran di kelas justru sebaliknya, peserta didik harus susah payah menyesuaikan dengan gaya mengajar pendidik. Akibatnya peserta didik cenderung tertekan dan belajar dalam kondisi yang tidak menyenangkan (Wibowo, 2008:34-35).
Selain itu menurut Rachman (2006:32), tidak jarang ditemukan tenaga pengajar yang memaksakan kehendaknya. Anak dipaksa untuk mengerjakan, untuk belajar atau untuk mencapai target nilai tertentu. Sikap tenaga pengajar yang seperti ini tidak hanya membuat anak akan menjadi tertekan tapi juga akan membuat anak berpikir bahwa belajar adalah kewajiban bukan kebutuhan.[3]
Sedangkan menurut Philip R. Wallace, pendekatan pembelajaran dikatakan sebagai pendekatan pembelajaran yang konservatif apabila mempunyai ciri-ciri sebagai berikut:
Otoritas seorang guru lebih diutamakan dan berperan sebagai contoh bagi muri-muridnya.
Perhatian kepada masing-masing individu atau minat sangat kecil
Pembelajaran di sekolah lebih banyak dilihat sebagai persiapan akan masa depan, bukan sebagai peningkatan kompetensi siswa di saat ini.
Penekanan yang mendasar adala pada bagaimana pengetahuan dapat diserap oleh siswa dan penguasaan pengetahuan tersebutlah yang menjadi tolak ukur keberhasilan tujuan, sementara pengembangan potensi siswa terabaikan.[4]
Jika dilihat dari tiga jalur modus penyampaian pesan pembelajaran, penyelenggaraan pembelajaran konvensional lebih sering menggunakan modus telling (pemberian informasi), ketimbang modus demonstrating (memperagakan), dan doing direct performance (memberikan kesempatan untuk menampilkan unjuk kerja secara langsung). Dalam kata lain, guru lebih sering menggunakan strategi atau metode ceramah atau drill dengan mengikuti urutan materi dalam kurikulum secara ketat. Guru berasumsi bahwa keberhasilan program pembelajaran dilihat dair ketuntasannya menyampaikan seluruh meteri yang ada dalam kurikulum.
Berdasarkan penjelasan di atas, maka pendekatan konvensional dapat dimaklumi sebagai pendekatan pembelajaran yang lebih banyak berpusat pada guru, komunikasi lebih banyak satu arah dari guru ke siswa, metode pembelajaran lebih pada penguasaan konsep-konsep bukan kompetensi.[5]
Seorang guru dituntut untuk menguasai berbagai model-model pembelajaran, dimana melalui model pembelajaran yang digunakannya akan dapat memberikan nilai tambah bagi anak didiknya. Selanjutnya yang tidak kalah pentingnya dari proses pembelajarannya adalah hasil belajar yang optimal atau maksimal.
Memang, model pembelajaran konvensional ini tidak harus kita tinggal, dan guru mesti melakukan model konvensional pada setiap pertemuan, setidak-tidaknya pada awal proses pembelajaran dilakukan. Atau kita memberikan kepada anak didik sebelum kita menggunakan model pembelajaran yang akan dipergunakan.[6]
E. Definisi Pesantren, dan Sistem Pendidikan Islam
1. Pesantren
Pesantren, secara bahasa berasal dari kata ‘santri’ yang kemudian diimbuhi imbuhan ‘pe’ di depan dan imbuhan ‘an’ di belakang, sehingga menjadi pesantrian, dan menjadi pesantren. yang berarti menunjukkan kata tempat bagi para santri (Prof. DR. H. Samsul Nizar,M.AG, Sejarah Pendidikan Islam, 2011).
Kuttab, demikian salah satu istilah yang diperkenalkan oleh pendiri-pendiri awal pesantren. Berasal dari bahasa Arab, yakni kuttaabun kataatiibun. Berarti, sekolah permulaan, tingkatan sekolah awal atau rendah. Ini merupakan wahana dan lembaga pendidikan Islam yang semula sebagai lembaga baca dan tulis dengan sistemhalaqah (wetonan), dan berkembang pesat karena didukung oleh iuran masyarakat serta adanya aturan dan tata tertib yang harus dipatuhi oleh guru dan murid. (Dr. Abd. Mujib, M.Ag dan Dr. Jusuf Mudzakir, M.SI., Ilmu Pendidikan Islam, 2006).
Selain itu, dalam bahasa arab pesantren sering disebut dengan istilah ma’had ) معهد ج معاهد ( yang berarti perkumpulan, tempat pendidikan (Prof. DR. Mahmud Yunus, Kamus Arab-Indonesia, 1972).
Sementara menurut Sudjoko Prasodjo, pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santrinya berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Dengan demikian, maka dalam pesantren tersebut setidaknya ada unsur-unsur; kiai, santri, masjid , kitab klasik, dan pondok.
Sistem Pendidikan Islam
Dari segi terminologi, sistem berarti satu kesatuan unsur yang bekerja sesuai fungsinya masing-masing dalam suatu wadah atau badan.
Dapat kita tarik pengertian dari sistem pendidikan islam, yakni satu kesatuan unsur yang terdapat dalam wadah yang melaksanakan kegiatan pembelajaran dan pengajaran ajaran agama Islam yang bertujuan untuk mewujudkan pribadi-pribadi insan kamil.
F. Awal Berdiri Dan Berkembangnya Pesantren
Secara historis, kelahiran pesantren tidak lepas dari kehadiran kerajaan Bani Umayyah yang mampu mengembangkan ilmu pengetahuan dengan pesat sehingga penyebarannya sampai di Indonesia. Ketika Islam mulai masuk di Indonesia, maka mulai masuk pula dakwah dan pembelajaran-pembelajaran Islam yang dilaksanakan di masjid-masjid, atau langgar. (Dr. Abd. Mujib, M.Ag dan Dr. Jusuf Mudzakir, M.SI., Ilmu Pendidikan Islam, 2006).
Dalam dakwah dan ta’lim tersebut, para penganjur agama mendekati masyarakat dengan cara persuasif dan memberikan pengertian tentang dasar-dasar agama Islam. Dengan memanfaatkan lembaga-lembaga masjid, surau dan langgar, secara bertahap pengajian umum tentang baca tulis Quran dan pengetahuan keagamaan mulai berlangsung. Dari sinilah, kemudian pengajaran dan dakwah ini lambat laun melembaga menjadi pesantren. Dalam proses yang sangat panjang pesantren menjadi lembaga pendidikan par-excellence di Indonesia dan menghadapi banyak tantangan modernisasi. Lembaga pesantren melaksanakan pendidikan bagi umat Islam diperkirakan mulai dari abad ke-13 dan mencapai perkembangannya yang signifikan pada abad ke-18 (DR.H. Abuddin Nata, MA: 2003).
Tidak berhenti sampai di situ, santri-santri lulusan pesantren pada saat itu melanjutkan upaya mempelajari ajaran agamanya dengan melakukan perjalanan jauh sampai di Timur Tengah, sebagai tanah sumber penyebaran agama Islam pertama. Sehingga jadilah mereka memperoleh wawasan baru, pengalaman, dan inspirasi hasil dari gerakan modernisasi pendidikan di Timur Tengah, sekaligus mereka menjadi pemrakarsa pendirian madrasah-madrasah di Indonesia.
Kemudian, mengenai bagaimana pesantren lahir adalah hasil dari proses interaksi Islam dengan budaya lokal pra-Islam. Yakni, akulturasi yang terjadi antara Islam dengan budaya asli, indigenous culture. Sehingga akhirnya, muncullah pesantren yang termasuk model pendidikan awal (Islam) di Indonesia yang sampai saat ini masih eksis dan mampu mempertahankan kredibilitasnya di masyarakat (DR. M. Roqib).
Dalam perkembangan pendidikan Islam dan modernisasi di berbagai lini kehidupan, pesantren menjawab dengan pembaharuannya. Yakni suatu upaya atau proses perubahan yang dilakukan secara mendasar dengan tujuan untuk menjadi lebih baik atau sempurna dalam sistemnya.
Upaya yang dilakukan para pengelola pesantren untuk senantiasa bertahan dan menampung dinamika masyarakat, khususnya umat Islam, maka langkah yang diambil adalah menentukan arah pembaharuan itu sendiri. Untuk menentukan arah pembaharuan, paling tidak ada tiga paradigma yang digunakan, antara lain; a. Pengelola yang selalu menerima (akomodatif) dengan pembaharuan, b. Pengelola yang menolak sama sekali perubahan apapun, dan yang terakhir adalah c. Yang selalu hati-hati dan sangat selektif menerima pembaharuan.
Aspek-aspek pembaharuan di dunia pesantren
Pembaharuan yang dilaksanakan di pesantren mengarah pada dua aspek: aspek yang menyangkut materi kurikulum dan aspek yang berkaitan dengan metodologi pengajaran dan pendidikan. Sementara filosofi dasar pesantren itu sendiri tetap pada tafaqquh fi d dien, pendalaman pemahaman dalam hal agama.
Secara historis, pembaharuan di dunia pesantren pada masa pasca kemerdekaan menunjukkan perubahan yang multi-dimensional. Bila pada masa pra-kemerdekaan masih mengacu pada revisi kurikulum dengan memasukkan pelajaran dan keterampilan umum metodologi pengajarannya, maka pada masa kemerdekaan semakin kompleks, yakni mengarah ke bidang institusi dan fungsi. Sebagai contoh pergeseran pada fungsi menejemen terdapat pada sistem menejerial pesantren. Jika sebelumnya pesantren dipimpin oleh seorang kyai, maka pada Orde Baru ada juga pesantren yang ditangani oleh beberapa pihak semacam yayasan atau lembaga.
Selain itu, contoh pergeseran fungsi pesantren itu sendiri adalah dari yang sebelumnya berfungsi sebagai sarana dakwah atau transfer ilmu-ilmu agama, kemudian menjadi lebih luas pada fungsi basis kekuatan jihad dan pengembangan masyarakat (fungsi pelestarian dan lingkungan hidup).
Tahapan pembaharuan di pesantren
Dilihat secara kronologis, tahapan lahirnya pesantren mulai dari perintisan sampai adanya modernisasi dikelompokkan pada tujuh tahap;
1) Tahap rintisan awal
Pada tahap ini, pengajaran alQuran dan praktik ibadah dilakukan dengan sederhana dan oleh sang kyai sendiri. Dan biasanya para santri adalah anak-anak tetangganya sendiri.
2) Tahap peralihan
Pada masa ini, pengajaran alQuran dan pengajian sudah tidak mungkin di-handle oleh kyai seorang diri. Karenanya, ia membutuhkan tangan-tangan untuk membantunya mengajarkan ilmu-ilmu keislaman yang semakin beragam.
3) Tahap formalisasi
Faktor jumlah santri yang semakin meningkat, dan terus demikian, akhirnya dibutuhkan organisasi yang lebih besar dari sebelumnya untuk mengontrol dan membagi tugas.
4) Tahap konsolidasi
Tahap ini disebut juga dengan tahap pemantapan. Karena dalam tahap ini pesantren sudah terorganisasi lebih baik, ditandai dengan teraturnya sistem pendidikan dengan peraturan yang rinci dan jelas, jadwal pelajaran yang rapi dan memiliki pendidikan tingkat lanjutan atau pendidikan berkelanjutan.
5) Tahap legitimasi
Berarti pesantren berupaya memenuhi syarat legal atau hukum dalam rangka perluasan pengembangan sehingga memungkinkan untuk melaksanakan kegiatan yang makin beragam dan menjangkau lebih luas pelayanannya untuk masayarakat.
6) Tahap diversifikasi
Yaitu penganekaragaman jenis-jenis kegiatan dan pelayanan yang bisa dilakukan, baik sebagai realisasi dan fungsi keislaman maupun kemasyarakatan. Contoh, pesantren melaksanakan pusat kesehat masyarakat, unit-unit usaha pesantren, sosialisasi teknologi tepat guna, latihan keterampilan bagi santri, training leadership dengan berorganisasi dan berbagai bentuk lainnya, yang mana menunjukkan bahwa pesantren telah melampaui batas-batas pengertian yang selama ini dianut kebanyakan orang.
7) Tahap Desentralisasi
Desentralisasi di sini dapat ditafsirkan pula dengan proses demokratisasi, di mana kyai menjadi pusat otonomi dan memberikan wewenangnya kepada delegasi yang ia percaya untuk mengemban beberapa urusan teknik operasional, pengelolaan.
Demikian tahap dari proses perkembangan pesantren. Namun begitu, tidak semua pesantren melalui semua tahap tersebut. Dengan alasan, mereka memiliki paradigma mereka masing-masing untuk melakukan perubahan tersebut sejauh mana, tidak semua serba diterima. Adapula pesantren yang berupaya menjaga nilai-nilai tradisional, religius, dan nilai-nilai moral yang harus ditegakkan sepanjang masa.
G. Karakteristik Dan Bentuk Pesantren
Karakteristik pesantren secara umum di antaranya;
Dilihat dari segi materi pelajaran dan metode pengajaran
Sebagai lembaga pendidikan Islam, pada dasarnya pesantren fokus mengajarkan agama, sedangkan mata pelajaran atau kajiannya adalah kitab-kitab berbahasa Arab (kitab kuning). Contoh; al Quran dengan tajwid dan tafsirnya, ‘aqa-id, ilmu kalam, fiqih, ushul fiqih, hadits dengan musthalahul hadits, bahasa Arab dengan ilmu alatnya, tarikh Islam, mantiq, dan tasawwuf.
Selanjutnya, metode pengajaran yang umumnya digunakan;
1) Wetonan, yakni suatu metode mengajar di mana santri duduk mengelilingi kyai yang menerangkan pelajaran. Di Jawa Barat disebut bandongan, sedangkan di Sumatera disebut halaqah.
2) Sorogan, merupakan metode yang dilakukan dengan individual, secara bergantian santri menghadap kyai dengan membawa kitabnya dan membacakannya di depan kyai. Meski metode ini terbilang sulit karena butuh waktu lebih dan kesabaran lebih, namun secara efektifitas ini cukup berhasil dikarenakan santri memiliki kesempatan lebih untuk berdiskusi atau bertanya langsung dengan kyai.
3) Hafalan, adalah metode di mana santri menghafal teks atau kalimat tertentu dari kitab yang dipelajarinya.
Dilihat dari jenjang pendidikan
Mengenai jenjang pendidikan, pesantern memiliki kebijakan mereka masing-masing. Jika pesantren yang benar-benar tradisional, jenjang pendidikan ditentukan dengan tamat atau mumtaznya santri merampungkan satu kitab dan meningkat pada kitab berikutnya.
Sementara pesantren dengan kebijakan yang mengikuti perkembangan sistem pendidikan yang ada, ia menyesuaikan jenjang pendidikan dengan menggunakan klasikal, sebagaimana madrasah atau sekolah umum lainnya.
Fungsi pesantren
Beberapa fungsi pesantren antara lain; sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan penyiaran keagamaan.
Sebagai lembaga pendidikan, jelas pesantren menyelenggarakan pendidika formal. Sebagai lembaga sosial pesantren menampung anak-anak muslim dari segala lapisan masayarakat tanpa membeda-bedakan status sosial, menerima tamu yang datang dari masyarakat umum dengan motif dan tujuan bermacam-macam. Sebagai lembaga penyiaran agama Islam, masjid pesantren berfungsi sebagai masjid umum di mana menjadi tempat belajar agama dan ibadah para jamaah.
Di samping itu, pada masa kolonial Belanda pesantren juga mempunyai peran besar dalam melawan ekspansi politik imperialis, baik dengan perlawanan dari segi fisik, maupun pemikiran. Lebih dari itu, pesantren menjadi tempat pengobar semangat jihad mengusir penjajah dari Indonesia.
Kehidupan kyai dan santri
Awal berdirinya pesantren adalah dari seorang kyai yang bermukim di suatu tempat, dan santri datang sedikit demi sedikit untuk belajar padanya, sementara biaya hidup disediakan bersama-sama oleh santri dengan dukungan masyarakat.
Hal ini menunjukkan kedekatan antara kyai, santri dan masyarakat yang sangat baik. Keberadaan kyai yang menjadi tempat bertanya, dan dihormati masyarakat ini pun menjadikan ia memiliki peran cukup besar di wilayahnya, di mana masyarakat menanyakan solusi urusan mereka, fatwa dan referensi kepadanya.
Sementara corak atau jenis pesantren dilihat dari segi proses transformasi, dibedakan menjadi;
1) Pesantren tradisional, pesantren yang masih tetap mempertahankan nila-nilai tradisonalnya. Tidak mengalami transformasi yang signifikan dalam sistem pendidikannya.
2) Pesantren moderat, yakni pesantern yang menggunakan atau mengadopsi sistem pendidikan modern, akan tetapi tidak sepenuhnya demi mempertahankan nilai tadisionalnya.
3) Pesantren modern, transformasi yang cukup signifikan terjadi pada pesantren ini. Di mana sistem pendidikan dan kelembagaannya sudah sepenuhnya menganut sistem modern. Mata pelajaran sudah sama antara umum dan agama.
Indonesia merupakan negara dengan banyak kebudayaan, dan pesantren termasuk salah satu budaya Indonesia, atau subkultur Indonesia yang turut memberikan warna unik.
H. Konsep Sistem Pendidikan Islam
Pendidikan merupakan salah satu pilar kehidupan umat. Masa depan suatu umat bisa diketahui melalui sejauh mana komitmen umat ataupun negara dalam menyelenggarakan pendidikan yang berkualitas. Dalam pandangan Islam, pendidikan merupakan upaya sadar, terstruktur serta sistematis untuk menyukseskan misi penciptaan manusia sebagai khalifatullah fil ardl - wakil Allah di muka bumi, di mana pendidikan merupakan bagian yang tak terpisahkan dari sistem kehidupan Islam.
“Sebagai bagian integral dari sistem Kehidupan Islam, sistem pendidikan memperoleh masukan dari supra sistem, yakni keluarga dan masyarakat atau lingkungan, serta negara. Dan memberikan hasil/keluaran bagi suprasistem tersebut. Sementara sub-sub sistem yang membentuk sistem pendidikan antara lain adalah tujuan pendidikan itu sendiri, anak didik (pelajar/mahasiswa), manajemen, struktur dan jadwal waktu, materi, tenaga pendidik/pengajar dan pelaksana, alat bantu belajar, teknologi, fasilitas, kendali mutu, penelitian dan biaya pendidikan,” kata Bayan.
Secara garis besar, problematika pendidikan tidak bisa terlepas dari sub-sistem yang membentuk sistem pendidikan serta ketiga suprasistem yang memberi masukan kepada sistem pendidikan, ujar Bayan. Semua unsur ini ibarat setali tiga mata uang, artinya tidak bisa dilepaskan satu persatu untuk mewujudkan sistem pendidikan yang ideal sebagai salah satu pilar kehidupan umat. Orang tua yang saleh dengan pola pengasuhan yang baik, kemudian kondisi institusi negara yang mendukung serta penciptaan lingkungan yang positif akan membentuk generasi insani yang bermutu sebagaimana yang pernah tercatat dalam sejarah peradaban Islam.
“Di mana ketika Islam berjaya, diterapkannya Islam dalam sistem kehidupan termasuk pendidikan, umat Islam mengalami masa kejayaan pendidikannya. Pendidikan dalam Islam diselenggarakan dengan asas akidah Islam dalam penentuan kurikulum, pengelola dan pengajar serta kultur pendidikan. Tujuannya adalah untuk membentuk kepribadian Islam yang menguasai tsaqafah Islam serta sains dan teknologi. Sarana dan Biaya menjadi tanggung jawab negara,” ujar Bayan selanjutnya.
I. Proses Pesantren Menjadi Sistem Pendidikan Islam
Umat beragama dan lembaga keagamaan di Indonesia merupakan potensi besar dan modal dasar dalam pembangunan mental spiritual bangsa serta merupakan potensi nasional untuk pembangunan fisik materil bangsa Indonesia. Pendidikan agama tidak dapat diabaikan dalam penyelenggaraan pendidikan nasional. Hal ini sesuai dengan tujuan pembangunan nasional, yaitu pembangunan manusia seutuhnya dan masyarakat adil dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945.
Keberhasilan pembangunan nasional harus ditunjang dengan pendidikan dan pengajaran agama. Dengan pendidikan dan pengajaran agama, warga negara akan memperoleh pendidikan moral dan budi pekerti yang akan membentuk bangsa Indonesia menjadi warga negara yang bermoral, bertanggung jawab, dan tahu nilai-nilai budaya yang dijunjung tinggi oleh bangsa Indonesia.
Dengan modal jiwa yang bersih, beriman, bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, dan berbudi pekerti luhur, pembangunan nasional Indonesia dapat berjalan sukses dan lancar. Akan tetapi, pendidikan agama tidak boleh bertentangan dengan pembangunan nasional. Semua bentuk pendidikan di Indonesia harus berdasarkan pada filsafat bangsa, Pancasila. Sistem ini dikenal dengan sistem pendidikan nasional Indonesia. Semua tujuan pendidikan di Indonesia tidak boleh menyimpang dari ketentuan dan tujuan pendidikan nasional. Dalam Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dalam ketentuan umum dijelaskan sebagai berikut:
”Sistem Pendidikan Nasional harus mampu menjamin pemerataan kesempatan pendidikan, peningkatan mutu serta relevansi dan efisiensi manajemen pendidikan untuk menghadapi tantangan sesuai dengan tuntutan perubahan kehidupan lokal, nasional, dan global sehingga perlu dilakukan pembaruan pendidikan secara terencana, terarah, dan berkesinambungan.”
Sedangkan untuk kemudahan layanan pendidikan, Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional juga merincikannya yang termaktub dalam Pasal 11 Ayat (1):
“Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan, serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”
Atas dasar inilah, pemerintah pusat dan pemerintah daerah menjamin berlangsungnya pelaksanaan pendidikan, dengan tidak membedakan antara pendidikan umum dan pendidikan agama. Hal ini diperjelas lagi dalam Ayat (2) pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional:
“Pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya dana guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”
Pesantren telah memberikan tanggapan positif terhadap pembangunan nasional dalam bidang pendidikan. Dengan didirikannya sekolah-sekolah umum maupun madrasah-madrasah di lingkungan pesantren membuat pesantren kaya diverifikasi lembaga pendidikan dan peningkatan institusional pondok pesantren dalam kerangka pendidikan nasional.
Pemerintah memberikan wewenang penuh kepada Departemen Agama (Kementerian Agama) Republik Indonesia untuk mengatur penyelenggaraan pendidikan di Madrasah dan Pondok Pesantren, baik dalam hal pembiayaan, pengadaan dan pengembangan sumberdaya manusia. Pengembangan kelembagaan dan sarana, serta peningkatan mutu lembaga pendidikan agama tersebut.
Pemerintah memiliki perhatian melalui Undang-Undang Republik Indonesia nomor 20 tahun 2003 yang diperkuat dengan Peraturan Pemerintah Nomor 55 tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan Pendidikan Keagamaan. Dalam peraturan pemerintah tersebut dijelaskan eksistensi pesantren dalam pasal 26, sebagai berikut:
“(1) Pesantren menyelenggarakan pendidikan dengan tujuan menanamkan keimanan dan ketakwaan kepada Allah SWT, akhlak mulia, serta tradisi pesantren untuk mengembangkan kemampuan, pengetahuan, dan keterampilan peserta didik untuk menjadi ahli ilmu agama Islam (mutafaqqih fiddin) dan/atau menjadi muslim yang memiliki keterampilan/keahlian untuk membangun kehidupan yang Islami di masyarakat.
(2) Pesantren menyelenggarakan pendidikan diniyah atau secara terpadu dengan jenis pendidikan lainnya pada jenjang pendidikan anak usia dini, pendidikan dasar, menengah, dan/atau pendidikan tinggi.
(3) Peserta didik dan/atau pendidik di pesantren yang diakui keahliannya di bidang ilmuagama tetapi tidak memiliki ijazah pendidikan formal dapat menjadi pendidik matapelajaran/kuliah pendidikan agama di semua jalur, jenjang, dan jenis pendidikan yangmemerlukan, setelah menempuh uji kompetensi sesuai ketentuan Peraturan Perundangundangan.
Dalam ayat (3) ini memberikan pengakuan terhadap alumni pesantren untuk menjadi pendidik dalam mengajarkan ilmu agama pada semua jalur, jenjang dan jenis pendidikansetelah mendapat pengakuan melalui uji kompetensi yang sesuai dengan ketentuan yangberlaku. Pengakuan terhadap ini tentu melalui pengakuan surat bukti menamatkan pendidikandi pesantren atau ijazah/syahadah. Untuk itu, Direktorat Jenderal Kelembagaan Islammengeluarkan surat edaran tentang legalisasi ijazah pesantren. Salah satu butir isi surat edaranini adalah tentang mata pelajaran yang harus dipenuhi pesantren agar ijazah lembagapendidikan ini diakui keabsahannya. Surat edaran ini menjadi petunjuk teknis (juknis) bagipesantren tentang tatacara pemberian sertifikat/ijazah bagi para santri yang menamatkanpendidikannya di pesantren. Mata Pelajaran yang harus dipenuhi pesantren untuk legalisasiijazah, yaitu tingkat Ibtidaiyah meliputi: Al-Qur’an, Tauhid, Fiqih, Akhlak, Nahwu, Sharaf, serta Pelajaran pendukung lain. Tingkat Tsanawiyah meliputi: Al-Qur’an, Tauhid, Fiqih,Akhlak, Nahwu, Sharaf, Tarikh, Tajwid, serta Pelajaran pendukung lain. Tingkat Aliyahmeliputi Tafsir, Ilmu Tafsir, Hadis, Ilmu Hadis, Fiqih, Ushul Fiqih, Tauhid, Nahwu, Sharaf,Tarikh, Balaghah, serta Pelajaran pendukung lain.
J. Peran Pesantren dalam Era Globalisasi
1) Pengenalan Gontor
Gontor adalah sebuah lembaga pendidikan yang berbasis pada sistem pesantren. Berada di daerah Mlarak, Ponorogo, Jawa Timur. Gontor berasal dari kata “Nggon” yang artinya tempat dan kata “Tor” yang artinya kotor, jadi gontor adalah tempat yang kotor. Dinamakan demikian karena pada zaman dahulu sebelum didirikannya Pondok Pesantren Darussalam Gontor, tempat tersebut digunakan sebagai tempat berkumpulnya orang-orang yang melakaukan kejahatan dan maksiat, dari penjahat, perampok, dan pencuri, namun setelah kedatangan “Tri Murti” 3 orang laki-laki yang telah lulus menempuh pendidikan di beberapa daerah, tempat itu kemudian berubah menjadi tempat mengaji, dengan di bangun surau kecil. Tri Murti itulah yang kemudian menjadi cikal bakal dari pimpinan pesantren. Semakin lama semakin dikenal masyarakat dan banyak yang sudah tak asing lagi.
2) Gontor dan Globalisasi
Dengan adanya hubungan kerjasama dan konsolidasi serta pemberdayaan Sumber Daya yang ada di Gontor yang menyangkut penguatan sikap inklusif rekonsolatif dalam menghadapi globalisasi yang muncul. Gontor mencoba menguatkan jaringan yang baik dalam tataran nasional maupun internasional. Penguatan jaringan tersebut berarti memfasilitasi proses yang memungkinkan pesantren ini dapat memiliki jaringan yang terpadu secara internal dan pada saat yang sama mempunyai hubungan dengan organisasi, kelompok-kelompok civil society, dan lembaga swadaya masyarakat dunia maupun lingkungan yang lebih luas.
3) Dampak / Pengaruh Globalisasi Terhadap Pesantren
NO
Dampak/respon terhadap Globalisasi
Program
1
Dalam penggunaan bahasa
Pengunaan bahasa Arab dan Inggris sebagai bahasa pengantar dan bahasa sehari-hari.
2
Ekstrakurikuler
Pengiriman kontingen pada event-event tertentu, misal : jambore atau program studi banding, pertukaran pelajar.
3
Event
Pengadaan konferensi internasional dan kerjasama dengan berbagai negara untuk memudahkan akses ke luar negeri, baik itu yang bersifat pemerintahan, NGO, ataupun LSM.
4
Pengajaran
Menggunakan 3 bahasa, Arab, Inggris dan Indonesia serta ketentuan skripsi dengan 2 bahasa asing.
5
Budaya
Pagelaran, seni yang menunjukan adanya perpaduan/hibridasi budaya dari negara lain.
6
Kerjasama
Kerjasama dengan beberapa negara, MOU, seperti India, Mesir, Pakistan, dan Australia dalam memajukan eksistensi Pesantren dan lembaga pendidikan di dalamnya.
4) Peran Pondok Modern Darussalam Gontor dalam Menghadapi Globalisasi
Dalam konteks mempersipakan anak didik menghadapi perubahan zaman akibat globalisasi ini pun lembaga pendidikan islam memiliki peran yang amat penting. Keberhasilan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan yang lebih kompleks akan menghasilkan lulusan yang akan menjadi pemimpin ummat, pemimpin masyarakat, danpemimpin bangsa yang ikut menentukan arah perkembangan bangsa ini. Sebaliknya kegagalan madrasah dalam menyiapkan anak didik menghadapi tantangan masa depan akan menghasilkan lulusan-lulusan yang frustasi, dan menjadi beban masyarakat.
Madrasah/pesantren yang hanya menekankan pendidikan agama dan mengabaikan pendidikan umum mungkin hanya akan mampu memberikan potensi untuk bahagia akhirat saja. Dalam kaitannya dengan era globalisasi dan perdagangan bebas yang penuh dengan persaingan ini, pesantren harus juga menyiapkan anak didiknya untuk siap bersaing di bidang apa saja yang mereka masuki. Ini di maksudkan agar lulusan pesantren tidak akan terpinggirkan oleh lulusan sekolah umun dalam memperebutkan tempat dan peran dalam gerakan pembangunan bangsa.
Dalam kasus ini Pondok Modern Darussalam Gontor harus menyiapkan anak didiknya agar dapat melanjutkan studi atau bekerja di luar negeri. Untuk ini maka penguasaan ketrampilan berbahasa asing (terutama Arab dan Inggris) menjadi amat penting. Demikian pula pengenalan budaya dan bangsa asing.
BAB III
PENUTUP
Kesimpulan
Keberhasilan teori belajar mengajar jika dikaitkan dengan aliran-aliran dalam pendidikan, diketahui beberapa rumusan yang berbeda antara aliran yang satu dengan aliran lainnya.Menurut aliran empirisme bahwa justru lingkungan yang mempengaruhi peserta didik tersebut.Menurut aliran nativisme bahwa seorang peserta tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Menurut aliran naturalisme menitik beratkan pada strategi pembelajaran bahwa kemampuan individu peserta didik menjadi pusat kegiatan proses belajar mengajar. Menurut aliran konvergensi bahwa antara lingkungan dan bakat pada peserta didik yang terbawa sejak lahir saling mempengaruhi.
Ketika aliran-aliran pendidikan, yakni empirisme, nativisme, naturalisme, dan konvergensi, dikaitkan dengan teori belajar mengajar kelihatan bahwa kedua aliran yang telah disebutkan (nativisme-empirisme) mempunyai kelemahan. Adapun kelemahan empirisme dan nativisme adalah sifatnya yang ekslusif dengan cirinya ekstrim berat sebelah. Sedangkan aliran yang terakhir (konvergensi) pada umumunya diterima seara luas sebagai pandangan yang tepat dalam memahami tumbuh-kembang seorang peserta didik dalam kegiatan belajarnya.
Pesantren adalah lembaga pendidikan dan pengajaran agama, umumnya dengan cara non-klasikal, di mana seorang kiai mengajarkan ilmu agama Islam kepada santri-santrinya berdasarkan kitab yang ditulis dalam bahasa Arab oleh ulama abad pertengahan, dan para santri biasanya tinggal di pondok (asrama) dalam pesantren tersebut. Sedangkan sistem pendidikan islam, yakni satu kesatuan unsur yang terdapat dalam wadah yang melaksanakan kegiatan pembelajaran dan pengajaran ajaran agama Islam yang bertujuan untuk mewujudkan pribadi-pribadi insan kamil.
Lembaga pesantren melaksanakan pendidikan bagi umat Islam diperkirakan mulai dari abad ke-13 dan mencapai perkembangannya yang signifikan pada abad ke-18
Karakteristik ilihat dari segi materi pelajaran dan metode pengajaran yaitu wetonan,sorogan dan hafalan. Dari segi jenjang pendidikan yaitu jika pesantren yang benar-benar tradisional, jenjang pendidikan ditentukan dengan tamat atau mumtaznya santri merampungkan satu kitab dan meningkat pada kitab berikutnya.Sementara pesantren dengan kebijakan yang mengikuti perkembangan sistem pendidikan yang ada, ia menyesuaikan jenjang pendidikan dengan menggunakan klasikal, sebagaimana madrasah atau sekolah umum lainnya. Dari segi Fungsi, yaitu sebagai lembaga pendidikan, lembaga sosial dan penyiaran keagamaan.
Konsep sistem pendidikan Islam yaitu Pendidikan dalam Islam diselenggarakan dengan asas akidah Islam dalam penentuan kurikulum, pengelola dan pengajar serta kultur pendidikan. Tujuannya adalah untuk membentuk kepribadian Islam yang menguasai tsaqafah Islam serta sains dan teknologi. Sarana dan Biaya menjadi tanggung jawab negara.
Pesantren sebagai sistim pendidikan islam yaitu Pemerintah telah memberikan porsi yang sama antara lembaga pendidikan umum dengan lembaga pendidikan agama Islam dalam Undang-Undang Republik IndonesiaTahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional dan diperkuat dengan PeraturanPemerintah Nomor 55 Tahun 2007 tentang Pendidikan Agama dan PendidikanKeagamaan. Pesantren pada masa sekarang diharapkan menjadi agen perubahan (agent of change) sebagai lembaga perantara yang diharapkan dapat berperan sebagaidinamisator dan katalisator pemberdayaan sumber daya manusia, penggerakpembangunan di segala bidang, serta pengembang ilmu pengetahuan dan teknologidalam menyongsong era global.
Peran pesantren dalam arus globalisasi hendaknya dapat mengembangkan proses pendidikanya yang tak hanya urusan akhirat atau ilmu agama tetapi dengan juga ilmu umum seperti ketrampilan bahasa asing dan lain-lain agar tidak kalah bersaing dengan yang lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Nizar, Samsul. 2011. Sejarah Pendidikan Islam; Menyusuri Jejak Sejarah Pendidikan Era Rasul Sampai Indonesia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group
Yunus, Mahmud. 1972. Kamus Arab Indonesia. Jakarta: Penerbit Mahmud Yunus Wadzuryah.
Mujib, Abd., dan Mudzakir, Jusuf. 2006. Ilmu Pendidikan Islam. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.
Nata, Abudin. 2003. Kapita Selekta Pendidikan Islam. Bandung: Penerbit Angkasa.
Uhbiyati, Nur. 2005. Ilmu Pendidikan Islam. Cet.III. Bandung: Pustaka Setia.
sumber:ilmupengetahuan
Choose EmoticonEmoticon