Oleh : Hakim Benardie Sabri
Pendahuluan
Siapakah dua ulama besar dan dua raja yang pernah singgah di Bandar Bengkulu itu dan kapan? Pertanyaan seperti itu sudah umum, dan biasa dilontarkan bagi si penanya yang ingin mengetahui suatu peristiwa atau kejadian bersejarah.
Tulisan ini sekaligus menjawab berbagai pertanyaan yang pernah dilontarkan oleh dua orang sahabat penulis, yaitu Drs. Salim B. Pili M.AG, Ketua Bidang Akademik Balai Pengkajian & Pengamalan Islam (BP2I), dan staf pengajar di Universitas Muhammadiyah Bengkulu (UMB) yang bertanya, “Kapan Islam Pertamakali Berkembang di Bengkulu?”. Juga sahabat saya, Drs. Panji Suminar, MA Dekan Fisip Universitas Bengkulu (UNIB), yang bertanya, “Apa iya, ada orang Manna yang berasal dari keturunan Banten?”.
Pertanyaan itu belum sempat penulis jawab, karena berbagai dokumen (Dok pribadi) masih tersimpan di dalam berbagai file naskah dan buku yang pernah ditulis. Alhamdulillah baru pada awal Ramadhan 1430 H, hati saya tergerak untuk menulis dan sekaligus menjawab pertanyaan sahabat-sahabat tersebut.
Memang untuk merekonstruksi sejarah “Kapan Islam pertama kali berkembang di Bengkulu, dan apa iya, ada orang Manna yang keturunan dari Banten?”. Dalam bentuk tulisan tidaklah mudah, karena apa yang kita tulis adalah sejarah (History) bukan story (Cerita berbentuk dongeng atau lagenda lainnya). Dalam merekonstruksi, “Kapan Islam Pertamakali Berkembang di Bengkulu”, tentu kita memerlukan berbagai pendekatan histori, giografie, giopolitik dan gioekonomi. Juga pada pertanyaan, “apa ada orang Manna yang berasal dari keturunan Banten?”.
Untuk menjawab secara ilmiah memang tidaklah mudah. Banyak kendala yang menghadang dimuka kita, mengingat bukti-bukti sejarah (Fakta) seperti artifak dan prasasti yang telah hilang, dan situs yang berubah fungsi. Namun dari berbagai catatan sejarah masih dapat kita temukan hal-hal yang berkenaan dengan dua pertanyaan tersebut diatas, antara lain sebagai berikut :
I . Sebenarnya etnik Arab telah masuk dan berniaga di Bengkulu sejak adanya negeri LU-SHIANGSHE (264 sM-198 M), Pa-U’ (Pauh) pada tahun 199 dan Pa-Liu (Palik) pada tahun 204 M. Pada tahun 264-285 M, pedagang Arab berniaga membeli batu permata dan emas serta rempah (Adas manis, Fanile, dan Kayu Gaharu) di Pa-U’ dan Pa-Liu. Salah satu Tembo dari Bengkulu (Koleksi pribadi) menyebutkan bahwa pada tahun 609 M telah banyak pedagang Arab yang beniaga di negeri itu.
Salah seorang pedagang etnik Arab yang datang pada tahun 613 M ke-Pa-U’ disebutkan bernama Abu Jabil berasal dari Yastrib (Madinah Arab Saudi), seorang pandai emas (Tukang emas / perhiasan). Pedagang tersebut (Abu Jabil) selanjutnya menikah dengan seorang wanita pribumi (Mungkin maksudnya adalah wanita keturunan China) bernama Unut.
Pernikahan Abu Jabil dengan Unut melahirkan dua (2) orang putra masing-masing bernama Abdurrahman dan Abd Rauf. Pada usia 12-10 tahun kedua putranya dibawa pulang ke Yastrib (Madinah, Arab Saudi), dan pada tahun 650 M Abdurrahman kembali Nusantara (Indonesia), untuk berdagang dan menyebarkan agama Islam di Pa-Liu (Palik) Kabupaten Bengkulu Utara sekarang.
Sedangkan Abd Rauf tidak diperoleh keterangan (apakah kembali ke Indonesia atau masih berada di Arab). Dari keturuan tokoh Syeikh Abdurrahman inilah nantinya banyak lahir ulama penyebar agama Islam di Tanah Bengkulu, menyebar keberbagai daerah pedalaman seperti negeri Ra-Pa-Sh, Pa-U’, Pa-Liu, LU-A(e)BONGSHE LIE-EL (Lebong – Muara Aman), SAM-LAK-KAW (Semelako), TSA-POT-SH’ (Tapus), Tsa-Lu (Talo/Seluma), Manna, Mukomuko, Indrapura dan Bengkulu). Tentu jika pembaca ingin mengetahui selengkapnya dapat dibaca dalam buku “Pengantar Sejarah Tanah Bengkulu” (Abad ke-III sM hingga ke-XVI M) dan, “Pengantar Sejarah Perkembangan Agama Islam dan Budaya di Bengkulu” (Abad ke-VII hingga ke-XIX M) yang insyaallah akan terbitkan.
II . Di Negeri Pa’-Liu (Palik) dan Mukomuko pada tahun 774 Masehi disebutkan dalam naskah klasik sudah terdapat Surau (Masjid) yang berfungsi sebagai tempat belajar Agama Islam (setingkat dengan Madrasyah). Catatan naskah juga menyebutkan adanya Surau di Lebong (Muara Aman sekarang) pada tahun 951 Masehi.
Sedangkan di Bengkulu (Kota) Surau (Masjid) dibangun pada tahun 1342 Masehi, dan bekas lokasi bangunan masjid disebut-sebut oleh penduduk sebagai Surau Lamo, yang berlokasi di sekitar Tengah Padang dan Bajak (Kolonial menyebutnya dengan St.Lena). Belum jelas / belum dapat dipastikan, apakah dilokasi itu pula selanjutnya Pangeran Sentot Alibasa membangun pemondokan tempat pengajian (Tempat belajar mengaji). Tanah itu diberikan Belanda kepada Pangeran Sentot Alibasa sebagai tempat kediamannya, pada masa pengasingannya di Bengkulu (Catatan : Raja Bilang 1839/40).
III. Pada priode perpindahan penduduk Pa’-U ke negeri Tsa-Lu (Talo) pada tahum 875 M, disebutkan hanya terdapat satu (1) orang pedagang Arab yang ikut mengungsi ke Tsa-Lu. Pedang-pedagang Arab umumnya lebih memilih pindah (Mengungsi) ke- Pa’-Liu (Palik) dari pada turut pindah ke Tsa-Lu, namun pedagang Arab nantinya kembali meramaikan negeri Tsa-Lu pada tahun 940 M, dimana Tsa-Lu mengalami masa puncak kejayaan, dan negeri Tsa-Lu berkembang sebagai pusat Industri Kapal (Pinisi).
IV . Sedangkan negeri Ra-Pa-Sh (Serapas) yang juga dibangun pada tahun 199 M kurang mendapat perhatian dan minat pedagang Arab. Karena penduduk negeri ini hanya mempunyai matapencarian bertani (Bercocoktanam).
Berdasarkan data klasik perdagangan tersebut, tidak tertutup kemungkinan bahwa Islam telah masuk di Tanah Bengkulu pada masa Nabi Muhammad Rasulullah SAW masih hidup. Secara kronologis perkembangan Islam di Tanah Arab sebagai berikut : Nabi Muhammad Rasulullah SAW menerima wahyu pertama pada tahun + 610 Masehi, + 2 ½ tahun kemudian beliau menerima wahyu kedua diperkirakan pada tahun 613 M. Sekanjutnya 3 tahun beliau berdakwah secara sembunyi-sembunyi hingga pada tahun 616 M, dan pada tahun berikutnya Rasulullah mulai melakukan dakwah secara terbuka.
Dalam naskah China klasik, sebuah buku catatan pelayaran Shiemphon (Tan Kwie Chang) “Shiang shiang K’un–Lun Shan” artinya : Semerbak Harum Pegunungan, hal 158 ditulis 757 tahun Imlek atau tahun 308 Masehi, menceritakan adanya negeri Pa-U’ (Di Bengkulu), Negeri itu dikatanya “ditutupi sebuah pulau (Negeri dibelakang sebuah pulau) yang banyak disinggahi kapal-kapal layar (Perahu layar) yang berasal dari berbagai negeri. Perdagangannya sangat maju dengan menggunakan alat tukar emas. Disebelah negeri terdapat negeri Pa-Liu yang banyak menghasilkan kerbau dan babi”.
Di Pa-U’ ada tempat perniagaan (Pasar perniagaan), dan sebuah pelabuhan perahu layar yang aman dari terpaan badai dan gelombang. Daerah ini terlindung oleh sebuah pulau dan beberapa pulau kecil lainnya. Perahu dagang dari Enggano dan lainnya banyak singgah dan berniaga disana. Penduduk negeri Pa-Liu juga berniaga dan berbelanja disitu”.
Pendatang pertama (Exsodus) pada tahun 264-195 sebelum Masehi (sM) adalah pendatang dari India, mereka adalah para Rahib (Agamawan) Hindhu yang tersungkir akibat adanya pengembangan agama Bhuddha pada masa pemerintahan Asoka. Pendatang ini terdiri dari etnis India, China, Mala Dewa (Sri Langka) dan Arab, dan mereka inilah yang pertama-tama mendirikan perkampungan di negeri yang mereka sebut Lu-Shiangshe.
image:singgahkemasjid
Mushaf
Pada masa hidup Nabi Muhammad Rasulullah SAW mengembangkan syiar Islam di Mekkah dan Madinah, umat Islam belum memiliki mushaf Al-Qur’an, dan mushaf Al-Qur’an selesai dibukukan untuk pertama kali pada zaman sahabat Khalifah Utsman bin Affan pada tahun 30 Hijriah atau tahun 651 Masehi. Naskah Al-Qur’an untuk pertamakali hanya dibuat dan dibukukan (Dalam bentuk tulisan tangan dan kertasnya berasal dari negeri China) sebanyak tujuh (7) buah Al-Qur’an, selanjutnya oleh Khalifah Utsman bin Affan Al-Qur’an yang telah dibukukan tersebut dibagikan (dikirikan) kepada kerajaan-kerajaan Islam dan pusat-pusat kekuatan agama Islam di negeri non muslim.
Tujuh buah kitab Al-Qur’an yang telah dibukukan itu disebarkan, 1). Makkah, 2). Damaskus, 3). San’a Yaman, 4). Bahrain, 5). Basrah, 6). Kuffah, dan Kitab Al-Qur’an yang ke-7 dijadikan sebagai arsif, dan dipegang langsung (disimpan) oleh Khalifah Utsman bin Affan.
Dalam perkembangan selanjutnya kitab Al-Qur’an mulai diproduksi secara besar-besaran di dunia Arab pada tahun + 755 M yaitu di Bagdad dan Sarmarkand. Pencetakan kitab Al-Qur’an secara besar-besaran itu seiring dengan ditemukannya pembuat kertas bangsa China (ditangkap) di Persia. Bangsa China sudah mengenal dan pandai membuat kertas sejak tahun 105 M, dan pembuatannyapun sangat dirahasikan oleh kerajaan China pada masa itu.
Namun akhirnya rahasia pembuatan kertas tersebut dapat juga keluar kepada bangsa asing (Arab), dan kertas baru dapat berkembang (diproduksi) secara besar-besaran di dunia Arab pada tahun 751 M, yaitu di Bagdad dan Sarmarkand. Sejak itu kertas menyebar keseluruh penjuru dunia Arab, termasuk ke Nusantara pada tahun 774 Masehi Al-Qur’an telah ada di Pa’-Liu (Palik) wilayah Kabupaten Bengkulu Utara sekarang. Sedangkan bangsa Eropa mengenal kertas pada abad ke-XII M.
Kerajaan Islam Banten
Dua ulama besar dan dua raja yang pernah singgah di Bandar Bengkulu itu masing-masing adalah; 1. Ulama besar sufi Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim (Makhdum Patakan) bin Maulana Ismail yang dikenal dengan sebutan Datuk Kahfi alias Sunan Gunung Jati, 2. Fhathahillah al-Pasee alias Hang Tuah alias Tubagus Angke alias Sultan Maulana Syarief Hidayatullah, tiba di Bengkulu pertama pada 7 Jumadilawal 1521 M dan kembali lagi ke Bengkulu pada tahun 1531/2 M. Sedangkan dua orang raja yang pernah singgah ke-Bengkulu adalah ; 1. Raja Banten ke-I Sultan Maulana Hasanuddin Al-Pasee, 2. Raja Banten ke-II Sultan Maulana Syarief Hidayatullah Al-Paee.
Sejarah Maritim Indonesia mencatat bahwa, Bengkulu adalah merupakan vasal Kerajaan Islam Banten, dan untuk mengawasi perdagangan rempah di Pesisir barat Pulau Sumatera khususnya di wilayah vasal Banten maka ditunjuk seorang Akuwu (Raja kecil) Ratu Dewa Dewate yang lebih dikenal dengan sapaan Ratu Agung. Ratu Agung adalah seorang pelaut sejati, putra kelahiran Negeri Phalimbam (sekarang bernama Desa Panimbang) Kabupaten Pandegelang Provinsi Benten, dan pernah menjadi Akuwu di Jakarta. Posisi jabatannya tersebut selanjutnya digantikan oleh Pangeran Jayakarta Wikayakrama (Putra tunggal Fhathahillah Al-Pasee, Raja Banten ke-II).
Raja Banten Ke-I
Sultan Maulana Hasanuddin Al-Pasee adalah raja pertama yang memerintah Kerajaan Islam Banten pada tahun 1481–1531 M, beliau pernah singgah berniaga ke Bandar Bengkulu dalam pelayarannya menuju ke- Banten pada tahun 1458, 1468, 1472, 1480 dan pada tahun 1490/91 M setelah dia menjadi raja Banten. Putra Pasee (Samudera Pasee) ini berlayar bersama seorang sahabatnya ulama besar Syeikh Nuruddin Ibrahim Makhdum Patakan bin Maulana Ismail. Sewaktu menjadi Sultan Banten dia juga mengadakan kunjungan ke Bengkulu pada tahun 1490/91, dan kunjungannya ini adalah merupakan kunjungan yang terakhir sebagai Sultan (Kepala pemerintahan) Kerajaan Islam Banten.
Dalam kronik Tanah Banten menyebutkan bahwa ulama Mahkdum datang ketanah Jawa bersama-sama dengan Mualim Hasanuddin alias Hasanuddin Khan khaan, seorang saudagar yang juga pemilik kapal dagang (Jung) datang ke Phalimbam (Banten) pada tahun 1458 M, sebelumnya mereka juga telah singgah di negeri Bengkulu. Setibanya di Tanah Jawa (Banten), Mualim Hasanuddin melanjutkan perniagaannya, sedangkan Makhdum selanjutnya menyebarkan agama Islam kehampir seluruh pelosok pesisir Jawa Barat hingga Cirebon sebagai seorang da’i di Tanah Phasundaan. Kedua sahabat ini nampaknya juga acapkali kembali ke Pasee untuk berniaga hingga tahun 1480 M, sebelum Mualim Hasanuddin menjadi sultan (raja) di tanah Banten.
Perjalan hidup telah membawa pedagang atau khan-khaan (bhs:Persia) ini lain, dia menjadi (Mualim Hasanuddin) raja Banten pada tahun 1481 seorang penguasa kerajaan Islam kesultanan Banten. Sejak menjadi raja di Banten, nama Mualim Hasanuddin berubah menjadi “Sultan Maulana Hasanuddin Al-Pasee”. Ia adalah pendiri kerajaan Islam pertama di tanah Jawa yang memakai gelar “Sultan” untuk jabatan seorang raja.
Karena sebelumnya tidak ada seorangpun raja-raja Tanah Jawa yang memakai gelar Sultan. Gelar sultan (Gelar raja-raja di Timur Tengah) itu sebelumnya hanya digunakan oleh raja-raja negeri Peureulak dan Samudra Pasee pada abad ke-XII dan ke-XIII M di Nusantara, namun selanjutnya juga digunakan oleh raja-raja Tanah Semenanjung Malayu dan Jawa. Kata “sultan” dalam bahasa Persia kuno artinya perintah (perintah raja atau titah raja), selanjutnya kata ini berubah menjadi nama jabatan seorang kepala negeri atau wilayah.
Sedangkan sahabatnya, Ulama besar sufi Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim (Makhdum Patakan) bin Maulana Ismail yang dikenal dengan sebutan Datuk Kahfi alias Sunan Gunung Jati, setiba di Tanah Pha-sun-da-an menyebarkan agama Islam di negeri Phalimbham, Sura (Surah atau Surakarta = Pandegelang), Baros, Menes, Seketi (Sekati), Labuhan (Laboh = Pelabuhan). Pada tahun 1477 M ulama besar Makhdum ini hijrah ke Sarabon (Carabon atau Cirebon sebuah pelabuhan kecil yang tidak begitu dikenal orang), dan mendirikan pesanteren di Desa Jati Sarabon. Penduduk negeri (Desa Jati) itu disebutkan berjumlah tidak lebih dari 35 wuwungan (kepala keluarga) pada awal pesanteren itu didirikan.
Tarekh 1477 M selanjutnya dijadikan patokan sebagai tahun didirikannya pesanten di Negeri Jati, sebelumnya negeri Jati masih merupakan daerah tertutup dan kata Sarabon (Carabon atau Cirebon) belum dikenal orang, yang diketahui hanyalah negeri Jati (Desa Jati). Beberapa naskah kuno menyebutkan bahwa ulama besar Datuk Kahfi juga merupakan orang pertama mendirikan pesanteren di negeri Sura (Kota Pandegelang sekarang). Sayangnya naskah-naskah kuno itu tidak menyebutkan hubungan (pertalian darah) antara Syeikh Nuruddin Ibrahim (Makhdum Patakan) bin Maulana Ismail dengan Sultan Maulana Hasanuddin raja Kerajaan Islam Banten pertama tersebut.
Syeikh Nuruddin Ibrahim bin Maulana Ismail alias Makhdum Patakan Ibrahim adalah seorang ulama besar dari negeri Samudra Pasee, beliau dikenal sebagai seorang ulama besar yang terkenal gigih dalam penyebarkan agama Islam di Tanah Banten (Phasundaan). Ulama besar ini setelah wafat lebih dikenal dengan sapaan Datuk Kahfi alias Sunan Gunung Jati Purba. Namanya banyak disebut dalam berbagai naskah kuno sebagai seorang tokoh dan ulama yang dilahirkan di kaki Gunung Marapi Padang Panjang Andaleh (Andalas) Sumatera Barat, semasa mudanya dia banyak menuntut ilmu agama Islam dan bermukim di Pasee (Provinsi Nangreo Aceh Darussalam, NAD).
Tokoh inilah yang dimakamkan di Gunung Jati Cirebon Jawa Barat tersebut, dia adalah Tuanku Guru Makhdum yang nama lengkapnya adalah Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail. Ulama sufi dikenal dengan sebutan Datuk Kahfi alias Sunan Gunung Jati, wafat pada tahun 1525 M di Sarabon (Carabon atau Cirebon). Nampaknya waliullah ini adalah ayahanda Fhathahillah, dia dimakamkan dekat tanah pesantren miliknya di Desa Gunung Jati, sedangkan anaknya Fhathahillah al-Pasee alias Hang Tuah alias Tubagus Angke alias Sultan Maulana Syarief Hidayatullah dimakamkan di Gunung Sembung pada tahun 1568 M.
Kronik-kronik di Tanah Pasee banyak menceritakan bahwa sejak abad ke- XII M telah banyak pelaut-pelaut negeri itu mengarungi berbagai samudera dan mengunjungi berbagai negeri di Tanah Jawi. Mereka berniaga dengan menggunakan jung-jung (perahu layar besar) dan berwarna-warni, memakai tiang layar yang tinggi dengan dua kemudi, dan Jung besar itu juga menarik beberapa cadik (perahu kecil yang memakai alat penyeimbang).
Anak negeri Pasee (Samudera Pasee) tidak saja dikenal sebagai pembuat perahu dan nelayan yang rajin, tetapi juga dikenal sebagai seorang pedagang dan da’i (penyebar agama Islam), mereka menyebar keberbagai pelosok di Nusantara sejak abad ke-XII M. Pedagang Pasee ini biasanya menggunakan kapal layar besar untuk membawa dagangannya keberbagai daerah / negeri, dan sekaligus sebagai pemilik kapal dan nahodanya; Contohnya adalah Mualim Hasanuddin, dia adalah seorang pedagang dan sekaligus pemilik kapal layar. Kemampuannya itu diperlihatkan dalam manajemen pelabuhan sewaktu memerintah Kerajaan Islam Banten pertama (1481–1531 M) dan dia juga dikenal dengan nama Sultan Maulana Hasanuddin Khan Khaan Al Pasee.
Para pelaut dan ulama yang tiba di Phalimbham dan Sura (Pandegelang dan Rangkas Bitung) Provinsi Banten inilah yang selanjutnya mengilhami berdirinya kerajaan Islam di Tanah Pha-sun-da-an. Penyebaran agama Islam selanjutnya berkembang di Tanah Banten, dan akhirnya mencakup hampir keseluruh wilayah Jawa bagian barat (sekarang), yang sebelumnya hanya terbatas pada wilayah Phalimbham, Sura, Camara, Chalava (Kalapa atau Jakarta).
Kedatangan para ulama dari negeri “Samudra Pasee” tahun 1458 M telah mewarnai keberagaman beragama di wilayah kekuasaan kerajaan-kerajaan (Penguasa wilayah peninggalan Kerajaan Tarumanagara) di Tanah Pasundan yang masih memeluk agama Hindhu-Bhuddha (Syncretisme). Penyebaran agama Islam tumbuh dengan pesat, konon menurut berbagai kronik di negeri ini keberhasilan itu dikarenakan para ulama (da’i) mampu memperlihatkan kekuatan spiritual disamping ramuan obat-obatan tradisional Arab, ilmu itu umumnya banyak didapati dan dipelajari dari cara pengobatan tradisional yang dilakukan para ulama Arab dan Persia yang terkenal jauh lebih maju.
Setelah Sultan Maulana Hasanuddin wafat pada tahun 1531 M maka terjadilah kefakuman (Stagnant) dalam pemerintahan di Kesultanan Banten, karena sultan pertama ini tidak pernah menunjuk siapapun sebagai penggantinya. Sultan Maulana Hasanuddin pendiri kerajaan Islam Banten pertama (1481-1531), dilahirkan di Pasee (Provinsi Nangreo Aceh Darussalam (NAD) pada tahun 828 Hijriah atau 1347 Caka atau 1425 Masehi (Babat Sunda menyebutkan 1424 M), datang ke Banten pada tahun 1458 untuk berniaga, wafat 937 Hijriah atau 1453 Caka atau 1531 M, dan di makamkan di Banten dalam usia 106 tahun (1425 – 1531 M).
Pada masa pemerintahan Sultan Maulana Hasanudin Al-Pasee (Sultan Banten pertama) tahun 1491 M. Banten pernah meminta sebanyak 65 orang kepala keluarga (KK) penduduk negeri Tsa-Lu untuk dipekerjakan sebagai pembuat kapal layar (Pinisi) disana. Catatan lainnya menyebutkan bahwa Sultan Banten Maulana Hasanidin Al-Pasee sangat menyenangi orang-orang Tsa-lu, bahkan ada yang bekerja di istana sultan.
Hingaa saat ini belum ditemukan adanya catatan (Naskah) yang menyebutkan bahwa orang-orang Tsa-Lu (Bengkulu) yang lama tinggal di Kerajaan Islam Banten, selanjutnya mengembangkan agama Islam di Bengkulu. Namun sebagai tradisi Islam, bahkan kewajiban pada setiap kaum muslimin untuk menyebarkan agamanya, walaupun satu ayat dan hal itu tidak mustahil.
Raja Banten ke-II
Wafatnya raja Banten ke-I Sultan Maulana Hasanuddin yang tidak menunjuk pengganti, telah menyebabkan ulama senior yang juga panglima perang kerajaan Islam Banten Fhathahillah diangkat menjadi Raja Banten ke-II menggantikan Sultan Maulana Hasanuddin Al-Pasee raja Banten Ke-I. Jabatan Fhathahillah sendiri sebelumnya adalah akuwu (Raja kecil) di Sarabon 1529 M, setelah dia berhasil mengusir Portugis di Kalapa pada tahun 1527 M, yang mengingkari perjanjian Padrao 1522 M (Lihat : Prasasti Padrao yang ditemukan di Jl Cengkeh Jakarta Barat), dan selanjutnya mengubah nama negeri Kalapa menjadi Jakarta pada 22 Juni 1527.
Karena itu sebagai tradisi Islam, banyak para ulama dan petinggi kesultanan Banten yang dulunya banyak membantu Sultan Maulana Hasanuddin datang memintak fatwah dan nasehat langsung kepada ulama besar Fhathahillah yang dikenal dengan sapaan Sultan Maulana Syarief Hidayatullah. Sebagaimana tradisi Islam “Imam adalah juga seorang pemimpin“, maka ulama ini dipercayakan untuk memerintah Kesultanan Banten (Raja Banten ke-II) atas permintaan dan dukungan sepenuhnya dari ulama-ulama Tanah Banten lainnya. Namun karena waktu itu dia adalah Sultan (Akuwu) Sarabon, maka pusat pemerintahan Kesultanan Banten dipindah ke Sarabon.
Pusat pemerintahan Banten di Sarabon pada masa Fhathahillah alias Sultan Maulana Syarief Hidayatullah Al-Pasee itu berlangsung dari tahun 1531 hingga 1568 M, dan setelah Sultan Banten ke II wafat kendali pemerintahan Kesultanan Banten selanjutnya semakin tidak jelas. Sementara pedagang asing seperti Arab, Cina, Portugis, Belanda, Inggris yang mengejar rempah-rempah di Banten semakin ramai, menyusul Perancis namun tidak bertahan lama. Sedangkan kerajaan kecil yang dulu dibawah kendali kesultanan Banten berangsur lepas dan berdiri sendiri-sendiri.
Fhathahillah alias Sultan Maulana Syarief Hidayatullah lahir di Peureulak “Samudera Pasee” Aceh Timur, pada tahun 874 Hijriah atau 1392 Caka atau 1470 M, wafat 1568 M di Sarabon (Carabon atau Cirebon) Jawa Barat. Fhathahillah adalah putra Makhdum Patakan Ibrahim seorang ulama besar pentafsir Al-Qur’an yang hidup dimasa Kerajaan Samudera Pasee dibawah pemerintahan Ratu Nur Ilah (1424-1461 M) dan Sultan Muzafar Syah (1461-1497 M). Nama Makhdum Patakan Ibrahim termasyhur sebagai ulama sufi, namanya harum hingga ketanah seberang Semenanjung Malayu.
Fhathahillah alias Hang Tuah alias Ratu Bagus Hang Tua (Tubagus Angke), sejak usia 10 tahun si Buyung ini telah berani mengarungi lautan menyeberangi Selat Malaka bersama rekan-rekan sebayanya, dan saat menginjak dewasa Fhathahillah muda berniaga keberbagai negeri di Semenanjung Malayu. Dia berniaga tidak saja ke Malaka tetapi juga ke Johore, Kuantan, Trengganu, Penang, Kedah, hingga ke Kerajaan Phã-mnalä-yû Crï-Indrâpurä Minangatämvà n dan Kerajaan Phã-mnalä-yû Crïviyäyâ (Sriwiyaya) Phalimbham.
Ulama besar Fhathahillah Khaan Al Pasee alias Hang Tuah alias Tubagus Angke alias Sultan Maulana Sarief Hidayatullah Al Pasee, dan masih banyak lagi sederetan nama atau gelar sapaan yang disandangnya seperti Sultan Maulana Syarief Hidayatullah au Fhathahillah ibnu Sayyid Kamil Maulana Mukhdum Ibrahim (Makhdum Patakan Ibrahim) Rahmattullah ibnu Syeikh Nuruddin Ibrahim Maulana Ismail. Sapaan terakhirnya dan hingga kini dia lebih dikenal dengan sebutan Sunan Gunung Jati, meskipun dia tidak dimakamkan disana. Karena dia adalah penerus penyebar Agama Islam setelah Datuk Khafi alias Sunan Gunung Jati Purba.
Kondisi Banten setelah wafatnya Fhathahillah semakin kacau, pejabat teras Kesultan Banten yang dulunya banyak membantu Sultan Maulana Syarief Hidayatullah semasa hidup saling berebut pengaruh (berebut tuah), sementara pemberontakan, perampokan dan perompakan telah terjadi dimana-mana, para ulama tidak dapat berbuat apa-apa. Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh pedagang asing untuk mengadu-domba anak pribumi, hingga datangnya campur tangan Belanda pada tahun 1596 di Banten dan dilanjutkan berdirinya kongsi dagang Belanda (VOC) tahun 1602 di Banten.
Gelar Ratu Bagus
Di Indonesia kita banyak mendengar mereka yang menggunakan gelar Kyai, kata ini diambil (dipinjam) dari kata kya (kyai) dari bahasa Palung, dan bahasa Palung meminjam dari bahasa Hyunan klasik (Cina Daratan). Kata kya berarti bagus dan kya-kya berarti baik-baik, dalam bahasa Indonesia modern kata ini berubah menjadi kiyai yang terjemahan umumnya ± adalah ulama (?).
Karena itu tidaklah mengherankan apa bila ada seekor kerbau di Solo yang disebut dengan Kyai Slamat, ada keris yang diberi nama Kyai Slamat, ada kereta kuda yang diberi nama Kyai Slamat, ada Gamelan yang diberi nama Kyai Slamat dan bahkan ada kotoran hewan (Najis) yang diberi nama Kyai. Masih banyak lagi kyai-kyai lainnya, begitu juga dengan nama orang, ada yang menggunakan kata Bagus seperti yang kita lihat pada nama I Bagus Oke, I Bagus Sudjana dan di Bengkulu sendiri ada yang memakai nama dengan kata Bagus seperti Bagus Harijadi, Bagus Sukma dan lainnya.
Bahkan dikalangan ulama atau ustat (Muslim) sedang trendy menggunakan kata Kyai. Mereka merasa tidak afdhol kalau didepan namanya tidak memakai gelar Kyai, bahkan ditambah sedikit dengan gelar Haji (KH) yang sebenarnya didalam Islam tidak pernah ada titel Haji tersebut. Tentu kita tidak pernah mendengar ada titel Haji yang dipakai didepan nama Nabi Muhammad SAW, pada hal dia adalah seorang Rasul Allah.
Kalaupun dipakai, tentu lebih banyak ria, wujub, takburnya dari pada baiknya. Bahkan tidak jarang kita melihat seorang yang memakai title Haji dalam keadaan teler alias mabuk, keluar masuk klub malam dan bar. Bahkan belum lama ini tersiar berita bahwa seorang yang memakai title Haji didapan namanya, meninggal di sebuah kamar pelacuran (WTS) Nauzhubillahiminzalik.
Di Banten (Provinsi Banten) juga ditemukan kata Bagus pada gelar seseorang seperti Ratu Bagus (Tubagus atau Tb), gelar ini untuk pertama kali diberikan Raja Banten Sultan Maulana Hasanuddin al-Pasee kepada Fhathahillah al-Pasee pada tahun 1524 M sebelum memimpin penyerangan ke- Kalapa (Jakarta sekarang) tahun 1527 M. Kata Ratu Bagus (Tb) ini bila diterjemahkan secara bebas berarti Raja Terbaik atau Pemimpin Terbaik atau Putra Terbaik.
Sebagai penghargaan kepada seorang tokoh yang telah berjasa dan sekaligus adalah juga ulama besar, maka masyarakat menganuhgerahkan gelar “Ratu Bagus“ (Tubagus) kepada Fhathahillah al-Pasee. Dengan demikian nama lengkap dari ulama ini adalah Tubagus Hang Tua Fhathahillah Khaan Al-Pasee, atau juga sering disebut dengan sapaan Tubagus Angke Fhathahillah Khaan Al-Pasee. Ulama inilah orang yang pertama sekali menggunakan gelar Tubagus, sebagai anugerah rakyat dan Raja Banten Pertama (Ke-I), selanjutnya menjadi gelar keluarga atau keturunan
source:putrasandika
Choose EmoticonEmoticon