BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Islam merupakan agama yang tersebar dipertengahan bumi yang terbentang dari tepi laut afrika sampai laut pasifik selatan,dari padang rumput siberia sampai ke pelosok asia tenggara. Bangsa barbar afrika barat, sudan, afrika timur yang berbahasa swahili, bangsa arab timur tengah bangsa turki, irania,bangsa turki dan persi yang tinggal di asia tengah dari sisi latar etnis, bahasa, adat, organisasi politik, dan pola kebudayaan dan teknologi mereka menampilkan keragaman kemanusiaan, namun islam menyatukan mereka. Meskipun seringkali tidak menjadi totalitas kehidupan mereka, namun islam terserap dalam konsep, aturan keseharian, memberikan tata ikatan kemasyarakatan, dan memenuhi hasrat mereka meraih kebahagiaan hidup. Lantaran keragaman tersebut, islam berkembang menjadi keluarga terbesar umat manusia .
Afrika Utara merupakan daerah yang sangat penting bagi penyebaran agama Islam di daratan Eropa. Ia menjadi pintu gerbang masuknya Islam yang selama berabad-abad berada dibawah kekuasaan Kristen sekaligus benteng pertahanan Islam untuk wilayah tersebut. Dari sisi kemajuan peradaban, Afrika Utara tidak bisa begitu saja dilupakan dalam sejarah Islam. Kemajuan di bidang arsitektur, dekorasi, dan seni bangunan lainnya dapat disaksikan peninggalannya bahkan hingga sekarang.
B. RUMUSAN MASALAH
1. Bagaimana proses kedatangan islam ke Afrika Utara?
2. Apa saja dinasti-dinasti yang ada di Afrika Utara?
3. Bagaimana proses masuknya islam di Afrika Sub-Sahara?
C. TUJUAN
1. Mengetahui proses kedatangan islam ke Afrika Utara
2. Mengetahui dinasti-dinasti yang ada di Afrika Utara
3. Mengetahui masuknya islam di Afrika Sub-Sahara
BAB II
PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
A. KEDATANGAN ISLAM DI AFRIKA UTARA
Kehidupan sosial masa lalu Afrika Utara adalah sebuah kehidupan masyarakat pedesaan yang bersifat kesukuan, nomad (berpindah-pindah tempat) dan patriarkhi. Ketika daerah ini berada dibawah kekuasaan Romawi, tak pelak pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat Barbar. Umumnya mereka dipengaruhi oleh para elit kota yang mengadopsi bahasa, gagasan dan adat istiadat para penguasa. Tetapi elit-elit ini tidak banyak. Selanjutnta, setelah orang-orang Vandal(barbar) memperoleh kemenangan, pengaruh romawi disebagian Afrika mulai berhenti, kecuali pengaruh ekonomi, dan peradaban Barbar lama secara bertahap muncu kembali. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa pada abad 1H/7M kehidupan social afrika utara lebih merupakan kehidupan masyarakat Barbar yang bersifat kesukuan, nomad dan patriarkhi.
Islam masuk wilayah Afrika Utara pada saat daerah itu berada dibawah kekuasaan kekaisaran Romawi; sebuah imperium yang amat luas yang melingkupi beberapa Negara dan berjenis-jenis bangsa-bangsa manusia. Penaklukan daerah ini pada dasarnya sudah mulai dirintis pada masa kekhalifaan Umar ibn al-Khattab. Pada tahun 640M ‘Amr Ibn al-‘Ash berhasil memasuki mesir, setelah sebelumnya mendapat izin bersyarat dari khalifah ‘Umar untuk menaklukkan daerah itu.
Pada masa kekhalifahan Utsman Ibn Affan menaklukkan islam sudah meluas sampai ke Barqah dan Tripoli. Penaklukkan atas kedua kota itu dimaksudkan untuk menjaga keamanan daerah mesir. Penaklukkan itu tidak bertahan lama. Namun kekejaman dan pemerasan yang mereka lakukan telah mengusik ketentraman penduduk asli, sehingga tidak lama kemudian penduduk asli sendiri memohon kepada orang-orang muslim untuk membebaskan mereka dari kekuasaan romawi. Permohonan mereka itu disanggupi oleh khalifah sepeninggal Utsman yang pada waktu itu sudah berpindah ke tangan Mu’awiyah Ibn’ Abi Sofyan, khalifah pertama daulah Bani Umayyah. Ia bertekad untuk memberikan pukulan terakhir kepada kekuasaan Romawi di Afrika Utara, dan mempercayakan tugas ini kepada seorang panglima yang Masyhur, ‘Uqbah Ibn Nafi’ Al-Fihri (W.683M), yang telah menetap di Barqoh sejak daerah itu ditaklukkan.
Pada tahun 50H/670M ‘Uqbah mendirikan kota militer yang termasyhur, Qairawan, disebelah selatan Tunisia. Tujuannya adalah untuk mengendalikan orang Barbar yang ganas dan sukar diatur, dan juga untuk menjaga terhadap perusakan-perusakan yang dilakukan oleh orang-orang Romawi. Perjalanan Uqbah yang cemerlang itu, dan pukulan-pukulannya yang menghancurkan orang-orang romawi dan Barbar, telah membuat negeri itu aman selam beberapa tahun. Akan tetapi, pada tahun 683M orang-orang islam di afrika utara mengalami kemunduran yang hebat, karena orang-orang yang dibawah kepemimpinan Kusailah bangkit memberontak dan mengalahkan Uqbah. Dia dan seluruh pasukannya tewas dalam pertempuran. Sejak saat itu orang-orang islam tidak berdaya mengembalikan kekuasaannya di Afrika Utara, karena selain berhadapan dengan bangsa Barbar mereka juga harus berhadapan dengan bangsa Romawi yang memanfaatkan kesempatan dalam pemberontakan Kusailah tersebut.
Pada saat pemerintahan dipegang oleh Abdul Malik Ibn Marwan(685-705M), daulah bani Umayyah mulai bangkit kembali untuk merebut Afrika Utara. Dia mengirimkan pasukan dibawah pimpinan Hasan Ibn Nu’man al-Ghasani untuk memulihkan prestise islam yang hilang. Pasukan ini berhasil menumpas tentara Romawi dan menghalau mereka dari Afrika Utara serta berhasil menindas perlawanan bangsa Barbar. Sejak itu Afrika Utara dan daerah Maghribi tidak lagi termasuk lingkungan daerah mesir, tetapi telah berdiri sebagai wilayah tersendiri yang diperintah oleh seorang gubernur yang diangkat oleh khalifah.
B. DINASTI-DINASTI AFRIKA UTARA
Berikut ini beberapa dinasti yang pernah ada di Afrika Utara. Akan tetapi dalam kajian ini, tidak diuraikan secara mendalam, kecuali Dinasti Fatimiyah, karena Dinasti tersebut memiliki hasil peradaban yang cukup luar biasa dalam dinamika sejarah umat islam. Beberapa dinasti tersebut adalah sebagai berikut:
1. Dinasti Idrisiah di Maroko
Cucunya Hasan Ibn Ali, yaitu Idris Ibn Abdulah melakukan pemberontakan terhadap Abbasiyah pada 786 M, namun karena kalah, maka ia melarikan diri ke Maroko. Disana Ia mendirikan Dinasti Idrisiah (788-974) dengan ibukota Fez (Fas). Inilah merupakan Dinasti Syi’ah pertama dalam sejarah islam. Karena dinasti ini terletak antara kekuatan Islam besar, yaitu Umayah di Andalusia dan Idrisiah di Afrika Utara. Akhirnya Panglima dari Hakam II di Andalusia, yaitu Ghalib Billah melakukan aneksasi wilayah Idrisiah. Setelah itu maka berakhirlah wilayah Dinasti Idrisiah.
2. Dinasti Aghlabiyah
Khalifah Harun al-Rasyid mengutus Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah. Mereka berkuasa secara independen dengan penguasa yang bergelar Amir dan memepengaruhi kawasan Laut Tengah. Dengan armada laut yang kuat mereka menjadi polisi di Itali, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Kemudian mereka menguasai Sisilia dan Malta sampai pulau Creat (Kreta), bahkan sampai di laut Egian. Dinasti Aghlabiah 800-909 M berpusat di Sijilmasa, berdiri ketika khalifah Harun al-Rasyid mengangkat Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiah (Tunisia) pada 800 M untuk membendung kekuatan-kekuatan luar dengan Abbasiyah terutama membendung dari serangan Dinasti Rustamiyah (Khawarij) dan Idrisiah. Kedua dinasti ini sama-sama berusaha ekspansi ke al-Maghrib untuk mlemahkan kekuasaan Abbasiah di Afrika dan sekitarnya. Periode ini membawa Afrika Utara dan kawasan pesisir luat tengah dalam banyak kemajuan. Dinasti ini dilenyapkan oleh Dinasti Fathimiah ketika menguasai ibu kota Sijilmasa, dengan mengalahkan penguasa terakhir Ziadatullah al-Aghlabi III pada 909 M
3. Dinasti Ibn Toulun
Di Syiria dan Mesir berdiri Dinasti Toulonia (828 M), pendiri dinasti ini adalah Ahmad Ibn Toulun yang semula ditugaskan oleh penguasa Abbasiah sebagai penguasa Mesir. Pada periode ini, kegiatan intelektual dan arsitektur berkembang kemajuannya. Banyak rumah sakit, masjid, dan menara didirikan diantaranya masjid Ibn Toulun di Mesir yang sangat populer gaya arsitekturnya dalam sejarah. Putera Ibn Toulun Syaibhan 904-905 M mengembalikan Mesir dalam kekuasaan Abbasiah.
4. Dinasti Ikhshid
Muhammad Ibn Tughuz mendirikan Dinasti Turki. Ia mendapatkan restu dan nama dinasti ini dari Khalifah al-Razy, menggunakan nama Ikhshid (gelar kehormatan yang biasa digunakan raja-raja Sasania sebelum islam), tidak lama kemudian ia menguasai Syam, Palestina, dan kedua kota suci islam, Makkah-Madinah serta masjidnya. Abdul Misk Kapur berkuasa dengan sukses. Penguasa terakhir dari dinasti ini, Abul Fawaris Ahmad. Ia dikalahkan oleh Jauhar, panglima perang dari Dinasti Fathimiah
5. Dinasti Fatimiah
a. Awal Berdirinya
Telah disebutkan bahwa ketika Dinasti Abbasiah di Baghdad mulai melemah, lahirlah kekhalifaan Fatimiah. Salah satu dinasti islam beraliran Syi’ah Isma’iliyah, pada 909 M di Afrika Utara setelah mengalahkan Dinasti Aghlabiah di Sijilmasa. Dalam sejarah, kejayaan Dinasti Fatimiah datang setelah pusat kekuasaannya dipindahkan dari Tunisia (al-Mahdiah) ke Mesir. Kekuasaan Syi’ah tersebut berakhir pada 1171 M. Kekhalifaan Ftimiah lahir sebagai manifestasi dari idealisme orang-orang Syi’ah yang beranggapan bahwa yang berhak memangku jabatan imamah adalah keturunan dari Fathimah binti Rasulullah SAW. Kekhalifaan ini lahir diantara dua kekuatan politik kekhalifaan, Abbasiah di Baghdad, Umayyah II di Cordova. Sebenarnya golongan Syi’ah sudah lama mencita-citakan berdirinya kekhalifaan sejak pudarnya kekhalifaan Ali Ibn Abi Thalib di Kufah. Mereka selalu mendapat tekanan-tekanan politik semasa periode kekhalifaan Umayah hingga Abbasiah. Itulah sebabnya mereka tidak berani menampakkan kegiatan politik baik terhadap pemerintahan Umayah maupun Abbasiah. Dalam kegiatan politiknya, mereka melakukan gerakan taqiyah yang kelihatannya taat terhadap penguasa tetapi sebenarnya mereka menyusun kekuatan secara diam-diam.
Di daerah al-Magrib terdapat seklompok orang Syi’ah yang mendapat banyak dukungan dari orang penganut Madzhab Maliki. Daerah itu kemudian berkembang menjadi daerah yang memberikan angin segar bagi tumbuh suburnya ide-ide mereka. Dari segi geografis, daerah ini sangat menguntungkan karena jauh dari penguasaan Damaskus dan Baghdad. Di tengah-tengah keleluasaan inilah mereka memiliki kesempatan emas untuk mendirikan kekuasaan secara diam-diam. Sejarah menuturkan, bahwa pendiri Dinasti Fatimiah adalah Sa’id Ibn Husain (kemungkinan ia adalah keturunan Abdullah Ibn Maimun, pemimpin Syi’ah dari Persia). Sejak berdirinya Dinasti Abbasiah, mereka secara diam-diam menyebarkan misi ismai’iliyah di bawah pimpinan yang cermat. Gerakan ini berhasil membangun fondasi yang kuat bagi berdirinya Dinasti Fatimiah. Pada akhir abad ke-9 M, Abu Abdullah al-Husain al-Syi’i, salah seorang propagandis utama dari pemimpin Syi’ah Ismai’iliyah berasal dari Yaman, memperkenalkan diri di kalangan orang Kitama, anak suku dari suku Berber di Afrika Utara, sebagai utusan utama dari Imam Mahdi. Al-Syi’i berhasil mempengaruhi masyarakat Berber tersebut untuk mengikuti misinya. Pada saat itu, Ziadatullah al-Aghlabi 903-909 M (Dinasti Aghlabiyah) sedang berkuasa di Afrika Utara yang berpusat di Sijilmasa. Pasukan al-Syi’i berhasil mengalahkan pasukan Aghlabi sebanyak dua kali. Al-Syi’i kemudian mengundang Sa’id agar datang untuk memangku jabatan sebagai pemimpin
Mendengar kemajuan al-Syi’i, Sa’id meninggalkan Salamiah, pusat kegiatan Syi’ah secara rahasia, menuju ke Afrika Utara dengan menyamar sebagai pedagang. Berita kepergian Sa’id berhasil didengar oleh khalifah Abbasiah di Baghdad. Yang kemudian mengirim mata-mata untuk menangkap Sa’id dan pengikutnya. Meskipun menyamar, Sa’id tetap tertangkap di Sijilmasa. Segera al-Syi’i menuju ke Sijilmasa dan brhasil mengalahkan Ziadatullah dan membebaskannya dari tahanan. Sa’id mengumumkan dirinya sebagai pendiri Dinasti Fatimiah di Raqqadah (sebagai ibu kota) sebelah tenggara sekitar 10 mil dari Ibu Kota Sunni, Qayrawan. Mulailah sejak saat itu berdirilah kekhalifaan Fatimiah dengan khalifah pertama adalah Sa’id dengan gelar ‘Ubaidillah al-Mahdi.
Tentang asal-usul Sa’id, para sejarawan berbeda pendapat. Ibn al-‘Atir, Ibn Khaldun, Makrizi, dan banyak yang lainnya menyatakan, bahwa ia adalah keturunan dari Fatimiah, sedangkan Ibn Khallikan, Ibn Ijari, Sayuti, dan Ibn Tagribirdi menolaknya sebagai keturunan Fatimiah. Menurut Saunders, tidak seorang pun yang dapat melacak asal-usulnya secara memuaskan (Saunders, 1980; 131). Kesulitan untuk melacak asal-usul tokoh Fatimiah itu dikarenakan oleh model pergerakan Syi’ah yang underground. Karena bawah tanah tidak bisa dijejaki (Watt, 1990: 171&178). Sifat rahasia dalam gerakan Syi’ah menjadi penghalang bagi pencarian bukti-bukti sejarah yang dapat menjelaskan proses gerakan tesebut berlangsung. Hal yang sama juga terjadi dalam pembentukan Dinasti Fatimiah. Sa’id terkenal dengan Imam Ubaidillah al-Mahdi dengan pusat kekuasaannya di Raqqadah. Karena, Raqqadah terlalu dekat dengan pusat kota Sunni, Qayrawan, maka pusat pemerintahan dipindahkan ke al-Mahdiyah, sekitar 16 mil arah tenggara dari Raqqadah pada 915 M (Karim, 2003 [1]:97). Pusat pemerintahan mereka yang baru ini merupakan kenang-kenangan dan sebagai pengekalan dari kerinduan mereka terhadap Imam al-Mahdi al-Muntazar. Sebenarnya nama ini diambil dari pendirinya, Ubaidillah al-Mahdi 909-934 M. (Hitti, 1974:618, Lombard 1975:65 & 136, Goitein, 1968:309, dan Rahman, 1977:275). Sepeninggal al-Mahdi, al-Qaim 934-946 M naik tahta. Pada masa ini, armada Fatimiah menyerang pantai selatan Prancis dan menaklukkan Genoa. Penggantinya al-Mansur 946-952 M. Semasa khalifah IV, Mu’iz li Dinillah 952-975 M, kekhalifaan Fatimiah memasuki era baru (Rahman, 1977:140-142 dan Karim, 1972; 463-464.
Setelah mesir diketahui sebagai daerah yang makmur dan penduduknya dapat menerima berbagai aliran madzhab, maka Mu’iz menyerang Mesir dengan alasan untuk melindungi kaum Syi’ah yang ada disana. Saat itu terjadi sengketa pelaksanaan upacara keagamaan mereka. Pada Mu’iz inilah, puncak kejayaan Fatimiah terukir, ia berhasil menyamai keberhasilan Abdurrahman III di Andalusia. Selama tiga tahun Jawhar berusaha untuk mendirikan dan membangun pusat pemerintahan, Mesir baru, diberi nama al-Qahira sebagai ganti dari Fustat. Baru setelah Mu’iz datang (971 M) kesana, Kairo resmi dijadikan sebagai pusat pemerintahan Fatimiah sebagai ganti pusat pemerintahan mereka yang lama di al-Mahdiyah.
Pada masa khalifah Abu Mansur Nizar al-Aziz 975-996 M yang terkenal paling pandai, pecinta ilmu, dan ambisius, kekuasaan Fatimiah mencapai pncak kejayaannya, terlebih dalam kegiatan intelektual. Dalam kegiatan ilmiah ia membangun Dar al-Hikmah di Kairo. Kekuasaannya meliputi dari Samudra Atlantik sampai ke Laut Merah, Yaman, Makkah, Damaskus, bahkan Mosul pun mengakui kekuasaannya yang ditunjukkan dengan penyebutan namanya dalam setiap khutbah jumat. Setelah wafat, puteranya, al-Hakim bi Amrillah naik tahta, yang berhasil membangun observatarium yang tersebar di pegunungan Mukattam. Mereka mempercayai bahwa khalifah keenam dari Dinasti Fatimiah memliki kekuatan ketuhanan sejak ia hilang di pegunungan Mukattam. Sejak itulah masa kejayaan Fatimiah tahap demi tahap surut, sampai akhirnya pada 1171 M. Khalifah XIV al-Adid ditaklukkan oleh Salah al-din Ayyubi, maka berakhirlah kekuasaan Fatimiah selama dua setengah abad lebih.
b. Kemajuan
Kekhalifaan Fatimiah yang berdiri di Mesir tetap menganut sistem pemerintahan yang dijalankan oleh kekhalifaan Fatimiah yang ada di al-Maghrib yaitu sistem yang berdasarkan pada pokok pikiran yang menganggap, bahwa imam-imam mereka bersih dari kesalahan dan dilindungi dari dosa (Hasan 1958; 264), karena menurut mereka yang berhak memangku jabatan kepala pemerintahan ialah keturunan dari Fatimah binti Rasulullah. Sistem pemerintahan Fatimiah bernadakan teokrasi karena menurut anggapan mereka, jabatan khalifah itu ditentukan oleh wasiat (nash). System pengangkatan kepala Negara adalah system penunjukkan.
Orang Fatimiah beranggapan bahwa Afrika Utara sebagai tanah air mereka yang kedua. Oleh karena itu, mereka sangat keras dan berhati-hati dalam melaksanakan politik daerah kekuasaannya yang luas dari al-Maghrib sampai ke Mesir. Sesudah itu merembes ke Syam, Palestina, Hijaz, serta Yaman.
Dinasti Fatimiah berusaha untuk melakukan pembangunan negaranya dalam menciptakan kemakmuran. Disamping itu, menciptakan pranata-pranata tentang pertanian. Pemerintahan Fatimiah memberlakukan peraturan kepada para petani yang bersifat toleran, bukan saja mengeluarkan aturan-aturan tentang penggunaan air dan menentukan besarnya kharaj yang harus dikeluarkan oleh tuan-tuan tanah.
c. Kemunduran dan kehancuran
Dinasti Fatimiah di Mesir mulai mengalami kemunduran ketika Bani Saljuk bersama pasukannya datang ke Baghdad dan mengusir keluarga Buwaihi bahkan akhirnya menangkap tokohnya yang bernama al-Bassasiri. Dinasti ini tidak dapat memberikan pertolongan. Kemundurannya itu akhirnya membawa dinasti ke gerbang kehancuran. Ada beberapa factor yang menyebabkan kemunduran Dinasti Fatimiah, antara lain:
1) Meskipun doktrin Isma’iliyah yang dianut oleh Fatimiah menekankan masalah keagamaan dan perkembangan ilmu pengetahuan, paham ini belum dapat diterima oleh sebagian besar masyarakat islam
2) Dalam usaha ekspansi ke luar daerah, Fatimiah telah banyak mengalami kesuksesan dan bisa menaklukkan daerah Mesir, Syria, Palestina. Tetapi mereka mengalami kesulitan untuk mengadakan pengawasan secara seksama sehingga terjadi pemberontakan
3) Khalifah Fatimiah secara pribadi mengontrol semua kegiatan secara seksama. Namun, diantara khalifah ada yang menyerahkan tugas pengawasan ini kepada amir. Disebabkan karena usia khalifah masih dibawah umur
Semasa al-Aziz orang turki dan para budak direkrut menjadi tentara. Hal ini menimbulkan konflik dan pertikaian karena adanya friksi dalam tubuh militer ketika masing-masing mereka merasa kuat. Konflik dan pertikaian ini akhirnya membawa pada kelemahan Fatimiah. Setelah al-Aziz wafat, Hakim sebagai khalifah VI, sudah mulai terasa bahwa Dinasti Fatimiah mulai melemah. Hal ini ditandai dengan adanya beberapa jabatan penting yang dipegang sejak akhir masa pendahulunya. Sebagai catatan Khalifah Hakim mengeluarkan dekrit, bahwa semua aktivitas negeri harus berhenti pada siang hari dan segala aktivitas termasuk kantor dibuka mulai maghrib sampai shubuh. Dekrit aneh ini terlaksana selama tujuh tahun, kemudian Dinasti Fatimiah kembali ke peraturan semula.
Badr al-Jamali berusaha memperbaiki tatanan sosial-masyarakat Mesir dan memberikan kemakmuran bagi mereka. Dibawah pemerintahannya, Mesir mengalami masa kemakmuran, tetapi pada saat yang sama membawa ke arah pergolokan militer. Tindakan ini membawa persaingan yang tidak sehat antar golongan dalam tubuh militer yang dapat mengancam kekuasaannya beserta seluruh kelompoknya.
Nashir Khosru mencatat sebagai saksi mata sejarah, pada masa Mu’iz dan Aziz, mesir merupakan kawasan yang sangat maju, terutama ekonomi mencapai puncak kemajuannya. Namun, setelah Aziz ekonomi dinasti ini mulai memasuki masa kulminasi. Para penggantinya mulai hidup mewah berlebih-lebihan, memiliki tempat tinggal yang sangat mewah untuk pribadi dan keluarganya. Hal ini menyebabkan kemunduran atau kelemahan khalifah karena kurangnya atau menipisnya dana untuk memajukan atau menjalankan roda pemerintahannya.
C. MASUKNYA ISLAM DI AFRIKA SUB-SAHARA
Afrika Sub-Sahara adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan negara-negara disekitarnya. Afrika Sub-Sahara ini terbagi menjadi dua kategori, eksternal dan internal. Yang pertama, terbagi lagi dalam islam dan eropa dan yang kedua juga terbagi lagi dalam oral dan tulisan. Dalam periode awal hanya ada catatan yang dibuat oleh para ahli ilmu bumi dan sejarawan muslim. Kemudian sejak waktu avonturis Eropa dan para eksplorasi mendarat dipantai Barat Afrika, mulailah meningkat laporan-laporan tentang afrika barat yang disampaikan oleh para pelawat. Akhirnya, diperoleh riwayat-riwayat lisan dari pribumi sendiri.
Masuknya islam secara formal dan besar-besaran di wilayah Bilad al-Sudan, terjadi pada masa Dinasti al-Murabithun. Dimana sebelum islam menaklukkan wilayah Afrika Utara, ± 500 tahun dijajah oleh Bizantium.
Sementara itu, selain islamisasi bersifat formal yang dilakukan al-Murabithun dan al-Muwahhidun didaerah Sub-Sahara, penyebaran islam dan proses islamisasi dilakukan dengan cara kultural. Penyiaran islam tersebut diantaranya melalui perdagangan. Mereka membangun pemukiman pedagang muslim diwilayah-wilayah Sudan. Saat itu terdapat beberapa jalur perdagangan yang menghubungkan Afrika Utara dengan Sub-Sahara, yaitu: dari Fustat dan Kairo ke Fezzan yang menghubungkan juga dengan Tripoli di Libya.
Pengaruh islam akhirnya hampir ke seluruh Sub-Sahara menjadi penduduk yang mayoritas muslim. Muncul banyak negara-negara di Senegal, Imperium Sninke di Gana, dan negara-negara di bawah Imperium Mali yang sangat berperan aktif dalam usaha islamisasi disana.
BAB III
PENUTUP
PENUTUP
A. KESIMPULAN
1. Kedatangan Afrika Utara adalah sebuah kehidupan masyarakat pedesaan yang bersifat kesukuan, nomad (berpindah-pindah tempat) dan patriarkhi. Ketika daerah ini berada dibawah kekuasaan Romawi, tak pelak pengaruhnya sangat besar bagi masyarakat Barbar.
2. Pada saat pemerintahan dipegang oleh Abdul Malik Ibn Marwan (685-705M), daulah bani Umayyah mulai bangkit kembali untuk merebut Afrika Utara. Khalifah Harun al-Rasyid mengutus Ibrahim ibn al-Aghlab sebagai penguasa Ifriqiyah. Mereka berkuasa secara independen dengan penguasa yang bergelar Amir dan memepengaruhi kawasan Laut Tengah. Dengan armada laut yang kuat mereka menjadi polisi di Itali, Prancis, Korsika, dan Sardinia. Kemudian mereka menguasai Sisilia dan Malta sampai pulau Creat (Kreta), bahkan sampai di laut Egian.
3. Afrika Sub-Sahara adalah istilah yang dipergunakan untuk menggambarkan negara-negara disekitarnya. Afrika Sub-Sahara ini terbagi menjadi dua kategori, eksternal dan internal. Yang pertama, terbagi lagi dalam islam dan eropa dan yang kedua juga terbagi lagi dalam oral dan tulisan. Dalam periode awal hanya ada catatan yang dibuat oleh para ahli ilmu bumi dan sejarawan muslim. Kemudian sejak waktu avonturis Eropa dan para eksplorasi mendarat dipantai Barat Afrika, mulailah meningkat laporan-laporan tentang afrika barat yang disampaikan oleh para pelawat. Akhirnya, diperoleh riwayat-riwayat lisan dari pribumi sendiri
DAFTAR PUSTAKA
Maryam, Siti, dkk,. Sejarah Peradaban Islam.Yogyakarta: Lesfi. 2004
Syafii, Maarif, Ahmad, dan M. Amin Abdullah. Sejarah Peradaban Islam,
source: musfirotul
Choose EmoticonEmoticon