A. Sejarah Masuknya Islam di Sulawesi
Ribuan pulau yang ada di Indonesia, sejak lama telah menjalin hubungan dari pulau ke pulau. Baik atas motivasi ekonomi maupun motivasi politik dan kepentingan kerajaan. Hubungan ini pula yang mengantar dakwah menembus dan merambah Celebes atau Sulawesi. Menurut catatan company dagang Portugis yang datang pada tahun 1540 saat datang ke Sulawesi, di tanah ini sudah bisa ditemui pemukiman Muslim di beberapa daerah. Meski belum terlalu besar, namun jalan dakwah terus berlanjut hingga menyentuh raja-raja di Kerajaan Goa yang beribu negeri di Makassar.
Raja Goa pertama yang memeluk Islam adalah Sultan Alaudin al Awwal dan Perdana Menteri atau Wazir besarnya, Karaeng Matopa pada tahun 1603. Sebelumnya, dakwah Islam telah sampai pula pada ayahanda Sultan Alaudin yang bernama Tonigallo dari Sultan Ternate yang lebih dulu memeluk Islam. Namun Tonigallo khawatir jika ia memeluk Islam, ia merasa kerajaannya akan di bawah pengaruh kerajaan Ternate.
Beberapa ulama Kerajaan Goa di masa Sultan Alaudin begitu terkenal karena pemahaman dan aktivitas dakwah mereka. Mereka adalah Khatib Tunggal, Datuk ri Bandang, datuk Patimang dan Datuk ri Tiro. Dapat diketahui dan dilacak dari nama para ulama di atas, yang bergelar datuk-datuk adalah para ulama dan mubaligh asal Minangkabau yang menyebarkan Islam ke Makassar.
Pusat-pusat dakwah yang dibangun oleh Kerajaan Goa inilah yang melanjutkan perjalanan ke wilayah lain sampai ke Kerajaan Bugis, Wajo Sopeng, Sidenreng, Tanette, Luwu dan Paloppo.
gbr:wikipedia
B. Kerajaan-Kerajaan Islam di Sulawesi
A. Kerajaan Gowa-Tallo
Pada awalnya, Kerajaan Gowa-Tallo yang lebih dikenal sebagai Kerajaan Makassar terdiri dari beberapa kerajaan yang bercorak Hindu, antara lain, Gowa, Tallo, Wajo, Bone, Soppeng, dan Luwu. Dengan adanya dakwah dari Dato' ri Bandang dan Dato' Sulaiman, Sultan Alauddin (Raja Gowa) masuk Islam. Setelah raja memeluk Islam, rakyat pun segera ikut memeluk Islam.
Kerajaan Gowa dan Tallo kemudian menjadi satu dan lebih dikenal dengan nama Kerajaan Makassar dengan pemerintahannya yang terkenal adalah Sultan Hasanuddin (1653-1669). Ia berhasil memperluas pengaruh Kerajaan Makassar sampai ke Matos, Bulukamba, Mondar, Sulawesi Utara, Luwu, Butan, Selayar, Sumbawa, dan Lombok.
Hasanuddin juga berhasil mengembangkan pelabuhannya dan menjadi bandar transit di Indonesia bagian timur pada waktu itu. Hasanuddin mendapat julukan “Ayam Jantan dari Timur”. Karena keberaniannya dan semangat perjuangannya, Makassar menjadi kerajaan besar dan berpengaruh terhadap kerajaan di sekitarnya.
Faktor-faktor penyebab Kerajaan Makassar menjadi besar:
ü Letaknya strategis, baik sekali untuk pelabuhan
ü Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis yang menyebabkan pedagang Islam pindah ke Makassar.
Perkembangan Makassar menyebabkan VOC merasa tersaingi. Makassar tidak tunduk kepada VOC, bahkan Makassar membantu rakyat Maluku melawan VOC. Kondisi ini mendorong VOC untuk berkuasa di Makassar dengan menjalin kerjasama dengan Makassar,tetapi ditolak oleh Hasanuddin. Oleh karena itu, VOC menyerang Makassar dengan membantu Aru Palaka yang telah bermusuhan dengan Makassar. Akibatnya, banteng Borombong dan ibu kota Sombaopu jatuh ke tangan musuh, Hasanuddin ditangkap dan dipaksa menandatangani Perjanjian Bongaya (1667).
Isi Perjanjian Bongaya:
1. VOC memperolehhakmonopoli di Makassar
2. VOC diizinkan mendirikan benteng di Makassar
3. Makassar harus melepaskan jajahan seperti Bone
4. Semua bangsa asing diusir dari Makassar, kecuali VOC
5. Kerajaan Makassar diperkecil hanya tinggal Gowa saja
6. Makassar membayar semua utang perang
7. Aru Palaka diakui sebagai Raja Bone.
Akibat kekalahannya, peranan Makassar sebagai penguasa pelayaran dan perdagangan berakhir. Sebaliknya, VOC memperoleh tempat yang strategis di Indonesia bagian timur. Rakyat Makassar yang tidak mau menerima Perjanjian Bongaya, seperti Kraeng Galesung dan Monte Merano, melarikan diri ke Mataram. Selanjutnya, untuk memperlemah Makassar, banteng Sombaopu dihancurkan oleh Speelman dan benteng Ujung Pandang dikuasai VOC diganti nama menjadi benteng Ford Roterdam.
Dalam bidang kebudayaan, Makassar sebagai kerajaan yang bersifat maritim sedikit meninggalkan hasil-hasil budaya. Peninggalan budaya Makassar yang menonjol adalah perahu pinisi, lambo, dan bercadik. Dalam bidang sastra, diperkirakan sudah lahir beberapa karya sastra. Hanya saja, karya-karya tersebut tidak sampai ke kita. Tetapi pada saat itu sudah ada sebuah buku tentang hukum laut dan perniagaan, yaitu Ade' Allopiloping Bicaranna Pabbalu'e dan naskah lontar karya Amanna Gappa.
Birokrasi Pemerintahan Makassar Di Sulawesi, ditemukan buku kronik, antara lain, Lontara (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Gowa, Bone, Wajo, Luwu, dan sebagainya), Sanggala (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Toraja), dan I La Galigo (himpunan cerita yang memuat silsilah raja-raja Bugis).
Dari sekian banyak kerajaan di Sulawesi Selatan, ada tiga kerajaan besar, yaitu:
1. Kerajaan Gowa, rajanya disebut Sombaya ri Gowa (yang disembah di Gowa)
2. Kerajaan Luwu, rajanya disebut Pajunge ri Luwu atau Mapajunge ri Luwu
3. Kerajaan Bone, rajanya disebut Mangkau'E ri Bone (yang bertakhta di Bone).
Setelah raja-raja Makassar masuk Islam, mereka bergelar sultan. Dalam menjalankan pemerintahannya, raja dibantu oleh suatu dewan yang disebut Kasuwiyang Salapanga (pangabdi sembilan), kemudian diubah menjadi Bate Salapanga (bendera sembilan). Sebagai pembantu raja yang menjalankan undang-undang pemerintahan, majelis diawasi oleh seorang pemimpin yang disebut Paccalaya (hakim).
Setelah raja, jabatan tertinggi di bawahnya adalah Pabbicarabutta yang dibantu oleh Tumailalang Matowa dan Tumailalang Malolo. Tumailalang Matowa bertugas sebagai pegawai tinggi yang menyampaikan perintah raja kepada majelis Bate Salapanga. Adapun Tumailalang Malolo adalah pegawai tinggi urusan istana. Panglima yang memimpin tentara dalam perang disebut Anrong Guru Lompona Tumakjannangang. Mereka bergelar Karaeng atau Gallareng.
Ada lagi jabatan yang disebut Opu Bali Ranten, yaitu bendahara kerajaan. Selain sebagai bendahara, ia juga mengurus masalah perdagangan dan hubungan ke luar. Bidang agama diurus oleh seorang kadhi yang dibantu oleh imam, khatib, dan bilal.
Raja-raja KerajaanGowaTallo :
1. Tumanurunga (+ 1300)
2. Tumassalangga Baraya
3. Puang Loe Lembang
4. I Tuniatabanri
5. Karampang ri Gowa
6. Tunatangka Lopi (+ 1400)
7. Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
8. Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
9. Daeng Matanre Karaeng Tumapa' ri si' Kallonna (awalabad ke-16)
11. I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
13. I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593).
14. I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin Tuminangari Gaukanna
Berkuasa mula itahun 1593 – wafat tanggal 15 Juni 1639. Merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam.
15. I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminangari Papang Batuna. Lahir11 Desember1605, berkuasa mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
16. I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminangari Balla'pangkana. Lahir tanggal 12 Juni1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
17. I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminangari Allu'
18. I Mallawakkang Daeng Mattinri Karaeng Kanjilo Tuminangari Passiringanna
19. Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenangari Jakattara
20. I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminangari Lakiyung. (1677-1709)
22. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminangri Pasi
23. I Manrabbia Sultan Najamuddin
24. I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminangri Pasi. (Menjabat untuk kedua kalinya pada tahun1735)
33. I Kumala Karaeng Lembang Parang Sultan Abdul Kadir Moh Aidid Tuminangari Kakuasanna (1826 - wafat30 Januari1893)
34. I Malingkaan Daeng Nyonri Karaeng Katangka Sultan Idris Tuminangari Kalabbiranna (1893- wafat18 Mei1895)
35. I Makkulau Daeng Serang Karaeng Lembangparang Sultan Husain Tuminangri Bundu'na. Memerintah sejak tanggal 18 Mei1895, dimahkotai di Makassar pada tanggal 5 Desember 1895. Ia melakukan perlawanan terhadap Hindia Belanda pada tanggal 19 Oktober 1905 dan diberhentikan dengan paksa oleh Hindia Belanda pada 13 April 1906. Ia meninggal akibat jatuh di Bundukma, dekat Enrekang pada tanggal 25 Desember 1906.
36. I Mangimangi Daeng Matutu Karaeng Bonto Nompo Sultan Muhammad Tahur Muhibuddin Tuminangari Sungguminasa (1936-1946)
37. Andi Ijo Daeng Mattawang Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir Aidudin (1946-1960) merupakan Raja Gowa terakhir, meninggal di Jongaya pada tahun 1978.
B. Kerajaan Bone
Asal Usul Kerajaan Bone
Tanah Bone adalah gabungan dari unit-unit politik inti atau persekutuan masyarakat kaum yang disebut anang yang dipimpin oleh matoa anang (ketua kaum). Selanjutnya anang terbentuk menjadi wanua (negeri), seperti wanua Ujung, Tibojong, Ta’, Tanete Riattang, Tanete Riawa, Ponceng, dan Macege. Setiap pembentukan kelompok wanua didorong oleh ikatan rasa seketurunan dari satu nenek moyang yang sama dan membentuk persekutuan teritorial yang tertutup terhadapa persekututan teritorial hidup lainnya dalam sistem kehidupan patrimonial (garis keturuann dari pihak ayah). Hal seperti itu menciptakan permusuhan di antara satu wanua dengan wanua lainnya.
Seperti halnya kelahiran Kerajaan Gowa, proses sejarah berdirinya Kerajaan Bone juga diawali dengan kisah kehadiran Tomanurung. Jika Tomanurung di Kerajaan Gowa adalah wanita, Tomanurung di Kerajaan Bone adalah laki-laki. Kehadiran Tomanurung sebagai penguasa sentral di Kerajaan Bone diawali oleh sebuah ikrar antara Tomanurung dan penguasa unit-unit politik setempat. Sebelum kehadiran Tomanurung selalu ditandai dengan fenomena alam yang mengerikan. Tulisan dalam lontarak mengisahkan bahwa sebelum kedatangan Tomanurung, terjadi hujan dan petir sambung- menyambung tanpa putus selama tujuh hari tujuh malam. Setelah hujan reda, muncullah seseorang disuatu tempat. Orang tersebut mengenakan jubah putih dan berdiri ditengah-tengah padang Bone. Oleh karena mereka tidak mengetahui asal-usulnya; orang menyebutnya Tomanurung (orang yang turun dari kahyangan).maka berkumpullah orang Bone dan mengadakan perundingan demi sebuah kesepakatan untuk berangkat menemui orang tersebut dan diangkat menjadi Raja Bone.
Setelah mereka sampai di hadapan orang tersebut, mereka memohon agar orang tersebut mau menjadi Raja di Bone. Akan tetapi, orang tersebut menolak untuk menjadi Raja, karena ia juga hanya seorang budak raja. Tapi orang terbut menawarkan jika rakyat Bone menginginkan Raja, maka ia bisa membawa mereka bertemu langsung dengan calon Raja tersebut. Selanjutnya, orang tersebut membawa mereka pergi ke daerah Matajang. Sesampainya disana, terlihatlah seorang lelaki duduk berpakaian kuning di batu ”napara” beserta tiga pengikutnya, yang masing-masing bertugas memang kipas, payung dan membawakan salendrang (tempat sirih).
Para pemohon dari Bone pun, langsung memohon kepada lelaki yang duduk di atas batu napara agar kiranya bersedia menjadi Raja di Bone. Maka raja itu menyahut, “teddua nawa-nawao” artinya “orang setia” dan “temmaballecoko” artinya tidak memungkiri segala janji”.
Sesudah perjanjian tersebut terlaksana, maka raja tersebutpun “nalekkeni ManurungE” artinya “memindahkan Manurung itu ke Bone. Dan menjadi Raja Bone I di sana. Sesampainya di sana, rakyat Bone lalu mendirikan istana untuk “ManurungE” (raja). Pendirian istana itu lekas selesai dimana “bulisa” artinya kayu “potongan belum kering”, raja sudah mendiami istana itu.
Proses Awal Perkembangan Pemerintahan Kerajaan Bone
Raja Bone I atau Arung Pone yaitu Tomanurung ri Matajang, yang bergelar MatasimpoE. Ia memerintah kurang lebih 40 tahun, dari tahun 1330 M sampai tahun 1370 M. MatasilompoE kawin dengan Tomanurung ri Toro, yang bernama Tenriawaru. Dari perkawinan ini lahirlah lima orang anak yang masing-masig bernama: La Umasa, Patanra Wanua, Tenri Salogo, We Arattiga dan Isamateppa.
Setelah TomanurungE, menjadi penguasa di Bone, barulah ketertiban dapat ditegakkan dan kesejahteraan rakyat dapat dikembalikan. Ditetapkannya penguasa Tomanurung di Bone diikuti dengan pembentukan Dewan Penasehat, Ade’pitu (Adat Penguasa), yang terdiri dari pemimpin dari tujuh komunitas. Dengan bantuan Ade’pitu, ManurungE lalu membuat peraturan-peraturan bagi rakyatnya. Ia juga menegakkan hukum dan adat istiadat untuk mengatur ketertiban bagi masyarakat. Hingga suatu hari Arung Pone –MatasilompoE telah tiada; hilang atau gaib entah kemana (oleh masyarakat setempat disebut; Mallajang).
Setelah Arung Pone tiada, beliau digantikan oleh La Ummase. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone, La Ummase (1358 – 1424), disebutkan bahwa Dialah yang menggantikan ManurungE ri Matajang sebagai Arung Mangkaue ri Bone. Beliau digelari Petta Panre Bessie’ karena Arumpone (Bugis : Raja Bone) inilah yang mula-mula menciptakan alat dan perkakas dari besi di Bone dan kalau bepergian, hanya dinaungi dengan kaliyao (tameng) untuk melindunginya dari teriknya matahari. Hal ini dilakukan karena tidak ada lagi payung (maksudnya : payung kerajaan) di Bone.
Dalam upayanya memperluas wilayah kekuasaannya, La Ummase’ menaklukkan wilayah – wilayah sekitarnya, Anro Biring, Majang, Biru, Maloi dan Cellu (Lontara Akkarungeng ri Bone). Politik ekspansinya berhasil menaklukkan kerajaan kecil tetangganya, “Maloi, Biru, Majang, Anrobiring, Cellu, Palakka dan Taneteriattang”.
La Ummasa tidak memiliki putra mahkota yang kelak bisa menggantikan kedudukannya sebagai Mangkau’ di Bone. Dia hanya memiliki anak perempuan, To Suwalle dan To Sulewakka dari isterinya yang berasal dari to sama’ (orang biasa, bukan bangsawan). Oleh karena itu, setelah dia tahu bahwa We Pattanra Wanua akan melahirkan, La Ummasa menyuruh anaknya pergi ke Palakka ke rumah saudaranya yang diperisterikan oleh Arung Palakka La Pattikkeng.
Setelah La Saliyu Karempuala dewasa, maka beliau mengambil alih tampuk pemerintahan Bone dari kedua sepupunya itu. Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Saliyu Karempalua (1424 – 1496) adalah Arumpone (Raja Bone) yang menggantikan pamannya, La Ummase’.
La Saliyu Karampelua digelari pula MakkaleppiE – Massao LampeE Lawelareng atau Puatta Lawelareng. Sebagai Raja Bone III ini melanjutkan kegiatan ekspansi yang telah dirintis pendahulunya, bahkan lebih besar dan berhasil menduduki kerajaan – kerajaan kecil, seperti : Pallengoreng, Sinri, Melle, Sancereng, Cirowali, Apala, Bakke, Atta Salo, Soga, Lampoko, Lemoape, Parippung, Lompu, Limampanua Rilau Ale, Babauwae, Barebbo, Pattiro, Cinennung, Ureng, Pasempe, Kaju, Ponre, dan Aserabate Riawang Ale.
Data tersebut menunjukkan bahwa Bone pada masa itu telah menguasai wilayah yang cukup luas (menurut ukuran pada masa itu), sehingga organisasi pemerintahan perlu pula ditingkatkan. Untuk itu La Saliu membagi wilayah pemerintahan Kerajaan Bone menjadi tiga wilayah administratif, sesuai dengan pembagian warna bendera Kerajaan Bone. Pertama,Negeri – negeri yang memakai bendera Woromporongnge’ : Matajang, Mattoanging, Bukaka Tengah, Kawerrang, Pallengoreng, Maloi. Semuanya dibawah koordinasi Matoa Matajang. Kedua, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kanan Woromporongnge’ : Paccing, Tanete,. Lemo, Masalle, Macege, Belawa, Semuanya dibawah koordinasi Kajao Ciung dan Ketiga, Negeri – negeri yang memakai umbul merah di sebelah kiri Woromporongnge’ : Arasong, Ujung, Ponceng, Ta’, Katumpi, Padaccennga, Madello. Semuanya dibawah koordinasi Kajao Arasong”. (Lontaraq Akkarungeng ri Bone ; Kasim, 2002)[5]
Seiring perkembangan Kerajaan Bone, peraturan pertanahan dan hukum warisan diumumkan secara resmi pada waktu bersamaan untuk menjamin stabilitas hubungan di dalam komunitas. Setelah genap berusia 72 tahun Arung Pone III mengumumkan kepada rakyat Bone bahwa penguasa beikutnya adalah We Banrigau Daeng Marowa MakkaleppiE anaknya dari isteri keduanya We Tenri Roppo Arung Paccing.
Inilah untuk pertama kalinya Kerajaan Bone dipimpin oleh seorang perempuan. We Banrigau Daeng Marowa Makkaleppie’ naik takhta menggantikan ayahnya Arumpone La Saliyu Karampelua. We Banrigau digelari pula Bissu Lalempili. (Makkulau, 2009). Di masa pemerintahan Arumpone I Benri Gau Daeng Marowa Arung Matajang, Kerajaan Bone mencapai stabilitas dalam negeri yang mantap serta pertanian yang berhasil. Raja perempuan pertama Kerajaan Bone (1470 – 1489) ini tidak meneruskan pendahulunya dalam perluasan wilayah kekuasaan tetapi aktif dalam upaya mengintensifkan perluasan lahan pertanian. “Membeli bulu’ (gunung) Cina dengan menukarnya 90 ekor kerbau, dan sawah di sekitar Kampung Laliddong dengan menukarnya 30 ekor kerbau”.
Akan tetapi terjadi pemberontakan pada masa pemerintahannya, yang dilakukan oleh La Dati Arung Katumpi karena persoalan pelaksanaan pembelian areal persawahan, namun pemberontakan tidak berlansung lama, karena beliau dapat mengatasinya. Dan setelah memerintah selama 20 tahun lamanya, ia kemudian menyerahkan kekuasan kepada putranya La Tenrisukki. Setelah pelantikan ia pun meninggalkan Kerajaan Bone bersama keluarganya dan pergi menetap di Cina bersama keluarganya hingga ia menghilang dan diberilah ia gelar Mallajang ri Cina.
Pada masa pemerintahan Raja Bone V, La Tenrisukki sebagai pewaris takhta dari ibunya, I Benriwa Gau. La Tenrisukki merupakan Arumpone (Raja Bone) pertama yang disebutkan memiliki hubungan dengan kerajaan besar lain di Sulawesi Selatan. Arumpone ini memerintah di akhir Abad XV sampai permulaan Abad XVI. Di masa kekuasaannya, La Tenrisukki berhasil memukul mundur serangan militer Pajung Luwu, Dewaraja Batara Lattu. Setelah perang selesai (Perang itu dikenal dengan ”Perang Cellu”, karena Angkatan Perang Luwu berlabuh di Cellu sebelum menyerang Bone. Perang Cellu dimenangkan oleh passiuno Bone.
Paska Perang Cellu, Arumpone mengadakan perjanjian dengan Datu Luwu To Serangeng Dewaraja yang disebut Polo Malelae’ ri Unnyi (Gencatan senjata di Unnyi), karena terjadi di Kampung Unnyi. Usai Perjanjian Polo MalelaE ri Unnyi ini, kedua raja ini, Arumpone dan Datu Luwu kemudian kembali ke negerinya. Keseluruhan substansi perjanjian Unnyi tersebut tidak mengandung unsur yang menetapkan tentang pembayaran kerugian perang dari pihak Luwu (yang kalah perang) kepada pihak Bone (yang menang perang). Dengan demikian perjanjian perdamaian tersebut menyimpang dari kelaziman perjanjian gencatan senjata, yang pada umumnya menetapkan sanksi kerugian perang yang harus dibayar oleh negara agresor yang kalah perang. Hal ini menunjukkan pendekatan kekeluargaan Arung Mangkaue La Tenrisukki kepada Datu Luwu, Dewaraja.
Berdasarkan substansi materi perjanjian tersebut, dapat disimpulkan bahwa pada hakekatnya Perjanjian Uunyi adalah perjanjian persekutuan antara Bone dan Luwu. Persekutuan semacam ini, baru untuk pertama kalinya terjadi dalam Sejarah Kerajaan Bone. Arti strategis Polo Malelae ri Unnyi bagi Bone, adalah suatu sukses di bidang politik dan militer. Dengan peristiwa tersebut menampatkan Bone dalam posisi strategis dan prestise yang kuat terhadap kerajaan – kerajaan kecil di sekitar Kerajaan Bone bahkan juga kerajaan – kerajaan lainnya di kawasan Sulawesi Selatan.
Setelah itu beliau juga menghadapi pemberontakan dari orang-orang Mampu – salah satu kerajaan di sekitar kerajaan Bone. Namun, sekali lagi pemberontakan tersebut dapat diselesaikan oleh La tenri Sukki. Setelah beliau memerintah kurang lebih 27 tahun lamanya ia pun wafat. Dan sebagi penggantinya ditunjuklah puteranya La Uliyo BoteE hasil perkawinanya dengan sepupunya We Tenri Songke sebagai Raja Bone VI. Digelari Bote’E karena Arumpone ini memiliki postur tubuh yang subur (gempal).
Di masa pemerintahan La Uliyo Bote’E, Luwu kembali menyerang Bone dan sekali lagi dikalahkan. Bone kemudian memperoleh bantuan Gowa untuk memerangi sekutu utama Luwu dan Wajo, namun persekutuan itu merupakan campur tangan tidak biasa bagi Gowa dalam usahanya untuk merebut hegemoni disebelah timur semenanjung, belakangan Gowa memang mengundurkan diri dan berkonsentrasi untuk mencapai harapannya di semenanjung barat Sulawesi Selatan. Pada masa pemerintahannya pulalah Bone mulai dilirik oleh Gowa.
Arumpone inilah yang pertama didampingi oleh Kajao Laliddong[7]. Dia pulalah yang mengadakan perjanjian dengan KaraengE ri Gowa Daeng Matanre Karaeng Tumapakrisika Kallonna. Peristiwa peresmian hubungan diplomatik pertama antara Bone dengan Gowa, diupacarakan dengan pergelaran senjata sakti kedua kerajaan, ”Sitettongenna SudengngE – Lateya Riduni” di Tamalate. Kunjungan Raja Gowa secara formal dalam kunjungan kenegaraan, dan berhasil membentuk hubungan persahabatan bilateral antara Gowa dengan Bone. Dengan upacara khidmat memperhadapkan senjata kebesaran Kerajaan Bone dan senjata kebesaran Kerajaan Gowa di Laccokang, Watampone, ibukota Kerajaan Bone (1538).
Setahun kemudian, Raja Bone, La Uliyo Bote’e melakukan pula kunjungan balasan ke Gowa dan berhasil membentuk dual alliance antara Bone dengan Gowa yang disebut, “Ulu Adae ri Tamalate” (Perjanjian Tamalate). Perjanjian tersebut berisikan bahwa Bone dan Gowa bersepakat untuk saling memberikan bantuan militer bilamana ada di antara mereka dalam keadaan bahaya ancaman militer. Ini merupakan sukses di bidang politik di masa kekuasaan La Uliyo Bote’e. Setelah genap 25 tahun sebagai Arung Mangkaue’ ri Bone ditunjuklah La Tenri Rawe BongkangE sebagai Raja Bone VII.
Perjanjian Tellumpoccoe
Perjanjian Tellumpoccoe adalah perjanjian yang melibatkan tiga kerajaan Bugis yaitu Bone, Soppeng dan Wajo. Perjanjian ini bermula atas keinginan mempersaudarakan ketiga kerajaan tersebut. Juga demi menentang agresi dari Kerajaan Gowa yang merupakan penguasa adidaya pada masa itu.
Sebelum perjanjian ini bermula, pada masa La Tenri Rawe BongkangE yang naik takhta sebagai Raja Bone VII menggantikan ayahnya La Uliyo Bote’E, Raja Bone VI, telah terjadi beberapa kali serangan dari Kerajaan Gowa yang pada mulanya disebabkan karena penggabungan TellulimpoE (tiga wilayah) memasukkan Bone sebagai anggota yakni Luwu, Gowa dan Bone.
Ketika terjadi pertempuran antara Gowa dan Bone, Wajo sebagai sekutu Gowa ikut serta dalam pertempuran melawan Bone, setelah tiga hari lamanya pertempuran itu berlangsung pasukan Bone terdesak, namun semangat pasukan Bone bangkit mengadakan penyerangan dan akhirnya pasukan Kerajaan Gowa dan Wajo terpukul mundur.
Setelah itu Gowa kembali melakukan penyerangan, bersama dengan Raja Gowa Tonibata yang sebelumnya sakit, akan tetapi ia tewas setelah kepalanya dipancung oleh pasukan Bone. Lalu, Kajao lalidong mewakili Bone dan Karaeng Tallo mewakili Gowa mengaddakan pertemuan yang menghasilkan perjanjian “Ceppae ri Caleppa” berisi tentang batas wilayah kedua kerajaan di Selatan (Sungai Tangka).
Raja Gowa Karaeng Bonto Langkasa memeberi perintah kepada Arung Matoa Wajo sebagai Abdi Gowa untuk mengangkut kayu dari pegunungan Barru ke pinggir laut untuk dipergunakan mendirikan istanan di Tamalate sebagai ibukota Kerajaan Gowa.
Namun Arung Matoa Wajo merasa tidak senang karena diperlakukan sewenang-wenang, maka hal tersebut disampaikan kepada Raja Bone. Setelah mengetahui hal tersebut Raja Bone merasa tidak senang, dan ia pun mengajak Arung Matoa dan Datu Soppeng untuk bersama-sama ke Barru.
Sesampainya disana Raja Gowa heran karena yang ia panggil hanya Raja Wajo, akan tetapi Raja Bone dan Raja Soppeng juga ikut. Tetapi, Raja Bone menjawab bahwa “Orang Wajo takut melewati daerah yang tidak didiami manusia”. Kemudian Raja Bone, Soppeng dan Wajo sama –sama memotong tali pengikat kayu – kayu itu secara bergantian dengan menyanyikan lagu yang intinya sesama kerajaan yang terintimidasi menginginkan adanya perlawanan dengan menyatukan kekuatan.
Setelah kejadian itu, mereka bermusyawarah untuk menyerang Cenrana tujuh hari akan datang. Pada hari yang ditentukan mereka pun menyerang dan membakar Cendrana yang mana merupakan wilayah kekuasaan Gowa pada waktu itu. Lalu mereka sepakat kembali ke Timurung untuk mempererat persaudaraan mereka dalam menghadapi serangan-serangan dari Kerajaan Gowa.
Di Timurung mereka bertemu kembali dan mengadakan perjanjian persaudraan yang kemudian disebut dengan TellumpoccoE (tiga puncak) dengan bersama-sama menanamkan batu sebagai simbol persaudaraan di Timurung (Lamumpatue ri Timurung) pada tahun 1582 M.
Dalam proses perjalanannya Raja Gowa yang mengetahui hal ini marah dan selalu melancarkan serangan terhdapa sekutunya (Wajo) yang berkhianat. Dua tahun setelah perjanjian TellumpoccoE diadakan, La tenri Rawe meninggal karena penyakit yang dideritanya. Sebagai penggantinya ialah saudaranya La Inca, yang ditunjuk sebagai Raja Bone ke VIII. Pada tahun 1585 terjadilah perang antara Bone dan Gowa dalam memperebutkan kekuasaan. Kepemimpina La Inca, tidak sebaik saudaranya, pemberontakan terjadi dimana-mana hingga ia akhirnya mati diatas tangga istana setelah menjabat selama 11 tahun lamanya. Sesuai anjuran Arung Majang, maka ditunjuklah La Pattawettu menggantikan La Inca sebagai Arumpone XI. Pada masa La Pattawettu tidak terlalu banyak disebut pemerintahannya, juga tidak diberitakan adanya serangan militer Gowa ke Bone. Hanya dikatakan bahwa setelah tujuh tahun menjadi Mangkau’ di Bone, ia pergi ke Bulukumba dan di situlah beliau sakit pada tahun 1602. Takhta raja pun diserahkan pada puterinya, We Tenri Tuppu (1602-1611) yang mengendalikan kerajaan Bone selama 9 tahun lamanya.
Pada tahun 1607, Raja Gowa mengirimkan armada perangnya untuk menyerang daerah-daerah bugis. Namum Tellumpoccoe berhasil mencegatnya dan terjadilah perang selama tiga yang dimenangkan oleh Tellumpoccoe. Selang tiga bulan, pasukan gabungan Tellupoccoe melancarkan serangan di Akkotengeng. Dan sekali lagi, Kerajaan Gowayang dibantu oleh sekutunya mengalami kekalahan.
Enam bulan setelahnya, Kerajaan Gowa tidak kehilangan semngatnya. Mereka memperkuat sekutu dan membuat benteng di daerah Rappeng, namun berselang tiga hari Raja Gowa meninggalkan benteng lalu kembali ke Makassar. Melihat hal tersbut, pasukan gabungan Tellumpoccoe mengepung dan menyerang sisi pertahanan Kerajaan Gowa di Rappang, namun pasukan gabungan Tellumpoccoe terdesak mundur dan mereka kembali ke negerinya masing-masing.
Mundurnya pasukan Tellumpoccoe merupakan gambaran bagi Kerajaan Gowa bahwa tidak terkoordinirnya pasukan Tellumpoccoe. Maka Raja Gowa terus meningkatkan pasukannya untuk penyerangan selanjutnya.
Lima bulan setelah itu, Raja Gowa melanjutkan ekspansinya dengan menyerang Kerajaan Soppeng, lalu dilanjutkan dengan serangan terhadap kerajaan Wajo, setelah itu dilanjutkan dengan serang terhadap kerajaan Bone. Dengan semuanya berakhir pada kemenangan di Kerajaan Gowa.
Islamisasi Bone
Proses Islamisasi di Bone tidak terlepas dari proses Islamisasi pada Kerajaan Gowa. Yang mana proses Islamisasi Kerajaan Gowa, dilakukan oleh Datu ri Bandang. Setelah Islamnya Kerajaan Gowa, penyebaran Islam pun dimulai. Sultan Alauddin melakukan penyebaran-penyebaran Islam secara damai. Pertama-tama ia lakukan dakwah Islam terhadap kerajaan-kerajaan tetangga. Alasan beliau berdasarkan perjanjian yang berbunyi “... bahwa barangsiapa menemukan jalan yang lebih baik, maka ia berjanji akan memberitahukan kepada raja-raja sekutunya”.
Akan tetapi jalan damai tidak berlaku bagi Bone. Dalam hal ini Bone bersama sekutunya tidak mempercayai penyebaran Islam yang dilakukan kerajaan Gowa tidak berdasarkan ketulusan melainkan bersifat politis. Alasan tersbut beralasan, karena dalam sejarah sebelum masuknya Islam telah tejadi benturan-benturan terhadap kedua kerajaan. Menurut mereka ini adalah siasat Gowa untuk menguasai mereka.
Akhirnya terjadilah Perang yang dikenal dengan musu sellenge atau perang peng-Islaman. Seperti telah dituliskan sebelumnya telah terjadi perang pada tahun 1607-1611. Yang berangsur-angsur memaksa Soppeng memeluk Islam pada tahun 1609 M, Wajo pada tahun 1610 M dan Bone pada tahun 1611 M dengan perjanjian bahwa pemerintahan kerajaan tetap berada pada tangan mereka.
Islam masuk di Bone pada masa La Tenri Ruwa sebagai Raja Bone XI pada tahun 1611 M dan ia hanya berkuasa selama 3 bulan. Sebabnya, karena beliau menerima Islam sebagai agamanya padahal dewan adat Ade Pitue bersama rakyat menolak ajakan tersebut. Akhirnya beliau meninggalkan Bone, kemudian ke Makassar mempelajari agama Islam lebih mendalam dan meninggal di Bantaeng.
Perlu diketahui sebelum Sultan Adam Mattindroe ri Bantaeng atau La Tenri Ruwa memeluk Islam. Sudah ada rakyat Bone juga yang telah memeluk Islam, bahkan Raja sebelumnya We Tenri Tuppu karena mendengar Sidendreng telah memeluk Islam ia pun tertarik untuk mempelajarinya dan wafat disana. Sehingga ia digelari Mattinroe ri Sidendreng.
Setelah dima’zulkannya La Tenrirua dan diangkat penggantinya La Tenripale Arung Timurung dalam tahun 1611. Arumpone La Tenri Pale To Akkeppeang Arung Timurung (1611 – 1625), adalah anak dari La Inca MatinroE ri Addenenna. Inilah Mangkaue’ yang membangkitkan kembali semangat orang Bone menolak Islam, yang menurut pemahamannya adalah pintu masuk Gowa mau menjajah Bone.
Akan tetapi, rakyat Bone dibawah Arumpone La Tenri Pale tak dapat berbuat banyak digempur dengan pasukan besar Gowa, segera setelah itu Bone resmi menjadi daerah takluk Gowa dan secara formal pula Bone memeluk Agama Islam (1611). Seluruh Arung Palili (Raja negeri bawahan Bone) diundang untuk mengucapkan syahadat tanda masuk Islam. Fakta tersebut menunjukkan bahwa Islam masuk di Bone melalui tekanan militer Gowa.
Setahun setelah orang Bone menerima Islam, Arumpone La Tenri Pale ke Tallo (Makassar) menemui Dato’ ri Bandang. Diberilah nama Islam, Sultan Abdullah dan diumumkan pemberian nama itu dalam suatu khutbah Jum’at. Selama masa pemerintahan La Tenripale Towakkapeyang (1611-1631), penaklukan Gowa atas Bone tidak terlalu membawa penderitaan bagi rakyat Bone, karena hubungannya dengan Sultan Alauddin terjalin dengan baik.
Lalu pada masa La Maddaremmeng (1625 – 1640) yang menggantikan pamannya La Tenripale Toakkeppeang Matinroe’ ri Tallo menjadi Arumpone XIII. La Maddaremmeng mengamalkan Islam lebih ketat dibanding kerajaan lain termasuk Gowa-Tallo, di antara gebrakannya yang terkenal adalah menghapus sistem perbudakan Ata, karena manusia dilahirkan tidak untuk diperbudak; juga menghukum berat para penyembah berhala atau mensakralkan tempat dan benda-benda tertentu; pelaku zina; pencurian; miras, dan berbagai bentuk kemungkaran lainnya. Inilah sejarah awal penerapan syariat Islam secara formal. Maka terjadilah perlawanan dari para bangsawan Bone bahkan perlawanan tersebut dipimpin langsung oleh Ibu La Maddaremmeng sendiri yaitu Datu Pattiro we Tenrisolorengbeliau menolak ajaran Islam versi anaknya karena diangganya keras dan tidak toleran, ibunya lebih tertarik dengan ajaran Islam versi kerajaan Gowa-Tallo karena lebih sufistik dan klop dengan ajaran kepercayaan pra-Islam di Bone.
Tercatat dalam Sejarah Bone tentang kepatuhan La Maddaremmeng dalam menjalankan ajaran Islam dan mengimplementasikannya dalam pemerintahannya. Bahkan diusahakan pula agar kerajaan tetanggnya seperti Soppeng, Wajo dan Ajattapareng menirunya, khususnya dalam memerdekakan hamba sahaya, kecuali yang memang budak turun temurun, sedang mereka inipun harus diperlakukan manusiawi. Baginda bertindak keras tanpa pandang bulu terhadap siapapun yang melanggar kebijaksanaannya. Meski begitu, tak sedikit pula bangsawan dalam Kerajaan Bone sendiri yang menentang penghapusan perbudakan.
Dengan dalih menciptakan stabilitas keamanan dalam negeri Bone dan penentangan terhadap penghapusan perbudakan, Gowa dibawah pemerintahan Karaenge’, Sultan Malikus Said kembali menyerang Bone (1644). Ini berarti Gowa sendiri tidak mau dan tidak menyetujui penghapusan perbudakan. La Maddaremmeng menghadapi perang tersebut dengan dibantu saudaranya, La Tenriaji Tosenrima, namun serangan Gowa secara besar – besaran tersebut tak dapat ditahan pasukan Bone, Arumpone akhirnya menyingkir ke daerah Larompong. Di Cimpu, Arumpone ditawan lalu dibawa ke Gowa, diasingkan di suatu kampung bernama Sanrangang (1644). Rakyat dan Hadat Bone akhirnya mengangkat La Tenriaji To Senrima sebagai Arumpone untuk melanjutkan perjuangan melawan Gowa. La Maddaremmeng dikembalikan ke Bukaka dan disanalah Arumpone ini meninggal, hingga digelari Matinroe ri Bukaka.
Arung Palakka dan Kolonial
Berbicara mengenai Kerajaan Bone, tidak sah rasanya tanpa membahas Arung Palakka. La Tenri Tatta Arung Palakka MalampeE Gemme’na Petta To RisompaE (1667 - 1696) adalah Raja Bone XV dicap pemerintah sebagai pengkhianat. Oleh sebagian besar masyarakat Sulawesi Selatan yang tak memahami sejarah yang sebenarnya memang akan mudah tergiring opini Arung Palakka sebagai Pengkhianat berdasar fakta bahwa Arung Palakka-lah yang bersekutu dengan Belanda menyerang Kerajaan Gowa. Sejarah itu kemudian terlukis dalam Perang Makassar (1667) dan menjadi penyebab jatuhnya Kerajaan Gowa sebagai imperium besar di Nusantara bagian timur.
Dalam Lontaraq Akkarungeng ri Bone disebutkan bahwa La Tenri Tatta Arung Palakka baru berusia 11 tahun, ketika Kerajaan Bone dibawah kepemimpinan La Tenri Ruwa diserang dan dikalahkan oleh Kerajaan Gowa (1611) di masa kekuasaaan I Mangerangi Daeng Manrabia Sultan Alauddin. Orang tuanya La Pottobune ditangkap dan ditawan bersama Arumpone La Tenri Ruwa serta bangsawan Bone lainnya. Penaklukan Bone oleh Gowa tersebut dikenal dalam sejarah bernama Musu’ Pasempe (Perang di Pasempe). Paska Perang inilah, rakyat Bone bersama raja dan bangsawannya digiring ke Gowa, dijadikan tenaga kerja paksa dalam membangun Benteng - benteng Makassar.
Singkat cerita, La Tenri Tatta Arung Palakka dan semua bangsawan Bugis Bone Soppeng merasakan siri’ yang luar biasa, rasa malu dan harga dirinya tercabik - cabik diperlakukan tak berperikemanusiaan. Arung Palakka menggabungkan diri dan bekerja juga sebagai penggali parit dan pembuat benteng.[17] Ia ikut merasakan bagaimana penderitaan bangsanya disiksa oleh punggawa dan bangsawan Gowa yang mengawasi pekerjaan itu. Ayah Arung Palakka, La Pottobune’ meninggal di Gowa paska diadakannya perburuan rusa di Tallo oleh Karaeng Gowa dan para pengawalnya. La Pottobune’ Datu Lompulle mengamuk karena membela dua pelarian kerja paksa bangsanya yang tidak tahan dilihatnya disiksa dan dipukuli. Dalam lontaraq disebut bahwa sejak kejadian itu, La Tenri Tatta Daeng Serang Arung Palakka tidak bisa lagi tidur. Setiap saat yang dipikirkannya adalah bagaimana menegakkan kembali kebesaran Tanah Bone.
Kisah selanjutnya, dalam Lontaraq Bone disebutkan bagaimana kisah Arung Palakka melarikan diri bersama bangsawan bugis Bone Soppeng lainnya dari barak - barak kerja paksa, terjadinya pengejaran terhadap dirinya, perjalanannya ke kerabatnya Bangsawan Bone Soppeng dalam meminta dukungan, sumpah Arung Palakka ketika akan menyeberang dari Tanah Bugis ke Tanah Buton (1660). Dan dari Buton, perjalanannya diteruskan ke Batavia (1663) untuk mencari sekutu dalam memerangi Gowa. Ketika Arung Palakka menawarkan persekutuan kepada Belanda, Belanda sempat ragu namun setelah melihat sendiri kehebatan Arung Palakka dan pasukan pelariannya dalam Perang Pariaman di Sumatera Barat maka yakinlah Belanda akan dapat memenangkan pertempuran melawan Gowa dengan bantuan pasukan Bugis. Kerajaan Gowa sendiri ketika itu telah menjadi negara yang modernis, sebagai imperium besar di Nusantara Bagian Timur dengan pasukan militer darat dan laut yang tangguh.
Dalam sejarah kemudian dikenal, terjadi Perang Makassar (1667) yang menjadi malapetaka runtuhnya dinasti Kesultanan Gowa. Posisi Arung Palakka selanjutnya dipertanyakan banyak sejarawan, namun seiring dengan semakin membaiknya pemahaman masyarakat akan sejarah dalam konteks sejarah lokal, dapat dipahami alasan Arung Palakka memerangi Gowa. Sejarawan asal Amerika, Dr Leonard Y Andaya dalam buku “Warisan Arung Palakka - Sejarah Sulawesi Selatan Abad XVII” mengurai betapa terkunkungnya dominasi Belanda menguasai daratan Sulawesi Selatan selama Arung Palakka masih hidup dan menjadi penguasa atasan atas semua negeri taklukan paska Perjanjian Bungaya (1668).
Sepeninggalnya, Arung Palakka telah meletakkan dasar - dasar hegemoni politik dengan cara mengawinkan mawinkan kemenakannya, La Patau Matanna Tikka dengan Gowa dan Luwu, yang diangkatnya menjadi Raja Bone XVI. Arung Palakka pun kini di mata masyarakat Bugis, khususnya Bone - Soppeng dijuluki sebagai “Sang Pembebas”, bukan sebagai pengkhianat. Andi Sultan Kasim (2002) menyebut julukan tersebut adalah hal yang pantas, karena ketika itu Bone adalah sebuah negara (kerajaan) yang merdeka dan berdaulat, sama halnya dengan Gowa, wajar jika seorang Arung Palakka menuntut dan memperjuangkan kemerdekaan atas bangsanya.
Runtuhnya Kerajaan Bone
Sejak runtuhnya Kerajaan Gowa pasca munculnya Perjanjian Bongaya, Kerajaan Bone bangkit menjadi satu-satunya kerajaan yang memiliki pengaruh paling besar. Hingga awal XX, Kerajaan Bone memainkan peran penting dalam sejarah politik di Sulawesi Selatan.
Pada abad XIX Kerajaan Bone menjadi saingan Belanda dalam memperluas kekuasaan dalam bidang ekonomi dan politik. Akibatnya, kedua penguasa ini pernah terlibat dalam perang besar. Dalam sejarah daerah ini, perang itu terjadi pada tahun 1824-1825 yang bermula setelah Sultan Bone meninggal pada tahun 1823, dan digantikan oleh saudarinya Aru Datu (bergelar I-Maneng Paduka Sri Ratu Sultana Salima Rajiat ud-din), pemerintah kesultanan mencoba merevisi Perjanjian Bongaya, beserta semua anggota persekutuan itu, yang jatuh atas pemerintahan itu, hukum yang sama harus diberlakukan. Antara tanggal 8 Maret sampai 21 September 1824, GubJend. G.A.G.Ph. van der Capellen mengadakan lawatan ke Sulawesi dan Kepulauan Maluku; semua penguasa datang memberikan penghormatan (juga perwakilan Ratu Bone), kecuali penguasa Suppa dan Tanete. Van der Capellen berharap bahwa perundingan dengan negara-negara tersebut tidak akan membawa keuntungan apapun; sekembalinya ke Batavia, sebuah ekspedisi dipersiapkan dan sekitar 500 prajurit diberangkatkan dengan membawa 4 meriam, 2 howitzer, beserta 600 prajurit pembantu pribumi untuk menghukum Bone.
Sultan yang kini terguling lari ke pedalaman dan penduduk tetap melancarkan serangan atas Belanda namun masalah di Tanete cepat dibereskan dengan baik. Meskipun Suppa masih kuat; Letkol. Reeder melancarkan serangan bersama 240 prajurit yang dipersenjatai sejumlah moncong senjata; pada tanggal 14 Agustus serangan diperbaharui: orang Bugis membiarkan pasukan Belanda mendekat tanpa ancaman apapun hingga di kaki sebuah bukit dan barulah mereka melancarkan serangan; setelah kehilangan sepertiga pasukannya, Belanda harus mundur. De Stuers menyerbu bersama komisaris pemerintahan Tobias ke Suppa dan makin mendekat; pada pagi hari tanggal 30 Agustus, operasi itu berhasil diselesaikan, setelah tembakan meriam peringatan ke benting musuh, namun kekuatan yang dibawa De Stuers tak cukup kuat. Dengan korban tewas sebanyak 14 jiwa dan 60 korban luka-luka, pasukan Belanda harus kembali dan harus melancarkan ekspedisi lain.
Lalu berturut-turut perang terjadi pada tahun1859-1860 dan perang yang terjadi pada tahun 1859-1860. Hingga Serangan yang dilancarkan pemerintah Kolonial pada tahun1905 yang menandai berakhirnya Kerajaan Bone pada masa La Pawawoi Karaeng Segeri.
Sekali lagi Pemerintah Kolonial ingin meneggakkan supremasinya terhadap seluruh wilayah Sulawesi Selatan. Kolonial Belanda menganggap Bone telah melanggar perjanjian sebelumnya bahwa Bone tidak boleh memperluas wilayah kekuasaanya, hingga munculnya bukti invasi militer Bone di Tana Toraja dan Wajo 1897-1900. Gubernur Hindia Belenda Baroon van Hoevell mengeluarkan surat perintah penghapusan penguasa pribumi Bone pada Maret 1903.
Akhirnya pada Julli 1905 dilancarkanlah serangan terhdapa Kerajaan Bone oleh Belanda melalui pelabuhan Bajoe. Dengan berakhir pada kemenangan Belanda. Akan tetapi, Karaeng Segeri mengusngsi menuju pedalaman, untuk mengumpulkan pasukan dan menyemangati para pejuang yang tersisa.
Sementara pengejaran terhadap La pawawoi terus dilakukan, Tomarilalang bersama lima anggota Dewan Adat Bone menyatakan tunduk terhadap Belanda. Ditambah semakin terdesaknya para pejuang Bone hampir disetiap pertempuran dan kematian Panglima tertinggi perang Kerajaan Bone Petta Ponggawae Baso Pangilingi Abdul Hamid. Perang pun berakhir, Raja Bone La pawawoi sudah tidak memiliki daya lagi untuk mempertahanya pada kerajaan. Ia pun akhirnya harus ditahan, dan diputuskan dikirm ke Bandung, dimana ia kemudian mengehmbuskan nafas terkhirnya pada Januari 1911.
C. Kerajaan Wajo
Kerajaan Wajo adalah sebuah kerajaan yang didirikan sekitar tahun 1399, di wilayah yang menjadi Kabupaten Wajo saat ini diSulawesi Selatan. Penguasanya disebut "Raja Wajo". Wajo adalah kelanjutan dari kerajaan sebelumnya yaitu Cinnotabi.
Ada tradisi lisan yakni pau-pau rikadong dianggap sebagai kisah terbentuknya Wajo, yaitu putri dari Luwu, We Tadampali yang mengidap sakit kulit kemudian diasingkan dan terdampar di Tosora. Selanjutnya dia bertemu dengan putra Arumpone Bone yang sedang berburu. Akhirnya mereka menikah dan membentuk dinasti di Wajo. Ada juga tradisi lisan lain yaitu kisah La Banra, seorang pangeranSoppeng yang merantau ke Sajoanging dan membuka tanah di Cinnotabi.
Sejarah Awal
Sejarah Wajo berbeda dengan sejarah kerajaan lain yang umumnya memulai kerajaannya dengan kedatangan To Manurung. Sejarah awal Wajo menurut Lontara Sukkuna Wajo dimulai dengan pembentukan komunitas dipinggir Danau Lampulung. Disebutkan bahwa orang-orang dari berbagai daerah, utara, selatan, timur dan barat, berkumpul dipinggir Danau Lampulung. Mereka dipimpin oleh seseorang yang tidak diketahui namanya yang digelari dengan Puangnge Ri Lampulung. Puang ri Lampulung dikenal sebagai orang yang bijak, mengetahui tanda-tanda alam dan tatacara bertani yang baik. Adapun penamaan danau Lampulung dari kata sipulung yang berarti berkumpul.
Komunitas Lampulung terus berkembang dan memperluas wilayahnya hingga ke Saebawi. Setelah Puang ri Lampulung meninggal, komunitas ini cair. Hingga tiba seseorang yang memiliki kemampuan sama dengannya, yaitu Puang ri Timpengeng di Boli. Komunitas ini kemudian hijrah dan berkumpul di Boli. Komunitas Boli terus berkembang hingga meninggalnya Puang ri Timpengeng.
Setelah itu, putra mahkota kedatuan Cina dan kerajaan Mampu, yaitu La Paukke datang dan mendirikan kerajaan Cinnotabi. Adapun urutan Arung Cinnotabi yaitu, La Paukke Arung Cinnotabi I yang diganti oleh anaknya We Panangngareng Arung Cinnotabi II. We Tenrisui, putrinya menjadi Arung Cinnotabi III yang diganti oleh putranya La Patiroi sebagai Arung Cinnotabi IV. Sepeninggal La Patiroi, Adat Cinnotabi mengangkat La Tenribali dan La Tenritippe sekaligus sebagai Arung Cinnotabi V. Setelah itu, Akkarungeng (kerajaan) Cinnotabi bubar. Warga dan adatnya berkumpul di Boli dan membentuk komunitas baru lagi yang disebut Lipu Tellu Kajuru E.
La Tenritau menguasai wilayah majauleng, La Tenripekka menguasai wilayah sabbamparu dan La Matareng menguasai wilayah takkalalla. Ketiganya adalah sepupu satu kali La Tenribali. La Tenribali sendiri setelah kekosongan Cinnotabi membentuk kerajaan baru disebut Akkarungeng ri Penrang dan menjadi Arung Penrang pertama. Ketiga sepupunya kemudian meminta La Tenribali agar bersedia menjadi raja mereka. Melalui perjanjian Assijancingeng ri Majauleng maka dibentuklah kerajaan Wajo. La Tenribali diangkat sebagai raja pertama bergelar Batara Wajo. Ketiga sepupunya bergelar Paddanreng yang menguasai wilayah distrik yang disebut Limpo. La Tenritau menjadi Paddanreng ri Majauleng, yang kemudian berubah menjadi Paddanreng Bettempola pertama. La Tenripekka menjadi Paddanreng Sabbamparu yang kemudian menjadi Paddanreng Talotenreng. Terakhir La Matareng menjadi Paddanreng ri Takkallala menjadi Paddanreng Tuwa.
Wajo sebagai Kerajaan
Wajo mengalami perubahan struktural pasca Perjanjian Lapadeppa yang berisi tentang pengakuan hak-hak kemerdekaan orang Wajo. Posisi Batara Wajo yang bersifat monarki absolut diganti menjadi Arung Matowa yang bersifat monarki konstitusional. Masa keemasan Wajo adalah pada pemerintahan La Tadampare Puangrimaggalatung. Wajo menjadi anggota persekutuanTellumpoccoe sebagai saudara tengah bersama Bone sebagai saudara tua dan Soppeng sebagai saudara bungsu.
Wajo memeluk Islam secara resmi pada tahun 1610 pada pemerintahan La Sangkuru patau mulajaji sultan Abdurahman dan Dato Sulaiman menjadi Qadhi pertama Wajo. Setelah Dato Sulaiman kembali ke Luwu melanjutkan dakwah yang telah dilakukan sebelumnya, Dato ri Tiro melanjutkan tugas Dato Sulaiman. Setelah selesai Dato ri Tiro ke Bulukumba dan meninggal di sana. Wajo terlibat Perang Makassar (1660-1669) disebabkan karena persoalan geopolitik di dataran tengah Sulawesi yang tidak stabil dan posisi Arung Matowa La Tenrilai To Sengngeng sebagai menantu Sultan Hasanuddin. Kekalahan Gowa tidak menyebabkan La Tenrilai rela untuk menandatangani perjanjian Bungaya, sehingga Wajo diserang oleh pasukan gabungan setelah terlebih dahulu Lamuru yang juga berpihak ke Sultan Hasanuddin juga diserang. Kekalahan Wajo menyebabkan banyak masyarakatnya pergi meninggalkan Wajo dan membangun komunitas sosial ekonomi di daerah rantauannya. La Mohang Daeng Mangkona salah satu panglima perang Wajo yang tidak terima kekalahan merantau ke Kutai dan membuka lahan yang kini dikenal sebagai Samarinda.
Pada pemerintahan La Salewangeng to tenrirua Arung Matowa ke 30, ia membangun Wajo pada sisi ekonomi dan militer dengan cara membentuk koperasi dan melakukan pembelian senjata serta melakukan pelatihan penggunaan senjata. La Maddukkelleng kemenakan La Salewangeng menjadi Arung Matowa 31 dilantik di saat perang. Pada zamannya ia memajukan posisi wajo secara sosial politik di antara kerajaan-kerajaan di sulsel. La Koro Arung Padali, memodernisasi struktur kerajaan Wajo dengan membentuk jabatan militer Jenerala (Jendral), Koronele (Kolonel), Manynyoro (Mayor), dan Kapiteng (Kapten). Dia juga menandatangani Large Veklaringsebagai pembaruan dari perjanjian Bungaya.
Pada zaman Ishak Manggabarani, persekutuan [[Wajo]] dengan [[Bone]] membuat keterlibatan Wajo secara tidak langsung pada Rumpa'na Bone. Saat itu Belanda melancarkan [[politik pasifikasi]] untuk memaksa semua kerajaan di [[Sulawesi Selatan]] tunduk secara totalitas. Kekalahan Bone melawan Kompeni juga harus ditanggung oleh [[Wajo]] sehingga [[Wajo]] harus membayar denda perang pada Kompeni dan menandatangani Korte Veklaring sebagai pembaruan dari Large Veklaring.
Wajo dibawah Republik Indonesia Serikat, atau tepatnya Negara Indonesia Timur, berbentuk swapraja pada tahun 1945-1949. SetelahKonferensi Meja Bundar, Wajo bersama swapraja lain akhirnya menjadi kabupaten pada tahun 1957. Antara tahun 1950-1957 pemerintahan tidak berjalan secara maksimal disebabkan gejolak pemberontahan DI/TII. Setelah 1957, pemimpin di Wajo adalah seorang Bupati. Wajo yang dulunya kerajaan, kemudian menjadiOnderafdeling, selanjutnya Swapraja, dan akhirnya menjadi kabupaten.
Struktur Kerajaan Wajo
1. Masa Batara Wajo
ü Batara Wajo --> Penguasa tertinggi (1 orang)
ü Paddanreng --> Penguasa wilayah, terdiri dari Bettempola untuk Majauleng, Talotenreng untuk Sabbamparu dan Tuwa untuk Takkalalla (3 orang)
ü Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (12) orang
2. Masa Arung Matoa
ü Arung Matoa --> Penguasa tertinggi (1 orang)
ü Paddanreng --> Penguasa wilayah (3 orang)
ü Pabbate Lompo --> Panglima perang, terdiri dari Pilla, Patola dan Cakkuridi (3 orang)
ü Arung Mabbicara --> Aparat pemerintah (30 orang)
ü Suro --> Utusan (3 orang)
Kelima jabatan diatas disebut sebagai Arung PatappuloE, penguasa 40. Jabatan lain yang tidak masuk Arung PatappuloE:
ü Arung Bettempola --> biasanya dirangkap Paddanreng Bettempola. Bertugas sebagai ibu orang Wajo. Mengangkat dan menurunkan Arung Matoa berdasar kesepakatan orang Wajo. Di masa Batara Wajo, tugas ini dijabat oleh Arung Penrang
ü Punggawa --> Panglima perang wilayah, bertugas mengantar Arung lili ke pejabat Arung PatappuloE
ü Petta MancijiE --> Staf keprotokuleran istana
D. Kesultanan Buton
Kesultanan Buton terletak di Kepulauan Buton (Kepulauan Sulawesi Tenggara) Provinsi Sulawesi Tenggara. Pada zaman dahulu memiliki kerajaan sendiri yang bernama kerajaan Buton dan berubah menjadi bentuk kesultanan yang dikenal dengan nama KesultananButon. Nama Pulau Buton dikenal sejak zaman pemerintahan Majapahit, Patih Gajah Mada dalam Sumpah Palapa, menyebut nama Pulau Buton.
Sejarah Awal
Mpu Prapanca juga menyebut nama Pulau Buton di dalam bukunya, Kakawin Nagarakertagama. Sejarah yang umum diketahui orang, bahwa Kerajaan Bone di Sulawesi lebih dulu menerima agama Islam yang dibawa oleh Datuk ri Bandang yang berasal dari Minangkabau sekitar tahun 1605 M. Sebenarnya Sayid Jamaluddin al-Kubra lebih dulu sampai di Pulau Buton, yaitu pada tahun 815 H/1412 M. Ulama tersebut diundang oleh Raja Mulae Sangia i-Gola dan baginda langsung memeluk agama Islam. Lebih kurang seratus tahun kemudian, dilanjutkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathaniyang dikatakan datang dari Johor. Ia berhasil mengislamkan Raja Butonyang ke-6 sekitar tahun 948 H/1538 M.
Riwayat lain mengatakan tahun 1564 M. Walau bagaimanapun masih banyak pertikaian pendapat mengenai tahun kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton. Dalam masa yang sama dengan kedatangan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani, diriwayatkan bahwa di Callasusung (Kulisusu), salah sebuah daerah kekuasaan Kerajaan Buton, didapati semua penduduknya beragama Islam.
Selain pendapat yang menyebut bahwa Islam datang di Butonberasal dari Johor, ada pula pendapat yang menyebut bahwa Islamdatang di Buton berasal dari Ternate. Dipercayai orang-orang Melayudari berbagai daerah telah lama sampai di Pulau Buton. Mengenainya dapat dibuktikan bahwa walaupun bahasa yang digunakan dalam Kerajaan Buton ialah bahasa Wolio, namun dalam masa yang sama digunakan bahasa Melayu, terutama bahasa Melayu yang dipakai di Malaka, Johor dan Patani. Orang-orang Melayu tinggal di Pulau Buton. Orang-orang Buton termasuk kaum yang pandai belayar seperti orang Bugis juga. Orang-orang Buton sejak lama merantau ke seluruh pelosok dunia Melayu dengan menggunakan perahu berukuran kecil yang hanya dapat menampung lima orang, hingga perahu besar yang dapat memuat barang sekitar 150 ton.
Kerajaan Buton secara resminya menjadi sebuah kerajaan Islampada masa pemerintahan Raja Buton ke-6, yaitu Timbang Timbangan atau Lakilaponto atau Halu Oleo. Bagindalah yang di-Islamkan oleh Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani yang datang dari Johor. Menurut beberapa riwayat bahwa Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani sebelum sampai di Buton pernah tinggal di Johor. Selanjutnya bersama istrinya pindah ke Adonara (NTT). Kemudian dia sekeluarga berhijrah pula ke Pulau Batu atas yang termasuk dalam pemerintahan Buton.
Di Pulau Batu atas, Buton, Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani bertemu Imam Pasai yang kembali dari Maluku menuju Pasai(Aceh). Imam Pasai menganjurkan Syeikh Abdul Wahid bin Syarif Sulaiman al-Fathani pergi ke Pulau Buton, menghadap Raja Buton. Syeikh Abdul Wahid setuju dengan anjuran yang baik itu. Setelah RajaButon memeluk Islam, Baginda langsung ditabalkan menjadi Sultan Buton oleh Syeikh Abdul Wahid pada tahun 948 H/1538 M.
Mengenai tahun tersebut, masih dipertikaikan karena sumber lain menyebutkan bahwa Syeikh Abdul Wahid merantau dari Patani-Johor ke Buton pada tahun 1564 M. Sultan Halu Oleo dianggap sebagai SultanButon pertama, bergelar Sultan atau Ulil Amri dan menggunakan gelar yang khusus yaitu Sultan Qaimuddin. Maksud perkataan ini ialah Kuasa Pendiri Agama Islam.
Dalam riwayat yang lain menyebut bahawa yang melantik Sultan Buton yang pertama memeluk Islam, bukan Syeikh Abdul Wahid tetapi guru dia yang sengaja didatangkan dari Patani. Raja Halu Oleo setelah ditabalkan sebagai Sultan Kerajaan Islam Buton pertama, dinamakan Sultan Murhum. Ketika diadakan Simposium Pernaskahan Nusantara Internasional IV, 18 - 20 Julai 2000 di Pekan Baru, Riau, salah satu kertas kerja membicarakan beberapa aspek tentang Buton, yang dibentang oleh La Niampe, yang berasal dari Buton. Hasil wawancara saya kepadanya adalah sebagai berikut:
1. Syeikh Abdul Wahid pertama kali sampai di Buton pada tahun 933 H/1526 M.
2. Syeikh Abdul Wahid sampai ke Buton kali kedua pada tahun 948 H/1541 M.
3. Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua di Buton pada tahun 948 H/1541 M bersama guru dia yang bergelar Imam Fathani. Ketika itulah terjadi pengislaman beramai-ramai dalam lingkungan Istana Kesultanan Buton dan sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton pertama.
Maklumat lain, kertas kerja Susanto Zuhdi berjudul Kabanti Kanturuna Mohelana Sebagai Sumber Sejarah Buton, menyebut bahawa Sultan Murhum, Sultan Buton yang pertama memerintah dalam lingkungan tahun 1491 M - 1537 M. Menurut Maia Papara Putra dalam bukunya, Membangun dan Menghidupkan Kembali Falsafah Islam Hakiki Dalam Lembaga Kitabullah, bahawa “Kesultanan Buton menegakkan syariat Islam ialah tahun 1538 Miladiyah”.
Jika kita bandingkan tahun yang saya sebutkan (1564 M), dengan tahun yang disebutkan oleh La Niampe (948 H/1541 M) dan tahun yang disebutkan oleh Susanto Zuhdi (1537 M), berarti dalam tahun 948 H/1541 M dan tahun 1564 M, Sultan Murhum tidak menjadi Sultan Buton lagi karena masa dia telah berakhir pada tahun 1537 M. Setelah meninjau pelbagai aspek, nampaknya kedatangan Syeikh Abdul Wahid di Buton dua kali (tahun 933 H/1526 M dan tahun 948 H/1541 M) yang diberikan oleh La Niampe adalah lebih meyakinkan.
Yang menarik pula untuk dibahas ialah keterangan La Niampe yang menyebut bahawa Kedatangan Syeikh Abdul Wahid yang kedua kali di Buton pada tahun 948 H/1541 M itu bersama Imam Fathani mengislamkan lingkungan Istana Buton, sekaligus melantik Sultan Murhum sebagai Sultan Buton yang pertama. Apa sebab Sultan Buton yang pertama itu dilantik/dinobatkan oleh Imam Fathani? Dan apa pula sebabnya sehingga Sultan Buton yang pertama itu bernama Sultan Murhum, sedangkan di Patani terdapat satu kampung bernama Kampung Parit Murhum.
Kampung Parit Murhum berdekatan dengan Kerisik, iaitu pusat seluruh aktivitas Kesultanan Fathani Darus Salam pada zaman dahulu.Semua yang tersebut itu sukar untuk dijawab.Apakah semuanya ini secara kebetulan saja atau pun memang telah terjalin sejarah antara Patani dan Buton sejak lama, yang memang belum diketahui oleh para penyelidik.
Namun walau bagaimanapun jauh sebelum ini telah ada orang yang menulis bahwa ada hubungan antara Patani dengan Ternate.Dan cukup terkenal legenda bahawa orang Buton sembahyang Jumaat di Ternate.
Jika kita bandingkan dengan semua sistem pemerintahan, sama ada yang bercorak Islam maupun sekular, terdapat perbedaan yang sangat kental dengan pemerintahan Islam Buton. Kerajaan Islam Buton berdasarkan Martabat Tujuh.Daripada kenyataan ini dapat diambil kesimpulan bahwa kerajaan Islam Buton lebih mengutamakan ajaran tasawuf daripada ajaran yang bercorak zahiri.Namun ajaran syariat tidak diabaikan.
Semua perundangan ditulis dalam bahasa Walio menggunakan huruf Arab, yang dinamakan Buru Wolio seperti kerajaan-kerajaan Melayu menggunakan bahasa Melayu tulisan Melayu/Jawi.Huruf dan bahasa tersebut selain digunakan untuk perundangan, juga digunakan dalam penulisan salasilah kesultanan, naskhah-naskhah dan lain-lain.Tulisan tersebut mulai tidak berfungsi lagi menjelang kemerdekaan Indonesia 1945.
Pemerintahan
Kerajaan Buton berdiri tahun 1332 M. Awal pemerintahan dipimpin seorang perempuan bergelar Ratu Wa Kaa Kaa. Kemudian raja kedua pun perempuan yaitu Ratu Bulawambona. Setelah dua raja perempuan, dilanjutkan Raja Bataraguru, Raja Tuarade, Raja Rajamulae, dan terakhir Raja Murhum.Ketika Buton memeluk agama Islam, maka Raja Murhum bergelar Sultan Murhum.
Kerajaan Buton didirikan atas kesepakatan 3 kelompok atau rombongan yang datang secara bergelombang.Gelombang pertama berasal dari kerajaan Sriwijaya. Kelompok berikutnya berasal dari Kekaisaran Cina dan menetap di Buton. Kelompok ketiga berasal dari Kerajaan Majapahit. Sistem kekuasaan di Buton ini bisa dibilang menarik karena konsep kekuasaannya tidak serupa dengan konsep kekuasaan di kerajaan-kerajaan lain di nusantara. Struktur kekuasaan kesultanan ditopang dua golongan bangsawan: golongan Kaomu dan Walaka. Wewenang pemilihan dan pengangkatan sultan berada di tangan golongan Walaka, namun yang menjadi sultan harus dari golongan Kaomu.Jadi bisa dikatakan kalau seorang raja dipilih bukan berdasarkan keturunan, tetapi berdasarkan pilihan di antara yang terbaik.
Kelompok Walaka yang merupakan keturunan dari Si Panjonga memiliki tugas untuk mengumpulkan bibit-bibit unggul untuk dilatih dan dididik sedemikian rupa sehingga para calon raja memiliki bekal yang cukup ketika berkuasa nanti.Berdasarkan penelitian, Ratu Waa Kaa Kaa adalah proyek percobaan pertama kelompok Walaka ini Selain sistem pemilihan raja yang unik, sistem pemerintahannya juga bisa dikatakan lebih maju dari jamannya.Sistem pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton dibagi dalam tiga bentuk kekuasaan. Sara Pangka sebagai lembaga eksekutif, Sara Gau sebagai lembaga legislatif, dan Sara Bhitara sebagai lembaga yudikatif. Beberapa ahli berani melakukan klaim kalau sistem ini sudah muncul seratus tahun sebelum Montesquieu mencetuskan konsep trias politica Peraturan hukum diterapkan tanpa diskriminasi, berlaku sama bagi rakyat jelata hingga sultan. Sebagai bukti, dari 38 orang sultan yang pernah berkuasa di Buton, 12 di antaranya diganjar hukuman karena melanggar sumpah jabatan.Dan hukumannya termasuk hukuman mati majelis rakyat Kesultanan Buton adalah lambang demokrasi Kesultanan Buton.di sini dirumuskan berbagai program kesultanan dan juga tempat untuk melaksanakan proses pemilihan sultan berdasarkan aspirasi masyarakat Buton.
Pembagian kelompok di majelis yang diatur dalam UU yang disebut Tutura ini adalah sebagai berikut:
1. Eksekutif = Sara Pangka
2. Legislatif = Sara Gau
3. Yudikatif = Sara Bitara
Ada 114 anggota majelis Sara buton yang terdiri dari 3 fraksi:
1. Fraksi rakyat = Beranggotakan 30 menteri/bonto ditambah 2 menteri besar yang juga mewakili pemukiman-pemukiman di wilayah Buton.
2. Fraksi pemerintahan = Pangka, Bobato, lakina Kadie yang mewakili pemerintahan.
3. Fraksi Agama = Diwakili oleh pejabat lingkungan sarakidina/sarana hukumu yang berkonsentrasi di masjid agung kesultanan Buton.
Politik
Masa pemerintahan Kerajaan Buton mengalami kemajuan terutama bidang Politik Pemerintahan dengan bertambah luasnya wilayah kerajaan serta mulai menjalin hubungan Politik dengan Kerajaan Majapahit, Luwu, Konawe, dan Muna. Demikian juga bidang ekonomi mulai diberlakukan alat tukar dengan menggunakan uang yang disebut Kampua (terbuat dari kapas yang dipintal menjadi benang kemudian ditenun secara tradisional menjadi kain). Memasuki masa Pemerintahan Kesultanan juga terjadi perkembangan diberbagai aspek kehidupan antara lain bidang politik dan pemerintahan dengan ditetapkannya Undang-Undang Dasar Kesultanan Buton yaitu “Murtabat Tujuh” yang di dalamnya mengatur fungsi, tugas dan kedudukan perangkat kesultanan dalam melaksanakan pemerintahan serta ditetapkannya Sistem Desentralisasi (otonomi daerah) dengan membentuk 72 Kadie (Wilayah Kecil).
Masyarakat
Masyarakat Buton terdiri dari berbagai suku bangsa. Mereka mampu mengambil nilai-nilai yang menurut mereka baik untuk diformulasikan menjadi sebuah adat baru yang dilaksanakan di dalam pemerintahan kerajaan/kesultanan Buton itu sendiri. Berbagai kelompok adat dan suku bangsa diakui di dalam masyarakat Buton. Berbagai kebudayaan tersebut diinkorporasikan ke dalam budaya mereka. Kelompok yang berasal dari Tiongkok diakui dalam adat mereka. Kelompok yang berasal dari Jawa juga diakui oleh masyarakat Buton. Di sana terdapat Desa Majapahit, dan dipercaya oleh masyarakat sekitar bahwa para penghuni desa tersebut memang berasal dari Majapahit. Mereka sampai di sana karena perdagangan rempah-rempah. Dengan membuat pemukiman di sana, mereka dapat mempermudah akses dalam memperolah dan memperdagangkan rempah-rempah ke pulau Jawa. Beberapa peninggalan mereka adalah berupa gamelan yang sangat mirip dengan gamelan yang terdapat di Jawa.
Imam-imam yang menjabat di dalam dewan agama juga dipercaya merupakan keturunan Arab. Mereka dengan pengetahuan agamanya diterima oleh masyarakat Buton dan dipercaya sebagai pemimpin di dalam bidang agama.Berbagai suku dan adat tersebut mampu bersatu secara baik di dalam kerajaan/kesultanan Buton. Apabila kita melihat kerajaan/kesultanan lain, perbedaan itu seringkali memunculkan konflik yang berujung kepada perang saudara, bahkan perang agama. Sedangkan di Buton sendiri tercatat tidak pernah terjadi perang antara satu kelompok dengan kelompok lain, terutama bila menyangkut masalah suku dan agama.
Dapat dikatakan bahwa seluruh golongan di buton merupakan pendatang.Mereka menerapkan sistem yang berdasarkan musyawarah. Para perumus sistem kekuasaan atau sistem adat di Buton juga berasal dari berbagai kelompok suku dan agama.Ada yang berasal dari semenanjung Malaysia, Si Tamanajo yang berasal dari Kerajaan Pagaruyung. Ada pula yang berasal dari Jawa yaitu Sri Batara dan Raden Jutubun yang merupakan putra dari Jayanegara.
Seluruh golongan tersebut berasal dari kerajaan yang otoriter dan menerapkan sistem putera mahkota. Hampir semua peralihan kekuasaan tersebut dilakukan dengan kudeta. Di kerajaan Buton hal tersebut tidak pernah terjadi. Asumsinya, berdasarkan pengalaman pahit dalam jatuh-bangunnya pemerintahan tersebut, maka mereka yang berkumpul di tanah Buton tersebut merumuskan suatu sistem yang mampu melakukan peralihan kekuasaan tanpa harus melalui pahitnya kudeta maupun perang saudara.
Mereka berkumpul di tanah Buton sejak Gajah Mada mengumumkan sumpah palapa-nya. Pada masa itu Kerajaan Sriwijaya mengalami kemunduran.Begitu juga Kerajaan Singosari. Seluruh raja-raja dan panglima yang tidak takluk pada Kerajaan Majapahit akan dijadikan budak. Pilihan mereka adalah dengan melarikan diri menuju tempat yang aman.Pulau Buton menjadi salah satu lokasi dimana beberapa pelarian tersebut singgah dan menetap.
Perekonomian
Wilayah kerajaan/kesultanan Buton sangat strategis. Pedagang dari India, Arab, Eropa maupun Cina lebih memilih untuk melalui jalur selatan Kalimantan untuk mencapai kepulauan rempah-rempah di Maluku. Bila melalui Utara Sulawesi dan selatan kepulauan Filipina, para pedagang akan berhadapan dengan bajak laut yang banyak berkeliaran di sana. Selain itu, angin di selatan Kalimantan lebih kencang daripada di sebelah utara Sulawesi.Masyarakat Buton telah menggunakan alat tukar uang yang disebut Kampua. Kampua Sehelai kain tenun dengan ukuran 17,5 kali 8 sentimeter. Pajak juga telah diterapkan di negeri ini. Tunggu Weti sebagai penagih pajak di daerah kecil ditingkatkan statusnya menjadi Bonto Ogena disamping sebagai penanggung jawab dalam pengurusan pajak dan keuangan juga mempunyai tugas khusus selaku kepala siolimbona (saat ini hampir sama dengan ketua lembaga legislatif).
Hukum
Hukum dijalankan sangat tegas dengan tidak membedakan baik aparat pemerintahan maupun masyarakat umum. Hal ini terlihat dari ke 38 orang sultan yang memerintah di Buton, 12 orang menyalahgunakan kekuasaan dan melanggar sumpah jabatan dan satu di antaranya yaitu Sultan ke - VIII Mardan Ali, diadili dan diputuskan untuk dihukum mati dengan cara leher dililit dengan tali sampai meninggal yang dalam Bahasa Wolio dikenal dengan istilah digogoli.
Bahasa
Etnik/Suku Buton sebutan bagi masyarakat yang berasal dari Kerajaan dan Kesultanan Buton, memiliki sejumlah bahasa yang berbeda tiap wilayah. Secara umum, setidaknya ada 4 bahasa yg digunakan oleh 4 kelompok/etnik masyarakat yakni Bahasa Pancana, Bahasa Cia-Cia, Bahasa Pulo (Wakatobi), dan Bahasa Moronene. Selain 4 bahasa tersebut masih terdapat pula beberapa bahasa yang digunakan oleh kelompok masyarakat yang lebih kecil, seperti bahasa Laompo/Batauga, Bahasa Barangka/Kapontori, Bahasa Wabula, Bahasa Lasalimu, Bahasa Kolencusu, Bahasa Katobengke dan sebagai bahasa pemersatu digunakan Bahasa Wolio. Bahasa Wolio ini merupakan bahasa resmi kesultanan.
Pertahanan
Bidang Pertahanan Keamanan ditetapkannya Sistem Pertahanan Rakyat Semesta dengan falsafah perjuangan yaitu :
ü “Yinda Yindamo Arata somanamo Karo” (Harta rela dikorbankan demi keselamatan diri)
ü “Yinda Yindamo Karo somanamo Lipu” (Diri rela dikorbankan demi keselamatan negeri)
ü “Yinda Yindamo Lipu somanamo Sara” (Negeri rela dikorbankan demi keselamatan pemerintah)
ü “Yinda Yindamo Sara somanamo Agama” (Pemerintah rela dikorbankan demi keselamatan agama)
Disamping itu juga dibentuk sistem pertahanan berlapis yaitu empat Barata (Wuna, Tiworo, Kulisusu dan Kaledupa), empat matana sorumba (Wabula, Lapandewa, Watumotobe dan Mawasangka) serta empat orang Bhisa Patamiana (pertahanan kebatinan).
Selain bentuk pertahanan tersebut maka oleh pemerintah kesultanan, juga mulai membangun benteng dan kubu–kubu pertahanan dalam rangka melindungi keutuhan masyarakat dan pemerintah dari segala gangguan dan ancaman. Kejayaan masa Kerajaan/Kesultanan Buton (sejak berdiri tahun 1332 dan berakhir tahun 1960) berlangsung ± 600 tahun lamanya telah banyak meninggalkan warisan masa lalu yang sangat gemilang, sampai saat ini masih dapat kita saksikan berupa peninggalan sejarah, budaya dan arkeologi. Wilayah bekas Kesultanan Buton telah berdiri beberapa daerah kabupaten dan kota yaitu : Kabupaten Buton, Kabupaten Muna, Kabupaten Wakatobi, Kabupaten Konawe Kepulauan, Kabupaten Bombana, Kabupaten Buton Utara, dan Kota Bau-Bau.
Raja-raja Buton
1. Raja ke I Wa Kaa Kaa 1311
2. Raja ke II Bulawambona
3. Raja ke III bataraguru
4. Raja ke IV tua rade
5. Raja ke V Mulae
6. Raja ke VI Murhum
Sultan-Sultan Buton
5. Sultan ke-5
6. Sultan ke-6 La Buke
7. Sultan ke-7
8. Sultan ke-8
13. Sultan ke-13
15. Sultan ke-15
25. Sultan ke-25
C. Peninggalan Sejarah Islam di Sulawesi
1. Batu Pelantikan Raja (Batu Pallantikang)
Batu pelantikan raja (hatu pallantikang) terletak di sebelah tenggara kompleks makam Tamalate. Dahulu, setiap penguasa baru Gowa-Tallo di sumpah di atas batu ini (Wolhof dan Abdurrahim, tt : 67). Batu pallantikang sesungguhnya merupakan batu alami tanpa pembentukan, terdiri dari satu batu andesit yang diapit 2 batu kapur. Batu andesit merupakan pusat pemujaan yang tetap disakralkan masyarakat sampai sekarang. Pemujaan penduduk terhadap batu ini ditandai dengan banyaknya sajian di atas batu ini. Mereka meyakini bahwa batu tersebut adalah batu dewa dari kayangan yang bertuah.
2. Mesjid Katangka
Mesjid Katangka didirikan pada tahun 1605 M. Sejak berdirinya telah mengalami beberapa kali pemugaran. Pemugaran itu berturut-turut dilakukan oleh: [a] Sultan Mahmud (1818); [b] Kadi Ibrahim (1921); [c] Haji Mansur Daeng Limpo, Kadi Gowa (1948); dan [d] Andi Baso, Pabbicarabutta GoWa (1962). Sangat sulit mengidentifikasi bagian paling awal (asli) bangunan mesjid tertua Kerajaan Gowa ini.
Yang masih menarik adalah ukuran tebal tembok kurang lebih 90 cm, hiasan sulur-suluran dan bentuk mimbar yang terbuat dari kayu menyerupai singgasana dengan sandaran tangan. Hiasan makhuk di samarkan agar tidak tampak realistik. Pada ruang tengah terdapat empat tiang soko guru yang mendukung konstruksi bertingkat di atasnya. Mimbar dipasang permanen dan diplaster. Pada pintu masuk dan mihrab terdapat tulisan Arab dalam babasa Makassar yang menyebutkan pemugaran yang dilakukan Karaeng Katangka pada tahun 1300 Hijriah.
3. Makam Syekh Yusuf
Kompleks makam ini terletak pada dataran rendah Lakiung di sebelah barat Mésjid Katangka. Di dalam kompleks ini terdapat 4 buah cungkup dan sejumlah makam biasa. Makam Syekh Yusuf terdapat di dalam cungkup terbesar, berbentuk bujur sangkar Pintu masuk terletak di sisi Selatan. Puncak cungkup berhias keramik. Makam ini merupakan makam kedua. Ketika wafat di pengasingan, Kaap, tanggal 23 Mei 1699, beliau dimakamkan untuk pertama kalinya di Faure, Afrika Selatan. Raja Gowa meminta kepada pemerintah Belanda agar jasad Syekh Yusuf dipulangkan dan dimakamkan di Gowa. Lima tahun sesudah wafat (1704) baru permintaan tersebut dikabulkan. Jasadnya dibawa pulang bersama keluarga dengan kapal de Spiegel yang berlayar langsung dan Kaap ke Gowa. Pada tanggal 6 April 1705, tulang kerangka Syekh Yusuf dimakamkan dengan upacara adat pemakaman bangsawan di Lakiung. Di atas makamnya dibangun kubah yang disebut kobbanga oleh orang Makassar.
Makam Syekh Yusuf mempunyai dua nisan tipe Makassar, terbuat dari batu alam yang permukaannya sangat mengkilap. Hal ini dapat terjadi karena para peziarah selalu menyiramnya dengan minyak kelapa atau semacamnya. Sampai sekarang peziarah masih sangat ramai mengunjungi tokoh ulama (panrita) dan intelektual (tulnangngasseng) yang banyak berperan dalam perkembangan dan kejayaan kerajaan Gowa-Tallo abad pertengahan.
Dalam lontarak "Riwayakna Tuanta Salamaka ri Gowa 7, Syekh Yusuf dianggap Nabi Kaidir (Abu Hamid, 1994: 85). la tokoh yang memiliki keistimewaan, seperti berjalan tanpa berpijak di tanah. Dalam usia belia ia sudah tamat mempelajari kitab fiqih dan tauhid. Guru tarekat Naqsabandiayah, Syattariyah, Ba'alaniiyah, dan Qadriyah. Wawasan sufistiknya tidak pernah menyinggung pertentangan antara Hamzah Fanzuri yang mengembangkan ajaran Wujudiyah dan Syekh Nuruddin ar-Raniri.
4. Benteng Tallo
Benteng Tallo terletak di muara sungai Tallo. Benteng dibangun dengan menggunakan bahan batu bata, batu padas/batu pasir, dan batu kurang. Luas benteng diperkirakan 2 kilometer. Berdasarkan temuan fondasi dan susunan benteng yang masih tersisa, tebal dinding banteng diperkirakan mencapai 260 cm.
Akibat perjanjian Bongaya (1667) benteng dihancurkan. Sekarang, sisa-sisa benteng dan bekas aktivitas berserakan. Beberapa bekas fondasi, sudut benteng (bastion) dan batu merah yang tersisa sering dimanfaatkan penduduk untuk berbagai keperluan darurat, sehingga tidak tampak lagi bentuk aslinya. Fondasi itu mengelilingi pemukiman dan makam raja-raja Tallo.
BUKTI-BUKTI PENINGGALAN SEJARAH ISLAM
Banyak terdapat bukti-bukti peninggalan sejarah Islam di Sulawesi, dan berikut di antrara bukti-bukti tersebut:
1. Dalam catatan Lontara Bilang tertulis bahwa raja pertama yang memeluk agama Islam tahun 1603 adalah Kanjeng Matoaya, Raja ke-4 dari Kerajaan Tallo. Penyiar agama Islam di daerah ini berasal dari Demak, Tuban, dan Gresik. Oleh karena itu Islam masuk melalui Raja dan masyarakat Gowa Tallo.
2. Masjid Hila yaitu masjid pertama Datuk Tiro di Kabupaten Bulukumba yang didirikan oleh Al-Maulana Khotib Bungsu atau Datuk Tiro. Setelah Luru Daeng Biasa masuk Islam, maka Datuk Tiro membuat masjid Hila.
3. Batu karang berbentuk bukit karang kecil di tengah pantai Semboang dengan tinggi 15 meter, adalah makam Karaeng Sapo Batu, karena Raja Tiro pertama bernama Karaeng Raja Daeng Malaja.
4. Obyek tinggalan arkeologi Islam yang berada di kota Manado berupamakam tua yang terdapat di kmpleks pekuburan Islam Tuminting. Secara umum bangunan makam memiliki tiga unsur yang menjadi kelengkapan satu dengan lainnya, yaitu:
ü Kijing (jirat), dasar yang berbentuk persegi panjang dengan berbagai bentuk variasi.
ü Nisan, berupa tanda yang terbuat dari kayu, batu atau logam yang diletakkan di atas kijing. Nisan ada yang dipasang pada bagian kepala saja, atau kepala dan kaki.
ü Cungkup, berupa bangunan pelindung beratap untuk melindungi makam dari hujan.
5. Benda bersejarah yang berkaitan dengan masuknya agama Islam di Lembah Palu, Sulawesi Tengah, tidak hanya berupa Al-Qur’an kuno saja. Ada sejumlah naskah yang hadir di tengah masyarakat lembah Palu bersamaan dengan masuknya Islam. Naskah tersebut di antaranya berupa naskah Kutika dan Naskah Lontara.
6. Masjid di Mangallekana Kabupaten Gowa dan pelaksanaan Islam sebelum abad 16.
source: theexclusivers
Choose EmoticonEmoticon