– Jauh sebelum Meikarta dibangun, jauh sebelum dua kompleks perumahan elit (Lippo Cikarang dan Kota Deltamas, yang terakhir milik Grup Sinar Mas) terhubung jalan raya, saya telah tinggal di daerah ini. Meikarta dulunya adalah lahan berbukit-bukit nan menghijau, di mana sawah dan kebun terbentang dengan spot-spot perkampungan penduduk pribumi asli yang sudah tinggal puluhan bahkan ratusan tahun, beranak-pinak di sana, hidup menyatu dengan alam.
Ketika beberapa tahun lalu mulai muncul buldoser dan truk pengangkut tanah, yang menyulap lahan nan menghijau menjadi hamparan tanah kosong dan tandus, dengan perlahan menghilangkan bukit-bukit dan sawahnya, orang-orang kampung bilang jika di lahan itu akan dibangun kawasan industri. Delta Silicon namanya. Dalam hitungan minggu mulai terbentang jalan yang yang menghubungkan Perumahan Kota Deltamas dengan Perumahan Lippo Cikarang, walau jalannya masih tanah yang sudah dikeraskan. Jika hari panas, kami sudah bisa bermobil melewati jalan itu walau jika malam hari suasana sangat horor karena gelap. Hanya orang yang sudah tinggal di daerah ini sejak lama saja yang hapal dengan jalan darurat ini. Jika hujan, jalan itu sangat becek sehingga tidak ada mobil biasa yang lewat.
Dalam hitungan bulan, jalan raya pun jadi, bersamaan dengan pembangunan berbagai macam bangunan pabrik yang di antaranya yang paling besar adalah perusahaan ban Hankook, asal Korea. Mobilitas penghuni perumahan Lippo Cikarang dengan Kota Deltamas pun mulai ramai. Tak lama kemudian berdiri pula Mall Orange County dengan Cinemaxx dan Hypermatnya yang seluruhnya milik Lippo. Untuk belanja bulanan kami pergi ke sini dan mulai mengurangi belanja di Lippo Mall. Ini jauh sebelum ada gerakan ekonomi umat pasca 411 dan 212, dengan mendirikan 212Mart dan TokoUmat. Pintu keluar-masuk tol pun bertambah dengan dibukanya Pintu Tol Cibatu.
Saat itu belum terdengar ada proyek prestise bernama Meikarta.
Suatu hari, ketika di pagi hari kami sedang berkunjung ke Orange County, kami heran dengan parkiran mall yang sepagi itu sudah dipenuhi mobil-mobil bagus. Pagi itu kami leyeh-leyeh di gerai kopi di sana, lalu kami ke tiketing Cinemaxx hendak menonton film. Setelah itu kami menunggu di depan pintu Cinema 1. Tiba-tiba pintu terbuka, dan keluarlah James Riyadi yang disertai puluhan pengusaha lain yang semuanya bermata sipit. CEO Lippo Grup ini lewat di depan kami dalam jarak tak sampai satu meter. Rupanya dia habis melihat presentasi proyek baru di wilayah ini di Cinema 1, yang kemudian kami mengetahuinya bernama Meikarta.
Ruangan tengah Mall Orange County yang biasanya tiap weekend digunakan sebagai ruang terbuka hiburan dengan live music, direnovasi selama beberapa minggu dan kemudian disulap lantainya menjadi display-floor Meikarta. Kami bisa berjalan kaki di atas maket raksasa Meikarta yang terbentang luas. Saat itu kami sudah berhenti berbelanja bulanan di sana, dan mengalihkan belanja bulanan di supermaket milik Muslim yang berjarak lebih jauh, sekitar belasan kilometer jauhnya dan harus melalui jalan tol. Tidak apa lebih jauh, yang penting berkah dan berguna buat kebangkitan ekonomi umat, walau sumbangsih kami ini sangat sedikit. Tapi inilah sikap kami.
Dan Meikarta ternyata memang bermasalah. Banyak media memuat permasalahan itu, dan Meikarta pun mengguyur media-media yang bisa diajak kompromi–jangan tanya lagi media-media kompradornya–dengan iklan besar-besaran. Saya sempat menanyakan kelanjutan proyek Meikarta pada orang dalam dan dekat dengan petinggi mereka. Dengan entengnya dia malah bertanya pada saya, apakah saya tidak mengerti siapa penguasa sesungguhnya sekarang ini? Saya tersenyum kecut. Saya sangat mengerti sekali.
Saya menyukai sejarah dan tahu betul jika wilayah di mana Meikarta, Lippo Cikarang, dan Kota Deltamas, beserta kawasan industrinya ada, dulunya merupakan salah satu basis pejuang kemerdekaan. Pusat pelatihan PETA (Pembela Tanah Air) ada di Cibarusah di mana Masjid Mujahidin yang ada berkilo meter di selatan wilayah ini adalah saksi sejarah yang masih berdiri. Buku-buku sejarah yang sekarang ada memang sangat sedikit sekali memuat perjalanan panjang wilayah di antara Karawang dan Bekasi ini terkait perjuangan bersenjata merebut kemerdekaan, yang dilakukan para orangtua kita, bangsa asli Indonesia.
Tanah Cikarang dan sekitarnya adalah juga tanah yang dulu dilalui para Mujahidin Mataram, yang mengambil jalur dari wilayah Kuta Tandingan Karawang, menuju Batavia untuk menggempur benteng Belanda. Kali Cibeet, Tarum Barat, dan sungai-sungai di sekitarnya di wilayah ini dahulu adalah jalur transporatsi utama para pejuang di dalam pergerakannya.
Di Cibarusah dan Cikarang pula, pasukan-pasukan mujahidin pimpinan Allahuyarham KH. Noer Ali, berasal dan bergerak memerangi Belanda di berbagai front antara Karawang-Bekasi. Ratusan ribu orangtua-orangtua kita yang syahid di tanah ini. Orangtua-orangtua kita dengan ikhlas menyiram tanah Cikarang dan sekitarnya dengan darah mereka, agar bangsa ini bisa merdeka, agar anak cucunya kelak bisa menghirup udara kemerdekaan yang hakiki, bisa hidup sejahtera dan berkeadilan.
Secara simbolik proklamasi kemerdekaan telah dikumandangkan pada hari Jum’at, bulan Ramadhan, 17 Agustus 1945. Dan 72 tahun kemudian, tanah dimana dahulu basah oleh darah ratusan ribu syuhada, kini telah berganti wajah. Anak cucu para syuhada yang telah membebaskan tanah ini sekarang hanya bisa menjadi satpam dan kuli pabrik di sana. Seiring berjalannya waktu, “kemerdekaan” ternyata dirasakan begitu menyakitkan bagi mereka, dan bagi kita. Keceriaan hanya ada tiap tanggal 17 Agustus kala orang-orang bebas makan kerupuk, balap karung, dan memanjat pinang. Merah putih boleh berkibaran, tiangnya tertancap kuat di tanah. Tapi kita lupa, tiang-tiang di mana merah putih ditancapkan, tanahnya kini bukan milik kita lagi.
Dan ada baiknya ita meresapi puisi legendaris hasil torehan Chairil Anwar, agar kita tidak melupakan ratusan ribu orangtua kita yang telah berkorban darah dan nyawa demi tanah ini:
KARAWANG BEKASI
Kami yang kini terbaring antara Karawang-Bekasi
Tidak bisa teriak “Merdeka” dan angkat senjata lagi
Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami
Terbayang kami maju dan berdegap hati?
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kami mati muda. Yang tinggal tulang diliputi debu
Kenang, kenanglah kami
Kami sudah coba apa yang kami bisa
Tapi kerja belum selesai, belum apa-apa
Kami sudah beri kami punya jiwa
Kerja belum selesai, belum bisa memperhitungkan arti 4-5 ribu jiwa
Kami cuma tulang-tulang berserakan
Tapi adalah kepunyaanmu
Kaulah lagi yang tentukan nilai tulang-tulang berserakan
Ataukah jiwa kami melayang untuk kemerdekaan, kemenangan dan harapan
Atau tidak untuk apa-apa
Kami tidak tahu, kami tidak bisa lagi berkata
Kami bicara padamu dalam hening di malam sepi
Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak
Kenang-kenanglah kami
Menjaga Bung Karno
Menjaga Bung Hatta
Menjaga Bung Syahrir
Kami sekarang mayat
Berilah kami arti
Berjagalah terus di garis batas pernyataan dan impian
Kenang-kenanglah kami
Yang tinggal tulang-tulang diliputi debu
Beribu kami terbaring antara Karawang-Bekasi
Karya Chairil Anwar
[Ahmad Abdullah]
Source: eramuslim.com
Choose EmoticonEmoticon