Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Terjemah Dan Persamaan dan Perbedaan Serta Hubungan antara ketiganya
FITRI YAFRIANTI
I. Jelaskan Pengertian Tafsir, Ta’wil dan Terjemah! Kemukakan Persamaan dan Perbedaan Serta Hubungan antara ketiganya!
Pengertian Tafsir
Tafsir atau At-Tafsir menurut bahasa mengandung arti antara lain:
Ø Menjelaskan, menerangkan, ( ), yakni; ada sesuatu yang semula belum atau tidak jelas memerlukan penjelasan lebih lanjut, sehingga jelas dan terang.
Ø Keterangan sesuatu, ( ), yakni; perluasan dan pengembangan dari ungkapan-ungkapan yang masih sangat umum dan global, sehingga menjadi lebih terperinci dan mudah dipahami serta dihayati.
Ø ( ), yakni; (alat-alat kedokteran yang khusus dipergunakan untuk dapat mendeteksi/mengetahui segala penyakit yang diderita seorang pasien). Kalau tafsirah adalah alat kedokteran yang mengungkap penyakit dari seorang pasien, maka tasir dapat mengeluarkan makna yang tersimpan dalam kandungan ayat-ayat Al-Qur’an.[1]
Dalam Al-Qur’anul Karim, kata tafsir diungkapkan hanya satu kali saja dalam surat Al-Furqan ayat 33:
Ÿwur y7tRqè?ù'tƒ @@sVyJÎ/ žwÎ) y7»oY÷¥Å_ Èd,ysø9$$Î/ z`|¡ômr&ur#·ŽÅ¡øÿs? ÇÌÌÈ
“Tidaklah orang-orang kafir itu datang kepadamu (membawa) sesuatu yang ganjil, melainkan Kami datangkan kepadamu suatu yang benar dan yang paling baik penjelasannya.” (Q.S. Al-Furqan: 33).
Tafsir menurut pengertian istilah (terminologis) yang dikemukakan oleh para ulama adalah sebagai berikut:
Ø Menurut Syaikh Thahir al-Jazairy, dalam at-Taujih:
“Tafsir pada hakekatnya ialah menerangkan (maksud) lafazh yang sukar dipahami oleh pendengar dengan uraian yang lebih memperjelas pada maksud baginya, baik dengan mengemukakan sinonimnya atau kata yang mendekati sinonim itu, atau dengan mengemukakan (uraian) yang mempunyai petunjuk kepadanya melalui suatu jalan dalalah.”[2]
Ø Menurut Syaikh Al-Jurjani dalam At-Ta’riifat:
“Pada asalnya, tafsir berarti membuka dan melahirkan. Dalam pengertian syara’, (tafsir) ialah menjelaskan makna ayat: dari segi segala persoalannya, kisahnya, asbabun nuzulnya, dengan menggunakan lafazh yang menunjukkan kepadanya secara terang.”[3]
Ø Rumusan menurut az-Zarkasyi sebagai berikut:
“Tafsir ialah ilmu (pembahasan) yang mengkaji tentang pemahaman kitabullah yang diturunkan kepada Nabi Muhammad saw, menerangkan makna-maknanya, megeluarkan hukum-hukum yang dikandungnya serta ilmu-ilmu (hikmah) yang ada di dalamnya.”[4]
Ø Menurut Abdul Azhim az-Zarqani:
“Tafsir dalam pengertian istilah ialah ilmu yag di dalamnya dibahas tentang Al-Qur’anul Karim, dari segi dalalahnya (yang berkenaan dengan pemahaman makna) menurut yang dikehendaki oleh Allah SWT, sesuai dengan kadar kemampuan manusia biasa.”[5]
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa tafsir adalah:
“Usaha yang bertujuan menjelaskan Al-Qur’an atau ayat-ayatnya atau lafazh-lafazhnya, agar yang tidak jelas menjadi jelas, yang samar-samar menjadi terang, yang sulit dipahami menjadi mudah dipahami, sehingga Al-Qur’an sebagai pedoman hidup manusia benar-benar dapat dipahami, dihayati dan diamalkan, demi tercapainya kebahagiaan hidup dunia dan akhirat.”
Pengertian Ta’wil
Menurut pendapat yang masyhur kata Ta’wil dari segi bahasa adalah sama dengan arti kata tafsir, yakni menerangkan dan menjelaskan. Dengan pengertian kata Ta’wil bisa mempunyai arti:
Ø Kembali atau mengembalikan, ( ) yakni mengembalikan makna pada proporsi yang sesungguhnya.
Ø Memalingkan, ( ) yakni memalingkan suatu lafazh tertentu yang mempunyai sifat khusus, dari makna dhahir ke makna batin lafazh itu karena ada ketetapan dan keserasian dengan maksud yang dituju.
Ø Mensiasati, ( ) yakni bahwa dalam lafazh-lafazh tertentu atau kalimat-kalimat yang mempunyai sifat khusus memerlukan siasat yang jitu untuk menemukan maknanya yang setepat-tepatnya. Untuk memiliki kemampuan siasat itu diperlukan ilmu yang luas.[6]
Ta’wil dalam pengertian istilah:
“Ta’wil ialah memalingkan lafazh dari maknanya yang dhahir kepada makna lain (makna batin) yang dipunyai lafazh itu, jika makna lain yang dilihat itu sesuai dengan (ruh) al-Qur’an dan Sunnah.”
“Ta’wil ialah mengembalikan sesuatu pada maksud yang sebenarnya, yakni menerangkan apa yang dimaksudkannya.”
Dari definisi di atas dapat diambil kesimpulan, bahwa ta’wil adalah:
Membelokkan atau memalingkan lafazh-lafazh atau kalimat-kalimat yang ada dalam Al-Qur’an dari makna dhahirnya ke makna lain, sehingga dengan cara demikian pengertian yang diperoleh lebih cocok dan sesuai dengan jiwa ajaran al-Qur’an dan Sunnah Rasulullah saw.
Pengertian terjemah
Kata “ “ dalam tuturan bahasa Arab meliputi berbagai makna, antara lain:
Ø “ “ (menyampaikan pembicaraan kepada orang yang belum pernah menerimanya).[7]
Ø “ “ (menjelaskan kalam dengan memakai bahasa kalam itu sendiri).[8]
Ø “ “ (menjelaskan kalam dengan memakai bahasa selain bahasa kalam itu). Maka, menafsirkan bahasa selain bahasa Arab, termasuk menterjemahkan Al-Qur’an. Dalam hubungan itu, Ibnu Katsir dan Al-Bughawy menyatakan:
“Sesungguhnya kata tarjamah dalam tuturan bahasa Arab digunakan secara mutlak dengan arti menjelaskan, baik itu masih dalam satu bahasa maupun dalam bahasa yang berbeda.”
Ø “ “ (mengalih pembicaraan/kalam dari satu bahasa ke bahasa lain). Singkatnya, alih bahasa. Dalam Lisanul Arabdisebutkan:
“Yang disebut Turjuman atau Tarjuman ialah yang menterjemahkan kalam, yakni memindahkannya dari satu bahasa ke bahasa yang lain.”
Pengertian terjamah secara urfi,[9] dapat didefinisikan sebagai berikut:
“Tarjamah ialah merumuskan makna pembicaraan yang terkandung dalam suatu bahasa, dengan pembicaraan lain, melainkan bahasa yang lain, lengkap semua makna dan maksudnya.”
Terjemah dalam pengertian urfi terbagi dua, yaitu: Pertama, Terjemah Harfiah ialah tarjamah yang dalam pengungkapan makna terlalu terikat dengan suasana kata perkata yang ada pada bahasa pertama dan makna-makna yang terungkap hanya berupa makna kosa kata. Dalam prakteknya penerjemah harfiah menyoroti kata perkata yang ada, lalu memahaminya satu persatu, kemudian ia berikan makna-maknanya dalam bahasa terjemah sesuatu dengan perimbangan kata, walaupun makna yang dikehendaki ternyata menyimpang dari “pesan” bahasa pertama, mengingat adanya perbedaan-perbedaan dalam langgam bahasa.
Kedua, Terjemah Tafsiriyah ialah terjemah yang dalam mengungkapkan makna tidak terikat dengan susunan kata per kata yang ada dalam bahasa pertama, tetapi yang penting ialah bagaimana mengungkapkan makna-makna yang dikehedaki dengan sebaik-baiknya. Oleh karena itu terjemah ini disebut pula “Terjemah Ma’nawiyah.” Ia disebut Terjemah Tafsiriyah, karena dalam pengambaran atau pengungkapan makna-makna yang dikehendaki itu menjadikannya serupa dengan tafsir, walaupun sebenarnya ia bukan tafsir. Dalam prakteknya, penerjemah tafsiriyah berusaha menangkap makna atau pengertian yang dituju oleh ungkapan-ungkapan kalimat bahasa pertama, kemudian pengertian itu ia tuangkan ke dalam bahasa terjemah, sesuai maksud penuturnya, tanpa memaksakan diri untuk mencari makna kata per kata yang ada dalam bahasa pertama.
Muhammad Husen Adz-Dzihaby menulis:
“Dan tarjamah tafsiriyah, yakni menjelaskan al-Qur’an kedalam bahasa non Arab, juga merupakan sesuatu yang diharuskan atas ummat bahkan ia sangat penting, karena ia membawa pada kemaslahatan yang penting, seperti menyampaikan makna-makna dan hidayah al-Qur’an kepada kaum muslimin dan non muslim yang tidak berbicara dan tidak memahami bahasa Arab dan juga demi menjaga akidah Islamiyah dari rongrongan kaum mulhid dan memeliharanya dari kekeliruan pemahaman, yang (mungkin) dilakukan oleh orang-orang yang tidak bertanggung jawab, yang sengaja melakukan penterjemahan al-Qur’an berdasarkan akidah yang salah dan ajaran-ajaran yang fasiq, yang bertujuan menampakkan al-Qur’an kepada mereka yang tidak mengerti bahasanya agar lari dari padanya dan terhalang mengikuti petunjuknya. Memang tidak sedikit suara-suara lantang dengan mengadu terjemah-terjemah yang salah itu.”
D. Persamaan dan Perbedaan Tafsir dengan Ta’wil
Dalam Manaahilul Irfan Fii Ulumil Qur’an, II, halaman: 5, diterangkan sebagai berikut:
Ta’wil dalam istilah para mufassirin, pengertiannya diperselisihkan. Ada yang berpendapat Ta’wil itu sinonim Tafsir, karena dilihat dari segi tujuan keduanya tidak berbeda, yaitu menjelaskan makna-makna ayat-ayat Al-Qur’an. Sebagian ulama melihat ada perbedaan-perbedaan antara keduanya yaitu:
Ø Tafsir berbeda dengan Ta’wil pada ayat-ayat yang menyangkut soal umum dan khusus. Pengertian Tafsir lebih umum dari pada Ta’wil, karena Ta’wil berkenaan dengan ayat-ayat yang khusus, misalnya ayat-ayat mutasyabihat. Jadi menta’wilkan ayat-ayat Al-Qur’an yang mutasyabihat itu termasuk tafsir, tetapi tidak setiap menafsirkan ayat disebut ta’wil.
Ø Bahwa Tafsir adalah penjelasan lebih lanjut bagi Ta’wil, dan dalam Tafsir, sejauh terdapat dalil-dalil yang menguatkan penafsiran boleh dinyatakan: demikianlah yang dikehendaki oleh Allah, sedangkan Ta’wil hanya menguatkan salah satu makna dari sejumlah kemungkinan makna yang dipunyai ayat (lafazh) dan tidak boleh menyatakan: demikianlah yang dikehendaki Allah SWT. Demikian antara lain pendapat Maturidi.
Ø Tafsir menerangkan makna lafazh (ayat) melalui pendekatan riwayat, sedangkan Ta’wil melalui pendekatan dirayah (kemampuan ilmu).
Ø Tafsir menerangkan makna-makna yang diambil dari bentuk yang tersurat (ibarat), sedangkan Ta’wil dari yang tersirat (bil Isyarah).
Ø Tafsir berhubungan dengan makna-makna ayat atau lafazh yang biasa-biasa saja, sedangkan Ta’wil berhubungan dengan makna-makna yang kudus( ).
Ø Tafsir, mengenai penjelasan maknanya telah diberikan oleh Al-Qur’an sendiri, sedangkan Tawil penjelasan maknanya diperoleh melalui istinbath (penggalian) dengan memanfaatkan ilmu-ilmu alatnya.”[10]
E. Persamaan dan Perbedaan Tafsir dengan Terjemah
Terjemah, baik harfiah maupun tafsiriyah bukanlah tafsir. Terjemah tidak identik dengan tafsir. Banyak orang mengira bahwa tarjamah tafsiriyah itu pada hakekatnya adalah tafsir yang memakai bahasa non-Arab, atau tarjamah tafsiriyah itu adalah terjemahan dari tafsir yang berbahasa Arab.
Antara keduanya jelas ada unsur persamaan, yaitu bahwa baik tafsir maupun terjemah bertujuan untuk menjelaskan. Tafsir menjelaskan sesuatu maksud yang semula sulit dipahami, sedangkan terjemah juga menjelaskan makna dari suatu bahasa yang tak dikuasai melalui bahasa lain yang dikuasai. Ada unsur persamaan antara keduanya bukan berarti keduanya sama secara mutlak. Perbedaan-perbedaan keduanya, antara lain:
Ø Pada terjemah terjadi peralihan bahasa, dari bahasa pertama ke bahasa terjemah, tidak ada lagi lafazh atau kosa kata bahasa pertama itu melekat pada bahasa terjemahnya. Bentuk terjemah telah lepas sama sekali dari bahasa yang diterjemahkan. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Tasir selalu ada keterikatan dengan bahasa asalnya, dan dalam tafsir tidak terjadi peralihan bahasa, sebagaimana lazimnya dalam terjemah. Yang terpeting dan menonjol dalam tafsir ialah ada penjelasan, baik penjelasan kata-kata mufrad (kosa kata) maupun penjelasan susunan kalimat.
Ø Pada terjemah sekali-kali tidak boleh melakukan “ “, yakni penguraian meluas melebihi dari sekedar mencari padanan kata, sedangkan dalam tafsir, pada kondisi tertentu, tidak hanya boleh melakukan penguraian meluas itu, tetapi justru uraian luas itu wajib dilakukan, jika usaha menjelaskan makna ayat/Al-Qur’an yang dikehendaki baru dapat dicapai dengan mantap melalui penguraian masalahnya secara luas. Lagi pula dalam terjemah (terutama harfiyah) makna yang diungkap sebaiknya tidak lebih dan tidak kurang dari bahasa pertama, sehingga sekiranya terjadi kesalahan dalam bahasa pertama, niscaya kesalahan itu akan terjadi pula pada terjemahnya. Berbeda dengan tafsir, bahwa yang dituntut dari padanya ialah meyampaikan penjelasan pesan dari bahasa asalnya. Terkadang penjelasan itu dapat dikembangkan kearah pendapat yang beraneka ragam, melalui uraian meluas tersebut di atas. Itulah rahasianya, mengapa kebanyakan kitab-kitab tafsir Al-Qur’an memuat uraian luas yang beraneka macam pembahasannya, meliputi ilmu bahasa, akidah, ilmu fiqih, usul fiqih, asbabun nuzul, dan sebagainya.
Ø Terjemah pada lazimnya mengandung tuntutan di penuhi semua makna yang dikehendaki oleh bahasa pertama, tidak demikian halnya dengan tafsir. Yang menjadi pokok perhatiannya ialah tercapai penjelasan yang sebaik-baiknya, baik secara global maupun secara terinci, baik mencakup keseluruhan makna saja, tergantung pada apa yang diperhatikan mufassir dan orang yang menerima tafsir itu.
Ø Terjemah pada lazimnya megandung tuntutan ada pengakuan, bahwa semua makna yang dimaksud, yang telah dialih bahasakan oleh penterjemah adalah makna yang ditunjuk oleh pembicaraan bahasa pertama dan memang itulah yang dikehendaki oleh penutur bahasa. Tidak demikian halnya dengan tafsir. Dalam dunia tafsir soal pengakuan sangat relatif, tergantung pada faktor kredibilitas mufassirnya. Mufassir akan mendapatkan pengakuan jika dalam menafsir itu ia didukung oleh banyak dalil yang dikemukakannya, sebaliknya ia tidak akan mendapatkan pengakuan ketika hasil tafsirannya itu tidak didukung oleh dalil-dalil.[11]
II. Mengapa Terjadi Perbedaan Penafsiran Al-Qur’an Yang Menimbulkan Berbagai Corak Tafsir? Berikan Dasar Dan Argumentasi Serta Kemukakan Sikap Yang Ideal Untuk Menghadapi Realitas Demikian!
Terjadi perbedaan penafsiran Al-Qur’an yang menimbulkan berbagai corak tafsir karena pada mulanya usaha penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an berdasarkan ijtihad masih sangat terbatas dan terikat dengan kaidah-kaidah bahasa serta arti-arti yang dikandung oleh satu kosakata. Namun sejalan dengan lajunya perkembangan masyarakat, berkembang dan bertambah besar pula porsi peranan akal atau ijtihad dalam penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an, sehingga bermunculanlah berbagai kitab atau penafsiran yang beraneka ragam coraknya. Keragaman tersebut ditunjang pula oleh Al-Qur’an, yang keadaannya seperti dikatakan oleh ‘Abdullah Darraz dalam Al-Naba’ Al-Azhim:“Bagaikan intan yang setiap sudutnya memancarkan cahaya yang berbeda dengan apa yang terpancar dari sudut-sudut yang lain, dan tidak mustahil jika anda mempersilakan orang lain memandangnya, maka ia akan melihat lebih banyak dari apa yang anda lihat.”[12]
Muhammad Arkoun, seorang pemikir Aljazair kontemporer, menulis bahwa: “ Al-Qur’an memberikan kemungkinan-kemungkinan arti yang tak terbatas. Kesan yang diberikan oleh ayat-ayatnya mengenai pemikiran dan penjelasan pada tingkat wujud adalah mutlak. Dengan demikian ayat selalu terbuka (untuk interpretasi) baru, tidak pernah pasti dan tertutup dalam interpretasi tunggal.
Corak-corak penafsiran yang dikenal selama ini antara lain:
Ø Corak Sastra Bahasa, yang timbul akibat banyaknya orang non-Arab yang memeluk agama Islam, serta akibat kelemahan-kelemahan orang Arab sendiri di bidang sastra, sehingga dirasakan kebutuhan untuk menjelaskan kepada mereka tentang keistimewahan dan kedalaman arti kandungan Al-Qur’an di bidang ini.
Ø Corak Filsafat dan Teologi, akibat penerjemahan kitab filsafat yang mempengaruhi sementara pihak, serta akibat masuknya penganut agama-agama lain ke dalam Islam yang dengan sadar atau tanpa sadar masih mempercayai beberapa hal dari kepercayaan lama mereka. Kesemuanya menimbulkan pendapat setuju atau tidak setuju yang tercermin dalam penafsiran mereka.
Ø Corak Penafsiran Ilmiah, akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan usaha penafsiran untuk memahami ayat-ayat Al-Qur’an sejalan dengan perkembangan ilmu.
Ø Corak Fiqih atau Hukum, akibat berkembangnya ilmu fiqih, dan terbentuknya mazhab-mazhab fiqih, yang setiap golongan berusaha membuktikan kebenaran pendapatnya berdasarkan penafsiran-penafsiran mereka terhadap ayat-ayat hukum.
Ø Corak Tasawuf, akibat timbulnya gerakan-gerakan sufi sebagai reaksi dari kecenderungan berbagai pihak terhadap materi, atau sebagai kompensasi terhadap kelemahan yang dirasakan.
Ø Bermula pada masa Syaikh Muhammad ‘Abduh (1849-1905 M), corak-corak tersebut mulai berkurang dan perhatian lebih banyak tertuju kepada Corak Sastra Budaya Kemasyarakatan. Yakni satu corak tafsir yang menjelaskan petunjuk-petunjuk ayat-ayat Al-Qur’an yang berkaitan langsung dengan kehidupan masyarakat, serta usaha-usaha untuk menanggulangi penyakit-penyakit atau masalah-masalah mereka berdasarkan petunjuk ayat-ayat, dengan mengemukakan petunjuk-petunjuk tersebut dalam bahasa yang mudah dimengerti tapi indah didengar.[13]
Oleh karena itu menurut kesimpulan dan hemat saya, gambaran Mufassir Al-Qur’an dewasa ini bukanlah berwujud pribadi atau perorangan, tetapi seharusnya berwujud kolektifitas atau suatu lembaga yang bergerak dalam usaha memahami dan menjelaskan kandungan Al-Qur’an. Tegasnya, Mufassir Al-Qur’an ialah Mufassir kolektif, yang dalam kolektifitas itu terdiri dari berbagai spesialis dan disiplin ilmu pengetahuan, yang masing-masing telah menguasai unsur-unsur pokok ilmu tafsir ( ilmu dasar mengenai penafsiran Al-Qur’an).
III. Buktikan Dan Berikan Argumentasi Bahwa Penafsiran Al-Qur’an Dapat Dilakukan Dengan Pendekatan Ilmiah!
Penafsiran ilmiah atau menafsirkan ayat-ayat Al-Qur’an sesuai dengan ilmu pengetahuan telah lama berlangsung. Benihnya bermula pada masa Dinasti Abbasiyah, khususnya pada masa pemerintahan Khalifah Al-Ma’mun (w. 1059-1111 M) yang secara panjang lebar dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum Al-Din dan Jawahir Al-Qur’anmengemukakan alasan-alasan untuk membuktikan pendapatnya itu. Al-Ghazali mengatakan bahwa: “Segala macam ilmu pengetahuan, baik yang terdahulu (masih ada atau telah punah), maupun yang kemudian; baik yang telah diketahui maupun belum, semua bersumber dari Al-Qur’an Al-Karim.
Hal ini, menurut Al-Ghazali, karena segala macam ilmu termasuk dalam af’al(perbuatan-perbuatan) Allah dan sifat-Sifat-Nya. Sedangkan Al-Qur’an menjelaskan tentang Zat, af’al dan sifat-Nya. Pengetahuan tersebut tidak terbatas. Dalam Al-Qur’an terdapat isyarat-isyarat menyangkut prinsip-prinsip pokoknya. Hal terakhir ini, antara lain, dibuktikan dengan mengemukakan ayat, “Apabila aku sakit maka Dialah yang mengobatiku” (QS 26: 80). “Obat” dan “penyakit”, menurut Al-Ghazali, tidak dapat diketahui kecuali oleh yang berkecimpung di bidang kedokteran. Dengan demikian, ayat di atas merupakan isyarat tentang ilmu kedokteran.[14]
Hemat penulis, membahas hubungan antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan bukan dinilai dari banyak atau tidaknya cabang-cabang ilmu pengetahuan yang dikandungnya, tetapi yang lebih utama adalah melihat: adakah Al-Qur’an atau jiwa ayat-ayatnya menghalangi ilmu pengetahuan atau mendorongnya, karena kemajuan ilmu pengetahuan tidak hanya diukur melalui sumbangan yang diberikan kepada masyarakat atau kumpulan ide dan metode yang dikembangkannya, tetapi juga pada sekumpulan syarat-syarat psikologis dan sosial yang diwujudkan, sehingga mempunyai pengaruh (positif ataupun negatif) terhadap kemajuan ilmu pengetahuan.
Dalam Al-Qur’an ditemukan kata-kata “ilmu”- dalam berbagai bentuknya- yang terulang sebanyak 854 kali. Di samping itu, banyak pula ayat-ayat Al-Qur’an yang menganjurkan untuk menggunakan akal pikiran, penalaran, dan sebagainya, sebagaimana dikemukakan oleh ayat-ayat yang menjelaskan hambatan kemajuan ilmu pengetahuan, antara lain:
1. Subjektivitas: (a) Suka dan tidak suka (baca antara lain, QS 43:78; 7:79); (b) Taqlidatau mengikuti tanpa alas an (baca antara lain, QS 33:67; 2:170).
2. Angan-angan dan dugaan yang tak beralasan (baca antara lain, QS 10: 36).
3. Bergegas-gegas dalam mengambil keputusan atau kesimpulan (baca, antara lain QS 21: 37).
4. Sikap angkuh (enggan untuk mencari atau menerima kebenaran) (baca antara lain QS 7: 146).
Di samping itu, terdapat tuntutan-tuntutan antara lain:
1. Jangan bersikap terhadap sesuatu tanpa dasar pengetahuan (QS 17: 36), dalam arti tidak menetapkan sesuatu kecuali benar-benar telah mengetahui duduk persoalan (baca, antara lain, QS 36: 17), atau menolaknya sebelum ada pengetahuan (baca, antara lain, QS 10: 39).
2. Jangan menilai sesuatu karena faktor ekstern apa pun- walaupun dalam pribadi tokoh yang paling diagungkan seperti Muhammad saw.
Ayat-ayat semacam inilah yang mewujudkan iklim ilmu pengetahuan dan yang telah melahirkan pemikir-pemikir dan ilmuan-ilmuan islam dalam berbagai disiplin ilmu. “Tiada yang lebih baik dituntut dari suatu kitab akidah (agama) menyangkut bidang ilmu kecuali anjuran untuk berfikir,… serta tidak menetapkan suatu ketetapan yang menghalangi umatnya untuk menggunakan akalnya atau membatasinya menambah pengetahuan selama dan di mana saja ia kehendaki.”[15] Inilah korelasi pertama dan utama antara Al-Qur’an dan ilmu pengetahuan.
Korelasi kedua dapat ditemukan pada isyarat-isyarat ilmiah yang tersebar dalam sekian banyak ayat Al-Qur’an yang berbicara tentang alam raya dan fenomenanya. Isyarat-isyarat tersebut sebagiannya telah diketahui oleh masyarakat Arab ketika itu. Namun, apa yang mereka ketahui itu masih sangat terbatas dalam perinciannya.
Di lain segi, paling sedikit ada tiga hal yang dapat disimpulkan dari pembicaraan Al-Qur’an tentang alam raya dan fenomenanya:
1. Al-Qur’an memerintahkan atau menganjurkan manusia untuk memperhatikan dan mempelajarinya dalam rangka meyakini ke-Esa-an dan kekuasaan Allah SWT. Dari perintah ini, tersirat pengertian bahwa manusia memiliki potensi untuk mengetahui dan memanfaatkan hukum-hukum yang mengatur fenomena alam tersebut, namun pengetahuan dan pemanfaatan ini bukan merupakan tujuan puncak (ultimate goal).
2. Alam raya beserta hukum-hukum yang diisyaratkannya itu diciptakan, dimiliki, dan diatur oleh ketetapan-ketetapan Tuhan yang sangat teliti. Ia tidak dapat melepaskan diri dari ketetapan-ketetapan tersebut kecuali bila Tuhan menghendakinya. Dari sini, tersirat bahwa: (a) alam raya atau elemen-elemen tidak boleh disembah; (b) manusia dapat menarik kesimpulan tentang adanya ketetapan-ketetapan yang bersifat umum dan mengikat yang mengatur alam raya ini (hukum-hukum alam).
3. Redaksi yang digunakan oleh Al-Qur’an dalam uraiannya tentang alam raya dan fenomenanya itu, bersifat singkat, teliti dan padat, sehingga pemahaman atau penafsiran tentang maksud redaksi-redaksi tersebut sangat bervariasi sesuai dengan tingkat kecerdasan dan pengetahuan masing-masing.
Dalam kaitannya dengan butir ketiga ini, kita perlu menggaris bawahi beberapa prinsip pokok:
a. Setiap Muslim, bahkan setiap orang, berkewajiban untuk mempelajari dan memahami kitab suci yang dipercayainya. Namun, walaupun demikian, hal tersebut bukan berarti bahwa setiap orang bebas untuk menafsirkan atau menyebarluaskan pendapatnya tanpa memenuhi syarat-syarat yang dibutuhkan guna mencapai maksud tersebut.
b. Al-Qur’an diturunkan bukan hanya khusus untuk orang-orang Arab ummiyin yang hidup pada masa Rasul saw., tidak pula untuk generasi abad keduapuluh ini, tetapi juga untuk seluruh manusia hingga akhir zaman. Mereka semua diajak berdialog oleh Al-Qur’an dan dituntut untuk menggunakan akalnya.
c. Berfikir secara modern, sesuai dengan keadaan zaman dan tingkat pengetahuan seseorang; tidak berarti menafsirkan Al-Qur’an secara spekulatif atau terlepas dari kaidah-kaidah penafsiran yang telah disepakati oleh para ahli di bidang ini.
IV. Jelaskan Langkah-langkah Penafsiran Al-Qur’an Dengan Menggunakan Pendekatan Ilmiah Dan Dengan Metode Tafsir Tematik (Mawdlu’iy)!
Langkah-langkah penafsiran Al-Qur’an dengan menggunakan pendekatan ilmiah antara lain:
1. Bahasa, disepakati oleh semua pihak bahwa untuk memahami kandungan Al-Qur’an dibutuhkan pengetahuan bahasa Arab. Untuk memahami arti suatu kata dalam rangkaian redaksi suatu ayat, seorang terlebih dahulu harus meneliti apa saja pengertian yang dikandung oleh kata tersebut. Kemudian menetapkan arti yang paling tepat setelah memperhatikan segala aspek yang berhubungan dengan ayat tadi.
2. Konteks ayat-ayat, memahami pengertian satu kata dalam rangkaian satu ayat tidak dapat dilepaskan dari konteks kata tersebut dengan keseluruhan kata-kata dalam redaksi ayat tadi. Di samping memperhatikan konteks ayat dari segi kata demi kata, ayat demi ayat, maka pemahaman atau penafsiran ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan satu cabang ilmu pengetahuan- bahkan semua ayat yang berbicara tentang suatu masalah dari berbagai disiplin ilmu- hendaknya ditinjau dengan metode mawdhu’iy, yaitu dengan jalan menghimpun ayat-ayat Al-Qur’an yang membahas masalah yang sama, kemudian merangkaikan satu dengan yang lainnya, hingga pada akhirnya dapat diambil kesimpulan-kesimpulan yang jelas tentang pandangan atau pendapat Al-Qur’an tentang masalah yang dibahas itu.
3. Sifat Penemuan Ilmiah, seperti telah dikemukakan di atas bahwa hasil pemikiran seseorang dipegaruhi oleh banyak faktor, antara lain, perkembangan ilmu pengetahuan dan pengalaman-pengalamanya. Perkembangan ilmu pengetahuan sudah sedemikian pesatnya, sehingga dari faktor ini saja pemahaman terhadap redaksi Al-Qur’an dapat berbeda-beda. Namun perlu kiranya digarisbawahi bahwa apa yang dipersembahkan oleh para ahli dari berbagai disiplin ilmu, sangat bervariasi dari segi kebenarannya. Nah, bertitik tolak dari prinsip “larangan menafsirkan Al-Qur’an secara spekulatif”, maka penemuan-penemuan ilmiah yang belum mapan tidak dapat dijadikan dasar dalam menafsirkan Al-Qur’an.[16]
Pada tahun 1977, Prof. Dr. Abdul Hay Al-Farmawiy, yang juga menjabat guru besar pada Fakultas Ushuluddin Al-Azhar, menerbitkan buku Al-Bidayah fi Al-Tafsir Al-Mawdhu’i dengan mengemukakan secara terinci langkah-langkah yang hendaknya ditempuh untuk menerapkan metode mawdhu’i. Langkah-langkah tersebut adalah:
a. Menetapkan masalah yang akan dibahas (topik);
b. Menghimpun ayat-ayat yang berkaitan dengan masalah tersebut;
c. Menyusun runtutan ayat sesuai dengan masa turunnya, disertai pengetahuan tentang asbab al-nuzul-nya;
d. Memahami korelasi ayat-ayat tersebut dalam surahnya masing-masing;
e. Menyusun pembahasan dalam kerangka yang sempurna (outline);
f. Melengkapi pembahasan dengan hadits-hadits yang relevan dengan pokok bahasan;
g. Mempelajari ayat-ayat tersebut secara keseluruhan dengan yang sama, atau mengkompromikan antara yang ‘am (umum) dan yang khash (khusus), mutlak dan muqayyad (terikat), atau yang pada lahirnya bertentangan, sehingga kesemuanya bertemu dalam satu muara, tanpa perbedaan atau pemaksaan.[17]
Daftar Pustaka
Rifat Syauqi Nawawi, Pengantar Ilmu Tafsir, Jakarta: Bulan Bintang, 1992
M. Quraish Shihab, Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan, 1997
Nashruddin Baidan, Metodologi Penafsiran Al-Qur’an, Yokyakarta: Pustaka Pelajar, 1998
Manna’ Khalil al-Qattan, Studi Ilmu-ilmu Qur’an, Bogor: Litera Antar Nusa Halim Jaya, 2007
Sourche: https://sakura-ilmi.blogspot.co.id
Choose EmoticonEmoticon