Ghirah Umat Islam yang Membara, Mari Bela Islam di Negara Kita
Hari Jum’at kemarin, 4 November 2016 telah dilakukan aksi besar-besaran di Jakarta. Aksi itu bertajuk, “Gerakan Nasional Pengawal Fatwa MUI”. “Aksi Bela Islam II” dengan tajuk “Ayo Penjarakan Ahok”—yang telah menista agama, menodai al-Quran, melecehkan ulama dan menghina umat Islam—ini dilakukan pada 4 November 2016, ba’da shalat Jumat di Masjid Istiqlal, dilanjutkan dengan longmarch ke Istana Presiden RI.
Di tengah penistaan Ahok terhadap Islam dan umatnya secara berulang, masih saja ada tokoh yang menyerukan agar umat bersikap sabar dan tidak emosional (baca: marah). Padahal marah tidak selalu tercela. Dalam kondisi tertentu, marah justru terpuji. Kita sungguh menyayangkan sikap sebagian tokoh-tokoh muslim yang tidak merespon penghinaan terhadap Islam dengan kemarahan. Justru dengan ketidaktegasan sikap itulah, kaum muslim terus-menerus dihina.
Penghinaan terhadap Islam justru harus membuat umat muslim bersatu. Dengan begitu muncul ketakutan di dalam diri orang-orang yang ingin menyudutkan Islam. Tidak semua marah itu dilarang. Marah karena agama justru disyariatkan. Para ulama mengatakan bahwa ada kalanya marah justru harus (wajib). Misalnya, marah atas penghinaan terhadap Rasul saw., para nabi dan ummahatul mukminin; atas penodaan terhadap al-Quran dan as-Sunnah; atas pelecehan Islam; dan atas kemaksiatan-kemaksiatan lainnya.
Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hlm. 3) atau cemburu (hlm. 9). Dalam bukunya itu, Buya Hamka antara lain menyebut cemburu karena agama. Adanya rasa cemburu ini, menurut Buya, adalah simbol masih hidupnya jiwa seorang Muslim. Artinya, jika sudah tak ada lagi ghirah ini, kata beliau, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umatIslam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.”
Normalnya kita harus marah atas kondisi ini, dengan kemarahan yang benar. Kemarahan ini harus disalurkan menuju sebuah keinginan dan perjuangan untuk membuat suatu perubahan ke arah kebenaran. Marah sejatinya menunjukkan masih adanya ghirah (cemburu, semangat).Almarhum Prof. Dr. H. Abdul Malik Karim Amrullah, sekitar tahun 1954, pernah menuliskan buah pikirannya terkait makna ghirah ini. Goresan pena ulama yang akrab disapa Buya Hamka ini kemudian dicetak dalam bentuk buku tipis berjudul Ghirah dan Tantangan Terhadap Islam, yang pernah diterbitkan oleh Pustaka Panjimas (1984).
Kata Buya Hamka, ghirah artinya menjaga syaraf diri (hlm. 3) atau cemburu (hlm. 9). Dalam bukunya itu, Buya Hamka antara lain menyebut cemburu karena agama. Adanya rasa cemburu ini, menurut Buya, adalah simbol masih hidupnya jiwa seorang Muslim. Artinya, jika sudah tak ada lagi ghirah ini, kata beliau, “Ucapkanlah takbir empat kali ke dalam tubuh umatIslam itu. Kocongkan kain kafannya lalu masukkan ke dalam keranda dan hantarkan ke kuburan.” (hlm. 8).
Dalam kasus penistaan ini kita bukan hanya boleh marah, tapi harus marah. Dengan ghirah yang tetap menyala, sejatinya aksi besar-besaran umat Islam tak berhenti pada upaya menuntut kepada Pemerintah agar para penista al-Quran semacam Ahok segera diadili. Aksi besar-besaran umat Islam harus terus dilanjutkan dengan tuntutan kepada para penguasa untuk segera menerapkan seluruh isi al-Quran (syariah Islam) secara kâffah dalam insitusi Khilafah ‘ala minhâj an-nubuwwah. Hanya dengan itulah segala bentuk penelantaran dan penistaan al-Quran bisa diakhiri. Wallahu’alam bish shawab.
Kiriman Innamaa dari Bandung
Sourche: voa-islam.com
Choose EmoticonEmoticon