WAHYU DAN AKAL:
Univikasi Agama dan Filsafat dalam Islam
WAHYU DAN AKAL:
Univikasi Agama dan Filsafat dalam Islam
(Senin, 10 Oktober 2016)
Dalam diskursus keilmuan antara Hellenisme dan Islam telah terjadi proses timbal baik, yaitu terjadi Hellenisasi Islam dan Islamisasi Hellenis. Kalau dijabarkan akan mengandung makna bahwa kata “Hellenis” mereferesentasikan ilmu [filsafat] yang secara epistimologis perolehannya lewat akal (ratio). Sementara kata “Islam” mencerminkan jaran-ajaran yang pencapaiannya melalui wahyu ( revalation). Lebih lanjut, “Hellenisasi Islam” merupakan upaya-upaya untuk mentransfer nilai-nilai kebanaran (hasil olah akal) ke dalam Islam.
Begitu pula sebaliknya, “Islamisasi Hellenis” [persisnya islamisasi ilmu] adalah usaha-usaha untuk menuangkan ajaran-ajaran kebenaran Islam (hasil arahan wahyu) ke dalam Hellenisme. Sehingga kemungkinan implikasinya ada tiga: (i) bahwa talah terjadi Hellenisasi dalam doktrin-doktrin pemahaman agama Islam; atau sebaliknya (ii) bahwa justru Islam telah “mengislamkan” nilai-nilai kebenaran Hellenisme; atau malah ada kemungkian lain, (iii) bahwa keduanya sudah saling bercambur dan mengalami konfergensi satu dengan yang lainnya.
Dikhotomi antara akal dan wahyu masing-masing sebagai sumber pengetahuan dan petunjuk kebenaran, begitu nyata dan kental dalam penggelan sejarah intelektual Islam. Sedemikian nyata dan kentalnya, sehingga upaya-upaya relevansi dan univikasi serta harmonisasi antara akal (filsafat) dan wahyu (agama), menurut Harun Nasution dalam Akal dan Wahyu Dalam Islam, telah menjadi polemik dan perdebatan yang akut dan berkepanjangan dalam sejarah tradisi pemikiran dan intelektual di kalangan ulama-ulama (sarjana-sarjana) Muslim, terutama di kalangan sarjana teolog Mulsim, khusus dari aliran Mu’tazilah dan Asy’ariah.
Hal serupa, malah lebih akut, juga telah terjadi di kalangan para filosuf Muslim. Makanya, hal yang pelaing pertama dilakukan oleh para filosuf adalah melakukan harmonisasi antara akal dan wahyu, misalnya diawali oleh al-Kindi, dilanjutkan oleh al-Farabi serta oleh Ibn Sina. Begitu pula yang dilakukan oleh beberapa fiosuf Islam di Andalusia, khususnya Ibn Rusyd, misalnya mengarang suatu risalah untuk menyelaraskan antara akal wahyu (filsafat dan syari’ah), yaitu Fasl al-Maqal fī mā Bayn al-Ḥikmah wa al-Syari’ah min Ittisal.
Dipahami bahwa sumber pengetahuan dan petunjuk kebenaran lewat akal bersifat relatif (tidak pasti) dan tidak mutlak benar; sedangkan kebenaran lewat wahyu bersifat absolut (pasti) dan mutlak benar. Timbul pertanayaan, kenapa kemudian muara kedua sumber tadi terjadi klaim yang berbeda: akal (jadi) relatif dan wahyu (tetap) absolut? Seharusnya klaimnya tetap sama, karena bukankah keduanya sama-sama berasal dan besumber dari Tuhan. Untuk memecahakan masalah ini, jawaban sederhana dan sering diajukan adalah bahwa akal adalah hasil olah pikir manusia yang nisbi, dan sangat mungkin untuk tidak “terjamin” kebenaranya sebab sudah terkontaminasi dengan sifat kemanusiawian manusia.
Kalau ditilik lebih jauh, sesungguhnya dikotomi akal dan wahyu serta implikasinya pada disparitas antara ilmu-ilmu Hellenisme (pencapaian lewat akal) dan ilmu-ilmu Islam (peroleh melalui wahyu) pada tataran realitas tidak perlu terjadi. Mengingat adanya argumentasi pada dataran idealitas. Pertama, kedua sumber kebenaran tersebut (akan dan wahyu) sama-sama berasal dan “diciptakan” dari Wujud Tunggal. Paling tidak, meskipun dapat dibedakan tetapi tidak dapat dipertentangkan satu dengan lainnya, sebagaimana ungkapan Mullah Muhsin Faydh Kasyani, ddalam The Tao of Islam, “akal adalah syariah yang diwahyukan dalam diri manusia; syariah yang diwahyukan itu adalah akal di luar diri manusia …Pendeknya, sumber dari semua sifat baik dan asal-usul dari semua kesempurnaan adalah akal.” Sehingga pada gilirannya, suatu keniscayaan, kalau akal dan wahyu tidak terdapat kontradiksi di dalamnya; dan adalah absurd serta tidak intellegible kalau ditemukan pertentangan antara keduanya. Keniscayaan ini tidak saja berdasarkan argumen aqli tetapi juga dilandaskan pada peneguhan naqli.
Kedua, bahwa tradisi pemikiran dan intelektual serta peradaban anak manusia pada awalnya berakar pada akal dan wahyu (dalam pengertian tunggal) yang berasal dari tradisi nubuwwah atau wahyu ilahiyyah, seperti ungkapan Arab yang masyhur, “yanba’u’l-hikmah min misykat al-nubuwwah” (sumber-sumber hikmah berasal dari relung kenabian). Misalnya, tradisi ilmu dan filsafat yang berkembang di Yunani kalau ditelusuri akan sampai Harmes Trismegistus yang, oleh banyak kalangan, diidentifikasi sebagai Nabi Idris (Enoch dalam Perjanjian lama), pendiri sains dan filsafat serta peradaban, bahkan dia disebut sebagai Abu’l Hukama’ (Bapak Para filosuf). Begitu pula misalnya, betapa para filosuf Yunani belajar ilmu pengetahuan dan filsafat dari orang-orang disebut bijak yang disinggung dalam al-Qur’an, seperti Lukman al-Hakim, atau mereka belajar dari sahabat-sahabat terdekat para nabi, seperti Nabi Daud dan Sulaiman, sekedar menyebut beberapa nama.
Ketiga, sementara itu, diberbagai kawasan, seperti Mesir, Persia, India dan Cina terdapat “orang-orang bijak” dan “guru-guru kebenaran” yang, boleh jadi, mendapat “berita” (Arab: naba’) dari Tuhan guna membimbing masyarakatnya kepada kebaikan (nilai etis), kebenaran (nilai logis) dan keindahan (nilai estetis) dalam kehidupan di dunia. Al-Qur’an sendiri mengisyaratkan dengan gamblang bahwa rasul itu jumlahnya banyak sekali; dan Nabi saw. sendiri dalam sebuah hadis menyebutkan jumlah mereka sebanyak 315 (tigaratus limabelas) orang. Mengingat jumlah mereka yang begitu bayak maka tidak seluruhnya yang diceritakan dalam al-Qur’an (Q.S. Qafir [40]: 78).
Namun, secara umum al-Qur’an menyebutkan bahwa Allah membangkitkan seorang rasul untuk setiap ummat, (Q.S. al-Nahl [16]: 17); dan bahwa setiap kaum mempunyai penunjuk jalan (Q.S. al-Ra’du [13]: 7); dan bahwa tidak satu ummatpun kecuali pernah tampil kepadanya seorang pemberi peringat[al-Qur’an,35: 24]. Karenya, tiak tertutup kemungkinan kalau orang seperti Aleksander Agung (Mesir), Zoroaster (Persia), Sidharta Gautama (India) serta Lao Tse dan Confusius (Cina) atau beberapa tempat yang mampu menjadi “guru bangsa” juga salah seorang di antara 315 orang rasul, seperti sabda Nabi saw. Itu baru rasul, kalau nabi tentu saja lebih banyak beberapa kali lipat dari itu. [wallahu’alam]
Jadi, berangkat dari latar belakang di atas, di sini perlu ditegaskan (sebelum lebih lanjut) bahwa sumber dan pangkal tolak filsafat dan ilmu dalam Islam adalah ajaran Islam itu sendiri, sebagaimana “spiritnya” terdapat dalam al-Qur’an dan Hadis. Al-Qur’an secara essensial memang merupakan kitab keagamaan, dan bukan kitab filsafat. Akan tetapi, menurut M.M. Syarif (dalam, A History of Muslim Philosophy, 1961: 136) “al-Qur’an secara keseluruhan menyangkut masalah-masalah agama dan filsafat.” Di samping itu, al-Qur’an dan Hadis juga, menurut Azra, memberikan “iklim yang kondusif dan atmosfir yang khas dalam mendorong aktifitas intelektual dan bagi pengembangan ilmu pengetahuan Islam.” (Azyumardi Azra, 1999: 13)
Untuk itu, sulit dipahami, kata C.A. Qadir --[sabagaimana yang kutip oleh Cak Cur]-- kalau ada penilaian bahwa filsafat (juga sains Islam) adalah carbon copy pemikiran Yunani atau Hellenisme. Meskipun filsafat Islam memiliki dasar yang kokoh dalam sumber ajaran Islam sendiri, filsafat dan sains dalam Islam, tidak dapat dipungkiri, banyak mengandung unsur-unsur dari luar, terutama dari pemikiran Yunani dan Hellenisme. Di sinilah pangkal kontroversi dalam filsafat: sejauh mana agama Islam membolehkan masuknya unsur-unsur dari luar, terlebih jika datangnya dari kalangan yang tidak saja bukan “ahl kitab”, seperti Yahudi dan Nasrani, tetapi malah dari orang-orang Yunani kuno yang pagan.
Sebagaian orang mengklaim bahwa filsafat dan ilmu pengetahuan dalam Islam tidaklah “pure” lantaran diambil dan dipengaruhi oleh pemikiran Hellenistik. Kalau begitu logikanya, maka tidak ada yang “pure” di muka bumi ini. Karena siapakah tidak mengambil pelajaran dari orang sebelumnya dan sekaligus tidak terkena pengaruh dari para pendahulunya. Memang tidak dapat dipungkiri bahwa adalah benar: (i) pemikiran filsafat dan ilmu dalam Islam dipengaruhi oleh pemikiran Hellenisme; dan (ii) pemikiran filosuf dan ilmuan Muslim banyak “berguru” (tidak langsung) pada filasuf Yunani kuno, khususnya Aristoteles dan Plato. Akan tetapi, menurut Ibrahim Madkour, adalah salah jika ada pendapat bahwa: (i) belajar (berguru) itu adalah semata-mata meniru dan mengikuti tanpa reserve serta membebak begitu saja; (ii) filsafat Islam tidak lebih merupakan pemikiran yang diadopsi dari Aristoteles, seperti disangkakan Renan; atau dari Neo-Platonisme, seperti dituduhkan Rehem. (Lihat, Ibrahim Madkour, Fī al-Falsafah al-Islāmiyah: Manhāj wa Taṭbiquh, (Mesir: Da al-Ma’arif, 1976), 26).
Pada dasarnya, kata Rahman, tidak ada yang baru dikenakan pada sistem pemikiran Yunani dipergunakan oleh para filosuf Muslim; bahan-bahannya adalah hasil dari Hellenisme akhir, tetapi filosuf Muslim memberi arah baru, hingga muncul pola baru pula, dan situlah letak orisinalitasnya (lihat, Falur Rahman, Islam, 171). Sesungguhnya pemikiran dan peradaban anak manusia merupakan suatu kontinuitas, sehingga bangsa/golongan tidak mungkin terelakkan dari kesinambungan tersebut. Kalau itu dingkari maka kita menjadi a historis. Karenannya, tepat sekali untuk menyimak kata al-Kindi, hasil elaborasi terhadap hadis Nabi saw. ia mengatakan: “Kita tidak perlu malu mengakui kebenaran dan mengambilnya dari sumber manapun datangnya; kalaupun kebenaran tersebut dibawa kepada kita oleh generasi-generasi terdahulu dan bangsa-bangsa asing. Sebab bagi orang pencari kebenaran, tak ada nilai yang lebih tinggi daripada kebenaran itu sendiri; kebenaran tidak pernah merendahkan atau menghindar dari orang menerimanya, tetapi sebaliknya membuatnya jadi mulia. (Charles Michael Stanton, Higher Learning in Islam, 81).
Sebenarnya, masalah ini tidak perlu dipersoalkan amat oleh ummat Islam, karena “bagi orang yang mencari kebenaran”, kata al-Kindi, “tidak ada nilai yang lebih tinggi dari kebenaran itu sendiri.” Mencari kebenaran selagi itu merupakan kebenaran dan hikmah, umat Islam harus mengambilnya, seperti sabda nabi saw., “Hikmah adalah barang hilangnya kaum beriman, maka siapa saja mendapatinya hendaklah ia memungutnya”.
Mā Tawfiq illā bi Allāh,
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb.
By Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).
Choose EmoticonEmoticon