BUDAK:
Pembebasan Periode Mekkah
(Sabtu, 8 Oktober 2016)
Term hamba dalam perbincangan keseharian, kerapkali disandingkan dengan term hamba. Padahal, antara kedua term tersebut mempunyai diferensiasi makna yang cukup siknifikan. Kalaupun harus dipersamakan maka buru-buru harus ditambahkan dengan kata “sahaya” sehingga menjadi “hamba sahaya”. Mengingat term yang disebut pertama lebih berkonatasi kepada hubungan dan pengabdian manusia kepada Tuhan. Sementara yang disebut belakang lebih diidentikkan dengan hubungan dan pengabdian seseorang tertentu terhadap tuannya. Lagi pula, term “budak” --sebagai term hubungan manusia dengan manusia (habl min al-nās) [sesuai dengan defenisi di atas] mengandung makna bahwa ketika seseorang telah menjadi budak, maka dengan sendirinya hak dan kebebasannya menjadi terpasung dan seketika sirna. Sedangkan term “hamba” --sebagai term hubungan manusia dengan Tuhan (habl min Allah)-- hak dan kebebasan manusia di hadapan Tuhan sedikitpun tidak terenggut. Karena dengan hanya ber-Tuhan-kan pada Allah justru berarti manusia membebaskan dirinya dari berbagai bentuk perbudakan.
Dalam mengungkapkan kedua term “hamba” dan “budak”, al-Qur’an mempergunakan kata yang berbeda. Untuk term yang disebut duluan, term hamba, al-Qur’an mempergunakan kata “’abd”. Kalaupun al-Qur’an menggunakan term ini beronotasi kepada hubungan sesama manusia, hanya sekali dijumpai dalam al-Qur’an yang (Q.s.. al-Baqarah [2]: 221). Namun, term ‘abd (hamba) tersebut akan acap kali diketemukan dalam al-Qur’an, khusus pada hubungan manusia dengan Allah. [Lebih lanjut term ‘abd tidak menjadi fokus karena tidak relevan dengan pembahasan dalam tulisan ini]. Artinya penghambaan yang dibolehkan al-Qur’an hanya kepada Allah; sementara penghambaan terhadap manusia, manurut al-Qur’an dan Nabi Muhammad saw., adalah terlarang. Karena itu, menurut panelitian Quraish shihab, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata raqabah yang dinisbatkan kepada orang-arang Mukmin. Atau dengan kata lain, tidak ditemukan dalam al-Qur’an kata rikabatukum atau riqabukum. Hal ini untuk memberikan pelajaran bahwa kalau pun seseorang satu dan lain hal memiliki budak, maka ia harus tetap memperlakukannya secara manusia. Dengan kata lain ia tidak boleh memperlakukannya sebagai budak yang terbelenggu lehernya. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim Tafsir atas Surat-surat Pendek Beredasarkan Urutan Turunnya Wahyu: 810).
Untuk term yang disebut belakangan, term budak terkadang al-Qur’an mempergunakan kata “raqabah” dan di lain tempat al-Qur’an mempergunakan kata “malakat aimanukum”. Kata raqabah terulang di dalam al-Qur’an, menurut Quraish Shihab, tersebut sebanyak enam kali dalam bentuk tunggal; dan dalam bentuk jamaknya, riqab, sebanyak tiga kali. Kata ini pada mulanya berarti “leher”, kemudian diartikan sebagai manusia yang terbelenggu (terikat lehernya) dengan tali. Karena memang demikianlah nasib dan keadaan budak-budak pada zaman dahulu. Sementara kata malakat aimanukum, di dalam al-Qur’an tercantum juga sebanyak sebanyak enam kali; dan empat di antarnya berkonotasi khusus kepada budak-budak wanita dalam melakukan “hubungan” dengan tuannya baik tidak lewat pernikahan ataupun lewat pernikahan. Mengingat kesan diperoleh dari istilah raqabah di atas sangat buruk, yaitu menggambarkan seseorang terbelenggu lehernya seperti binatang, maka al-Qur’an memilih untuk tidak menamai mereka dengan ‘abd (hamba sahaya), tetapi menamainya malakat aimanukum (apa yang dimiliki oleh tangan kananmu). (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 809-810).
Dalam al-Qur’an, sembari memberikan perumpaan, Allah mendefenisikan sendiri bahwa budak adalah seseorang “hamba sahaya yang dimiliki dan tidak dapat bertindak sesuatu apapun”. Firman Allah: “Allah membuat perumpamaan dengan seorang hamba sahaya yang dimiliki yang tidak dapat bertindak terhadap sesuatupun dan seorang yang kami beri rezki yang baik dari kami, lalu dia menafkahkan sebagian dari rezki itu secara sembunyi dan secara terang-terangan. Adakah mereka itu sama? Segala puji hanya bagi Allah, tetapi kebanyakan mereka tiada mengetahui.” (Al-Qur’an, Al-Nahl [16]: 75).
Dari batasan ayat ini didapatkan pemahaman bahwa budak adalah seseorang yang dikuasai dan tidak dapat berbuat sesuatu apapun atas namanya sendiri atau tidak berbuat apapun tanpa sepengetahuan dan seizin tuannya. Bahkan lebih dari itu, budak berkewajiban mengikuti jejak tuannya dalam berbagai kehidupan, termasuk mengekor dalam hal ideologi dan kepercayaan-keagamaan. Seorang budak tidak punya hak kesempatan untuk berbeda pandangan, apalagi membantah pendapat tuannya. Seorang budak tidak berhak untuk menolak perintah tuannya; dan ia berkewajiban untuk menaati apapun permintaan dan hasrat tuanya, termasuk ajakan untuk melacur diri demi keuntungan dan kepuasan sang tuan. Nasib seorang budak sangat tergantung dari tuannya; kebebasan dan kemerdekaanya berada dalam genggaman tuannya; si tuan berhak menjatuhkan hukuman apapun atau si tuan tidak mempunyai kewajiban untuk memberikan imbalan kebaikan kepada budak yang dimilikinya. Pendek kata, budak tidak mempunyai hak-hak apapun tetapi mempunyai kewajiban-kewajiban sedemiian banyak dan besar. (lihat, W. Montgemory Watt, Muhammad at Madina, Oxford: OUP, 1956: 293).
Budak dalam beberapa hal dapat dibandingkan dengan poligami. Seperti halnya poligami, perbudakan juga ada pada semua bangsa. Kedua hal ini, khusunya yang disebut belakangan, lambat laun akan menjadi terhapus seiring dengan bertambah majunya pemikiran dan peradaban serta dengan semakin tumbuhnya rasa kemanusiaan dan keadilan ummat manusia terhadap sesamanya. (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 258). Sehingga dapat dipahami, kalau tempo dulu perbudakan tetap eksis sepanjang sejarah anak manusia sejak pada masyarakat primitif hingga sampai lahirnya agama Kristen, dua mellenium yang lampau. Bahkan agama yang dibawa oleh Nabi Isa (Alayhi al-Salām) itu, dengan ajaran “kasihnya”, dapat dikatakan gagal mengelaminir, apalagi menghapuskan praktek-praktek perbudakan di muka bumi. Memang perbudakan pada masa-masa itu masih merupakan suatu “keniscayaan” hidup yang tak terbantahkan.
Lebih jauh, menurut Ameer Ali, Agama Kristen telah gagal dalam menghapus perbudakan. Kalangan geraja sendiri mempunyai budak-budak; dan dengan kata-kata yang nyata mengakui adanya lembaga perbudakan. Orang-orang Kristen yang mengklaim diri mempunyai peradaban tinggi melakukan kekejaman-kekejaman yang paling begis terhadap oang-orang malang yang mereka pelihara sebagai budak. Orang Kristen kulit putih tidak pernah mengakui dan mengesahkan anakanya yang lahir dari hubunan gelap dengan budak-budaknya yang wanita negro. Dengan peremnpan-perempuan itu, mereka tidak dapat kawin sacara sah. Orang-orang Kristen tidak mampu menangkap dan mengerti semangat ajaran-ajaran yang dibawa Nabi-nya mengenai persamaan manusia dalam pandangan Tuhan. (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam: 261-262).
Ketika Islam datang lewat Nabi Muhammad (S}allalla>hu ‘Alayhi Wasallam), perbudakan tetap merupakan suatu fenomena dan realitas hidup keseharian. Dan sepertinya, al-Qur’an sendiri “lamban” dan “tidak tegas” menagani masalah ini; bahkan seolah-olah Islam masih “melegitimasi” adanya perbudakan. Penanganan al-Qur’an terhadap masalah ini tidak jauh berbeda dengan pelarangan minuman keras dan riba. Terhadap kedua persoalan tersebut, al-Qur’an pada awalnya masih diperbolehkan, tetapi lambat-laun, al-Qur’an menyikapinya dengan sistimatis, dan pada gilirannya al-Qur’an menyatakan pengharamannya dengan tegas dan tuntas. Begitu juga dalam masalah perbudakan, sepertinya al-Qur’an, awalnya masih mentolerirnya, umpamanya memerintahkan seseorang laki-laki memelihara kemaluannya kecuali kepada istri dan/ atu pada malakat yang mereka miliki, dan ini terjadi hususnya pada masa periode Mekkah, misalnya lihat, al-Qur’an, al-Nisa (4): 24, 25; al-Mu’minuun (23): 6; al-Ma’arij (70): 30. Tetapi pada periode Madinah upaya-upaya al-Qur’an dalam pembebasan budak sangat tampak dan jelas.
Padahal sesunguhnya “ruh” (semangat dan spirit) Islam menentang dan melarang praktek-praktekperbudakan, sebagaimana yang diajarkan al-Qur’an dan dilakukan Rasulullah. Sementara itu, tujuan al-Qur’an dan misi kenabian adalah untuk menciptakan masyarakat madani (civil sociaty) dengan tata kehidupan sosial-moral yang adil, egalitarian, inklusif dan pluralis serta berlandaskan iman pada Allah. Kalaupun perbudakan tetap eksis di tengah-tengah masyarakat Arab pada awal kenabian, realitas tersebut hanya dapat “diterima” secara tentatif dan untuk sementara waktu.
Misi kenabian Muhammad saw. bertujuan untuk menciptakan masyarakat madani dalam tatanan sosial-moral yang adil, egalitarian, dan inklusif serta berlandaskan iman, tentu saja tidak dapat mentolerir hubungan yang timpang dan tidak wajar di antara sesama manusia; dan perbudakan merupakan sistem kehidupan yang paling jelas menggambarkan hubungan yang timpang dan tidak wajar tersebut yang sangat ditentang. Karena perbudakan, ibaratnya dua mata sisi yang berbahaya, tidak saja akan mencederai hubungan yang baik sesama manusia, tetapi sekaligus merusak hubungan kepada Tuhan. Perbudakan secara asasi bertentangan dengan ajaran Islam tentang tauhid yang melarang seseorang menghambakan diri kepada sesamanya atau lebih umum kepada ciptaan Tuhan lainnya. Sebaliknya, membiarkan perbudakan berarti juga syirik, sebab orang yang memiliki budak adalah seseorang menjadikan dirinya “tandingan” Tuhan. Padahal manusia hanya boleh menghambakan diri kepada Tuhan semata dan tiada Tuhan selain Allah. Lihat, Dawam Rahardjo, “Ensiklopedi al-Qur’an “Abd”, dalam Ulumul Qur’an, Nomor 1,Vol. V, Thn. 1994, 43.
Pada masa awal sejarah Islam, Nabi Muhammad hanya mentolerir perbudakan lantaran menjadi tawanan perang. Inilah satu-satunya perbudakan yang dapat dibenarkan oleh hukum, sampai mereka ditebus atau tawanan itu sendiri yang menebus kemerdekaannya lewat upah pekerajaan atau lewat dengan cara lain. Begitu juga pada masa pemerintahan Khalifah al-Rashidun, menurut Syed Ameer Ali, tidak dikenal perbudakan dengan jalan jual-beli (al-bay‘ah). Sekurang-kurangnya, lagi-lagi menurut Syed Ameer Ali, tidak ada data otentik yang menyebutkan bahwa terdapat budak yang diperoleh dengan jalan dibeli pada masa pemerintahan khulafa’ al-rashidun. Akan tetapi, perbudakan dengan jalan jual-beli baru kemudian pada masa munculnya dinasti Umayyah. Pada masa pemerintahan khalifah Islam inilah terjadilah perubahan dan penyimpangan terhadap semangat dan ajaran Islam prihal “penghargaan kemanusian” yang dibawa oleh Nabi Muhammad. Mua’awiyah bukan saja orang pertama dalam sejarah Islam yang memberlakukan sistem pemerintahan Islam secara monarki, tetapi ia juga yang mula-mula memperaktekkan pembelian budak (perbudakan) dalam Islam. (Lihat, Syed Ameer Ali, The Spirit of Islam, 267).
Apabila tawanan/budak tersebut tidak mempunyai sumber penghasilan, Nabi mengguggah hati nurani dan kesalehan ummat Islam [ditambah pula dengan tanggungjawab berat diletakkan di atas pundak orang memiliki budak] tidak jarang ini menjadi sebab akhirnya budak tersebut dibebaskan. Al-Qur’an, al-Nur (24): 33.) Karenanya sedari awal, periode Mekkah, Al-Qur’an sudah mencangankan fakku raqabah, membebaskan manusia dari perbudakan. Untuk itu, dalam satu surat al-Qur’an yang diwahyukan dalam periode Mekkah awal, al-Qur’an telah mencanangkan “fakku raqabah” (membebasan budak dari perbuadakan) yang dilukiskan sebagai ‘aqabah, “menempuh jalan yang mendaki dan lagi sulit” Maka tidakah sebaiknya (dengan hartanya itu) ia menempuh jalan yang mendaki lagi sukar? Tahukah kamu apakah jalan yang mendaki lagi sukar tersebut? Yaitu melepaskan budak dari perbudakan; atau memberi makan pada hari kelaparan, kepada anak yatim yang ada hubungan karabat atau orang miskin yang sangat fakir.” (Lihat, Q.s.al-Balad (90): 11-14.
Kata “fakk”, menurut Quraish Shihab, hanya ditemukan sekali dalam al-Qur’an, yaitu hanya pada pada ayat ini. Kata ini maknanya berkisar pada arti-arti: membuka, melepas, membebaskan dan menghancurkan. Jadi dalam konteks ayat ini, fakku raqabah, berarti melepaskan tali (belenggu) yang mengikat leher seseorang atau membukanya, atau menghancurkannya sehingga manusia tersebut memperoleh kebebasan bergerak. Upaya pembebasan manusia dari perbudakan harus lebih awal dilaksanakan. Islam memandang bahwa pembebasan manusia dari segala bentuk yang membelenggu dan merendahkan martabatnya kemanusiaannya harus dimulai lebih dini --untuk itu, ayat ini termasuk ayat al-Qur’an yang awal pada periode Mekkah-- karena setiap langkah maju guna mencapai kemaslahatan manusia dan masyarakat tidak dapat dirahi sebelum kehormatan manusia sebagai manusia dapat ditegakkan. (Lihat, M. Quraish shihab, Tafsir Al-Qur’an Al-Karim, 809-810).
Namun, karena kukuhnya sistem perbudakan dalam struktur masyarakat Arab --di samping membebaskan budak bukan perkara mudah, tapi harus lewat jalan yang mendaki lagi sulit--serta penghapusannya akan menimbulkan gejolak sosial yang besar, maka fenomena ini di tangani oleh al-Qur’an secara persuasif dan bertahap. Lagi pula, ketika di Mekkah, Nabi Muhammad beserta pengikutnya masih merupakan golongan minoritas tertekan. Sementara itu kalau dipaksakan penghapusan budak tersebut dapat berakibat fatal bagi nasib komunitas agama yang baru dibina. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262; lihat juga, Taufiq Adnan Amal, Tafsir Kontekstual Al-Qur’an: 66.)
Dalam pada itu, karena sistem perbudakan merupakan tatanan kehidupan yang sudah sanagat mapan sehingga al-Qur’an tidak mungkin dengan serta-merta melarangnya dan harus lebih bijak dalam merespon peresoalan yang ada pada masa itu. (Ameer Ali, The Spirit of Islam, 262). Sikap al-Qur’an yang permisif dan masih metolerir perbudakan terlihat, misanya masih dibolehkan praktek-praktek si tuan laki-laki agar “menjaga kemaluannya, kecuali kepada istri dan budak-budak (wanita) yang mereka miliki”, menurut al-Qur’an, ”dalam hal ini mereka tidak tercela”. (Q.s. al-Mu’minūn [23]: 5-7).
Meksipun dibolehkan praktek-prektek seperti ini dikaitkan dengan himbauan moral, menurut al-Qur’an, demi menjaga kemaluan dan memelihara kehoramtan seorang laki-laki. Karenanya, al-Qur’an sendiri segera menambahkan, “barang siapa yang meencari di balik itu,” [misalnya seperti berzina, homoseksual dan praktek-prkatek seksual lain yang terlarang], menurut al-Qur’an, “maka mereka itulah orang-orang melampai batas.” Meskipun demikian, dalam kondisi struktur ekonomi masyarakat Mekkah yang timpang; adanya jurang yang terjal antara yang miskin dan kaya; serta antara yang kuat dan yang lemah, al-Qur’an acap kali mengkritik kaum bangsawan yang konglemerat karena mereka tidak mau memberikan sebagian rezeki meraka kepada budak-budak yang mereka miliki, agar budak-buak mereka juga turut merasakan rezeki tersebut. Al-Qur’an menyebutkan sikap orang-orang kuat dan kaya tersebut sebagai bentuk pengingkaran terhadap nikmat Allah ((Q.s. Al-Nahl [16]: 71).
Dalam ayat periode Mekkah ini, al-Qur’an tidak melarang dan mengutuk perbudakan itu sendiri secara langsung, tatapi yang dikutuknya adalah sikap orang-orang kaya dan kuat Mekkah yang tidak mempunyai kepeduluan sosial dan tidak mau menyantuni budak-budak yang mereka miliki yang, tentu saja, telah berbuat banyak kepada tuannya. Sementara tindakan perbudakan itu sendiri harus secara bertahap dan tidak dapat dipaksakan penerapannya seketika. Karena pembebasan manusia dari perbudakan harus bersumber dari kesadaran dan sikap batin dari manusia terhadap sesamanya. Cara inilah ditempuh al-Qur’an hingga Rasulullah dan para sahabat berhasil sewaktu berada di kota Madinah.
Wa Allāh a‘lam bi al-Ṣawāb
By Alimuddin Hassan Palawa,
(Peneliti ISAIS [Institute for Southeast Asian Islamic Studies]
UIN Suska Riau).
Choose EmoticonEmoticon