JILBAB GAUL DALAM TIMBANGAN SYARI'AT
Oleh
Ustadz Abdullah bin Taslim al-Buthoni MA
afdhalilahi.com - Istilah “jilbab gaul”, atau “jilbab modis” ataupun “jilbab keren” tentu tidak asing di telinga kita, karena istilah-istilah ini sangat populer dan ngetrend di kalangan sebagian wanita Muslimah. Bahkan tidak sedikit dari mereka merasa bangga dengan mengenakan jilbab model ini dan beranggapan ini lebih sesuai dengan situasi dan kondisi untuk jaman sekarang. Ironisnya lagi, sebagian justru menganggap jilbab yang sesuai dengan syariat adalah kuno, kaku dan tidak sesuai dengan tuntutan jaman.
Padahal, Allâh Azza wa Jalla yang mensyariatkan hukum-hukum dalam Islam lebih mengetahui segala sesuatu yang mendatangkan kebaikan bagi hamba-hamba-Nya, dan Dialah yang mensyariatkan bagi mereka hukum-hukum agama yang sangat sesuai dengan kondisi pada setiap jaman dan tempat.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
أَلَا يَعْلَمُ مَنْ خَلَقَ وَهُوَ اللَّطِيفُ الْخَبِيرُ
Bukankah Allâh yang menciptakan (alam semesta beserta isinya) maha mengetahui (segala sesuatu)? Dan Dia Maha Halus lagi Maha Mengetahui. [al-Mulk/67:14]
Bukankah Allâh Azza wa Jalla maha sempurna pengetahuan-Nya sehingga tidak ada satu kebaikan pun yang luput dari pengetahuan-Nya, dan tidak mungkin ada satu keutamaan pun yang lupa disyariatkan-Nya dalam agama-Nya? Maha suci Allâh Azza wa Jalla yang berfirman:
لَا يَضِلُّ رَبِّي وَلَا يَنْسَى
Rabb-ku (Allâh Azza wa Jalla ) tidak akan salah dan tidak (pula) lupa. [Thâhâ/20:52].
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَمَا كَانَ رَبُّكَ نَسِيًّا
Dan Rabb-mu (Allâh Subhanahu wa Ta’ala ) tidak mungkin lupa. [Maryam/19:64].
Maha benar Allâh Subhanahu wa Ta’ala yang berfirman :
إِنَّ اللَّهَ يَأْمُرُ بِالْعَدْلِ وَالْإِحْسَانِ وَإِيتَاءِ ذِي الْقُرْبَىٰ وَيَنْهَىٰ عَنِ الْفَحْشَاءِ وَالْمُنْكَرِ وَالْبَغْيِ ۚ يَعِظُكُمْ لَعَلَّكُمْ تَذَكَّرُونَ
Sesungguhnya Allâh memerintahkan (kepadamu) untuk berlaku adil dan berbuat kebajikan, memberi kepada kaum kerabat, dan Allah melarang dari perbuatan keji, kemungkaran dan permusuhan. Dia memberi pengajaran kepadamu agar kamu dapat mengambil pelajaran. [an-Nahl/16:90].
Ayat yang mulia ini menunjukkan bahwa semua perkara yang dilarang oleh Allâh Subhanahu wa Ta’ala dalam Islam pasti mengandung keburukan dan kerusakan, sebagaimana semua perkara yang diperintahkan-Nya pasti membawa manfaat.
Imam ‘Izzuddin ‘Abdul ‘Azîz bin ‘Abdis Salam memaparkan keindahan agama Islam ini sebagai berikut :
"…, maka Allâh Subhanahu wa Ta’ala memerintahkan kepada para hamba-Nya melalui lisan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dengan segala kebaikan dan kemaslahatan, serta melarang mereka dari segala dosa dan permusuhan. Demikian pula Dia Azza wa Jalla memerintahkan kepada mereka untuk meraih segala kebaikan (dengan) memenuhi (perintah) dan mentaati-Nya, serta menjauhi segala keburukan (dengan) berbuat maksiat dan mendurhakai-Nya, sebagai kebaikan dan anugerah (dari-Nya) kepada mereka, karena Dia Maha Kaya (dan tidak butuh) kepada ketaatan dan ibadah mereka. Dia Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan kepada mereka (dalam Islam) segala hal yang membawa kebaikan dan petunjuk bagi mereka agar mereka mengerjakannya, serta hal-hal yang membawa keburukan dan kesesatan bagi mereka agar mereka menjauhinya. Allâh Subhanahu wa Ta’ala menyampaikan kepada mereka bahwa setan adalah musuh bagi mereka agar mereka memusuhi dan tidak menurutinya. Sehingga Dia Azza wa Jalla menjadikan segala kebaikan di dunia dan akhirat hanya dicapai dengan mentaati perintah(-Nya) dan menjauhi perbuatan maksiat (kepada)-Nya”.[1]
Oleh karenanya, berdasarkan keterangan di atas, maka setiap Muslim yang beriman kepada Allâh Subhanahu wa Ta’ala dan kebenaran agama-Nya wajib meyakini bahwa semua aturan yang ditetapkan Allâh Subhanahu wa Ta’ala merupakan kemaslahatan, termasuk di dalamnya yang berkaitan dengan pakaian dan perhiasan wanita Muslimah adalah untuk kemaslahatan, kebaikan dan penjagaan bagi kesucian diri dan kehormatan.
Demikian pula dengan pensyariatan jilbab (pakaian yang menutupi semua aurat secara sempurna)[2] bagi wanita ketika berada di luar rumah dan hijab atau tabir untuk melindungi perempuan dari pandangan laki-laki yang bukan mahramnya; keduanya bertujuan sangat mulia, yaitu untuk kebaikan dan menjaga kesucian kaum perempuan.
Allâh Azza wa Jalla berfirman :
يَا أَيُّهَا النَّبِيُّ قُلْ لِأَزْوَاجِكَ وَبَنَاتِكَ وَنِسَاءِ الْمُؤْمِنِينَ يُدْنِينَ عَلَيْهِنَّ مِنْ جَلَابِيبِهِنَّ ۚ ذَٰلِكَ أَدْنَىٰ أَنْ يُعْرَفْنَ فَلَا يُؤْذَيْنَ ۗ وَكَانَ اللَّهُ غَفُورًا رَحِيمًا
Hai Nabi, katakanlah kepada isteri-isterimu, anak-anak perempuanmu, dan isteri-isteri orang mukmin agar hendaklah mereka mengulurkan jilbab-jilbab mereka ke seluruh tubuh mereka. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/disakiti. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. [al-Ahzâb/33:59].
Dalam ayat ini Allâh Subhanahu wa Ta’ala menjelaskan kewajiban memakai jilbab bagi wanita dan hikmah dari hukum syariat ini, yaitu: “supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, sehingga mereka tidak diganggu/ atau disakiti”.
Syaikh Abdurrahman as-Sa'di rahimahullah berkata, “Ini menunjukkan bahwa gangguan (bagi wanita dari orang-orang yang berakhlak buruk) akan timbul jika wanita itu tidak mengenakan jilbab (yang sesuai dengan syariat). Hal ini dikarenakan jika wanita tidak memakai jilbab, boleh jadi orang akan menyangka bahwa dia bukan wanita yang 'afifah (terjaga kehormatannya), sehingga orang yang ada penyakit (syahwat) dalam hatiya akan mengganggu dan menyakiti wanita tersebut, atau bahkan merendahkan/melecehkannya. Maka dengan memakai jilbab (yang sesuai dengan syariat) akan mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) terhadap diri wanita dari orang-orang yang mempunyai niat buruk”.[3]
Dalam ayat lain, Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَإِذَا سَأَلْتُمُوهُنَّ مَتَاعًا فَاسْأَلُوهُنَّ مِنْ وَرَاءِ حِجَابٍ ۚ ذَٰلِكُمْ أَطْهَرُ لِقُلُوبِكُمْ وَقُلُوبِهِنَّ
Dan apabila kamu meminta sesuatu (keperluan) kepada mereka (isteri-isteri Nabi), maka mintalah dari belakang tabir. Cara yang demikian itu lebih suci bagi hatimu dan hati mereka. [al-Ahzâb/33:53].
Syaikh Muhammad bin Ibrahim Alu asy-Syaikh berkata, “(Dalam ayat ini) Allâh mensifati hijab atau tabir sebagai kesucian bagi hati orang-orang yang beriman, laki-laki maupun perempuan, karena mata manusia kalau tidak melihat (sesuatu yang mengundang syahwat, karena terhalangi hijab atau tabir) maka hatinya tidak akan berhasrat (buruk). Oleh karena itu, dalam kondisi ini hati manusia akan lebih suci, sehingga (peluang) tidak timbulnya fitnah (kerusakan) pun lebih besar, karena hijab atau tabir benar-benar mencegah (timbulnya) keinginan-keinginan (buruk) dari orang-orang yang ada penyakit (dalam) hatinya”.[4]
Sebagaimana wajib diyakini bahwa semua perbuatan yang menyelisihi ketentuan Allâh Subhanahu wa Ta’ala ini akan menimbulkan berbagai kerusakan dan keburukan bagi kaum perempuan bahkan kaum muslimin secara keseluruhan. Oleh karena itulah, Allâh Subhanahu wa Ta’ala melarang keras perbuatan tabarruj (menampakkan kecantikan dan perhiasan ketika berada di luar rumah)[5] bagi kaum perempuan dan menyerupakannya dengan perbuatan wanita seperti pada jaman Jahiliyah.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَقَرْنَ فِي بُيُوتِكُنَّ وَلَا تَبَرَّجْنَ تَبَرُّجَ الْجَاهِلِيَّةِ الْأُولَىٰ
Dan hendaklah kalian (wahai istri-istri Nabi) menetap di rumah-rumah kalian dan janganlah kalian bertabarruj (sering keluar rumah dengan berhias dan bertingkah laku) seperti (kebiasaan) wanita-wanita Jahiliyah yang dahulu. [al-Ahzâb/33:33].
APAKAH WARNA PAKAIAN WANITA TERMASUK PERHIASAN?
Pembicaraan jilbab modis, tentu tak pernah lepas dari pilihan warna pakaian. Karena antara jilbab dan pakaian hakikatnya merupakan satu kesatuan dalam hal berpakaian dan berhias. Lantas, apakah warna pakaian wanita itu juga termasuk dalam kategori perhiasan ?
Dalam hal ini Syaikh al-Albani rahimahullah berkata:
Ketahuilah, sedikit pun bukan termasuk perhiasan jika pakaian wanita yang dipakainya berwarna selain putih atau hitam, sebagaimana persangkaan keliru beberapa wanita yang kuat berpegang (dengan syariat Islam), hal ini karena dua alasan:
1. Sabda Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , yang artinya, “Parfum wanita adalah yang terang warnanya dan samar baunya,”[6]
2. Perbuatan para wanita pada jaman para sahabat Radhiyallahu anhum …, Kemudian Syaikh al-Albani menukil beberapa riwayat yang menjelaskan bahwa para wanita tersebut memakai pakaian berwarna merah, bahkan di antara mereka adalah isteri-isteri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam …”[7] .
Dari penjelasan Syaikh al-Albâni rahimahullah di atas, jika digabungkan dengan pendapat para Ulama lainnya, -beberapa di antaranya telah dinukilkan- dapat disimpulkan bahwa warna pakaian wanita bukan termasuk perhiasan yang tidak boleh dinampakkan, dengan syarat warna tersebut tidak terang dan tidak menyolok sehingga menarik perhatian bagi laki-laki yang melihatnya. Oleh karena itulah, Syaikh al-Albani rahimahullah sendiri menyampaikan keterangan seperti di atas pada pembahasan syarat-syarat pakaian wanita yang sesuai dengan syariat, yaitu pada syarat kedua bahwa pakaian tersebut bukan merupakan perhiasan (bagi wanita yang memakainya) pada zatnya.[8]
Dengan demikian, pakaian wanita boleh memakai warna selain hitam, misalnya biru tua, hijau tua, coklat tua dan warna-warna lainnya yang tidak terang dan menyolok. Meski begitu, sebagian Ulama menegaskan bahwa warna hitam untuk pakaian wanita itu lebih utama karena lebih menutupi perhiasan dan kecantikan wanita.
Syaikh Abu Mâlik Kamal bin as-Sayyid Salîm juga berkata, “Sungguh pakaian (berwarna) hitam adalah pakaian yang lebih utama bagi wanita dan lebih menutupi (diri)nya. Inilah pakaian isteri-isteri Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam , sebagaimana disebutkan dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma ketika Shafwan Radhiyallahu anhu melihatnya (dari kejauhan). Dalam hadits tersebut disebutkan, “…maka Shafwan melihat (sesuatu yang) hitam, (yaitu) orang yang sedang tidur (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma )”.
Dalam hadits (riwayat) ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma lainnya, ia menyebutkan bahwa para wanita Anshâr Radhiyallahu anhum keluar rumah (dengan jilbab hitam) seolah-olah di atas kepala mereka ada burung gagak.[9]
SYUBHAT (KERANCUAN/PENGKABURAN) SEPUTAR MASALAH HIASAN PADA PAKAIAN WANITA
Ada beberapa syubhat (kerancuan) yang dijadikan pegangan sebagian kalangan yang membolehkan hiasan yang berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita, di antaranya sebagi berikut.
Syubhat Pertama.
Hadits Ummu Khâlid bintu Khâlid Radhiyallahu anha yang terdapat dalam Shahîh Imam al-Bukhâri,[10] bahwa Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam dibawakan kepada beliau sebuah baju kecil berwarna hitam yang bermotif hijau atau kuning dari Negeri Habasyah. Kemudian Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam memakaikan baju tersebut kepada Ummu Khâlid Radhiyallahu anha , dan beliau bersabda, “Wahai Ummu Khalid, baju ini sanaah (bagus)”.
Jawaban:
Pemahaman yang benar tentang ayat al-Qur’ân dan hadits Rasûlullâh Shallallahu ‘alaihi wa sallam harus dikembalikan kepada para Ulama salaf dan para imam yang mengikuti petunjuk mereka.
Kalau kita merujuk kepada keterangan Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah,[11] maka kita tidak mendapatkan seorang Ulama pun yang mengisyaratkan, apalagi berdalil dengan hadits ini untuk membolehkan pakaian berhias atau bermotif bagi wanita ketika keluar rumah. Karena ternyata Ummu Khâlid Radhiyallahu anha yang memakai baju ini pada saat itu masih kecil. Bahkan dalam salah satu riwayat hadits ini, Ummu Khâlid Radhiyallahu anha sendiri berkata, “(Waktu itu) aku adalah gadis yang masih kecil…” Kemudian dalam riwayat di atas terdapat keterangan bahwa pakaian tersebut adalah baju kecil berwarna hitam. Sebagaimana yang kita pahami, bahwa wanita yang belum dewasa diperbolehkan memakai pakaian seperti ini, berbeda dengan wanita yang telah dewasa.
Syubhat Kedua.
Atsar yang terdapat dalam Shahîh al-Bukhâri[12] dari ‘Atha’ bin Abi Rabah tentang kisah thawafnya ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma di Ka’bah. ‘Atha berkata: “Dia (‘Aisyah Radhiyallahu anhuma, istri Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam) berada di dalam sebuah tenda kecil (tempatnya tinggal sementara selama di Mekkah) yang memiliki penutup. Tidak ada pembatas antara kami dengannya Radhiyallahu anhuma kecuali penutup itu. Dan aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian muwarradan (berwarna mawar/merah)”.
Sebagian orang yang berdalil dengan kisah ini menerjemahkan ucapan ‘Atha’ di atas dengan redaksi berikut, "Aku melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian berwarna merah dengan corak mawar.
Jawaban:
Sebagaimana hadits yang pertama, maka untuk memahaminya secara benar harus dikembalikan kepada penjelasan para Ulama yang menerangkan makna hadits ini.
Imam Ibnu Hajar al-‘Asqalâni rahimahullah [13] menjelaskan makna ucapan ‘Atha’ Radhiyallahu anhu di atas yaitu “Pakaian gamis yang berwarna mawar”, yakni berwarna merah.
Imam Ibnu Hajar juga menjelaskan bahwa ‘Atha’ Radhiyallahu anhu bisa melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut karena waktu itu ‘Atha’ Radhiyallahu anhu masih kecil, sebagaimana yang disebutkan dalam riwayat Imam ‘Abdurrazzaq ash-Shan’âni rahimahullah bahwa ’Atha’ Radhiyallahu anhu berkata, “(Waktu itu) aku masih kecil”. Dia juga menjelaskan ada kemungkinan ‘Atha’ melihatnya tanpa disengaja.
Berdasarkan keterangan ini, maka jelaslah kisah di atas sama sekali tidak bisa dijadikan sebagai argumentasi bagi orang yang membolehkan pakaian berhias motif bagi wanita ketika keluar rumah, karena alasan-alasan berikut :
• ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut di dalam tenda tempat beliau tinggal sementara waktu dan bukan di luar rumah.
• Pakaian yang dikenakan beliau berwarna merah dan bukan bercorak mawar. Kalaupun dikatakan bercorak mawar, maka pakaian seperti itu boleh dipakai di dalam rumah dan bukan di luar rumah.
• ‘Atha’ Radhiyallahu anhu melihat ‘Aisyah Radhiyallahu anhuma memakai pakaian tersebut ketika ‘Atha’ masih kecil dan belum dewasa, ini tentu diperbolehkan.
• Ada kemungkinan ‘Atha’ Radhiyallahu anhu melihatnya tanpa disengaja, sebagaimana keterangan Imam Ibnu Hajar.
Syubhat Ketiga.
Ucapan sebagian orang yang membolehkan hiasan berupa bordiran, renda, motif dan lain-lain pada pakaian wanita, yang mengatakan bahwa pakaian seperti itu sudah biasa di negeri kita sehingga sesuai dengan ‘urf (kebiasaan) masyarakat setempat. Sedangkan pakaian hitam atau berwarna gelap dan polos malah menarik perhatian di sebagian masyarakat di Indonesia. Para Ulama mengatakan hukumnya makruh jika kita menyelisihi ‘urf (kebiasaan) masyarakat.
Jawaban:
Memang benar agama Islam memperhitungkan ‘urf (kebiasan) masyarakat tetapi pada perkara-perkara yang batasannya tidak dijelaskan secara terperinci dalam syariah. Termasuk syarat penting diperhitungkannya ‘urf dalam syariat adalah, bahwa ’urf tersebut tidak boleh menyelisihi dalil-dalil shahih dalam syariat.[14]
Syubhat di atas terbantah dengan sendirinya, karena dalil-dalil syariat yang kami paparkan di atas dengan tegas dan jelas melarang pakaian wanita yang dihiasi bordiran, renda, motif dan lain-lain. Lagipula, kalau sekiranya ucapan atau syubhat di atas diterima tanpa syarat, maka ini mengharuskan kita membolehkan semua pakaian yang haram dan menyelisihi syariat, hanya dengan alasan pakaian tersebut banyak dan biasa dipakai kaum wanita di masyarakat kita, seperti pakaian-pakaian mini yang banyak tersebar di masyarakat. Bahkan dengan alasan ini, akhirnya seseorang bisa mengatakan bolehnya tidak memakai jilbab sama sekali, karena terbukti wanita yang tidak berjilbab di masyarakat lebih banyak daripada yang berjilbab; maka ini jelas merupakan kekeliruan yang nyata.
NASIHAT DAN PENUTUP
Seorang wanita Muslimah yang telah mendapatkan anugerah hidayah dari Allâh Subhanahu wa Ta’ala untuk berpegang teguh dengan agama ini, hendaklah ia merasa bangga dalam menjalankan hukum-hukum syariat-Nya. Karena dengan itu, ia akan meraih kemuliaan dan kebahagiaan hakiki di dunia dan akhirat. Dan semua itu jauh lebih agung dan utama dari pada semua kesenangan duniawi yang dikumpulkan oleh manusia.
Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
قُلْ بِفَضْلِ اللَّهِ وَبِرَحْمَتِهِ فَبِذَٰلِكَ فَلْيَفْرَحُوا هُوَ خَيْرٌ مِمَّا يَجْمَعُونَ
Katakanlah: "Dengan karunia Allah dan rahmat-Nya, hendaklah dengan itu mereka (orang-orang yang beriman) bergembira (berbangga), kurnia Allâh dan rahmat-Nya itu adalah lebih baik dari apa (kemewahan duniawi) yang dikumpulkan (oleh manusia)”. [Yûnus/10:58]
Kalimat “karunia Allâh” dalam ayat ini ditafsirkan oleh para Ulama ahli tafsir dengan “keimanan kepada-Nya”, sedangkan “rahmat Allâh” ditafsirkan dengan “al-Qur'ân”.[15]
Dalam ayat lain Allâh Subhanahu wa Ta’ala berfirman :
وَلِلَّهِ الْعِزَّةُ وَلِرَسُولِهِ وَلِلْمُؤْمِنِينَ وَلَٰكِنَّ الْمُنَافِقِينَ لَا يَعْلَمُونَ
Dan kemuliaan (yang sebenarnya) itu hanyalah milik Allâh, milik Rasul-Nya dan milik orang-orang yang beriman, akan tetapi orang-orang munafik itu tiada mengetahui. [al-Munâfiqun/63:8].
Dalam ucapannya yang terkenal Umar bin Khattab Radhiyallahu anhu berkata, “Dulunya kita adalah kaum yang paling hina, kemudian Allâh Subhanahu wa Ta’ala memuliakan kita dengan agama Islam, maka kalau kita mencari kemuliaan dengan selain agama Islam ini, pasti Allâh Subhanahu wa Ta’ala akan menjadikan kita hina dan rendah”.[16]
Semoga Allâh Azza wa Jalla menjadikan tulisan ini bermanfaat dan sebagai nasihat bagi para wanita Muslimah untuk kembali kepada kemuliaan yang sebenarnya dengan menjalankan petunjuk Allâh Azza wa Jalla dan Rasul-Nya Shallallahu ‘alaihi wa sallam dalam agama Islam.(almanhaj)
[Disalin dari majalah As-Sunnah Edisi 11/Tahun XVI/1434H/2013. Diterbitkan Yayasan Lajnah Istiqomah Surakarta, Jl. Solo – Purwodadi Km.8 Selokaton Gondangrejo Solo 57183 Telp. 0271-858197 Fax 0271-858196]
_______
Footnote
[1]. Qawâ'idul Ahkâm, hlm. 2
[2]. Lihat Hirâsatul Fadhîlah, hlm. 53.
[3]. Taisîrul-Karîmir-Rahmân, hlm. 489.
[4]. Al-Hijâbu wa Fadha-iluhu, hlm. 3.
[5]. Juga termasuk di dalam rumah jika ada laki-laki yang bukan mahram wanita tersebut.
[6]. HR at-Tirmidzi, no. 2788 dan an-Nasa-i, no. 5118; dinyatakan shahîh oleh Syaikh al-Albâni.
[7]. Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 121-123.
[8]. Jilbâbul Mar-atil Muslimah, hlm. 119.
[9]. Kedua hadits di atas riwayat Imam Muslim, no. 2770 dan no. 2128.
[10]. Hadits no. 3661 dan no. 5485.
[11]. Fathul-Bâri, 10/280.
[12]. Hadits no. 1539.
[13]. Fathul Bâri, 3/481.
[14]. Untuk penjelasn tentang ‘urf silahkan baca artikel Pedoman Penggunanaan ‘Urf”, oleh al-Ustadz Anas Burhanuddin, MA, dimuat di Majalah As-Sunnah, Edisi 09, Th. XV, Shafar 1433 H-Januari 2012 M.
[15]. Lihat keterangan Imam Ibnul-Qayyim dalam kitab Miftâhu Dâris-Sa’âdah, 1/227.
[16]. Riwayat al-Hâkim dalam al-Mustadrak, 1/130; dinyatakan shahîh oleh al-Hâkim dan disepakati oleh adz-Dzahabi.
Choose EmoticonEmoticon