Hadits Sebagai Sumber Ajaran Islam
PENDAHULUAN
Islam sebagai agama mempunyai makna bahwa Islam sebagai pedoman hidup baik bagi kehidupan duniawi maupun ukhrawi. Dimensi ajaran Islam memberikan aturan tentang tatacara berhubungan dengan Tuhan (Allah), serta tatacara berhubungan dengan sesama makhluq, termasuk di dalamnya persoalan hubungan dengan alam sekitar atau lingkungan hidup.
Seluruh umat Islam telah faham dan mengerti bahwa hadits Rasulullah Saw. merupakan pedoman hidup yang utama setelah al-Quran. Tingkah laku manusia yang tidak ditegaskan ketentuan hukumnya, tidak diterangkan cara mengamalkannya, tidak diperincikan menurut dalil yang masih utuh, tidak dikhususkan dalam menurut petunjuk ayat yang masih muthlak dalam al-Quran, maka hendaklah dicarikan penyelesaiannya dalam hadits.
Sejarah telah mencatat bahwa Rasulullah Saw. menyatakan kegembiraannya dan syukur kepada Allah atas baiat sahabat Mu’adz bin Jabal (seorang sahabat yang diangkat penuh untuk jadi duta di Yaman), bahwa ia akan berpedoman kepada al-Quran, kemudian al-Sunnah dan yang terakhir ijtihadnya sendiri. Hal tersebut memberi gambaran betapa urgennya posisi hadits sebagai pedoman utama setelah al-Quran.
Allah SWT mengutus para Nabi dan Rasul-Nya kepada ummat manusia untuk memberi petunjuk kepada jalan yang lurus dan benar agar mereka bahagia di dunia dan di akhirat. Rasulullah SAW lahir ke dunia ini dengan membawa risalah Islam, petunjuk yang benar. hukum Syara’ adalah khitab Syari’ (seruan Allah sebagai pembuat hukum) baik yang sumbernya pasti (qath’iy tsubut) seperti Al-Qur’an dan Hadits, maupun ketetapan yang sumbernya masih dugaan kuat (dzanny tsubut) seperti Hadits yang bukan tergolong mutawatir. Berikut ini kami akan berusaha menjelaskan tentang“Kehujjahan Hadits dan dialektika perdebatannya serta fungsi Hadits terhadap al-Quran”.
II. PEMBAHASAN
A. Dialektika Perdebatan Hadits dan Kehujjahannya.
Di dalam al-Quran, ada beberapa kandungannya yang bersifatijmaly (global) dan umum, namun adapula kandungan al-Quran yang bersifat tafshily (terperinci). Hal-hal yang bersifat global dan umum, sudah barang tentu memerlukan penjelasan-penjelasan yang lebih terang dalam penerapannya sebagai pedoman hidup manusia. NabiMuhammad SAW sebagai Rasulullah telah diberikan tugas dan otoritas untuk menjelaskan isi kandungan al-Quran itu. Bahkan untuk hal-hal yang bersifat teknis ritu, penjelasan itu bukan hanya bersifat lisan, tetapi juga langsung amalan praktis.
Para ulama telah sepakat bahwa Hadits atau al-Sunnah al-Nabawiyah wajib ditaati sebagaimana posisi al-Quran di dalam pengambilan suatu hukum syariat (itsbat al-Hukum), al-Sunnah adalah sumber kedua dalam Syariat Islam[1], dalil hal tersebut banyak sekali terdapat dalam al-Quran, ijma’, dan Filsafat (pemikiran para ulama’)[2].
Allah berfirman dalam Surat an-Nahl ayat 44;
Artinya : Dan Kami turunkan kepadamu Al-Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka dan supaya mereka memikirkan.
Ayat tersebut merupakan salah satu penetapan tugas Rasul untuk menjelaskan al Quran itu. Bahkan dalam surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an-Nisa’ ayat 80, Allah memberi penegasan atas kewajiban ummat Islam untuk mentaati dan mengikuti segala apa yang dikemukakan oleh Rasulullah.
Artinya : Dan apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Amat keras hukumannya. (QS. Al-Hasyr 7).
Artinya : Barangsiapa yang mentaati Rasul itu, Sesungguhnya ia telah mentaati Allah. dan Barangsiapa yang berpaling (dari ketaatan itu), Maka Kami tidak mengutusmu untuk menjadi pemelihara bagi mereka. (QS. An-Nisa’ 80).
Kebanyakan ulama Hadits menyepakati bahwa dilihat dari segi sanad, Hadits itu terbagi menjadi 2 yaitu; Hadits mutawatir dan Hadits ahad. Namun menurut versi yang dikemukakan kalangan Hanafiyah, Hadits itu terbagi menjadi tiga bagian, yaitu: mutawatir, masyhur, dan ahad[3].
Semua ulama telah sepakat akan kehujjahan HaditsMutawatir, namun mereka berselisih pendapat dalam hal kehujjahan Hadits ahad, yaitu Hadits yang diriwayatkan oleh seorang, dua orang atau jamaah, namun tidak mencapai derajat mutawatir.[4]
Mayoritas umat Islam telah sepakat untuk menerima Hadits sebagai landasan (dasar) hukum Islam, namun terdapat pula golongan minoritas yang menolak Hadits sebagai sumber syari’at setelah al-Quran. Mereka berasumsi bahwa cukuplah al-Quran saja sebagai dasar tasyri’[5].
Mereka memperkuat argument mereka dengan firman Allahdalam Surat An-Nahl 89 yang berbunyi;
Artinya : Kami turunkan kepadamu Al kitab (Al Quran) untuk menjelaskan segala sesuatu dan petunjuk serta rahmat dan kabar gembira bagi orang-orang yang berserah diri.
Menurut mereka, ayat tersebut sangatlah jelas menunjukkan bahwa al-Quran itu telah mencakup seluruh persoalan agama, hukum-hukum dan telah memberikan penjelasan dengan sangatlah gamblang dan jelas, hingga tidak memerlukan lagi yang lain, seperti Hadits. Jika masih memerlukannya, niscaya di dalam al-Quran masih terdapat sesuatu yang dilalaikan.
Argument selanjutnya yaitu andaikata Hadits itu sebagai hujjah, niscaya Rasulullah Saw. memerintahkan untuk menulisnya sehingga para Sahabat dan Tabi’in segera mengumpulkannya dalam dewan Hadits, demi untuk memelihara agar tidak hilang dan dilupakan orang. Hal demikian itu supaya diterima kaum muslimin secara qath’iy. Sebab dalil yang dzonny tidak sah dijadikan landasan dalam berhujjah.[6]
Namun pendapat tersebut dianggap kurang kuat, dan kemudian dimentahkan oleh pendapat para Jumhur Ulama’;
a) Al-Quran memuat dasar-dasar agama dan kaidah-kaidah yang masih global (umum) dan hanya sebagian nashnya yang telah diterangkan dengan jelas, dan sebagian yang lain diterangkan oleh Rasulullah Saw. Karena memang beliau diutus oleh Allah untuk menjelaskan kepada manusia tentang hukum-hukum yang ada di dalam al-Quran.Oleh karena itu, maka penjelasan Rasulullah Saw tentang hukum-hukum itu sama urgennya dan sama halnya dengan penjelasan al-Quran itu sendiri.
b) Tidak adanya perintah menulis Hadits dan melarang menulisnya, sebagaimana diriwayatkan oleh Hadits Shahih, tidak menunjukkan ketiadaan kehujjahan Hadits.
Bahkan kemaslahatan yang lebih sesuai di saat itu adalah untuk menulis al-Quran dan mendewankannya, untuk menjaga agar jangan sampai hilang dan bercampur dengan sesuatu. Kehujjahan itu tidak terletak hanya pada tertulisnya Hadits saja, tetapi juga terdapat pada ke-mutawatir-annya, pengambilannya dari orang adil lagi terpercaya dan diberitakan oleh orang-orang yang kuat hafalannya. Pemindahan dengan cara demikian bukan berarti kurang sah daripada pemindahan dari tulisan.[7]
B. Fungsi Hadits terhadap al Quran.
Hadits ataupun kata lainnya as-Sunnah dan al-Quran mempunyai hubungan yang sangat erat sekali. Keduanya merupakan sumber hukum Islam, namun posisi as-Sunah adalah yang kedua setelah al-Quran. Hadits sebagai penafsir al-Quran, penyingkap rahasia-rahasia al-Quran, penjelas atas maksud-maksud yang dikehendaki Allah dari perintah-perintah dan hukum-hukum-Nyayang ada di dalam al-Quran.
Dari segi dilalah al-Ahkam, ada 4 fungsi Hadits terhadap al-Quran;
· Hadits (sunnah) sebagai penjelas apa-apa yang dimaksudkan al Quran, adapun penjelasan itu ada 4 macam yaitu:
a) Penjelasan terhadap hal yang global, seperti diperintahkannya shalat dalam al Quran tidak diiringi penjelasan mengenai rukun, syarat, dan ketentuan-ketentuan lainnya. Maka hal itu dijelaskan oleh Hadits yang berbunyi;
صلّوا كما رأيتمونى أصلّى
Artinya: “Shalatlah kamu semua, sebagaimana kamu telah melihat aku shalat.”[8]
b) Mentaqyid yang mutlaq, contohnya adalah Hadits-Hadits yang menjelaskan pengertian dari kata اليد dalam firman Allah surat al Maaidah: 38 yaitu:
والسارق والسارقة فا قطعوا أيديهما
Ayat tersebut menjelaskan maksud dari kata al yadadalah tangan kanan, dan pemotongannya dari pergelangan tangan, bukan dari siku.
c) Mengkhususkan (mentakhsis) yang umum, contohnya seperti Hadits yang menerangkan maksud dari kataالظلم dalam surat al An’am 82 yaitu:
الذين امنوا ولم يلبسوا إيمانهم بظلم
Yang dimaksud dari kata al-Dzulmu adalah syirik, karena sebagian Sahabat memahami secara umumnya sehingga mereka berkata “siapa dari kita yang tidak dzolim”, kemudian Nabi SAW bersabda:
ليس ذلك إنما هو الشرك (رواه أحمد والبخارى)
d) Penjelas yang samar, contohnya adalah Hadits yang menjelaskan maksud dari kata الخيطين dalam surat alBaqoroh 187 yaitu:
وكلوا واشربوا حتى يتبين لكم الخيط الابيض من الخيط الاسود من الفجر
Sebagian Sahabat memahami bahwa itu adalah tali yang putih dan hitam. Maka Nabi bersabda:
هما بياض النهار وسواد الليل
· Hadits (as-Sunnah) sesuai dengan apa-apa yang telah ditetapkan oleh al Quran, dalam hal ini kedua-duanya menjadi sumber hukum dan berfungsi sebagai penguat (al-ta’kid).
Contoh hadits yang berbunyi;
إنّ الله يملي للظالم فإذا أخذه لم يفلته (رواه الشيخان عن ابن موسى الاشعرى)
Menguatkan Ayat al-Quran yang berbunyi;
وكذالك أخذ ربك إذا أخذ القرى وهي ظالمة[9]
Demikian juga Hadits-Hadits yang menunjukkan akan kewajiban shalat, zakat, haji, berbuat baik, ihsan, memaafkan dll.[10]
· Hadits (as-Sunnah) sebagai petunjuk atas suatu hukum yang tidak ada di dalam al Quran. Misalnya hadits yang melarang mempoligami antara seorang wanita dengan bibinya baik dari ibu atau ayah.
· Hadits (as-Sunnah) sebagai penghapus (nasikh) hukum yang ditetapkan al Quran, (Hal ini menurut pendapat yang membolehkanpenasakhan al Quran dengan as-Sunah)[11].
Contoh :
لاوصية لوارث (رواه الترميذي)
Hadits di atas menasikh hukum wasiat bagi orang tua, kerabat (ahli waris) yang ditetapkan oleh al Quran surat al Baqoroh 180 yaitu:
كتب عليكم إذا حضر أحدكم الموت ان ترك خيراً الوصية للوالدين والاقربين بالمعروف حقا على المتقين
III. SIMPULAN
Dari pemaparan di atas, kami dapat menyimpulkan bahwa Hadits atau as-Sunnah adalah sumber hukum kedua dalam hukum Islam setelah al-Quran. Hadits berfungsi sebagai penjelas dan sekaligus penafsir al Quran, yang menjelaskan maksud-maksud yang dikehendaki Allah SWT dalam ayat-ayat al Quran. Baik dalam menjelaskan ayat yang bersifat mujmal(global), taqyidul mutlaq, tahksisul ‘am, dan taudlihu al-Musykil.
DAFTAR PUSTAKA
Muhammad, bin Alwy al maliky. 1982. Al Manhal Al Latif fi Ushul Al Hadits As Syarif.
Rahman, Fatchur. 1974. Ikhtisar Mushthalahu’l Hadits. Bandung: PT. Alma’arif Bandung.
Al-Khatib, Muhammad Hajjaj. 1989. Ushul Hadits. Beirut: Dar el-Fikr.
Syafe’i, Rahmat. 1999. Ilmu Ushul Fiqih. Bandung: Pustaka Setia.
Shalih, Subhi. 1997. Ushul Hadits. Beirut: Darul ‘Ilmi.
(ainuly90)
Choose EmoticonEmoticon