-->

Sabtu, 14 Januari 2023

Konsep Pendidikan Islam Menurut al Farabi

I. Pendahuluan
Al-Farabi adalah salah satu pemikir dalam pendidikan islam yang dikenal juga sebagai guru kedua setelah Aristoteles. Dimana dalam kehidupannya Al-Farabi selalu menimba ilmu pengetahuan baik ilmu agama dan umum. Dengan berbagai ilmu yang diperolehnya, Al-Farabi menjadi seorang ahli filosof yang terkenal.
Dalam perjalanan hidupnya, Al-Farabi tidak begitu puas dengan ilmu yang diperolehnya ditempat ia dilahirkan, sehingga ia bermukim di kota Bagdad untuk belajar bersama para filosof dan sarjana kenamaan lainnya. Oleh karena itu, kegigihan Al-Farabi sehingga ia disebut seorang ahli filsafat.
Untuk lebih jelasnya dalam memahami kehidupan al-Farabi, maka dalam makalah yang sederhana ini penulis akan mengulas perjalanan Al-Farabi tentang biografi, latar belakang pemikirannya, karya-karya dan lain-lain.



II. Pembahasan
A. Riwayat Hidup Al-Farabi
AL-Farabi nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad ibn Tarkan ibn Auzalagh. Dikalangan orang-orang latin abad tengah, Al-Farabi lebih dikenal dengan Abu Nashr. Ia lahir di Wasy, distrik Farab (sekarang dikenal dengan kota Atrar), Tukistan pada 257 H (870 M). Ayahnya seorang jendral berkebangsaan Persia dan ibunya berkebangsaan Turki.[1]
Beliau adalah seorang Tabib yang kenamaan, seorang ahli ilmu pasti dan seorang filsuf yang ulung. Ia juga terkenal sebagai ahli dalam bahasa Arab, Parsi, Suria, dan Turki. Beliau melebihi Al-Kindi baik memberi penjelasan dan tafsir umum maupun dalam menerjemahkan dan menyusun kembali dari sisi kitab-kitab filsafat Yunani. Dengan demikian maka beliau dianggap sebagai yang paling terpelejar dan tajam diantara para komentator karya Aristoteles. Karangan beliau tidak kurang dari 128 kitab. Kemudian beliau wafat pada usia 80 tahun tepat 337 H (950 M).[2]


B. Latar Belakang
1. Internal
Pendidikan Al-Farabi
Sejak kecilnya, Al-Farabi suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Bahasa-bahasa yang dikuasainya antara lain ialah bahasa-bahasa Iran, Turkestan, Arab, dan Kurdistan. Setelah besar, Al-Farabi meninggalkan negerinya untuk menuju kota Bagdad, pusat pemerintahan dan ilmu pengetahuan pada masanya untuk belajar antara lain pada Abu Bisyr bin Mattius. Selama berada di Bagdad ia memusatkan perhatiannya kepada ilmu logika.
Pada waktu pertama datang di Bagdad, ia hanya dapat menguasai sedikit bahasa Arab. Disana Al-Farabi dapat belajar ilmu nahwu dengan Abu Bakar As-Saraj sebagai imbalan pelajaran ilmu logika yang diberikan oleh Al-Farabi kepadanya.[3] Maka pendidikan dasar Al-Farabi adalah keagamaan dan bahasa. Dalam bidang agama Al-Farabi mempelajari Fiqih, Hadits dan Tafsir al-Qur’an, sedangkan dalam bidang kebahasaan yaitu bahasa Arab, Turki dan Parsi.
Setelah Al-Farabi berkumim di kota Bagdad selama 20 tahun ia tertarik oleh pusat kebudayaan di Aleppo. Disana beliau berjumpa dengan orang-orang brilian dan para sarjana, istana Saif Al-Daulah berkumpul para penyair ahli bahasa, filosof, dan sarjana-sarjana kenamaan lainnya. Meski ada simpati kuat kearahan dari istana tersebut namun cultural yang ada di dalamnya. Mereka berdiskusi dan berdebat, sepakat atau berbeda pendapat tanpa mencari keuntungan dalam menimba ilmu pengetahuan. Dari istana Al-Farabi tinggal dan merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran.[4]


Kiprah Al-Farabi di Masyarakat
Dalam kehidupannya Al-Farabi sangat sibuk menyelami berbagai ilmu pengetahuan, sehingga ia kurang prihatin dalam berinteraksi dengan masyarakat. Al-Farabi lebih menyukai mendalami ilmu logika serta filsafat dan bergabung belajar bersama dengan para filosof baik berkaitan dengan ilmu pengetahuan agama maupun ilmu pengetahuan umum.
Dan sesuai dengan pemahaman penulis bahwa catatan sejarah al-Farabi adalah pembangun agung system filsafat, dimana ia telah membangkitkan diri untuk berfikir dan merenung menjauh dari kegiatan politik, gangguan dan kisruhan masyarakat.[5]


2. Eksternal
Sosial Politik
Al-Farabi berpendapat bahwa ilmu politik adalah ilmu yang meneliti berbagai bentuk tindakan, cara hidup, watak, dan akhlak. Kebahagiaan manusia diperoleh karena perbuatan cara hidup yang dijalankan. Jadi, Al-Farabi mengungkapkan bahwa kebahagiaan yang hakiki sebenarnya tidak mungkin dapat diperoleh sekaang (di dunia ini) akan tetapi itu dapat diperoleh diakhirat kelak.
Suatu kepemimpinan tumbuh dari keahlian dan pembawaan manusia. Hal ini dapat mengarahkan manusia dalam menegakkan nilai-nilai utama dan tindakan-tindakan yang bakal memelihara sebagai kemantapan-kemantapan. Jika dipandang dari kemampuan suatu pemerintahan ilmu politik terbagi dua yaitu :
1) Kemampuan dalam melahirkan peraturan-peraturan yang bersifat universal.
2) Kemampuan yang disebabkan oleh adanya ketekunan dalam aktivitas politik, dengan harapan bisa menjadi kebijaksanaan.[6]
Pemikiran Al-Farabi bukan begitu ideal tentang kenegaraan, hal ini disebabkan Al-Farabi lebih menyenangi berkhalwat, menyendiri sehingga ia tidak mempunyai peluang untuk belajar dari pengalaman dalam pengelolaan urusan kenegaraan.[7]
Kondisi Intelektual
Pandangan Al-Farabi mengenai daya imajinasi layak mendapat perhatian serius karena peran imajinasi kenabibian dan ketuhanan. Menurut Al-Farabi imajinasi merupakan daya penyimpan dan penimbang yang bertanggung jawab atas penyimpangan citra atau kesan hal-hal yang dapat di indra.
Dengan daya imajinasi yang kuat para nabi / rasul dapat melepaskan diri dari pengaruh-pengaruh panca indra yang negative, seperti : melihat sesuatu yang dapat menimbulkan kerusakan dalam berfikir. Jika ia dapat menjaga panca indranya maka tuntutan-tuntutan untuk memusatkan perhatian dan dapat mengadakan hubungan dengan akal yang disebut akal aktif ( ). Oleh karena itu filosof dan nabi mendapat pengetahuan mereka dari sumber yang satu yaitu akal aktif. Maka pengetahuan filsafat dan wahyu yang diterima nabai bisa bertentangan.
Filsafat ini dimajukan Al-Farabi untuk menentang aliran yang tak percaya kepada nabi dan rasul.[8]
Karya-Karyanya
Al-Farabi yang terkenal sebagai filsuf islam terbesar, memiliki keahlian dalam banyak bidang keilmuan dan memandang filsafat secara utuh dan menyeluruh serta mengupasnya dengan sempurna, sehingga filsuf yang datang sesudahnya, seperti ibn Sina dan Ibn Rusdy banyak mengambil dan mengupas filsafatnya. Ada riwayat yang menyebutkan bahwa Ibn Sina telah membaca 40 kali buku metafisika karangan Aristoteles, bahkan seluruh isi buku itu dihapalnya tapi belum dipahaminya. Barulah Ibn Sina memahami benar filsafat Aristotels setelah membaca buku Al-Farabi yang judulnya “Tahqiq Ghardh Aristhu fi Kitab ina Ba’da al-Thabiah” yang menjelaskan tujuan dan maksud metafisika Aristoteles. Pengetahuannya mengenai filsafat Yunani, terutama Plato dan Aristoteles, ia dijuluki Al-Muallim Al-Tsnai (guru kedua) sedangkan Al-Muallimk al-Awwal (guru pertama) adalah Aristoteles.
Disamping karya yang disebutkan di atas, karya Al-Farabi antara lain :
1) Syuruh risalah aainun al-kabir al-Yunani
2) Al-Ta’liqat
3) Risalah fina yajibu ma’rifat qabla ta’allumi al-falsafah
4) Kitab tahshil al-sa’adan
5) Risalah fi itsbat al-mufaraqah.


C. Pemikiran-Pemikiran Al-Farabi
Selain dari pendidikan dan bakat yang dilalui dan dimilikinya, lingkungan juga turut menentukan jalan fikirannya. Dewasa itu filsafat sudah berkembang sedemikian rupa, kajian-kajian ilmiah sudah demikian maju, lebih-lebih dengan adanya batul hikmah. Kemajuan dan kebebasan berfikir dalam dunia islam ketika itu membenarkan dampak positif kepada Al-Farabi untuk tempil sebagai filosof yang menguasai berbagai cabang ilmu seperti : ilmu alam, matematika, astronomi dan lain-lain.
Analisa-analisa tentang filsafat Yunani yang diterimanya dari guru-gurunya atau yang dibacanya dari risalah-risalah Al-Kindi dan buku-buku filsafat yang sudah banyak diterjemahkan orang ke dalam bahasa Arab sungguh mempengaruhi pemikiran Al-Farabi. Diantara aliran filsafat Yunani yang mempengaruhinya ialah filsafat Plato, Aristoteles, dan Neoplatonisme. Misalnya : tentang teori Negara utama ia dipengaruhi filsafat Plato, dalam soal metafisika ia dipengaruhi oleh Aristoteles dan mengenai Emanasi ia dipengaruhi oleh Platinus.
Selain itu ia sebagai seorang muslim yang telah mempelajari pelajaran agama dengan baik ia pun mendapat pengaruh dari ajaran tersebut. Disini Al-Farabi juga menyesuaikan filsafatnya dengan ajaran islam, seperti : filsafatnya tentang kenabian ia mengakui adanya nabi, dan nabi itu lebih tinggi dari filosof. Dimana maksudnya nabi mempunyai mukzijat sedangkan filosof hanya menggunakan akal pikiran untuk berfilsafat. Dengan demikian dasar pemikiran filsafat yang digunakan Al-Farabi yaitu memadukan ajaran filsafat dengan ajaran agama.[9]


D. Analisis
a. Kekuatan
Setelah memahami dan memaparkan tentang riwayat hidup serta pendidikan yang dilalui Al-Farabi, penulis dapat menjelaskan bahwa adanya suatu keinginan serta kekuatan yang dimiliki Al-Farabi dalam berfilsafat sebagai ia disebut al-Muallim al-tsani (guru kedua).
b. Kelemahan
Kita ketahui bahwa Al-Farabi merupakan orang pertama dan terkemuka sebagai sarjana dan pencari kebenaran. Akan tetapi disamping itu Al-Farabi memiliki kelemahan dalam politik kenegaraan disebabkan karena ia lebih sibuk dalam urusan menimba ilmu pengetahuan untuk mengembangkan ilmu logika yang dimilikinya.
c. Kontribusi
Sesuai dengan penjelasan di atas, walaupun Al-Farabi lemah dalam kegiatan kenegaraan. Maka sebaiknya Al-Farabi harus berusaha lebih ikut serta dalam kegiatan kenegaraan. Karena kita ketahui bahwa, kita hidup dan tinggal dalam wilayah suatu Negara dan yang memiliki pemerintahan.




BAB III. Kesimpulan
Al-Farabi nama lengkapnya Abu Nashr Muhammad ibn Muhammad Ibn Tarkhan ibn Auzalagh. Pendidikannya sejak kecil suka belajar dan ia mempunyai kecakapan luar biasa dalam lapangan bahasa. Adapun karya-karyanya antara lain :
- Syuruh risalah aainun al-kabir al-yunani
- Al-ta’liqat
- Risalah fima yajibu ma’rifat qabla ta’alullmi Al-Falsafah.
Adapun pemikiran filsafat Al-Farabi dipengaruhi oleh filsafat Yunani seperti : filsafat Plato, Aristoteles, dan Neoplatanisme./andasayabisa










[1] Hasyimsyah Nasution. Filsafat Islam, (Jakarta : gaya Media Pratama, 1999), hlm. 32.
[2] Sudarsono. Filsafat Islam, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm. 32.
[3] Ibid., hlm. 32.
[4] M.M. Syarif. Para Filosof Muslim, (Bandung : Mizan, 1998), hlm. 57.
[5] Thawil Akhyar Dasoeki. Sebuah Kompilasi Filsafat Islam, (Semarang : CV. Toha Putra, 1993), hlm. 27.
[6] H. A. Mustofa. Filsafat Islam, (Bandung : Pustaka Setia, 2004), hlm. 131.
[7] Hasyimsyah Nasution. Op. cit., hlm. 43.
[8] Harun Nasution. Filsafat dan Mistisme Dalam Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1973), hlm. 31-32.
[9] Yumisril Ali. Perkembangan Pemikiran Falsafi Dalam Islam, (Jakarta : Bumi Aksara, 1991), hlm. 42.



Baca Artikel Terkait:




Choose EmoticonEmoticon