Kerajaan Pagaruyung (1500-1825)
Kerajaan Pagaruyung ialah sebuah Kerajaan Melayu yg pernah berdiri, meliputi provinsi Sumatera Barat sekarang & daerah-daerah di sekitarnya. Nama kerajaan ini dirujuk dari Tambo yg ada pada masyarakat Minangkabau, yaitu nama sebuah nagari yg bernama Pagaruyung. Kemudian hari, nama kerajaan ini dapat juga dirujuk dari inskripsi cap mohor Sultan Tangkal Alam Bagagar dari negeri Pagaruyung, yaitu pada tulisan beraksara Jawi dlm lingkaran bagian dlm yg berbunyi sebagai berikut: Sultan Tangkal Alam Bagagar ibnu Sultan Khalifatullah yg mempunyai tahta kerajaan dlm negeri Pagaruyung Darul Qadar Johan Berdaulat Zillullah fil ‘Alam.
Kerajaan ini akhirnya runtuh pada masa Perang Padri. Ditandatanganinya perjanjian antara kaum Adat dengan pihak Belanda telah menjadikan kerajaan Pagaruyung berada dlm pengawasan Belanda. Sebelumnya kerajaan ini tergabung dlm Malayapura, sebuah kerajaan yg pada Prasasti Amoghapasa disebutkan dipimpin oleh Adityawarman, yg mengukuhkan dirinya sebagai penguasa Bhumi Malayu di Suwarnabhumi. Termasuk pula di dlm Malayapura ialah kerajaan Dharmasraya, serta kerajaan atau daerah taklukan Adityawarman lainnya.
Berdirinya Pagaruyung
Munculnya nama Pagaruyung sebagai sebuah kerajaan Melayu tak dapat diketahui dengan pasti, dari Tambo yg diterima oleh masyarakat Minangkabau tak ada yg memberikan penanggalan dari setiap peristiwa-peristiwa yg diceritakan, bahkan jika menganggap Adityawarman sebagai pendiri dari kerajaan ini, Tambo sendiri juga tak jelas menyebutkannya. Namun dari beberapa prasasti yg ditinggalkan oleh Adityawarman, menunjukan bahwa Adityawarman memang pernah menjadi raja di negeri tersebut, tepatnya menjadi Tuhan Surawasa, sebagaimana penafsiran dari Prasasti Batusangkar. Dari manuskrip yg dipahat kembali oleh Adityawarman pada bagian belakang Arca Amoghapasa disebutkan pada tahun 1347 Adityawarman memproklamirkan diri menjadi raja di Malayapura, Adityawarman merupaken putra dari Adwayawarman seperti yg terpahat pada Prasasti Kuburajo & anak dari Dara Jingga, putri dari kerajaan Dharmasraya seperti yg disebut dlm Pararaton. Ia sebelumnya bersama-sama Mahapatih Gajah Mada berperang menaklukkan Bali & Palembang, pada masa pemerintahannya kemungkinan Adityawarman memindahkan pusat pemerintahannya ke daerah pedalaman Minangkabau.
Dari prasasti Suruaso yg beraksara Melayu menyebutkan Adityawarman menyelesaikan pembangunan selokan untuk mengairi taman Nandana Sri Surawasa yg senantiasa kaya akan padi yg sebelumnya dibuat oleh pamannya yaitu Akarendrawarman yg menjadi raja sebelumnya, sehingga dapat dipastikan sesuai dengan adat Minangkabau, pewarisan dari mamak [paman] kepada kamanakan [kemenakan] telah terjadi pada masa tersebut. Sementara pada sisi lain dari saluran irigasi tersebut terdapat juga sebuah prasasti yg beraksara Nagari atau Tamil, sehingga dapat menunjukan adanya sekelompok masyarakat dari selatan India dlm jumlah yg signifikan pada kawasan tersebut. Adityawarman pada awalnya dikirim untuk menundukkan daerah-daerah penting di Sumatera, & bertahta sebagai raja bawahan [uparaja] dari Majapahit. Namun dari prasasti-prasasti yg ditinggalkan oleh raja ini belum ada satu pun yg menyebut sesuatu hal yg berkaitan dengan bhumi jawa & kemudian dari berita Cina diketahui Adityawarman pernah mengirimkan utusan ke Cina sebanyak 6 kali selama rentang waktu 1371 sampai 1377. Setelah meninggalnya Adityawarman, kemungkinan Majapahit mengirimkan kembali ekspedisi untuk menaklukan kerajaan ini pada tahun 1409.
Legenda-legenda Minangkabau mencatat pertempuran dahsyat dengan tentara Majapahit di daerah Padang Sibusuk. Konon daerah tersebut dinamakan demikian karena banyaknya mayat yg bergelimpangan di sana. Menurut legenda tersebut tentara Jawa berhasil dikalahkan. Sebelum kerajaan ini berdiri, sebenarnya masyarakat di wilayah Minangkabau sudah memiliki sistem politik semacam konfederasi, yg merupaken lembaga musyawarah dari berbagai Nagari & Luhak. Dilihat dari kontinuitas sejarah, kerajaan Pagaruyung merupaken semacam perubahan sistem administrasi semata bagi masyarakat setempat [Suku Minang].
Pengaruh Islam di Pagaruyung
Perkembangan agama Islam sesudah akhir abad ke-14 sedikit banyaknya memberi pengaruh terutama yg berkaitan dengan sistem patrialineal, & memberikan fenomena yg relatif baru pada masyarakat di pedalaman Minangkabau. Pada awal abad ke-16, Suma Oriental yg ditulis antara tahun 1513 and 1515, mencatat dari ke-tiga raja Minangkabau, hanya satu yg telah menjadi muslim sejak 15 tahun sebelumnya. Pengaruh Islam di Pagaruyung berkembang kira-kira pada abad ke-16, yaitu melalui para musafir & guru agama yg singgah atau datang dari Aceh & Malaka. Salah satu murid ulama Aceh yg terkenal Syaikh Abdurrauf Singkil [Tengku Syiah Kuala], yaitu Syaikh Burhanuddin Ulakan, ialah ulama yg dianggap pertama-tama menyebarkan agama Islam di Pagaruyung. Pada abad ke-17, Kerajaan Pagaruyung akhirnya berubah menjadi kesultanan Islam. Raja Islam yg pertama dlm tambo adat Minangkabau disebutkan bernama Sultan Alif. Dengan masuknya agama Islam, maka aturan adat yg bertentangan dengan ajaran agama Islam mulai dihilangkan & hal-hal yg pokok dlm adat diganti dengan aturan agama Islam. Pepatah adat Minangkabau yg terkenal: “Adat basandi syarak, syarak basandi Kitabullah”, yg artinya adat Minangkabau bersendikan pada agama Islam, sedangkan agama Islam bersendikan pada Al-Quran. Namun dlm beberapa hal masih ada beberapa sistem & cara-cara adat masih dipertahankan & inilah yg mendorong pecahnya perang saudara yg dikenal dengan nama Perang Padri yg pada awalnya antara Kaum Padri [ulama] dengan Kaum Adat, sebelum Belanda melibatkan diri dlm peperangan ini.
Islam juga membawa pengaruh pada sistem pemerintahan kerajaaan Pagaruyung dengan ditambahnya unsur pemerintahan seperti Tuan Kadi & beberapa istilah lain yg berhubungan dengan Islam. Penamaan negari Sumpur Kudus yg mengandung kata kudus yg berasal dari kata Quduus [suci] sebagai tempat kedudukan Rajo Ibadat & Limo Kaum yg mengandung kata qaum jelas merupaken pengaruh dari bahasa Arab atau Islam. Selain itu dlm perangkat adat juga muncul istilah Imam, Katik [Khatib], Bila [Bilal], Malin [Mu’alim] yg merupaken pengganti dari istilah-istilah yg berbau Hindu & Buddha yg dipakai sebelumnya misalnya istilah Pandito [pendeta].
Hubungan dengan Belanda & Inggris
Pada awal abad ke-17, kerajaan ini terpaksa harus mengakui kedaulatan kesultanan Aceh, & mengakui para gubernur Aceh yg ditunjuk untuk daerah pesisir pantai barat Sumatera. Namun sekitar tahun 1665, masyarakat Minang di pesisir pantai barat bangkit & memberontak terhadap gubernur Aceh. Dari surat penguasa Minangkabau yg menyebut dirinya Raja Pagaruyung mengajukan permohonan kepada VOC, & VOC waktu itu mengambil kesempatan sekaligus untuk menghentikan monopoli Aceh atas emas & lada. Selanjutnya VOC melalui seorang regent-nya di Padang, Jacob Pits yg daerah kekuasaannya meliputi dari Kotawan di selatan sampai ke Barus di utara Padang mengirimkan surat tanggal 9 Oktober 1668 ditujukan kepada Sultan Ahmadsyah, Iskandar Zur-Karnain, Penguasa Minangkabau yg kaya akan emas serta memberitahukan bahwa VOC telah menguasai kawasan pantai pesisir barat sehingga perdagangan emas dapat dialirkan kembali pada pesisir pantai. Menurut catatan Belanda, Sultan Ahmadsyah meninggal dunia tahun 1674 & digantikan oleh anaknya yg bernama Sultan Indermasyah.
Ketika VOC berhasil mengusir Kesultanan Aceh dari pesisir Sumatera Barat tahun 1666, melemahlah pengaruh Aceh pada Pagaruyung. Hubungan antara daerah-daerah rantau & pesisir dengan pusat Kerajaan Pagaruyung menjadi erat kembali. Saat itu Pagaruyung merupaken salah satu pusat perdagangan di pulau Sumatera, disebabkan adanya produksi emas di sana. Demikianlah hal tersebut menarik perhatian Belanda & Inggris untuk menjalin hubungan dengan Pagaruyung. Terdapat catatan bahwa tahun 1684, seorang Portugis bernama Tomas Dias melakukan kunjungan ke Pagaruyung atas perintah gubernur jenderal Belanda di Malaka.
Sekitar tahun 1750 kerajaan Pagaruyung mulai tak menyukai keberadaan VOC di Padang & pernah berusaha membujuk Inggris yg berada di Bengkulu, bersekutu untuk mengusir Belanda walaupun tak ditanggapi oleh pihak Inggris. Namun pada tahun 1781 Inggris berhasil menguasai Padang untuk sementara waktu, & waktu itu datang utusan dari Pagaruyung memberikan ucapan selamat atas keberhasilan Inggris mengusir Belanda dari Padang. Menurut Marsden tanah Minangkabau sejak lama dianggap terkaya dengan emas, & waktu itu kekuasaan raja Minangkabau disebutnya sudah terbagi atas raja Suruaso & raja Sungai Tarab dengan kekuasaan yg sama. Sebelumnya pada tahun 1732, regent VOC di Padang telah mencatat bahwa ada seorang ratu bernama Yang Dipertuan Puti Jamilan telah mengirimkan tombak & pedang berbahan emas, sebagai tanda pengukuhan dirinya sebagai penguasa bumi emas. Walaupun kemudian sesudah pihak Belanda maupun Inggris berhasil mencapai kawasan pedalaman Minangkabau, namun mereka belum pernah menemukan cadangan emas yg signifikan dari kawasan tersebut.
Sebagai akibat konflik antara Inggris & Perancis dlm Perang Napoleon di mana Belanda ada di pihak Perancis, maka Inggris memerangi Belanda & kembali berhasil menguasai pantai barat Sumatera Barat antara tahun 1795 sampai dengan tahun 1819. Thomas Stamford Raffles mengunjungi Pagaruyung pada tahun 1818, yg sudah mulai dilanda peperangan antara kaum Padri & kaum Adat. Saat itu Raffles menemukan bahwa ibukota kerajaan mengalami pembakaran akibat peperangan yg terjadi. Setelah terjadi perdamaian antara Inggris & Belanda pada tahun 1814, maka Belanda kembali memasuki Padang pada bulan Mei tahun 1819. Belanda memastikan kembali pengaruhnya di pulau Sumatera & Pagaruyung, dengan ditanda-tanganinya Traktat London pada tahun 1824 dengan Inggris.
Runtuhnya Pagaruyung
Kekuasaan raja Pagaruyung sudah sangat lemah pada saat-saat menjelang perang Padri, meskipun raja masih tetap dihormati. Daerah-daerah di pesisir barat jatuh ke dlm pengaruh Aceh, sedangkan Inderapura di pesisir selatan praktis menjadi kerajaan merdeka meskipun resminya masih tunduk pada raja Pagaruyung.
Pada awal abad ke-19 pecah konflik antara kaum Padri & kaum Adat. Dalam beberapa perundingan tak ada kata sepakat antara mereka. Seiring itu dibeberapa negeri dlm kerajaan Pagaruyung bergejolak, & puncaknya kaum Padri dibawah pimpinan Tuanku Pasaman menyerang Pagaruyung pada tahun 1815. Sultan Arifin Muningsyah terpaksa menyingkir & melarikan diri dari ibukota kerajaan ke Lubukjambi.
Karena terdesak kaum Padri, keluarga kerajaan Pagaruyung meminta bantuan kepada Belanda, & sebelumnya mereka telah melakukan diplomasi dengan Inggris sewaktu Raffles mengunjungi Pagaruyung serta menjanjikan bantuan kepada mereka. Pada tanggal 10 Februari 1821 Sultan Tangkal Alam Bagagar, yaitu kemenakan dari Sultan Arifin Muningsyah yg berada di Padang, beserta 19 orang pemuka adat lainnya menandatangani perjanjian dengan Belanda untuk bekerjasama dlm melawan kaum Padri. Walaupun sebetulnya Sultan Tangkal Alam Bagagar waktu itu dianggap tak berhak membuat perjanjian dengan mengatasnamakan kerajaan Pagaruyung. Akibat dari perjanjian ini, Belanda menjadikannya sebagai tanda penyerahan kerajaan Pagaruyung kepada pemerintah Belanda. Kemudian sesudah Belanda berhasil merebut Pagaruyung dari kaum Padri, pada tahun 1824 atas permintaan Letnan Kolonel Raaff, Yang Dipertuan Pagaruyung Raja Alam Muningsyah kembali ke Pagaruyung, namun pada tahun 1825 Sultan Arifin Muningsyah raja terakhir Minangkabau ini wafat & kemudian dimakamkan di Pagaruyung.
Sementara Sultan Tangkal Alam Bagagar pada sisi lain ingin diakui sebagai Raja Pagaruyung, namun pemerintah Hindia-Belanda dari awal telah membatasi kewenangannya & hanya mengangkatnya sebagai Regent Tanah Datar. Kemungkinan karena kebijakan tersebut menimbulkan dorongan pada Sultan Tangkal Alam Bagagar untuk mulai memikirkan bagaimana mengusir Belanda dari negerinya.
Setelah menyelesaikan Perang Diponegoro di Jawa, Belanda kemudian berusaha menaklukkan kaum Padri dengan kiriman tentara dari Jawa, Madura, Bugis & Ambon. Namun ambisi kolonial Belanda tampaknya membuat kaum adat & kaum Padri berusaha melupakan perbedaan mereka & bersekutu secara rahasia untuk mengusir Belanda. Pada tanggal 2 Mei 1833 Sultan Tangkal Alam Bagagar ditangkap oleh Letnan Kolonel Elout di Batusangkar atas tuduhan pengkhianatan. Ia dibuang ke Batavia [Jakarta sekarang] sampai akhir hayatnya, & dimakamkan di pekuburan Mangga Dua.
Setelah kejatuhannya, pengaruh & prestise kerajaan Pagaruyung tetap tinggi terutama pada kalangan masyarakat Minangkabau yg berada di rantau. Salah satu ahli waris kerajaan Pagaruyung diundang untuk menjadi penguasa di Kuantan. Begitu juga sewaktu Raffles masih bertugas di Semenanjung Malaya, dia berjumpa dengan kerabat Pagaruyung yg berada di Negeri Sembilan, & Raffles bermaksud mengangkat Yang Dipertuan Ali Alamsyah yg dianggapnya masih keturunan langsung raja Minangkabau sebagai raja di bawah perlindungan Inggris. Sementara sesudah berakhirnya Perang Padri, Tuan Gadang di Batipuh meminta pemerintah Hindia-Belanda untuk memberikan kedudukan yg lebih tinggi dari pada sekedar Regent Tanah Datar yg dipegangnya sesudah menggantikan Sultan Tangkal Alam Bagagar, namun permintaan ini ditolak oleh Belanda, hal ini nantinya termasuk salah satu pendorong pecahnya pemberontakan tahun 1841 di Batipuh selain masalah cultuurstelsel.
Choose EmoticonEmoticon