BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Nama dinasti Abbasiyah diambil dari nama seorang dari paman Nabi SAW yang bernama al-Abbas ibn Abd al-Muthallib ibn Hasyim. Ia seorang pribadi yang tangguh dan memegang peranan penting dalam berdirinya Abbasiyah, sekaligus menjadi kholifah pertama pada dinasti ini.
Meskipun pada awal berdirinya dinasti ini tampak jelas adanya berbagai pembantaian yang mana guna memperkokoh dan menyetabilkan pemerintahan, masa-masa keemasan dalam bidang ilmu pengetahuan khususnya muncul berbagai aliran dan mazhab dan lain sebagainya juga mendominasi dalam masa daulah ini. Meskipun pada akhirnya mengalami masa kehancuran juga seperti pada masa Bani Umayyah.
Bani Abbasiyah berhasil memegang kekuasaankekhalifahan selama tiga abad, mengkonsolidasikan kembali kepemimpinan gayaIslam dan menyuburkan ilmu pengetahuan dan pengembangan budaya Timur Tengah. Tetapi pada tahun 940 kekuatan kekhalifahan menyusut ketika orang-orang non-Arab, khususnya orangTurki (dan kemudian diikuti oleh orang Mamluk diMesir pada pertengahan abad ke-13), mulai mendapatkan pengaruh dan mulai memisahkan diri dari kekhalifahan.
Meskipun begitu, kekhalifahan tetap bertahan sebagai simbol yang menyatukan dunia Islam. Pada masa pemerintahannya, Bani Abbasiyah mengklaim bahwa dinasti mereka tak dapat disaingi. Namun kemudian, Said bin Husain, seorang muslim Syiah dari dinasti Fatimiyyahyang mengaku bahwa anak perempuannya adalah keturunan Nabi Muhammad, mengklaim dirinya sebagai Khalifah pada tahun 909, sehingga timbul kekuasaan ganda di daerahAfrika Utara. Pada awalnya ia hanya menguasaiMaroko, Aljazair, Tunisia dan Libya. Namun kemudian, ia mulai memperluas daerah kekuasaannya sampai ke Mesir dan Palestina, sebelum akhirnya Bani Abbasyiah berhasil merebut kembali daerah yang sebelumnya telah mereka kuasai, dan hanya menyisakan Mesir sebagai daerah kekuasaan Bani Fatimiyyah. Dinasti Fatimiyyah kemudian runtuh pada tahun1171. Sedangkan Bani Umayyah bisa bertahan dan terus memimpin komunitas Muslim diSpanyol, kemudian mereka mengklaim kembali gelar Khalifah pada tahun 929, sampai akhirnya dijatuhkan kembali pada tahun 1031. Dalam kurun waktu yang cukup panjang itulah yang kemudian memberikan kesempatan kepada para khalifah untuk menata kepemimpinan dan kekhalifahan mereka, sehingga pada pembahasan makalah ini penulis juga akan menjelaskan kemajuan pemerintahan dan politik pada masa khalifah Bani Abbasiyah.
1.2 Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas maka pemakalah dapat mengambil rumusan masalah yang akan dibatasi dan dibahas menurut pembagian di bawah ini :
1. Bagaimanakah proses munculnya Dinasti Abbasiyah?
2. Bagaimanakah Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara Bani Abbasiyah?
BAB II
PEMBAHASAN
II.1 Berdirinya Dinasti Abasiyah
Daulat Bani Abbasiyah adalah sebuah negara yang melanjutkan kekuasaan bani Umayyah. Dinamakan daulat bani Abbasiah karena para pendiri dan penguasa dinasti ini adalah keturunan Al-Abbas paman Nabi Muhammad SAW. Pendiri dinasti ini adalah Abdullah Al-Safah bin Muhammad bin Ali bin Abdullah bin Al-Abbas. Dia dilahirkan di Humaimah pada tahun 104 H. Dia dilantik menjadi Khalifah pada tanggal 3 Rabiul awwal 132 H. Kekuasaan Dinasti Bani Abbasiyah berlangsung dari tahun 750-1258 M.[1]
Sejarah peralihan kekuasaan dari Daulat Bani Umayyah kepada Daulat Bani Abbas bermula ketika Bani Hasyim menuntut kepemimpinan Islam berada di tangan mereka, karena, mereka adalah keluarga nabi yang terdekat. Tuntutan itu sebenarnya telah ada ketika wafatnya Rosullalalh. Tetapi tuntutan itu baru mengkristal (mengeras) ketika Bani Umayyah naik tahta dengan mngalahkan Ali bin Abi Thalib. Bani Hasyim yang menuntut kepemimpinan Islam itu paling tidak dapat digolongkan menjadi dua golongan besar.Pertama golongan ‘Alawi, keturunan Ali bin abi Thalib. Mereka ini dapat dibagi menjadi dua golongan yaitu: pertama keturunan dari Fatimah, dan yang kedua keturunan dariMuhammad bin Al-Hanafiyah. Dan yang kedua adalah golongan Abbasiyah (Bani Abbasiyah), keturunan Al-Abbas paman Nabi tersebut. Perbedaan dari kedua golongan tersebut, paling tidak golongan Abbasiyah lebih mementingkan kemampuan politik yang lebih besar daripada golongan ‘Alawi.
Pada abad ketujuh terjadi pemberontakan diseluruh negeri. Pemberontakan yang paling dahsyat dan merupakan puncak dari segala pemberontakan yakni perang antara pasukan Abbul Abbas melawan pasukan Marwan ibn Muhammad (Dinasti Bani Umayyah). Yang akhirnya dimenangkan oleh pasukan Abbul Abbas. Dengan jatuhnya negeri Syiria, berakhirlah riwayat Dinasti Bani Umayyah dan bersama dengan itu bangkitlah kekuasaan Abbasiyah. Dari sini dapat diketahui bahwa bangkitnya Daulah Abbasiyah bukan saja pergantian Dinasti akan tetapi lebih dari itu adalah penggantian struktur sosial dan ideologi. Sehingga dapat dikatakan kebangkitan Daulah Bani Abbasiyah merupakan suatu revolusi. Menurut Crane Brinton dalam Mudzhar (1998:84), ada 4 ciri yang menjadi identitas revolusi yaitu :
Bahwa pada masa sebelum revolusi ideologi yang berkuasa mendapat kritik keras dari masyarakat disebabkan kekecewaan penderitaan masyarakat yang di sebabkan ketimpangan-ketimpangan dari ideologi yang berkuasa itu.Mekanisme pemerintahannya tidak efesien karena kelalaiannya menyesuaikan lembaga-lembaga sosial yang ada dengan perkembangan keadaan dan tuntutan zaman.Terjadinya penyeberangan kaum intelektual dari mendukung ideologi yang berkuasa pada wawasan baru yang ditawarkan oleh para kritikus.Revolusi itu pada umumnya bukan hanya di pelopori dan digerakkan oleh orang-orang lemah dan kaum bawahan, melainkan dilakukan oleh para penguasa oleh karena hal- hal tertentu yang merasa tidak puas dengan sistem yang ada .[2]
Sebelum daulah Bani Abbasiyah berdiri, terdapat 3 tempat yang menjadi pusat kegiatan kelompok Bani Abbas, antara satu dengan yang lain mempunyai kedudukan tersendiri dalam memainkan peranannya untuk menegakkan kekuasaan keluarga besar paman nabi SAW yaitu Abbas Abdul Mutholib (dari namanya Dinasti itu disandarkan). Tiga tempat itu adalah Humaimah, Kufah dan Khurasan. Humaimah merupakan kota kecil tempat keluarga Bani Hasyim bermukim, baik dari kalangan pendukung Ali maupun pendukung keluarga Abbas. Humaimah terletak berdekatan dengan Damsyik. Kufah merupakan kota yang penduduknya menganut aliran Syi‘ah pendukung Ali bin Abi Tholib. Ia bermusuhan secara terang-terangan dengan golongan Bani Umayyah. Demikian pula dengan Khurasan, kota yang penduduknya mendukung Bani Hasyim. Ia mempunyai warga yang bertemperamen pemberani, kuat fisiknya, tegap tinggi, teguh pendirian tidak mudah terpengaruh nafsu dan tidak mudah bingung dengan kepercayaan yang menyimpang. Disinilah diharapkan dakwah kaum Abbassiyah mendapatkan dukungan.
Di bawah pimpinan Muhammad bin Ali al-Abbasy, gerakan Bani Abbas dilakukan dalam dua fase yaitu : 1) fase sangat rahasia; dan 2) fase terang-terangan dan pertempuran (Hasjmy, 1993:211).
Selama Imam Muhammad masih hidup gerakan dilakukan sangat rahasia. Propaganda dikirim keseluruh pelosok negara, dan mendapat pengikut yang banyak, terutama dari golongan yang merasa tertindas, bahkan juga dari golongan yang pada mulanya mendukung Bani Umayyah. Setelah Muhammad meninggal dan diganti oleh anaknya Ibrahim, maka seorang pemuda Persia yang gagah berani dan cerdas bernama Abu Muslim al-Khusarany, bergabung dalam gerakan rahasia ini. Semenjak itu dimulailah gerakan dengan cara terang-terangan, kemudian cara pertempuran. Akhirnya bulan Zulhijjah 132 H Marwan, Khalifah Bani Umayyah terakhir terbunuh di Fusthath, Mesir. Kemudian Daulah bani Abbasiyah resmi berdiri.
Propaganda Abbasiyah ketika Umar bin Abdul Aziz menjadi kholifah daulat Bani Umaiyah. Umar memimpin dengan adil, ketentraman dan kestabilan negara memberikan kesempatan kepada gerakan Abbasiyah untuk menyusun dan merencanakan gerakanya yang berpusat di al-Humaimah sebagai pusat perencanaan dan organisasi. Kuffah sebagai pusat penghubung, dan Khurasan sebagai pusat gerakan praktis. Muhammad meninggal pada tahun 125 H dan digantikan oleh anaknya yang bernama Ibrahim al-Imam. Panglima perangnya dipilih seorang panglima yang kuat. Asal nama Khurasan ini berasal dari nama Abu Muslim Al-Khurasani. Abu Muslim berhasil merebut Khurasan dan kemudian menyusul kemenangan demi kemenangan. Di awal tahun 132 H H Ibrahim al-Imam tertangkap oleh pemerintah daulat Bani Umayyah dan dipenjara sampai meninggal. Dia digantikan oleh saudaranya Abu al-Abbas. Tidak lama setelah itu balatentara Abbasiyah dan Bani Umaiyyah bertemu di dekat sungai Zab bagian atas. Dalam pertempuran itu Bani Abbas mendapat kemenangan, dan balatentaranya terus ke negeri Syiria dan kota demi kota dapat dikuasainya, sehingga kemenangan dapat dikatakan sempurna. Sejak itulah Daulat Abbasiyah berdiri dengan kholifahnya Abu al-Abbas al-Asaffah. Daulat ini berlangsung hingga tahun 656 H/1258 M. Masa yang panjang itu dilaluinya tidak dengan pola pemerintahan yang satu dan sama. Pola pemerintahanya berubah sesuai dengan perubhan politik, budaya, sosial dan penguasa.
Ketika kekholifahan dipegang oleh Umar ibn abd al Aziz, rival-rival politiknya mulai menyusun kekuatan termasuk dari golongan Abbas. Tetapi ia tidak menyebutkan diri sebagai keluasrga Abbas, namun menggunakan Jargon dan symbol Bani Hasyim. Puncaknya , dalam peperangan di Dzab II gerakan Abbasiyah mencapi hasil dengan mengalahkan kholifah Marwan II. Dan al-Abbas (al-Saffah) mendeklarasikan dirinya sebagai kholifah pertama. Usahanya dalam menyetabilkan pemerintahan adalah dengan membasmi rival-rivalnya dan membunuh tokoh-tokoh Umayah. Sebelum wafat ia mengangkat saudaranya, Abu JA’far (al-Manshur) sebagai penggantinya.
Pada masa al-Saffah, pusat pemerintahan berada di anmbar dengan istana negaranya al-Hayimiyah. Setelah al-Manshur menjadi kholifah, ibu kota dipindah ke Baghdad dengan nama Da al-Salam agar lebih aman. Beliau dan saudaranya, al-Saffah dikenal sebagai pembunuh masal. Bahkan Abu Muslim al-Khurasani sendiri dibunuh atas perintah al-Manshur karena dikhawatirkan akan menjadi pesaing baginya, dihukum mati pada tahun 755 M.[3] Pada masanya dalam bidang politik, negara cukup setabil dan maju, setelah ia memadamkan api pemberontakan termasuk gerakan Ustadis di Herat yang menyatakan dirinya sebagai nabi, menguasai Khurasan dan Sizistan yang sangat luas.
Berbagai ekspansi-ekspansi yang dilakukan diantaranya adalah merebut benteng-benteng Asia, Kota Malatia, wilayah Coppacodia, dan Cicillia terus ke Utara melintasi pegunungan Taurus dan mendekati selat Bosporus. Setelah Manshur wafat (775 M), Mahdi menjadi kholifah, populer bersikap llunak terhadap rival politiknya, lebih dermawan, dan lebih berperan dalam pembelaan Islam. Periodenya identik dengan negra yg aman dan kekayaan negara bertambah. Bahakan kelompok mawali (non Islam) yang semula dari budak selanjutnya telah dimerdekan.
Sebelum wafat, Mahdi menunjuk dua putranya sebagai pewaris kerajaan, Hadi, dan Harun. Ketika kepepimpinan dipegang Hadi, praktik kekhalifahan kembali keras. Ia tidak lagi menghargai mawali yang menjadi tulang punggung saat revolusi dan berdirinnya Abbasiyah. Setelah ia wafat digantikan oleh saudaranya, Harun Ar Rasyid yang mana dibaiat oleh penduduknya menjadi khalifah. Periodenya identik dengan Islam memasuki “The Golden Age of Islam”.[4] Kesejahteraan social, kesehatan, pendidikan, ilmu engetahuan dan kebudayaan serta kesusastraan berada pada zaman keemasannya. Dan dari sinilah mulai muncul berbagai madzhab (Imam Abu Hanifah dan Malikiyah) karena pada masa kepemimpinannya mereka sangat dihargai tidak seperti pada masa sebelumnya d imana mereka dipenjara dan diasingkan.
Abu Hanifah ialah seorang ahli di bidang hukum. Meski ia tidak terlibat langsung dalam pembuatan keputusan-keputusan paradilan bahkan ia sendiri tidak menulis karya-karya mengenai hokum. Tetapi ajarannya dilestarikan oleh para pengikutnya terutama Abu Yusuf dan Asy Syaibani. Karena kecakapan intelektualnya dan pendapat-pendapatnya yang masuk akal, ia memperoleh perhatian istana khalifah dan ditunjuk sebagai qadhi di Baghdad. Bahkan Harun memberikan gelar kepadanya “qadhil qudat” (hakim agung). Seperti Abu Hanifah, Imam Malik juga seorang ahli hukum dan mendapat perlakuan dengan hormat oleh khalifah Al Mahdi dan Harun. Bedanya, ia seorang fuqaha yang bergerak di Madinah, sedangkan Hanifah di Kufah dan Baghdad. Karya utama yang dihasilkan oleh Imam Malik adalah Al Muwatta’.
Setelah Harun wafat (809 M) sesuai wasiatnya, Amin diangkat menjadi khalifah sedangkan Ma’mun sebagai penguasa di Khurasan yang mengakui kedaulatan Amin sebagi khalifah yang sah. Awalnya merka rukun, tetapi akhirnya menjadi konflik dan perang saudara antara Amin dan Ma’mun dan dimenangkan oleh Ma’mun. dari sinilah terdapat perubahan besar atau era baru dalam sejarah. Khalifah baru tidak seperti pendhulunya yang suka berfoya-foya, hidup mewah, pemalas. Ia sangat mencintai ilmu, ilmuwan dan kemajuannya seperti ayahnya, Harun Al Rasyid. Dan ia menyerahkan tugas negara kepada wazir dan fadhal, sedang ia pergi ke Merv dan di sana ia tenggelam dalam keasikan ilmu pengetahuan dengan para cendekiawan dan filosof.
Akan tetapi mereka dalam menjalankan kenegaraan, tidak seperti yang diharapkan oleh Ma’mun. Kemewahan, hidup foya-foya, suka wanita, kekerasan, penyiksaan menjadi corak kepemimpinannya. Bahkan fadhal muali menyiksa para pengikut Imam Ali Reza (menantu Ma’mun). mereka dibunuh dan ada yang dipenjarakan. Penyiksaan dan kelaliman fadhan tidak bertahan lama, beberapa orang pengikutnya dari Persia marah dan akhirnya membunuhnya. Tahun berikutnya, Ma’mun kembali ke Baghdad dan menguasai politik. Salah satu karya besarnya adalah pembangunan Bait Al Hikmah, pusat penerjemahan yang berfungsi sebagi perguruan tinggi dan perpustakaan yang besar Ia juga meresmikan Mu’tazilah sebagai faham.
Abu Ishaq Muhammad (Al Mu’tasim bi Allah), khalifah berikutnya, memberi peluang besar kepada orang-orang Turki untuk masuk dalam pemerintahan,. Keterlibatan mereka dimulai sebagai tentara pengawal. Tidak seperti pada masa Umayah, Dinasti Abbasiyah mengadakan perubahan system ketentaraan. Praktek orang muslim mengikuti perang sudah berhenti. Tentara dibina secara khusus menjadai prajurit-prajurit professional.
Di sisi lain dalam bidang ilmu pengetahuan, tidak lagi menjadi sesuatu yang menonjol. Setelah Al Ma’mun wafat, Ahmad ibn Hanbal mendekam dipenjara karena tidak mengakui Mu’tasim sebagai khalifah, di disiksa dan kemudian dilepaskan. Mulai saat itu dan sampai berakhirnya pemerintahan Mu’tasim, beliau beliau tidak memberikan kuliah, kadang-kadang karena dilarang dan kadang-kdang karena dianggapnya tidak aman.[5]
Pada pemerintahan harun ibn Mu’tasim (Wathiq bi Allah), mulai muncul Amir Al Imarah. Jumalah mereka makin lama makin bertambah, menyebabkan tahun-tahun ke depan sejarak Abbasiyah identik dengan sejarah tentara Turki. Sampai pada khalifah Mutawakkil yang merupakan awal kemunduran politik Bani Abbas. Turki dapat merebut kekuasaan dengan cepat. Setelah Mutawakkil wafat, Turkilah yang memilih dan mengangkat khalifah dan terus sampai jajaran-jajaran khalifah di bawahnya. Dengan demikian kekuasaan tidak lagi berada di tangan Abbas, meskipun mereka tetap memegang jabatan khalifah.
Berdasarkan pola dan perubahan poiltiknya, para sejarawa membagi daulat Abbasiyah menjadi lima periode:
Periode pertama (132 H/ 750 M-232H/847 M)
Periode ini disebut juga sebagai periode pengaruh Persia yang pertama.
Periode kedua (232 H847 N-334 H-945 M)
Periode ini disebut juga masa pengaruh Turki yang pertama. Pada periode ini memang ada pemberontakan, seperti pemberontakan Zane di dataran rendah Irak Selatan dan pemberontakan Qoramitha yang berpusat di Bahrain. Tetapi bukan itu yang menybabkan gagalnya tewujudnya kesatuan politik daulat Abbasiyah.
Periode ketiga (334 H/945 M-447 H-1055 M)
Pada periode ini daulat bani Abbsaiyah di bawah pemerintahan bani Buwaih. Keadaan kholifah lebih buruk dari pada masa sebelumnya, terutama karena bani Buwaih merupakan penganut aliran syi’ah. Kholifah tidak lebih seperti pegawai yang diperintah dan diberi gaji. Bani Buwaih membagi kekuasaanya kepada tiga bersaudara. Ali wilayah bagian selatan negeri Persia, Hasan wilayah bagian utara, dan Ahmad wilayah Al-ahwaz, Wasith dan baghdad. Dengan demikian Baghdad pada periode ini tidak lagi merupakan pusat pemerintahan Islam, yang mana pusat pemerintahan Islam pindah di Syiriaz di tempat Ali Ibn Buwaih yang memiliki kekuasaan umum daulat Bani Abbasiyah. Pada zaman bani Buwaih berkuasa di Baghdad, telah terjadi beberapa kerusuhan antara aliran Ahl Al-Sunnah dan Syi’ah, pemberontakan negara dan lainya.
Periode keempat (447 H/1055M-590 H/1199 M)
Periode ini ditandai dengan kekuasaan bani Saljuk atas daulat Abbasiyah. Kehadiran bani Saljuk ini adalah “undangan” kholifah untuk melumpuhkan kekuatan bani Buwaih di Baghdad. Keadaan kholifah memang membaik, paling tidak kewibawaanya dalam bidang agama kembali, setelah sempat beberapa lama “dirampas” orang-orang Syi’ah. Pusat kekuasaan Islan pada periode ini tidak di Bagdad. Mereka membagi wilayah kekuasaanya menjadi beberapa propinsi dengan seorang Gubernur untuk masing-masing wilayah tersebut. Pada masa pusat kekuasaanya melemah, setiap propinsinya memerdekakan diri, konflik dan peperangan antar mereka sendiri, dan sedikit demi sedikit kekuasaan kholifah kembali, terutama untuk negeri Irak. Kekuasaan mereka berakhir di Irak di tangan Khawariz Syah pada tahun 590 H/1199M.
Periode kelima (590H/1199 M-656 H/1258 M)
Pada periode ini dinasti Abbasiyah tidak berada di bawah dinasti tertentu. Bani Abbas kembali berkuasa, akan tetapi hanya di Bagdad. Wilayah kekuasaan kholifah sangat kecil dan kekuatan politiknya sangat lemah. Pada masa inilah kekuasaan Mongol dan Tatar di bawah pimpinan Hulahu Khan menghancur-luluhkan daulat Abbasiyah dan tanpa ada perlawanan.[6]
II.2 Sistem Pemerintahan, Politik dan Bentuk Negara
Pada zaman Abbasiyah konsep kekhalifahan berkembang sebagai sistem politik. Menurut pandangan para pemimpin Bani Abbasiyah, kedaulatan yang ada pada pemerintahan (Khalifah) adalah berasal dari Allah, bukan dari rakyat sebagaimana diaplikasikan oleh Abu Bakar dan Umar pada zaman khalifahurrasyidin. Hal ini dapat dilihat dengan perkataan Khalifah Al-Mansur “Saya adalah sultan Tuhan diatas buminya “. Pada zaman Dinasti Bani Abbasiyah, pola pemerintahan yang diterapkan berbedabeda sesuai dengan perubahan politik, sosial, ekonomi dan budaya. Sistem politik yang dijalankan oleh Daulah Bani Abbasiyah I antara lain :
Para Khalifah tetap dari keturunan Arab, sedang para menteri, panglima, Gubernur dan para pegawai lainnya dipilih dari keturunan Persia dan mawali.Kota Baghdad digunakan sebagai ibu kota negara, yang menjadi pusat kegiatan politik, ekonomi sosial dan kebudayaan.Ilmu pengetahuan dipandang sebagai suatu yang sangat penting dan mulia .Kebebasan berfikir sebagai HAM diakui sepenuhnya .Para menteri turunan Persia diberi kekuasaan penuh untuk menjalankan tugasnya dalam pemerintah (Hasjmy, 1993:213-214).
Selanjutnya periode II , III , IV, kekuasaan Politik Abbasiyah sudah mengalami penurunan, terutama kekuasaan politik sentral. Hal ini dikarenakan negara-negara bagian (kerajaan-kerajaan kecil) sudah tidak menghiraukan pemerintah pusat , kecuali pengakuan politik saja . Panglima di daerah sudah berkuasa di daerahnya ,dan mereka telah mendirikan atau membentuk pemerintahan sendiri misalnya saja munculnya Daulah-Daulah kecil, contoh; daulah Bani Umayyah di Andalusia atau Spanyol, Daulah Fatimiyah . Pada masa awal berdirinya Daulah Abbasiyah ada 2 tindakan yang dilakukan oleh para Khalifah Daulah Bani Abbasiyah untuk mengamankan dan mempertahankan dari kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan yaitu : pertama, tindakan keras terhadap Bani Umayah . dan kedua pengutamaan orang-orang turunan persi.[7]
Dalam menjalankan pemerintahan, Khalifah Bani Abbasiyah pada waktu itu dibantu oleh seorangwazir (perdana mentri) atau yang jabatanya disebut dengan wizaraat. Sedangkan wizaraat itu dibagi lagi menjadi 2 yaitu: 1) Wizaraat Tanfiz(sistem pemerintahan presidentil ) yaitu wazir hanya sebagai pembantu Khalifah dan bekerja atas nama Khalifah. 2) Wizaaratut Tafwidl(parlemen kabimet). Wazirnya berkuasa penuh untuk memimpin pemerintahan . Sedangkan Khalifah sebagai lambang saja . Pada kasus lainnya fungsi Khalifah sebagai pengukuh Dinasti-Dinasti lokal sebagai gubernurnya Khalifah (Lapidus,1999:180). Selain itu, untuk membantu Khalifah dalam menjalankan tata usaha negara diadakan sebuah dewan yang bernama diwanul kitaabah (sekretariat negara) yang dipimpin oleh seorang raisul kuttab (sekretaris negara). Dan dalam menjalankan pemerintahan negara, wazirdibantu beberapa raisul diwan (menteri departemen-departemen). Tata usaha negara bersifat sentralistik yang dinamakan an-nidhamul idary al-markazy.
Selain itu, dalam zaman daulah Abbassiyah juga didirikan angkatan perang, amirul umara, baitul maal, organisasi kehakiman., Selama Dinasti ini berkuasa, pola
pemerintahan yang diterapkan berbeda-beda sesuai dengan perubahan politik, sosial,
ekonomi dan budaya.[8]
II.3 Perkembangan Pemerintahan dan Politik
Selama dinasti ini berkuasa pola pemerintahan yang diterapkan itu berbeda – beda sesuai dengan perubahan politik, sosial, dan budaya. Berdasarakan perubahan pola pemerintahan dan politik, para sejarawan biasa membagi masa pemerintahan bani Abbasiyah ke dalam lima periode, yaitu:
Periode Pertama (132 H/750 M – 232 H/847 M), disebut periode pengaruh Arabdan Persia pertama.Periode Kedua (232 H/847 M – 334 H/945 M), disebut periode pengaruh Turkipertama.Periode Ketiga (334 H/945 M – 447 H/1055 M), masa kekuasaan dinasti Bani Buwaihdalam pemerintahan khilafah Abbasiyah. Periode ini disebut juga masa pengaruh Persia kedua.Periode Keempat (447 H/1055 M – 590 H/l194 M), masa kekuasaan daulah Bani Seljukdalam pemerintahan khilafah Abbasiyah; biasanya disebut juga dengan masa pengaruh Turki kedua (di bawah kendali) Kesultanan Seljuk Raya (salajiqah al-Kubra/Seljuk agung).Periode Kelima (590 H/1194 M – 656 H/1258 M), masa khalifah bebas dari pengaruh dinasti lain, tetapi kekuasaannya hanya efektif di sekitar kota Baghdad dan diakhiri oleh invasi dari bangsa Mongol.
Untuk mempertahankan diri dari berbagai kemungkinan adanya gangguan atau timbulnya pemberontakan, maka para Khalifah dinastiAbbasiyah mengambil beberapa kebijaksanaan politik dalam negerinya, yaitu:
Kebijaksanaan politik terhadap Bani Umayyah
Untuk menjaga agar tidak terjadi pemberontakan dari kalangan Bani Umayyah yang bermaksud mengambil kembali kekuasaan dari pemerintahan dinasti Abbasiyah, maka para khalifah Abbasiyah mengambil suatu tindakan terhadap para pendukung dan keluarga Bani Umayyah yang masih tersisa. Kebijaksanaan itu menyebabkan banyak diantara penduduk dan keluarga Bani Umayyah melarikan diri ke wilayah Andalusia, Afrika, dll. Di tempat pelarian itu mereka mendirikan pemerintahan baru sebagai tandingan kekuasaan pemerintahan Dinasti Abbasiyah di Baghdad.
Kebijaksanaan politik terhadap orang – orang Persia
Dalam rangka mempertahankan kekuatan politik pemerintahan dinasti Abbasiyah, disamping melakukan kebijaksanaan politik terhadap kelompok dan pendukung Bani Umayyah, kelompok “Mawaly” (terutama orang – orang Persia) diberikan kesempatan diberbagai bidang pemerintahan. Kedudukan kaum Malawy ini mendapatkan posisi yang sangat istimewa dalam pemerintahan Bani Abbasiyah.
Kebijaksanaan politik pemerintahan
Perkembangan politik pemerintahan pada masa Dinasti Abbasiyah adalah kemajuan yang dicapai melalui pembentukan beberapa lembaga pemerintahan yang baru, antara lain:
Pengangkatan wazir atau menteri sebagai pembantu utama khalifah dalam melancarkan roda pemerintahan.Pembentukan Diwanul kitabah (semacam Sekretariat Negara) yang dipimpin oleh Raisul Kitabah (Sekretaris Negara). Raisul Kitabah ini dalam melaksanakan tugasnya dibantu oleh beberapa orang sekretaris, yaitu:
– Katibul Rasail (untuk urusan surat menyurat)
– Katibul Kharraj (untuk urusan pajak/keuangan)
– Katibul Jundi (untuk urusan tentara/kemiliteran)
– Katibul Qudha (untuk urusan kehakiman)
– Katibul Syurthan (untuk urusan kepolisian).
Pembentukan beberapa departemen sebagai pembantu wazir, antara lain ialah:
– Diwanul Kharij (Departemen Luar Negeri)
– Diwanul Ziman (Departemen Pengawasan Urusan Negara)
– Diwanul Jundi (Departemen Pertahanan dan Keamanana)
– Diwanul Akarah (Departemen Pekerjaan Umum dan Tenaga Kerja)
– Diwanul Rasail ( Departemen Pos dan Telekomunikasi)
Pengangkatan Amir dan Syeikh QuraPembentukan angkatan bersenjata terdiri dari angkatan darat dan lautPembentukan baitul mal (kas negara) yang terdiri dari:
– Diwanul Khazanah (Perbendaharaan Negara)
– Diwanul Azra’a ( Urusan Hasil Bumi)
– Diwanul Khazainushilah ( Urusan Perlengkapan Tentara)
Pembentukan Mahkamah Agung yang terdiri atas:
– Al-Qadha (bertugas mengurus perkara-perkara agama, hakimnya disebut Qadhi)
– Al-Hisbah (bertugas mengurus masalah-masalah umum baik pidana maupun perdata, hakimnya disebut Al-Mustashib)
– An-Nazhar fil Mazhalim (bertugas menyelesaikan perkara-perkara banding dari tingkat Al-Qadha dan Al-Hisbah dan hakimnya disebut Shahibul Mazhalim).
Disamping semua itu, banyak usaha perbaikan sistem pemerintahan yang dilakukan para khalifah Abbasiyah antara lain usaha yang dilakukan khalifah Al-Mansur, seperti pengaturan dan penerbitan pemerintahan, pembinaan keamanan dan stabilitas dalam negeri, pembinaan politik luar negeri untuk kemajuan dan perkembangan dinasti Abbasiyah. Selain itu pula, Harun Al-Rasyid pernah menjalin hubungan diplomasi politik dengan Raja Poppie di Byzantium untuk bekerjasama menghalau kekuatan politik militer tentara Umayyah di Andalusia.
BABIII
PENUTUP
III.1 Kesimpulan
Dari pemaparan makalah tersebut dapat disimpulkan bahwa kerajaan Abbasiyah didirikan oleh al-abbas paman nabi. Masa-masa kejayaannya hanya sampai pada khalifah Mutawakkil, hal ini dikarenakan setelah masa khalifah tersebut Abbasiyah sudah bercampur dengan daulah-daulah kecil lainnya. Meski begitu, berbagai kemajuan telah berhasil diciptakannya khususnya dalam bidang pemerintahan, ilmu pengetahuan dan juga penyebaran Islam. Sedangkan kemajuan-kemajuannya adalah khalifah Al-Mansur, seperti pengaturan dan penerbitan pemerintahan, pembinaan keamanan dan stabilitas dalam negeri, pembinaan politik luar negeri untuk kemajuan dan perkembangan dinasti Abbasiyah. Selain itu pula, Harun Al-Rasyid pernah menjalin hubungan diplomasi politik dengan Raja Poppie di Byzantium untuk bekerjasama menghalau kekuatan politik militer tentara Umayyah di Andalusia
[1] A Syalabi, Sejarah dan Kebudayaan Islam, (Jakarta: P.T. Jayamurti 1997), hlm. 44.
[2] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah,Sejarah Pemikiran dan Peradaban Islam, Cet. I, (Yogyakarta: Pustaka Book Publisher, 2007), hlm. 144.
[3] Badri Yatim, Sejarah Peradaban Islamii: Dirasah Islamiyah II, (Jakarta : PT Raja Grafindo Persada, 2003), hlm. 50.
[4] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 149.
[5] Ahmad Syafi’i Ma’arif, M. Amin Abdullah, Op. cit., hlm. 153
[6] Syafiq A Mughni Sejarah Kebudayaan Islam di Turki. (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997), hal. 48.
[7] Syafiq A Mughni,Ibid, Hlm. 57.
[8] Montgomery Watt, Kejayaan Islam: Kajian Kritis dari Tokoh Orientalis, Cet. I, (Yogyakarta: PT Tiara Wacana yogya, 1990), hlm. 126-127.
/alfianjawal
Choose EmoticonEmoticon