Ustadz Muflih Safitra, da’i satu ini mungkin sudah tak asing lagi di kalangan umat muslim yang ada di Balikpapan. Kiprahnya sebagai da’i sudah dimulai sejak dirinya masih duduk di bangku tsanawiyah. Saat menginjak usia 13 tahun, ia sering berceramah keliling di bulan Ramadhan.
Ayahnya, M. Saad Ali juga seorang PNS yang sering mengisi khutbah dan ceramah. Kalau sedang mengisi ceramah di berbagai tempat, Muflih kerap ikut menemani sekaligus mendengarkan ceramah ayahnya. “Sejak kecil saya sering ikut kegiatan Islami, seperti MTQ dan ceramah. Saat Ramadhan tiba, ayah saya sering mengajak saya keliling berceramah,” ujar Muflih.
Setelah lulus sekolah, ia melanjutkan kuliah di salah satu perguruan tinggi di Yogyakarta. Ia menyelesaikan studi dalam waktu 3 tahun 5 bulan dengan IPK 3,89 (cumlaude).
Setelah itu, untuk membahagiakan orang tua, Muflih mengikuti jejak karir kedua orangtuanya, mengabdi sebagai PNS di Pemkot Balikpapan. Namun keinginannya yang kuat untuk mensyiarkan agama tidak lantas berhenti. Ia tetap menyempatkan waktunya untuk berdakwah sepulang bekerja.
“Biasanya mengisi dakwah saat Maghrib, Isya atau saat Subuh.” Di mata lelaki kelahiran Balikpapan 19 Juli 1984 ini, menjadi pendakwah merupakan anugerah dari Allah sekaligus ladang pahala untuk tabungan akhirat.
Tahun 2010, Muflih meraih juara 1 lomba menghafal Al-Qur’an untuk PNS Kota Balikpapan dan mendapatkan hadiah umroh dari pemerintah. Sepulang dari umroh, ia mendapatkan beasiswa magister di King Saud University, Arab Saudi.
Ia pun kembali menginjakkan kaki di negeri Nabi 5 bulan kemudian. “Adalah kesempatan yang luar biasa kita bisa sekolah S2 sekaligus belajar dengan masyaikh dan ulama-ulama internasional. Kita bisa menimba lebih banyak ilmu agama,” ujarnya.
Berkat rahmat Allah, Muflih menyelesaikan pendidikan S2 dengan masa studi tercepat dan IPK tertinggi di antara mahasiswa seangkatan.
Awal 2014 setelah lulus ia pulang ke Balikpapan. Namun saat kembali menjadi PNS, Muflih merasa belum maksimal mendakwahkan ilmu yang ia dapat semasa kuliah di Arab Saudi. Apalagi menjelang Ramadhan, Muflih diminta banyak pengurus masjid dan majelis ilmu untuk mengisi kajian selama bulan puasa.
“Waktu saya untuk berdakwah dan mengajarkan ilmu agama sangat terbatas. Sementara di jam kerja saya tidak bisa berdakwah. Sedangkan permintaan untuk mengisi kajian Ramadhan semakin banyak,” katanya. Muflih yang saat itu sudah golongan III B akhirnya memutuskan berhenti menjadi PNS dan fokus untuk berbagi ilmu dalam dakwah.
“Orangtua dan istri sangat mendukung langkah ini. Bahkan ayah saya meyakinkan, jangan takut kehilangan rejeki karena sudah diatur Allah SWT. Kalau nanti diminta mengembalikan gaji, bapak mengatakan akan bantu cari dananya,” katanya. Seminggu sebelum Ramadhan tahun lalu, ia mengundurkan diri sebagai PNS.
Sebagai konsekuensi, Muflih diwajibkan membayar Rp 87 juta sebagai bentuk pengembalian gaji yang ia terima semasa kuliah di Arab Saudi, karena teranggap tidak mengabdi di pemerintah. “Ketika itu saya belum punya uang. Maka saya mengajukan penghapusan pengembalian tersebut, walau mungkin ditolak.
Saya menyadari, seandainya ditolak pun tidak mengapa karena memang itu hak pemerintah sekaligus tanggung jawab saya. Seandainya harus membayar, ibarat membeli pahala Ramadhan Rp 87 juta,” ucapnya. Tak disangka pertolongan Allah datang. Seorang kawan yang juga jamaahnya bersedia membantu Muflih untuk mengembalikan gajinya kepada negara.
“Walaupun status bantuannya hutang yang akan saya cicil kepada teman, setidaknya tanggungan terasa lebih ringan dan saya pun tambah yakin bahwa dakwah ini adalah jalan hidup saya,” katanya.
Penulis: M Abduh Kuddu Editor: M Abduh Kuddu Sumber: Tribun Kaltim
Choose EmoticonEmoticon