Mengambil pelajaran dari setiap apa yang telah terjadi adalah keharusan agar menit selanjutnya ada kebaikan yang dijalani dan ada kesyukuran. Cerita kehidupan memang sudah dituliskan untuk senantiasa bergantian antara bahagia dan duka, lapang dan sempit, tertawa dan menangis. Inilah warna kehidupan yang dari setiap peristiwanya menitikkan pengalaman dan pengetahuan kehidupan. Semakin kita filsafati kehidupan ini akan kita temukan betapa agung nan kuasanya Tuhan dan betapa tak ada daya upayanya manusia di hadapanNya.
Kearifan diri itulah yang akan terlahir dalam diri setelah melalui lika-liku kehidupan. Semakin banyak sandungan dan adanya sanjungan yang diterima seseorang akan semakin banyak rona hidup yang ia dapatkan. Sandungan memang memberikan luka, tapi luka itulah yang menjadikan manusia bangkit dan menyadari akan hakikat dirinya. Sanjungan memang menghantarkan pada senyum. Tapi senyum itupun menyadarkan bahwa ia datang sebagai nikmat dari Tuhan.
Komitmen merenda hari dalam ketaatan kepadaNya itulah selanjutnya yang harus terpatri. Mengingat batas menit usia yang tiada tahu akan berhenti pada angka berapa. Bersiap menghadapi perjumpaan denganNya adalah keniscayaan. Agar tidak berhujung pada penyesalan yang tidak mungkin lagi dibenahi. Bukan berarti kemudian enggan mengisi dunia dengan segala kesibukannya, tapi malah seharusnya berazzam meninggalkan jejak-jejak indah di muka bumi. Kebaikan akhlak, prestasi, dan meninggalkan prasasti kehidupan yang akan dikenang manusia berikutnya.
Bila komitmen sudah terlukis dalam hati maka muhasabah diri menjadi sebuah kebutuhan untuk menjaga konsistensi amal sepanjang dentang waktu yang ada. Muhasabah diri adalah untuk memperbaiki mutu diri baik dimata manusia maupun dihadapan Ilahi. Memang, terkadang 24 jam terasa kurang di saat hati, pikiran dan fisik sedang banyak tanggungan sehingga tiada sempat untuk merenung dan mengevaluasi sisi-sisi yang over atau minus di antara amal-amal yang ada. Namun sejatinya disituasi yang demikian inilah seharusnya muhasabah diri itu dilakukan.
Dari sini dapatlah dipetik hikmah bahwa kita membutuhkan ilmu manajemen diri. Agar kita mampu mengelola fisik dan psikis agar berjalan seirama dengan tujuan penciptaan manusia. Mengatur ritme hidup agar produktif di dunia dan berkontribusi surga di akhirat kelak. Bukan dengan bermanja-manja di dunia melainkan berlomba-lomba dalam kebajikan (fastabiqul khairat). Selamat berkarya dan tetap semangat menjalani kehidupan.
“Dan kehidupan dunia ini tiada lain hanyalah main-main dan senda gurau belaka. dan sungguh kampung akhirat itu lebih baik bagi orang-orang yang bertakwa. Maka tidakkah kamu mau memahaminya?” (Al-An’am:32)
(dakwatuna/afdhalilahi)
Choose EmoticonEmoticon