Pembakaran Hutan, Wapres JK: Pelaku Harus Dipenjara dan Dituntut Ganti Rugi
Wakil Presiden RI, Jusuf Kalla. (tempo.co)
dakwatuna.com – Jakarta. Wakil Presiden Jusuf Kalla (JK) menyebut bencana kabut asap tetap menjadi prioritas. Ada Sanksi hukum yang menunggu pelaku pembakaran hutan.
Soal penegakan hukum kepada pelaku pembakaran hutan, JK mengatakan baik itu perusahan atau perorangan akan ada tindakan hukum yang lebih keras lagi.
“Ya pengadilan. Penjara kalau terbukti. Ganti rugi, semua pasti ada hukumnya,” ujar JK di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, seperti dilansir detikcom, Selasa (15/9/15).
JK juga menyatakan hendaknya bancana kabut asap ini dilihat sebagai bencana secara utuh, tidak ada istilah bencana Nasional atau bencana Daerah.
“Sebenernya bencana nasional itu sudah tidak lagi, itu sudah berbeda. Bencana ya bencana, tidak ada bedanya antara bencana nasional atau daerah. Bencana ya bencana,” ujar JK di Kantor Wapres, Jalan Medan Merdeka Utara, Jakarta Pusat, Selasa (15/9/2015).
“Buktinya kan ada BNPB dikirim pesawat, helikopter. Itu sama saja. Itu bencana nasional,” sambungnya.
Hingga hari ini, JK mengatakan telah mendapat laporan dari pemerintah Jambi dan Riau tentang turunnya hujan yang membantu pemadaman api. “Memang angin ke utara akan terjadi beberapa dari Sumsel. Tapi karena sudah mulai hujan maka sudah lebih baiklah kondisinya mudah-mudahan,” terangnya.
JK juga menyambut baik tawaran bantuan dari Singapura untuk memadamkan titik-titik api. JK menyebut Singapura juga ikut merasakan efek kabut asap.
“Semua tidak suka (asap akibat kebakaran hutan dan lahan). Kita usaha keras luar biasa,” kata JK.
Sementara itu, dikutip dariantaranews.com, Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Abetnego Tarigan mengatakan bahwa asap akibat kebakaran hutan dan lahan di Sumatera serta Kalimantan yang terjadi tahun ini menjadi puncak bencana kabut asap dari tahun-tahun sebelumnya.
“Ini puncaknya bencana kabut asap,” kata Abetnego.
Menurutnya, siklus kabut asap terjadi dalam setiap sepuluh tahun sebelumnya, yakni pada tahun 1998 kemudian tahun 2008.
“Kalau dulu siklusnya 10 tahun, sekarang tujuh tahun. Ini harus jadi perhatian pemerintah,” ujarnya.
Abetnego mengatakan, lebih cepatnya siklus tersebut disebabkan oleh beberapa faktor termasuk situasi lingkungan yang semakin buruk serta dampak perubahan iklim. Oleh karena itu, lanjutnya, pemerintah harus menyikapi bencana yang telah mengakibatkan puluhan juta orang terpapar asap itu dengan serius dan cepat. (sbb/dakwatuna/afdhalilahi)
Choose EmoticonEmoticon