Bukhara adalah salah satu negeri dari negeri-negeri seberang sungai (bilad ma wara-u an-nahr). Sungai apakah yang dimaksud? Sungai panjang yang mengairi negeri-negeri Asia Tengah. Orang-orang Yunani menyebutnya Sungai Oxus. Orang Arab mengenalnya dengan nama Jeyhun. Pujangga Persia memujanya dengan Mulyan. Ada pula yang menamainya dengan Amu Darya, Sungai Amu, Panj, dan Vaksh.
Ya, Bukhara adalah sebuah kota yang terletak di Asia Tengah. Sebuah kota kuno yang merupakan bagian dari Republik Uzbekistan sekarang. di masa kejayaannya, kota ini menjadi salah satu pusat perekonomian negara bekas jajahan Uni Soviet itu. Ia juga menjadi tempat belajar, pusat kebudayaan, dan ilmu agama.
Luas Bukhara adalah 32% dari luas wilayah Uzbekistan. Dan kepadatan penduduknya 8,2% mewakili negara tersebut.
Sejarah Perkembangan
Ada yang mengatakan, kota Bukhara dibangun oleh seorang pemimpin Iran yang bernama Siyâvaš. Putra Raja Kaykaus. Siyâvaš lari dari kerajaan karena sang ayah murka padanya. Kemudian ia menemui raja Kerajaan at-Turk, Afrasiab. Raja at-Turk ini memuliakannya dan menikahkannya dengan salah seorang putrinya. Kemudian memberinya sebuah wilayah kekuasaan. Wilayah itulah yang saat ini kita kenal dengan Bukhara.
Siyâvaš membangun Bukhara. Kemudian setelah Bukhara kuat, ia berbalik menyerang dan membunuh Afrasiab.
Bukhara adalah salah satu kota penting di wilayah Khurasan. An-Narsyakhi, penulis kitab Tarikh Bukhara, mengatakan, “Daerah Bukhara adalah wilayah padang belantara yang banyak dihuni hewan buas. Dilewati oleh Sungai Zeravshan. Gunung-gunungnya tinggi dengan puncak putih bersalju. Orang-orang datang ke daerah tersebut karena segar dan bersihnya udaranya. Para penduduknya dipimpin oleh seorang tetua”.
Sejak abad ke-5 M, orang-orang China menyebut wilayah ini dengan nama Nome (Arab: نومي). Ada yang mengatakan, nama Bukhara diambil dari kata Bakhr (Arab: بخر) dan padanan dalam Bahasa Sansekerta adalah Vihara, yakni tempat ibadah. Dikatakan bahwa Bukhara dahulu adalah sebuah wilayah peribadatan orang-orang Budha sebelum datangnya Islam.
Literatur-literatur berbahasa Arab menyebutkan bahwa penduduk asli Bukhara adalah Bakhãr Khudat (Arab: بخار خداة) atau Bukhãra Khudãh (Arab: بخارا خداه). Persitiwa-peristiwa penting di kota ini baru terjadi setelah masuk ke dalam wilayah Islam.
Masuknya Islam di Bukhara
Sebelum Islam datang, penduduk Bukhara adalah orang-orang paganis yang menyembah sebuah berhala yang bernama Makh. Mereka beribadah dan memberi persembahan kepada berhala tersebut setahun sekali. Periwayat sejarah sepakat bahwa orang Islam pertama yang melintasi pegunungan di Bukhara adalah Ubaidullah bin Ziyad. Ia merupakan gubernur Daulah Umayyah untuk wilayah Khurasan di masa pemerintahan Muawiyah bin Abi Sufyan.
Saat memimpin Khurasan, usia Ubaidullah bin Ziyad masih sangat belia. Baru 25 tahun. Penunjukkannya sebagai gubernur bukanlah sesuatu yang gegabah. Di usianya yang ke-24 tahun saja, Ubaidullah telah mampu mencapai Sungai Jeyhun. Dan saat itu Bukhara dipimpin oleh seorang janda yang mereka agungkan dengan panggilan Khatun (Arab: خاتون). Ini adalah sebutan dalam Bahasa Turk yang berarti sayyidah dalam Bahasa Arab.
Kemudian terjadi pertempuran antara Khatun berhadapan dengan kaum muslimin. Karena kalah, Khatun meminta perjanjian damai dan jaminan keamanan. Ubaidullah bin Ziyad mengabulkan permintaannya dan menerima 1juta dirham dari perjanjian damai tersebut. Kemudian Ubaidullah kembali ke Bashrah.
Setelah itu, Muawiyah mengangkat Said bin Utsman bin Affan sebagai wali daerah Khurasan. Ia memasuki wilayah Samarkand. Dan kemudian Khatun menolongnya menghadapi penduduk Bukhara (Mu’jam al-Buldan oleh Yaqut al-Hamawi: Dar ash-Shadr Cet.II. Hal. 354-355).
Pembebasan Bukhara oleh Qutaibah bin Muslim
Khalifah al-Walid bin Abdul Malik al-Umawi adalah pemimpin Arab pertama yang melakukan pembangunan berkelanjutan di Bukhara. Berkat kebijakannya –setelah takdir Allah ﷻ- Islam di Bukhara kokoh dan tersebar. Hal itu juga berkat usaha gubernurnya di wilayah Irak, Hajjaj bin Yusuf ats-Tsaqafi, yang memerintahkan Qutaibah bin Muslim al-Bahili di Khurasan untuk membuka wilayah negeri seberang sungai.
Qutaibah berhasil membebaskan Bukhara pada tahun 90 H yang saat itu dikuasai Wardan Khudãh. Meskipun bersama sekutunya dari orang-orang Turk, Wardan tetap berhasil dikalahkan oleh Qutaibah. Kemudian Qutaibah berhasil menaklukkan penguasa-penguasa Bukhara lainnya.
Daerah seberang sungai termasuk daerah yang sulit dikuasai secara penuh. Awalnya, penduduknya memeluk Islam. Kemudian murtad dan melakukan pemberontakan. Qutaibah mengambil pelajaran dari apa yang terjadi sebelumnya. Setelah berhasil menaklukkan Bukhara, ia menempatkan orang-orang Arab agar tetap tinggal dan membaur dengan masyarakat di sana. Pendekatan yang dilakukan Qutaibah terbukti berhasil. Keislaman penduduk Bukhara baik dan Islam pun kokoh di sana. Keadaan pun menjadi stabil. Dengan stabilnya keadaan barulah pembangunan dapat berjalan.
Qutaibah membangun istana-istana. ia juga membangun Masjid Jami’ di dalam benteng Bukhara. Masjid tersebut menggeser tempat-berhala-berhala di sana. Semakin banyak masyarakat yang memeluk Islam, semakin banyak pula masjid dibangun. Hingga di masa Harun al-Rasyid masjid-masjid dibangun di daerah-daerah perbatasan.
Kota Bukhara pun kian berkembang. Aktivitas perdagangan dan industri kian menggeliat. Penduduknya kian makmur. Dan pendapatan daerahnya kian meningkat. Hingga tokoh-tokoh besar terlahir dari wilayah ini. Di antaranya Imam al-Bukhari yang lahir pada tanggal 13 Syawwal 194 H.
Bukhara di Masa Daulah Samaniyah
Awalnya, Bukhara berada di bawah pemerintahan Khurasan. Keadaan ini terus berlangsung hingga tahun 279 H/892 M. Saat Nashr bin Ahmad as-Samani memimpin Samarkand, Bukhara masuk ke dalam wilayah Samarkand. Adik Nashr yang bernama Ismail membangun Bukhara atas permintaan warga dan para ulamanya. Saat Nashr wafat, adiknyalah yang menggantikannya memerintah di negeri-negeri seberang sungai itu. Bukhara pun dijadikan ibu kota Daulah Samaniyah. Ia menjadi pusat pendidikan dan industri.
Ats-Tsa’alabi memuji perkembangan pesat Bukhara. Ia mengatakan, “Bukhara di masa Daulah Samaniyah adalah tempat yang terhormat dan tumpuan raja. Ia juga tempat tokoh-tokoh di zamannya. Tempat lahirnya bintang-bintang sastrawan dunia. Dan masa-masa yang penuh keutamaan…” (Yatimatu ad-Dahr fi Muhasin Ahli al-Ashroleh Abu Manshur ats-Tsa’alabi: Tahqiq oleh Mufid Muhammad Qamhiyah: Cet.I Dar al-Kutub al-Ilmiyah, Beirut: 4/155).
Bukhara di Masa Pemerintahan Mongol
Setelah Daulah Samaniyah runtuh pada tahun 389 H/999 M, Bukhara kehilangan peranan pentingnya dalam politik. Namun di masa kemundurannya, ia tetap memegang peranan penting sebagai pusat kajian Islam. Kemudian pada tahun 604 H/1207 M, kota kelahiran Imam Bukhari ini diperintah oleh Alauddin Muhammad bin Taksy Khawarizm Syah. Ia memperbarui Bukhara dan membangun kembali kota tersebut.
Dalam kurun perjalanannya, Bukhara mengalami masa pasang dan surut. Masa suka dan duka. Sampai akhirnya musibah besar mendatangi dunia Islam. Pasukan Tatar masuk ke wilayah Islam termasuk wilayah Bukhara.
Pada tanggal 4 Dzul Hijjah 616 H, Bukhara jatuh ke tangan pasukan Jenghis Khan. Kota yang menjadi pusat ilmu negeri seberang sungai itu dijarah dan dibakar. Tidak tersisa kecuali Masjid Jami’ dan sebagian istana. Beruntungnya kerusakan parah itu bisa kembali pulih saat putra Jenghis Khan, Ogedei Khan, menggantikan ayahnya memerintah Mongol.
Pada tahun 636 H, penduduk Bukhara melakukan perlawanan terhadap Mongol. Akan tetapi perlawanan itu berhasil dipadamkan. Kemudian di tahun 671 H/1273 M, bencana kembali melanda Bukhara. Pasukan Mongol pimpinan Abaqa Khan –penguasa Mongol wilayah Persia- menguasai Bukhara. Mereka melakukan pengrusakan dan mengusir penduduknya. Kemudian dilakukan renovasi kembali. Namun anehnya, Mongol Persia kembali melakukan pengrusakan untuk kedua kalinya pada tahun 761 H/1359 M. Dan pada masa Dinasti Mongol Timuriyah, Bukhara tidak lagi memegang peranan penting di wilayah seberang sungai.
——- Selanjutnya, insya Allah akan dibahas Bukhara di era modern. Negeri seberang sungai dengan peradaban tinggi itu kini menjadi bagian negeri-negeri berakhiran “Stan” bekas jajahan Uni Soviet. Mereka menjadi wilayah miskin yang peradabannya hanyalah tinggal kenangan.
Sumber: – http://islamstory.com/bukhariyon www.KisahMuslim.com
Choose EmoticonEmoticon