Khidr As Muncul Karena Ketulusan
Sosok Nabi Khidr AS yang terkenal karena kisah pertemuannya dengan Nabi Musa AS diabadikan dalam Al Qur’an Surat Al Kahfi ayat 60-82 memang fenomenal. Nabi SAW juga mengulang kisah tersebut dalam beberapa hadist beliau dengan beberapa penjabaran. Dalam surat Al Kahfi tersebut tidak disebutkan nama Khidr dan juga statusnya sebagai salah satu nabi, hal ini saja sudah menimbulkan perbedaan pendapat, apakah beliau seorang nabi atau hanya seorang ulama atau salah satu auliyah Allah. Begitu juga terjadi perbedaan pendapat, apakah beliau masih hidup sampai sekarang atau sudah meninggal?
Bukan di sini tempatnya untuk membahas perbedaan pendapat tersebut karena masing-masing ulama mempunyai hujjah (argumentasi) yang kuat untuk mendukung pendapatnya. Bagi kita yang awam, cukuplah mengikuti pendapat yang kita mantap dengannya tanpa “menghujat” pendapat lain yang berbeda. Hanya saja, bagi yang percaya Nabi Khidr AS masih hidup sampai sekarang, terkadang ada yang terlalu “mendewa-dewakan” beliau, bahkan membuat cara-cara yang menyeleweng dari syariat hanya untuk bisa bertemu dengan beliau.
Sesungguhnya Nabi Khidr AS tidak bisa “dipaksa” hadir dengan cara apapun, kecuali jika Allah SWT mengijinkan beliau hadir seperti yang terjadi kepada Nabi Musa AS, atau beliau “ditugaskan” Allah SWT hadir sebagai jalan untuk menolong hamba-hamba yang dikehendaki-Nya. Kalau “ritual-ritual” yang diadakan untuk bertemu Nabi Khidr didasari hawa nafsu dan tujuan duniawiah semata-mata, bisa jadi yang hadir malahan syaitan terkutuk yang akan makin menjerumuskan manusia ke dalam jurang kesesatan. Naudzubillahi min dzaalik!! Semoga kisah berikut ini memberikan hikmah dan menambah pemahaman bagi kita.
Al kisah, di negeri Turkestan tinggal seorang lelaki tua bernama Bakhtiar. Ia sangat miskin, dan dengan usianya yang telah renta, ia kesulitan untuk bekerja memenuhi kebutuhan keluarganya. Ia sendiri “cukup malu” untuk meminta-minta walau warga di sekitarnya cukup banyak yang hidup berkelimpahan, karena itu ia tetap berusaha sebatas kemampuannya.
Suatu ketika raja yang berkuasa di Turkestan tersebut sedang didatangi seorang ulama sufi. Setelah menyampaikan beberapa nasehat, tiba-tiba Sang Raja menanyakan tentang Nabi Khidr yang misterius tersebut. Sang Sufi menceritakan tentang Nabi Khidr secara sekilas, kemudian berkata, “Khidr hanya datang jika diperlukan, tangkaplah jubahnya kalau ia muncul, maka segala pengetahuan akan menjadi milik Baginda!!”
Tentu saja apa yang dikatakan Sang Sufi tersebut tidak bisa diterjemahkan secara harfiah begitu saja. Sang Raja bertanya, “Apakah itu bisa terjadi pada siapapun?”
“Ya, siapapun bisa!!”
Setelah Sang Sufi pergi, keinginan Sang Raja untuk bertemu Nabi Khidr sangat kuat. Ia ingin melengkapi kekuasaannya dengan pengetahuan, dan itu akan bisa diwujudkan dengan mudah kalau ia bertemu Nabi Khidr dan ‘menangkap jubahnya’. Ia berfikir, “Kalau hal itu bisa terjadi pada siapapun, apalagi aku, bukankah aku seorang raja??”
Untuk memujudkan keinginannya tersebut, Sang Raja membuat sayembara yang disebarkan ke seluruh pelosok negeri, “Barangsiapa yang bisa menghadirkan Khidr yang misterius di hadapanku, maka ia akan kujadikan orang yang kaya…!!”
Ternyata tidak banyak yang merespon sayembara tersebut karena hal itu suatu hal yang tidak mudah, walau mungkin saja terjadi. Ketika Bakhtiar mendengarnya, muncul suatu rencana di benaknya. Ia berkata kepada istrinya, “Wahai istriku, aku punya rencana dan kita akan segera kaya. Tetapi tak lama setelah itu aku akan mati, dan itu tidak mengapa, karena engkau telah mempunyai simpanan untuk bisa membiayai kehidupanmu seterusnya…!!”
Bakhtiar menceritakan rencananya. Istrinya hanya bisa setuju dan mendoakan saja. Bagi orang-orang seperti mereka, memang tidak banyak pilihan untuk bertahan hidup. Setelah itu ia pergi menghadap kepada Sang Raja.
Setelah memberi penghormatan seperlunya, Bakhtiar berkata kepada Sang Raja, “Hamba dapat menghadirkan Khidr, tetapi ada syaratnya!!”
“Apa syarat yang kamu minta itu?” Tanya Sang Raja.
“Baginda harus memberi hamba seribu keping uang emas!!”
Sang Raja setuju dengan persyaratan tersebut, dan memerintahkan salah satu abdinya untuk memberikan seribu keping uang emas kepada Bakhtiar. Lalu ia berkata, “Berapa lama waktu yang engkau perlukan untuk menemukan Khidr?
“Hamba akan mencarinya dalam waktu empatpuluh hari!!” Kata Bakhtiar lagi.
“Baiklah,” Kata Sang Raja, “Kalau engkau berhasil menemukan Khidr dan membawanya kemari, engkau akan mendapat tambahan sepuluh ribu keping uang emas. Tetapi jika engkau gagal, engkau akan mati dipancung di sini, sebagai peringatan bagi orang-orang yang mencoba mempermainkan rajanya!!”
Bakhtiar sudah tidak perduli lagi dengan ancaman tersebut, yang sebenarnya ia sudah menduga sebelumnya. Ia segera pulang dan menyerahkan seribu keping uang emas tersebut kepada istrinya. Ia sudah hampir yakin bahwa ajalnya akan tiba di tangan Sang Raja, empatpuluh hari kemudian. Karena itu sisa waktunya digunakannya untuk merenung, beribadah dan bertobat, mempersiapkan diri dengan amal-amal kebaikan sebagai bekal memasuki alam barzah. Ia telah banyak mendengar tentang Nabi Khidr yang memang tidak bisa dipaksakan kehadirannya, jadi untuk apa sibuk menghabiskan waktu mencarinya. Lebih baik ia terus beribadah dan bertobat, termasuk karena telah “menipu” Sang Raja.
Pada hari yang ditentukan Bakhtiar menghadap Sang Raja. Hatinya telah sangat mantap, empatpuluh hari hanya berkhidmat untuk beribadah kepada Allah, membuatnya tidak ada ketakutan kepada siapapun dan kepada apapun, kecuali kepada Allah saja. Maka kepada Sang Raja ia berkata tegas, “Wahai Raja, kerakusanmu telah menyebabkan engkau berfikir bahwa uang akan bisa mendatangkan Khidr. Tetapi Khidr tidak akan datang karena panggilan yang berdasarkan kerakusanmu itu!!”
Tentu saja Sang Raja amat marah dengan perkataannya tersebut. Bukannya datang untuk memenuhi janjinya, tetapi malah menasehatinya. Ia berkata, “Celaka kau ini, kau telah menyia-nyiakan nyawamu. Siapa pula kau ini beraninya mencampuri urusan seorang raja?”
Sekali lagi Bakhtiar berkata, “Menurut cerita, semua orang mungkin saja bertemu dengan Khidr. Tetapi pertemuan itu hanya ada manfaatnya jika ia mempunyai niat yang tulus dan benar. Seringkali sebenarnya Khidr telah datang di antara kita, tetapi kita tidak bisa memanfaatkan kunjungannya tersebut, dan itulah yang kita tidak bisa menguasainya!!”
Sang Raja makin marah dengan nasehatnya tersebut, ia memerintahkan para pengawal menangkapnya dan menghardik, “Cukup ucapanmu itu. Bualanmu itu tidak akan memperpanjang hidupmu. Engkau hanya tinggal menunggu bagaimana caranya engkau mati saat ini!!”
Sang Raja meminta pendapat para menterinya tentang cara mengeksekusi mati Bakhtiar. Menteri pertama berkata, “Wahai Raja, bakarlah dia hidup-hidup sebagai peringatan bagi yang lainnya!!”
Menteri kedua berkata, “Wahai Raja, potong-potong saja tubuhnya, dan pisah-pisahkan anggota tubuhnya (dimutilasi)…!!”
Menteri ketiga berkata, “Wahai Raja, sediakan saja kebutuhan hidupnya sehingga ia tidak akan pernah menipu lagi demi kelangsungan hidup keluarganya.”
Tengah Sang Raja mendiskusikan masalah tersebut, masuklah seorang tua yang tampak bijaksana. Setelah orang tua itu memberi salam, Sang Raja berkata, “Wahai orang tua, apa maksud kedatanganmu ke sini?”
“Saya hanya ingin mengulas pendapat para menteri anda itu!!”
“Apa maksudmu?” Tanya Sang Raja.
“Menterimu yang pertama itu dahulunya adalah tukang roti, karena itu ia berbicara tentang membakar (memanggang). Menterimu yang kedua dahulunya adalah tukang daging, karena itu ia berbicara tentang memotong. Dan menterimu yang ketiga inilah yang benar-benar mengerti masalah kenegaraan, karena itu ia melihat kepada sumber masalahnya…!!”
Selagi raja dan para hadirin terkejut dengan hakikat para menteri tersebut, orang tua itu berkata lagi, “Hendaklah kalian mencatat dua hal, pertama : Khidr akan datang untuk melayani setiap orang sesuai dengan kemampuan orang itu memanfaatkan kedatangannya. Dan kedua : Bakhtiar ini, ia kuberi (tambahan) nama ‘Baba’ karena pengorbanan yang dilakukannya atas dasar terdesak dan putus asa (dari manusia). Keadaannya yang makin terdesak (yakni, akan dihukum mati) sehingga aku muncul di hadapan kalian semua!!”
Sekali lagi raja dan para hadirin terkejut dengan perkataan orang tua tersebut, yang tak lain adalah Nabi Khidr itu sendiri. Dan sebelum sempat mereka berbuat apa-apa, termasuk keinginan Sang Raja untuk “menangkap jubahnya”, Khidr telah lenyap dari pandangan. Sang Raja sangat menyesal, sebaliknya Bakhtiar merasa sangat gembira karena mendapat nama baru “Baba” langsung dari Khidr sendiri, tanpa ia mengharapkannya. Semacam sebuah “pengesahan” dari apa yang telah dilakukannya sebelumnya.
Choose EmoticonEmoticon