BAB I
PENDAHULUAN
A.
Rumusan
Masalah
1. Bagaimana
biografi Ibnu Sahnun?
2. Apa
saja karya Ibnu Sahnun?
3. Bagaimana
pandangan Ibnu Sahnun Tentang Pendidikan Islam?
B.
Tujuan
Penulisan
1. Untuk
mengetahui bagaimana biografi Ibnu Sahnun
2. Untuk
mengetahui apa saja karya Ibnu Sahnun
3. Untuk
mengetahui bagaimana pandangan Ibnu Sahnun Tentang Pendidikan Isla
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Biografi
Ibnu Sahnun.
Ibnu
Sahnun adalah salah seorang tokoh pendidik angkatan pertama dikalangan umat
Islam, sebelumnya ia dikenal sebagai ahli fiqh yang bermazhab Maliki. Pemikiran
Ibnu Sahnun mengenai pendidikan banyak menyoroti tentang perilaku pendidik, dan
yang paling diperhatiakan adalah berkenaan dengan kompetensi pendidik itu
sendiri. Selain tanggung jawabnya dalam mengajar, seorang pendidik dituntut
memiliki kemampuan atau kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Untuk
melengkapi pembahasan pemikiran pendidikan Ibnu Sahnun ini, akan disinggung
mengenai riwayat hidup, karena karyanya, dan pemikirannya tentang pendidikan. Ibnu
Sahnun, nama lengkapnya adalah Abdullah Muhammad bin Abd Sa’id Sahnun bin Sa’id
bin Habib bin Hilal bin Bakkar bin Rabi’ah at-Tanukhi. Sahnun
berarti seekor burung yang memiliki pendangan tajam. Dijuluki “sahnun” karena
ketajaman pemikirannya.
Ibnu
Sahnun lahir dari keluarga ilmiah pada tahun 202 H. di kota Gadat, pusat
kebangkitan azhab Maliki di Magrib, dibesarkan di tengah-tengah pengawasan
ayahnya kemudian beliau dimasukkan ke al-Kuttab sebagaimana yang dilakukan
masyarakat pada umumnya di masa itu, agar dapat mempelajari al-Qur’an dan
dasar-dasar membaca. Orang tuanya sangat memperhatikan pendidikan Ibnu Sahnun
setelah melihat tanda-tanda kecerdasan dan kesungguhan anaknya. Selain itu,
orang tuanya meminta kepada pengajarnya agar tidak mendidiknya kecuali dengan
pujian dan teguran yang lemah lembut, tidak dengan pukulan dan kekerasan.
Ibnu
Sahnun menimba ilmu dari beberapa ula ifriqiyah, antaa lain: Ali bin Ziyad (183
H), Musa bin Mu’awiyah as-Samadihi (225 H), Abd Aziz bin Yahya al-Madani
(420H), A bdullah bin Abi Hisan al-Yahsabi (226 H) dan mempelajari kitab
Muwaththa’ karangan Imam Malik bin Anas, kemudian berangkat menuju Mesir tahun
188 H dan belajar kepada sahabat-sahabat terkenal Imam Malik, terutama ‘Ali
Abdur Rahman bin al-Qasim (191 H) dan Ibnu ‘Abd al-Hakam, juga kepada ulama
Mesir lainnya. Kemudian ia menuju Mekah untuk menunaikan ibadah haji serta
belajar kepada para ulama Mekah.
Ibnu
Sahnun memiliki ilmu yang sangat luas, sehingga ia pun dipercaya memegang
jabatan pengadilan di Ifriqiyah pada tahun 233 H sampai beliau wafat tahun 204
H. Ibnu Sahnun berusaha memantapkan mazhab Maliki di utara Ifriqyah, bahkan di
Magrib secara keseluruhan. Ibnu Sahnun memilkik karakter yang luar biasa, di
antaranya keteguhan hati, akhlak yang tinggi, dan selalu penuh semangat
(vitalitas). Ibnu Sahnun memiliki yang banyak, yang datang dari berbagai
penjuru dunia islam. Tidak lebih dari 400 murid dalam setiap majlis ilmu yang
digelarnya. Ibnu Sahnun adalah seorang guru dalam berbagai bidang ilmu, menjadi
panutan masyarakatnya dalam kehidupan, dan contoh teladan yang baik. Hal ini
disebabkan kedalaman ilmu dan kharismanya, kefasihan lidah, kepintaran
perilaku, cara berpakaian, dan gaya hidupnya, serta keperkasaannya dalam bidang
hokum, semuanya melambangkan seorang yang kamil pada masa itu.[1]
B.
Karya-Karyanya
Ibnu Sahnun
Ibnu
Sahnun menulis dalam berbagai bidang ilmu, hal ini terbukti dari banyaknya
jenis buku yang ditulis oleh Ibnu Sahnun. Ibnu Sahnun telah menulis buku tidak
kurang dari 200 buku, diantaranya adalah:
1. adab
al-Mu’allimin, berisi tentang pemikiran pendidikan, mulai dari pentingnya kerja
sama yang baik antara orangtua murid dengan pendidik, kurikulum, badan pengawas
(supervisor), dan lain-lain.
2. ajwibah
Ibnu Sahnun, berisi tentang jawaban-jawaban Ibnu Sahnun seputar
persoalan-persoalan yang muncul di masyarakat pada waktu itu.
3. kitab
al-Jami’, merupakan karyanya yang paling besar, tidak kurang dari 100 juz,
terhimpun berbagai jenis ilmu dan terutama ilmu fiqh.
4. kitab
al-Musnad al-Hadits, Risalah fi as-Sunnah, Kitab al-Ibadah, Kitab al-Wara’,
Kitab al-Hujjah ‘ala an-Nasara, dan lain-lain.
Sebagian
karya yang dihasilkan oelh Ibnu Sahnun tersebut menunjukkan kepada kita bahwa
Ibnu Sahnun memiliki pengetahuan yang luas dalam bidang ilmu agama.[2]
C.
Pemikiran
Ibnu Sahnun Tentang Pendidikan Islam
1. Kurikulum
Ibnu
Sahnun membagi kurikulum pendidikan kepada dua bagian, kurikulum wajib, dan
kurikulum pilihan. Kurikulum wajib meliputi al-Qur’an hadits, dan fiqh.
Sedangkan kurikulum pilihan berkisar pada materi-materi: ilmu hitung, syair,
al-Gahrib (kata-kata sulit), bahasa Arab, dan ilmu nahwu.
Kurikulum
yang dirancang oleh Ibnu Sahnun pada dasarnya bertujuan untuk menanamkan
sendi-sendi pendidikan berdasarkan norma-norma pengetahuan islam dan penerapan
kurikulum pendidikan sejalan dengan filsafat islam yang mengajak manusia
memiliki pengetahuan sesuai dengan nilai-nilai islam. Tujuan pendidikan yang
dicanangkan Ibnu Sahnun berusaha membekali anak didik dengan pengetahuan-pengetahuan
yang diperlukan untuk mengantisipasi situasi yang akan mereka hadapi dalam
kehidupan dan melatih berpikir logis. Hal ini terlihat dari komposisi kurikulum
yang diterapkan Ibnu Sahnun. Yakni berupa jenis pengetahuan dasar yang
diperlukan seperti membaca, menulis, dan ilmu hitung.
2. Peendidikan
Kejiwaan..
Pendidikan kejiwaan
adalah sesuatu yang penting untuk menghubungkan manusia dengan penciptanya.
Pendidikan kejiwaan ditekankan untuk membentuk kepribadian anak agar memiliki
kepribadian yang sempurna.
Program pendidikan Ibnu
Sahnun menjadikan al-Kuttab sebagai gambaran mini dari suatu masyarakat, dimana
anak didik diharapkan dapat menyesuaikan dirinya untuk hidup di masyarakat
dengan didasari atas keserasian antara individu dan kebutuhan masyarakat, selama
tidak bertentangan dengan ajaran Islam
3. Metode
Pendidikan
Metode pendidikan yang
dimaksud oleh Ibnu Sahnun adalah system-sistem atau langkah-langakah tertentu
tentang situasi tertentu. Sebagai gambaran tentang metode yang dimaksudkan oleh
Ibnu Sahnun, yaitu tentang kaidah yang harus diperhatikan para pendidik dalam
pengajaran al-qur’an, antara lain:
a. tidak
menyentuh al-qur’an kecuali dengan wudhu, dan tidak ada salahnya bagi anak yang
belum sampai usia tamyiz membaca ayat-ayat al-qur’an di papan tulis tanpa wudhu
jika ia sedang belajar, demikian juga pendidik.
b. Jika
seorang pendidik membaca ayat sajadah sedangkan ia membacanya untuk anak didik
maka tidak menjadi keharusan bagi anak untuk sujud tilawah karena
seorang anak tidak sebagai imam. Kecuali jika anak itu telah dewasa, tidak ada
salah baginya untuk sujud,. Jika ia meninggalkan sujud tilawah pun tidak ada
hukuman atasnya, karena sujud tilawah itu tidak wajib. Demikian juga jika
seorang pendidik membaca ayat sajadah, ia boleh melakukan sujud dan boleh juga
tidak.
Sedangkan
metode pengajaran secara umum kepada anak didik, yang harus diikuti oleh
pendidik adalah sebagai berikut.
a. Seorang
pendidik sepantasnya menyediakan waktu bagi anak didik untuk mengajar mereka
berbagai kitab.
b. Pendidik
tidak boleh memindahkan mereka dari satu surat ke surat lain hingga mereka
hafal, menguasai tata bacaan, dan tulisannya.
c. Pendidik
hendaklah menuyediakan waktu khusus untuk diskusi agar mereka belajar
dasar-dasar diskusi dan tata karma mendengar. Pendidik hendaknya memberikan
mereka kebebasan mengungkapkan pendapat.
d. Pendidik
hendaknya menyediakan waktu pada akhir pekan belajar untuk mendengarkan
(mengulang), menegaskan (mengetahui) penguasaan murid melalui hafalan.
e. Pendidik
hendaklah bersifat adil di kalangan anak didik, memperlakukan mereka dengan
sama, baik bangsawan atau orang biasa.
4. Peranan
pendidik
Ibnu
Sahnun menekankan pentingnya pendidikan dalam proses pendidikan. Menurutnya
pendidik tidak hanya terbatas pada pendidikan dan pengajaran, namun lebih dari
itu seorang pendidik hendaklah berperan sebagai orang tua bagi anak didik. Oleh
karena itu, Ibnu Sahnun memberikan penjelasan tentang beberapa hal yang
seyogianya dimiliki oleh seoarang pendidik, yaitu:
a. mencurahkan
perhatiannya secara langsung terhadap anak didik,
b. pada
waktu seorang anak didik tidak hadir, pendidik harus menghubungi keluarga anak
didik,
c. pendidik
senantiasa bersungguh-sungguh menyediakan waktu untuk anak didik,
d. pendidik
menguasai hafalan al-Qur’an, mengetahui ilmu fiqh, mengetahui ilmu nahwu,
kaligrafi, dan lain-lain.
Selain
ketentuan-ketentuan di atas, Ibnu Sahnun juga mempersyaratkan kepada pendidik
tentang perilaku pendidik yang harus dimiliki, yaitu perilaku mulia, dimana
pendidik dapat menerapkannnya dalam kehidupan sehari-hari. Pendidik hendaknya
berperilaku yang dapat memberikan suri teladan kepada anak didiknya, seperti
ikhlas, takwa, mempunyai rasa tanggungjawab, dan sopan santun.[3]
5. Konsep
Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun.
Hukuman
sebagai alat pendidikan sebenarnya tidak dapat terlepas dari sistem
kemasyarakatan dan ketatanegaraan yang berlaku pada waktu itu.[4] Sistem
dan ketatanegaraan yang dimaksud tentu bagi masyarakat khususnya di Qairawan
yang secara karakteristik penduduknya dikenal keras adalah peraturan atau adat
istiadat. Hukuman bukan hal yang asing jika ia diterapkan dalam hal pengajaran.
Masalah hukuman merupakan masalah etis, yang menyangkut soal buruk dan baik,
yaitu soal norma-norma yang berlaku. Sebagai pangkal uraian selanjutnya
mengenai hukuman dalam proses pendidikan dapat definisikan sebagai berikut:
“Hukuman ialah penderitaan yang diberikan atau ditimbulkan dengan sengaja oleh
orang tua, guru dan sebagainya sesudah terjadi suatu pelanggaran, kejahatan
atau kesalahan pada setiap anak didik”.[5] Ibnu
Sahnun ketika membahas tentang pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis,
menyatakan bahwa pelaksanaannya tentu harus dibatasi sesuai dengan pelanggaran
atau kesalahan anak didik. Dalam hal ini Ibnu Sahnun nampaknya menyadari betul
terhadap dampak-dampak psikologis yang mundul dari hukuman terhadap
perkembangan jiwa anak.
Dalam
suatu dialognya bersama Sa’ad, Ibnu Sahnun mengungkapkan pemikirannya tentang
pemberian hukuman terhadap anak. Suatu ketika Ibnu Sahnun duduk bersama Sa’ad
datanglah seorang anak perempuan Sa’ad yang menangis, dan setelah diketahui
penyebab tangisan tersebut yaitu karena ia telah dipukul oleh gurunya, Ibnu
Sahnun kemudian berkata; “Ketahuilah demi Allah aku akan beritahukan hari ini
bahwa Nabi SAW. Bersabda: “Bahwa sejahat-jahat umatku adalah mereka yang
mengajar anak kecil dengan sedikit kasih sayangnya kepada anak yatim dan keras
(pemarah) terhadap orang miskin.”
Dalam
pemberian hukuman pada anak, pada dasarnya tidak ada ulama yang menghendaki
digunakan hukuman sebagai alat untuk mendidik kecuali bila terpaksa.[6] Kemudian
Ibnu Sahnun menambahkan bahwa hukuman yang didasarkan atas kemarahan yang tidak
disertai dengan niat mendidik dan membawa manfaat merupakan perbuatan buruk
yang akan mendapatkan balasan di akhirat.
Hukuman
seperti memukul menurut Ibnu Sahnun dapat diberikan kepada anak didik dalam
rangka tujuan mendidik asalkan tidak dilakukan secara berlebihan. Ibnu Sahnun
bahkan secara tegas menyatakan bahwa hukuman yang dibolehkan harus dibatasi
dalam pelaksanaannya seperti pukulan tidak boleh diberikan lebih dari tiga kali
kecuali atas izin orang tua dari si anak didik yang membolehkan untuk lebih
dari itu, dan itupun jika si anak terbukti telah menyakiti orang lain.[7]
Syarat-syarat
Pemberian Hukuman menurut Ibnu Sahnun.
Secara
lebih jelas persyaratan-persyaratan yang diajukan oleh Ibnu Sahnun apabila guru
melaksanakan hukuman adalah sebagai berikut:
a. Hukuman
hendaknya diberikan dengan menggunakan kasih sayang.
b. Tidak
memukul karena semata-mata marah.
c. Pukulan
itu diberikan untuk kemaslahatan anak.
d. Tidak
boleh memukul lebih dari tiga kali , kecuali atas izin orang tua anak yang
bersangkutan.
e. Hendaknya
memukul dengan alat yang tidak membahayakan, seperti tongkat kecil.
f. Tidak
sampai menyakiti fisik anak.
Ibnu
Sahnun juga memberikan saran untuk mempertimbangkan pemberian hukuman fisik,
antara lain:
a. Memperhatikan
akhlak murid.
b. Menghormati
hak asasi anak didik meskipun anak masih kecil.
c. Hendaknya
tidak sembarangan dalam memberikan hukuman.
d. Ibnu
Sahnun memahami betul tentang bahaya memberikan hukuman yang tidak terkendali
terhadap perkembangan jiwa anak sehingga ia memberi batasan-batasan atau
persyaratan bagi pelaksanaan hukuman sebagai alat paedagogis, yang dimaksudkan
agar pendidik berhati-hati terhadap pemberian hukuman.
Dampak-dampak
Pemberian Hukuman dalam Analisis Psikologis.
Dampak
Negatif
a. Menimbulkan
perasaan dendam kepada si terhukum. Ini adalah akibat dari hukuman yang
sewenang-wenang dan tanpa tanggung jawab. Akibat semacam inilah yang harus
dihindari oleh pendidik.
b. Menyebabkan
anak menjadi lebih pandai menyembunyikan pelanggaran. Inipun akibat yang tidak
baik, bukan yang diharapkan oleh pendidik, Memang biarpun hukuman itu baik,
kadang-kadang bisa menibulkan akibat yang tidak disukai itu. Hukuman menurut
teori menakut-nakuti sering menimbulkan akibat yang demikian itu.
c. Mengakibatkan
si pelanggar menjadi kehilangan perasaan salah, oleh karena kesalahannya
dianggap telah dibayar dengan hukuman yang telah diterimanya.
d. Si
terhukum juga dapat memancing balasan.
e. Apabila
hukuman ini terlalu sering dilakukan akan menimbulkan ketakutan terhadap si
penghukum.[8]
Dampak
Positif
a. Memperbaiki
tingkah laku si pelanggar. Misalnya yang suka bercakap-cakap di dalam kelas,
karena mendapat hukuman, mungkin pada akhirnya berubah juga kelakuannya.
b. Akibat
yang lain adalah memperkuat kemauan si pelanggar untuk menjalankan kebaikan
itu. Biasanya ini adalah akibat dari hukuman normatif. Serin hukuman yang
demikian tidak menunjukkan akibat yang kelihatan nyata.
Nampaknya
hukuman memiliki pengaruh negatif yang lebih banyak daripada positifnya. Lantas
bagaimana menggunakan penghukum potensial secara efektif dan berkemanusiaan?
Psikolog cenderung tidak dapat menerima hukuman fisik karena telah mengetahui
akibat buruknya yang luar biasa. Oleh karenanya untuk menghindari hukuman fisik
tersebut ada beberapa langkah yang dapat dilakukan, hal ini berdasarkan
penelitian yang seringkali dianjurkan:
a. Ciptakan
satu suasana yang bersahabat dan hangat dengan si anak.
b. Pilihlah
hukuman yang sedang saja, yang secara fisik maupun psikologis tidak
membahayakan anak.
c. Anda
harus yakin betul bahwa anda akan dapat menguasai/ mengendalikan diri ketika
melakukan hukuman.
d. Berikan
hukuman ini secara konsisten bagi respon yang muncul, di manapun.
e. Arahkan
hukuman ini hanya kepada tujuan sasaran perilaku yang akan diperlemah, jangan
sesudahnya baru dipikirkan.
f. Buatlah
hukuman sesingkat mungkin.
g. Ajarkan
anak sedemikian rupa sehingga berperilaku yang baik itu dapat menghilangkan
motivsi yang dapat menimbulkan respon yang tidak dikehendaki.
h. Buatlah
pasangan yang terdiri dari penghukum potensial dengan tanda petunjuk seperti
misalnya “jangan” dan “tidak”.[9]
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ibnu
Sahnun adalah salah seorang tokoh pendidik angkatan pertama dikalangan umat
Islam, sebelumnya ia dikenal sebagai ahli fiqh yang bermazhab Maliki. Pemikiran
Ibnu Sahnun mengenai pendidikan banyak menyoroti tentang perilaku pendidik, dan
yang paling diperhatiakan adalah berkenaan dengan kompetensi pendidik itu
sendiri. Selain tanggung jawabnya dalam mengajar, seorang pendidik dituntut
memiliki kemampuan atau kapasitas keilmuan yang mumpuni.
Adapun
salah satu peikiran Ibnu Sahnun adalah tentang kurikulu. Ibnu Sahnun membagi
kurikulum pendidikan kepada dua bagian, kurikulum wajib, dan kurikulum pilihan.
Kurikulum wajib meliputi al-Qur’an hadits, dan fiqh. Sedangkan kurikulum
pilihan berkisar pada materi-materi: ilmu hitung, syair, al-Gahrib (kata-kata
sulit), bahasa Arab, dan ilmu nahwu. Program pendidikan Ibnu Sahnun menjadikan
al-Kuttab sebagai gambaran mini dari suatu masyarakat, dimana anak didik
diharapkan dapat menyesuaikan dirinya untuk hidup di masyarakat dengan didasari
atas keserasian antara individu dan kebutuhan masyarakat, selama tidak
bertentangan dengan ajaran Islam.
Berkaitan
dengan metode, metode yang dimaksudkan oleh Ibnu Sahnun, yaitu tentang kaidah
yang harus diperhatikan para pendidik dalam pengajaran al-qur’an, antara lain:
1. Tidak
menyentuh al-qur’an kecuali dengan wudhu, dan tidak ada salahnya bagi anak yang
belum sampai usia tamyiz membaca ayat-ayat al-qur’an di papan tulis tanpa wudhu
jika ia sedang belajar, demikian juga pendidik.
2. Jika
seorang pendidik membaca ayat sajadah sedangkan ia membacanya untuk anak didik
maka tidak menjadi keharusan bagi anak untuk sujud tilawah karena
seorang anak tidak sebagai imam. Kecuali jika anak itu telah dewasa, tidak ada
salah baginya untuk sujud,. Jika ia meninggalkan sujud tilawah pun tidak ada
hukuman atasnya, karena sujud tilawah itu tidak wajib. Demikian juga jika
seorang pendidik membaca ayat sajadah, ia boleh melakukan sujud dan boleh juga
tidak
B. Saran
Makalah
yang penulis buat ini jauh dari kesempurnaan baik dari segi buku reperensi,
penulisan apalagi kata-kata yang tidak terurai dengan baik. Penulis mengharap
kritikan dan masukan dari pembaca untuk perbaikan makalah ini kedepanya.
[2]
M. Said, Pendidikan Abad Keduapuluh dengan Latar
Belakang Kebudayaannya, (Jakarta: Mutiara, 2007), hlm. 49
[3]
Abuddin Nata, Pemikiran Para Tokoh Pendidikan Islam,
(Jakarta: Raja Grafindo Persada , 2001), hl. 189-191
[4]
Baisyuri Majdidi, Konsep Pendidikan Para Filosof Muslim, (Yogyakarta:
Al-Amin Press, 2005), hlm.24
[5]
Suwito dan Fauzan, Sejarah Pemikiran Para Tokoh
Pendidikan, (Bandung: Angkasa dengan UIN Jakarta Press, 2003), hal.55
1 komentar:
Up
Choose EmoticonEmoticon