KONSEP PENDIDIKAN ISLAM MENURUT IBNU QAYYIM AL-JAUZIYYAH
A. PENDAHULUAN
Berbicara mengenai perubahan tentu sudah dapat terbayangkan terjadinya dari hal yang positif ke negatif atau sebaliknya dari negatif ke positif,namun itu semua tidak mudah tentunya akan mendapatkan hambatan dan sebuah tantangan. Dalam konteks untuk menemukan konsep pendidikan Islam ideal, maka menjadi tanggung jawab moral bagi setiap pakar muslim untuk membangun teori Islam sebagai paradigma ilmu pendidikan. Islam sebagai paradigma pendidikan mempunyai karakteristik yang berbeda dengan paradigma-paradigma lainnya yang mendasari konsep-konsep pendidikan. Dewasa ini khususnya di Indonesia sistem pendidikan yang diterapkan di sekolah-sekolah merupakan bentuk adopsi sistematik dari sistem pendidikan barat sekuler. (lihat, Ismail SM,,et al, 2001: 3)
Diantara peliknya berbagai persoalan besar, ia dihadapkan pula pada berbagai persoalan tantangan dan prospek ke depan. Mampukah Pendidikan Islam keluar dari peliknya permasalah tersebut dan ikut ambil bagian secara aktif dalam hiruk-pikuknya lalu-lintas perubahan intelektual dan ghazwul fikr, perang pemikiran terutama antar barat dan timur (baca: Islam dan non-Islam). Berbicara tentang Pendidikan Islam atau pendidikan yang ada dan berkembang di Negara-negara Muslim pada abad XXI, baik sistem, tujuan sampai pada dataran operasionalnya masih menjadi bahan kajian di kalangan para ahli pendidikan Islam.
Menurut Ismail SM. (2001: 275), bahwa ada beberapa faktor yang ditengarai menjadi penyebab munculnya silang pemikiran tersebut yakni pertama, pendapat yang menyatakan bahwa pendidikan Islam yang sekarang dikembangkan baik sistem maupun substansinya adalah cenderung diadopsi dari Barat. Kalaupun muncul gagasan-gagasan baru yang lahir dari pemikir-pemikir Muslim, hal tersebut dianggap hanya bersifat penutup belaka. Dengan kata lain, melepaskan diri sama sekali dari pengaruh Barat adalah suatu hal tidak mungkin. Harus diakui bahwa sebagian besar Negara Islam masih merupakan Negara Dunia ketiga (miskin atau masih berkembang), yang saat ini masih tertinggal beberapa langkah dari kemajuan yang dicapai oleh Negara-negara Barat yang mau tidak mau jalur tersebut harus dilalui oleh Negara Muslim. Kedua, karya-karya klasik pada masa kejayaan Islam yang merupakan pemikiran pendidikan Islam yang komprehensif cukup jarang dijumpai.
Jauh sebelum Sigmund Freud, Erikson, Hurlock,Vygotski, Kohlberg, Jean Piaget, ataupun penulis-penulis barat memunculkan pemikirannya tentang perkembangan sosial, bahasa, moral dan kognitif serta pendidikan anak, Al-Ghazali dan Ibnu Qayyim telah lebih dahulu merumuskan tentang konsep pendidikan anak. Konsep pendidikan mereka banyak mengilhami pemikiran-pemikiran para intelektual, praktisi pendidikan, maupun cendekiawan Muslim di seluruh dunia, khususnya di Indonesia. Nurman Said (1992: 87) menyatakan bahwa karya-karya Al-Ghazali memiliki pengaruh yang kuat terhadap pendidikan di Indonesia khususnya di kalangan kaum tradisionalis.
Para pemikir muslim, baik pada periode klasik, seperti ibnu Sina, Ibnu Rusyd, al-Ghazali, al-Farabi dan Ibnu Khaldun, pada zaman modern semisal al-Tahthawi, Muhammad Abduh, Islamil Raji al-Faruqi, banyak menulis pemikir-pemikiran yang ada kaintannya dengan pendidikan Islam. Namun demikian, oleh karena keterbatasan kemampuan dan literatur, penulis tidak bermaksud untuk membahas keseluruhan pemikiran bersama dengan nama-nama para tokoh di atas. Dengan tanpa mengurangi nilai kontribusi mereka di bidang pendidikan, penulis hanya menuliskan beberapa nama tokoh dengan pemikirannya baik yang termasuk pada zaman klasik maupun yang modern. Dari dua era yang berbeda ini penulis kira dapat melihat trend pemikiran pendidikan yang pernah dituangkan oleh para pemikir muslim dari zaman ke zaman.
Penelitian terhadap para pakar pendidikan telah banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti di dalam maupun di luar negeri. Hasil penelitiannya dalam bentuk skripsi, tesis maupun disertasi, bahkan telah dipublikasikan dalam bentuk buku. Tokoh-tokoh pendidikan Islam yang dijadikan obyek penelitian adalah ulama-ulama hadis, fiqih, filsafat Islam dan tasawuf Islam. Akan tetapi belum banyak dilakukan penelitian terhadap konsep pendidikan Ibn Qayyim, seorang pembaharu yang hidup di abad pertengahan.
Konsep kependidikannya dituangkan dalam buku-bukunya, tetapi di kalangan dunia pendidikan belum mengenalnya sebagai tokoh pendidikan. Ia lebih dikenal sebagai tokoh pembaharu dalam bidang aqidah dan fiqih, diakui sebagai ahli tafsir, ahli usul fiqih, dan ahli bahasa. Para ulama yang dikategorikan sebagai tokoh pendidikan yang hidup sebelum Ibn Qayyim banyak jumlahnya. Mereka banyak sumbangannya dalam pengembangan pemikiran pendidikan Islam. Diantara mereka ada yang menulis buku-buku dan risalah-risalah khusus mengenai pendidikan (Hasan Langgulung, 1988:31).
Oleh karena itu, kajian dalam makalah ini penulis batasi pada kajian tentang konsep pendidikan Islam Ibnu Qayyim al-Jauziyyah yang dikaitkan dengan kondisi pendidikan sekarang sejauhmana relevansinya.
B. PEMBAHASAN
1. Sekilas Biografi Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah
Muhammad bin Abi Bakr (محمد بن أبي بکر), bin Ayyub bin Sa'd al-Zar'i, al-Dimashqi (الدمشقي), bergelar Abu Abdullah Syamsuddin (أبو عبد الله شمس الدین), atau lebih dikenal dengan nama Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, dinamakan karena ayahnya berada / menjadi penjaga (qayyim) di sebuah sekolah lokal yang bernama Al-Jauziyyah. Dalam Bahasa Arab namanya tertulis: شمس الدين محمد بن أبي كر بن أيوب ،ابن القيم الجوزية ابن القيم.
Dilahirkan di Damaskus, Suriah pada tanggal 4 Februari 1292, dan meninggal pada 23 September 1350 adalah seorang Imam Sunni, cendekiawan, dan ahli fiqh yang hidup pada abad ke-13. Ia adalah ahli fiqih bermazhab Hambali. Disamping itu juga seorang ahli Tafsir, ahli hadits, penghafal Al-Quran, ahli ilmu nahwu, ahli ushul, ahli ilmu kalam, sekaligus seorang mujtahid.
Ibnu Qayyim berguru ilmu hadits pada Syihab an-Nablusi dan Qadi Taqiyyuddin bin Sulaiman; berguru tentang fiqh kepada Syekh Safiyyuddin al-Hindi dan Isma'il bin Muhammad al-Harrani; berguru tentang ilmu pembagian waris (fara'idh) kepada bapaknya; dan juga berguru selama 16 tahun kepada Ibnu Taimiyyah. Belajar ilmu Ushul dari Syaikh Shafiyuddin al-Hindi, Ilmu Fiqih dari Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah dan Syaikh Isma’il bin Muhammad al-Harraniy.
Ibnul Qayyim pernah dipenjara, dihina dan diarak berkeliling bersama Ibnu Taimiyah sambil didera dengan cambuk di atas seekor onta. Setelah Ibnu Taimiyah wafat, Ibnul Qayyim pun dilepaskan dari penjara. Hal itu disebabkan karena beliau menentang adanya anjuran agar orang pergi berziarah ke kuburan para wali. (id.wikipedia.com)
Sedangkan karya yang dihasilkan sangat banyak sekali dalam bentuk buku-buku, diantara karya yang berkaitan dengan pendidikan adalah Tuhfatul Maudud bi Ahkamil Maulud, Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan, Miftah Darus Sa’adah, Mukhashar Raudhatul Muhibbin, Al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, Al-Jawab Al-Kafi, Thibbun Nabawy. Karya lain adalah tafsir al-Qayyim, Amtsal al-Quran, Ushul at-Tafsir (tafsir dan ilmu tafsir Al-Qur’an), Al-Ijtihad wa at-Taqlid, Ahkam Ahl adz-Dzimmah (bidang hukum), dan lain-lain.
2. Corak Pemikiran Pendidikan Ibnu Qayyim
a. Pengertian Pendidikan Islam
Makna tarbiyah menurut Ibnu Qayyim, terlihat dari komentar beliau tentang kata Rabbani yang ditafsirkan dengan makna tarbiyah. Kata Rabbani diartikan dengan makna yang seperti itu dikarenakan ia adalah pecahan dari kata kerja (fi’il) Rabba-Yarubbu-Rabban yang artinya adalah seorang pendidik (perawat), yaitu orang yang merawat ilmunya sendiri agar menjadi sempurna, sebagaimana orang yang mempunyai harta merawat hartanya sendiri agar bertambah, dan merawat manusia dengan ilmu tersebut sebagaimana seorang bapak merawat anak-anaknya (Ibnu Qayyim, Miftahus Darus Saadah jilid I: 125-126).
Berdasarkan makna tarbiyah secara etimologi di atas, Ibnu Qayyim mendefinisikan tarbiyah sebagai suatu usaha dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dilakukan pendidik terhadap perkembangan jasmani dan rohani peserta didik menuju terbentuknya kepribadian utama taat kepada Allah, berbudi pekerti mulia, berilmu tinggi dan kesehatan jasmani dan rohani.
Pendidikan menurut beliau terdiri dari empat unsur yaitu, pertama, memelihara dan menjaga fitrah anak, menuju jalan Allah (Ibnu Qayyim, Tuhfah al-maulud bi al-ahkamil Maulud: 39). Kedua, mengembangkan seluruh potensi menuju kesempurnaan, ketiga, mendidik akhlak, keempat, mendidik jasmani dan rohani sekaligus. Jika kita perhatikan secara seksama, maka makna tarbiyah secara terminologi menurut Ibnu Qayyim memiliki koherensi/persamaan dengan makna tarbiyah secara etimologi. Dan tidak pula jauh berbeda dengan apa yang dijelaskan oleh sebagian pendapat para pakar pendidikan Islam, termasuk oleh Al-Ghazali. (lihat, Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono (2009: 281).
Menurut Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy (2001: 77). Definisi tarbiyah yang dinyatakan oleh Ibnu Qayyim Al-Jauziyah ini mencakup dua makna, yaitu: pertama, tarbiyah yang berkaitan dengan ilmu seorang murabbi, yakni sebuah tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi terhadap ilmunya agar ilmu tersebut menjadi sempurna dan menyatu dalam dirinya di samping itu pula agar ilmu tersebut terus bertambah. Tarbiyah seperti ini diibaratkan sebagai seorang yang berharta merawat hartanya agar menjadi bertambah. Kedua, tarbiyah yang berkaitan dengan orang lain, yakni kerja tarbiyah yang dilakukan oleh seorang murabbi dalam mendidik manusia dengan ilmu yang dimilikinya dan dengan ketekunannya menyertai mereka agar mereka menguasai ilmu yang diberikan kepadanya secara bertahap. Tarbiyah seperti ini diibaratkan seperti orang tua yang mendidik dan merawat anak-anaknya.
Tarbiyah mencakup tarbiyah qalb (pendidikan hati) dan tarbiyah badan secara sekaligus. Dan beliau menjelaskan kaifiyah (cara) mentarbiyah hati dan badan tersebut. Beliau berkata “Antara hati dan badan sama-sama membutuhkan kepada tarbiyah. Keduanya harus ditumbuhkembangkan dan ditambah gizinya sehingga mampu tumbuh dengan sempurna dan lebih baik dari sebelumnya.” (lihat, dalam Ibnu Qayim Al-Jauziyah, Ighatsanu Lahfan min Mushahidis Syetan, (1320, Juz I: 46).
Simpulan dari makna tarbiyah di atas adalah Ibnu Qayyim memaknai sebagai proses mengajarkan ilmu dan mendidik manusia yang meliputi pendidikan hati (baca: pendidikan karakter) dan pendidikan yang bersifat jasmaniah (fisik) yang diibaratkan seperti orang tua mendidik dan merawat anak-anaknya atau seseorang yang merawat hartanya agar menjadi berkembang. Artinya pendidikan adalah sebuah proses yang mempunyai goal setting menjadikan manusia yang memanusiakan manusia dan mampu mengembangkan ilmunya.
b. Tujuan Pendidikan Islam
Tujuan utama pendidikan anak menurut Ibnu Qayyim (Miftahu Darussa’adah, hal. 5) adalah menjaga kesucian fitrah anak dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah kepada Allah. Dengan ungkapan lain, menanamkan akhlak mulia dalam diri anak didik sekaligus menghapus dan memerangi akhlak buruk dari diri mereka, menanamkan dalam diri anak sikap ubudiyah hanya kepada Allah, yang dengannya anak mampu mencapai kesempurnaan diri, kebahagiaan dan keselamatan di dunia dan akhirat.
Dalam pandangan Ibnu Qayyim Rahimahullah bahwa tujuan tarbiyah yang utama adalah menjaga (kesucian) fitrah manusia dan melindunginya agar tidak jatuh ke dalam penyimpangan serta mewujudkan dalam dirinya ubudiyah (penghambaan) kepada Allah Ta’ala. Yang demikian itu dikarenakan bahwa Allah Ta’ala tidak menciptakan hamba-Nya kecuali untuk beribadah kepada-Nya. (Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, 2009: 8)
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Qayyim jika dibandingkan dengan Al-Ghazali memiliki beberapa kesamaan: Pertama, tujuan pendidikan mereka bersifat religius dan moral, mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana taqarrub (ibadah) kepada Allah dan akhlak al-karimah merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan. Kedua, tujuan pendidikan mereka memiliki koherensi dengan tujuan penciptaan manusia dan tujuan pencarian ilmu yaitu ibadah, penghambaan kepada Allah. Ketiga, tujuan pendidikan mereka bersifat terpadu dan holistik, mengembangkan fitrah anak baik aspek ruhani maupun jasmani, akal dan kalbu secara dinamis agar mampu mengemban tugas sebagai khalifatullah, mengantarkan anak pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
c. Pokok-pokok (Materi) Pendidikan Islam
Ibnu Qayyim mengajak kepada para orang tua dan guru untuk menfokuskan pendidikan anak pada beberapa aspek. Aspek-aspek pendidikan anak yang menjadi perhatian Ibnu Qayyim meliputi Tarbiyah Imaniyah (Pendidikan Keimanan); Tarbiyah Ruhiyah (Pendidikan Ruh); Tarbiyah Fikriyah (Pendidikan Akal); Tarbiyah ‘Athifiyah (Pendidikan Perasaan). Tarbiyah Khuluqiyah (Pendidikan Akhlak); Tarbiyah Ijtima’iyah (Pendidikan Kemasyarakatan); Tarbiyah Iradah (Pendidikan Kehendak); Tarbiyah Badaniyah (Pendidikan Jasmani); Tarbiyah Riyadhah (Pendidikan olah raga); Tarbiyah Jinsiyah (Pendidikan seks). (lihat, Tuhfah al-Maulud bi Ahkam al-Maulud, h. 110-248).
Dari beberapa aspek di atas, penulis rangkum menjadi 5 pokok aspek besar yaitu:
1) Pendidikan Iman (Tarbiyah Imaniyyah)
Tarbiyah imaniyyah itu ialah sejumlah kegiatan dan pekerjaan yang dilakukan oleh murabbi terhadap anak didiknya dalam menjaga iman mereka, meningkatkan kualitas dan menyempurnakannya. Hal ini berdasarkan pernyataan Ibnu Qayyim dalam kitab Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan (1320 H, Jilid I: 46) adalah “Hati dan badan manusia sangat butuh kepada pendidikan agar keduanya mampu berkembang dan bertambah hingga meraih kesempurnaan dan kebaikan.”
Pendidikan iman adalah mengikat anak dengan dasar-dasar keimanan sejak ia mengerti, membiasakannya dengan rukun islam sejak ia memahami dan mengajarkan kepadanya dasar-dasar syariat sejak usia tamyiz.
Kewajiban pendidik adalah menumbuhkan anak atas dasar pemahaman diatas, berupa dasar-dasar pendidikan iman dan ajaran islam sejak masa pertumbuhannya. Sehingga anak akan terikat dengan islam, baik akidah maupun ibadah, dan juga ia akan selalu berkomunikasi dengannya dalam hal penerapan metode maupun peraturan.
2) Pendidikan Moral (Tarbiyah Ruhiyyah-Khuluqiyyah)
Kebutuhan yang paling mendesak adalah pemenuhan pada pembimbingan akhlak dan budi pekerti. Dengan pernyataan ini Ibnu Qayyim seakan menegaskan bahwa pendidikan memiliki peran yang sangat besar dan pengaruh yang kuat dalam pembinaan akhlak seorang anak. Karena pendidikan iman yaitu membuat anak untuk terbiasa untuk ditanamkan akhlak yang mulia pada dirinya,sedangkan penyimpangan dan perilaku yang terjadi pada diri anak dikarenakan lemahnya pendidikan akhlak yang seharusnya diberikan pada awal masa kanak-kanak.
Ibnu Qayyim (Al-Jauziyah,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 200) berkata, “Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak. Akhlak tersebut akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah,keras hati, tergesa-gesa, tidak punya pendirian, sering lupa, berkelompok, bersedih Maka sulit baginya ketika dia besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada pendidikan yang ditumbuhkan padanya.”
Melihat pendapat Ibnu Qayyim, bahwa usia kanak-kanak sangatlah peka terhadap hal-hal yang diperbuat oleh orang lain. Ia senang meniru dan mencontoh apa saja yang didengar dan dilihatnya terutama apa yang telah menjadi kebiasaan. Sedangkan akhlak sangat erat kaintannya dengan kebiasaan dan perilaku keseharian, sehingga orang tua perlu bertindak ekstra hati-hati untuk dapat mengeset pola sikap dan pergaulan dalam lingkungan anak usia dini. Pembentukan kepribadian anak terjadi melalui seluruh pengalaman hidupnya, dengan bantuan panca indera sebagai alat pelapor yang amat peka dan jujur. Apabila diterima itu baik, indah dan menyenangkan, maka menjadi pengalaman yang menentramkan batinnya.
Tujuan tarbiyah ini menurut Ibnu Qayyim dalam kitab Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, Hasan bin Ali Hasan (2001: 208) adalah merealisasikan ubudiyah kepada Allah yang menjadi sebab utama bagi kebahagiaan manusia, yang karenanya Allah menciptakan manusia, memuliakan dan menjadikannya khalifah di muka bumi. Tiada kebahagiaan dan tiada keberuntungan bagi manusiakecuali dengan menjauhkan diri dari akhlak tercela dan menghiasi diri dengan akhlak yang utama, sesungguhnya orang yang mengotori dirinya dengan akhlak yang tercela dan rusak, sungguh dia telah membuang kebahagiaan dunia dan akhiratnya.
3) Pendidikan Fisik (Tarbiyah Badaniyah)
Tarbiyah badaniyyah yaitu usaha dalam mentarbiyah badan dengan memberi gizi, pengobatan dan olah raga. Gizi harus diperhatikan macam dan jumlah yang dibutuhkan dan pengobatan bisa terjadi dari gizi yang diberikan atau dengan obat yang berdosis sedang, kemudian dengan yang berukuran tinggi, tetapi yang paling baik adalah yang pertama; yaitu dengan gizi, sedang yang paling berbahaya adalah yang ketiga yaitu obat yang berdosis tinggi. Olah raga adalah sarana yangtepat dalam tarbiyah badaniyyah, tetapi dengan syarat harus jauh dari unsur berlebih-lebihan, dan hendaknya dilakukan di waktu yang sesuai dengan badan dan kondisinya dan perlu diketahui bahwa olahraga adalah sarana untuk taat kepada Allah, jadi buka tujuan utama.
Muzaidi Hasbullah, (2001: 246) mengatakan bahwa, Ibnu Qayyim memberikan penjelasan adalah pendidikan fisik ini perlu diperhatikan adalah (1) Orang yang melakukan olah raga harus dalam keadaan bersyukur kepada Allah. (2) Penuh ketenangan dan ketentraman. (3) Memiliki akhlak Islami yang utama. (4) Selalu memohon taufik dan kebenaran dalam setiap aktivitasnya. (5) Tidak mendendam, menghina dan menertawakan lawan mainnya.
Aspek fisik yang banyak diperhatikan oleh Ibnu Qayyim Al-jauziyah dan hendak diwujudkan dalam upaya memeliharan kesehatan anak adalah dengan memperhatikan pola makan dan minum anak dan mengawasinya untuk tidak kekurangan dan kelebihan dalam hal aktivitas dan kuantitas. Ibnu Qayyim dalam Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , hal. 201 telah mengatakan:
“Anak harus dihindarkan dari cara mengkonsumsi makanan dan minuman yang berlebihan, hal itu demi menjaga terbentuknya pencernaan dan keteraturan cara kerjanya, yang sudah diketahui bahwa sehatnya badan itu tergantung pada tepatnya dan teraturnya kerja pencernaan. Dengan tidak terlalu banyak mengkonsumsi makanan dan minuman akan mengurangi penyakit, karena tubuh tidak terdapat timbunan sisa-sisa makanan.”
4) Pendidikan Sosial (Tarbiyah Ijtimaiyyah)
Pendidikan sosial, adalah mendidik anak sejak kecil agar terbiasa menjalankan perilaku sosialyang utama, dasar-dasar kejiwaan yang mulia yang bersumber pada akidah islamiyah yang kekal dan kesadaran iman yang mendalam, agar di tengah-tengah masyarakat nanti ia mampu bergaul dan berprilaku sosial baik, memiliki keseimbangan akal yang matang dan tindakan yang bijaksana Ibnu Qayyim berkata (Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 200): Menjauhkan anak dari sikap bohong, khianat yang merupakan sebesar-besarnya hal yang bisa menjauhkan dia dari ilmu yang manfaat, kapanpun itu mudah dengan jalan bohong, khianat yang bisa merusak kebahagiaan dunia dan akhirat.
Tarbiyah ini bertujuan membangun hubungan yang kuat antara individu sebuah masyarakat dengan menerapkan sebuah ikatan yang terbangun di atas kecintaan sebagai realisasi sabda Nabi Saw.yang berbunyi,
لاَيُؤْمِنُ أَحَدَ كُمْ حَتَّى يُحِبُّ لِأَخِيْهِ مَا يُحِبُّ لِنَفْسِهِ .
“Tidaklah sempurna iman salah seorang di antara kamu sehingga ia mencintai saudaranya sbagaimana mencintai dirinya sendiri.” (Hadits Shahih diriwayatkan Bukhari)
Anak pada usia tersebut lingkungan yang pertama kali terbentuk adalah dari kedua orang tua. Orang tua adalah pendidik yang harus bisa menciptakan suasana anak yang kondusif dan konstruktif, karena jika tidak mereka akan terbiasa dengan lingkungan yang jelek dan akan amat sulit untuk mengubah ke jalan yang baik. Beliau mengatakan dalam Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 201, “Tak luput pula orang tua harus bisa menjauhkan anak mereka dari sikap malas, pengangguran , acuh tak acuh , terlalu santai dan mengajari mereka bersikap sebaliknya tanpa membanggakan mereka kecuali dengan memuji dirinya sebab kesibukannya, sesungguhnya malas, menganngur, adalah indikasi-indikasi jelek dan menimbulkan Penyesalan, karena kesungguhan, rasa capek, itu adalah indikasi baik.
Dengan demikian, bahwa anak itu bisa diisi dengan apa saja yang masuk kepadanya, dan anak pada umur seperti ini jika terngiang sesuatu dalam dirinya apa saja itu termasuk jelek. Maka akan sulit baginya, juga bagi para orang tua untuk melepaskan dan menyelamatkannya. Sukses tidaknya pendidikan anak benar-benar tergantung kepada sejauh mana peran orang tua dalam membantu dan membimbing anak dalam sebuah proses perkembangan danadaptasi dengan lingkungannya. Lingkungan yang dimaksud dalam hal ini adalah mencakup segala sesuatu yang dapat mempengaruhi seluruh kemampuan dan kekuatan-kekuatan yang dimiliki anak.
5) Pendidikan Intelektual (Tarbiyah Fikriyah)
Akal adalah alat yang menggerakkan badan dan seluruh anggota tubuh dan yang menentukan baik dan rusaknya badan, jika ia baik maka baiklah seluruh badan tetapi jika rusak maka rusaklah seluruh badan. Ibnu Qayyim mengatakan, “Akal adalah raja, sedang ruh, panca indera dan seluruh anggota badan adalah sebagai rakyatnya. Jika akal rusak maka kehancuranlah yang akan dirasakan oleh seluruh rakyatnya”, (Muzaidi Hasbullah, 2001: 160)
Sedangkan yang dimaksud dengan pendidikan intelektual adalah mengerahkan daya dan kemampuan untuk mengembangkan akal (daya pikir), mendidik dan meluaskan wawasan dan cakrawala berpikir, baik kemampuan ini dikerahkan oleh murabbi dengan mentarbiyah orang lain atau dikerahkan oleh individu terhadap dirinya sendiridalam rangka mengembangkan dan mendidik akal pikirannya serta meluaskan cakrawala berpikirnya, (Muzaidi Hasbullah, 2001: 158)
Anjuran untuk mencetak keadaan anak laki-laki agar menjadi sosok yang selalu siap melakukan sesuatu , bergerak, maka layaknya makhluk Allah yang tidak memepersiapkan untuk yang lain yang didizinkan oleh syariat, sesungguhnya mempersiapkan pada hal lain tidak menguntungkan di dalamnya kematiannya yang bisa membuat dia bergerak , maka dari itu ketika melihat seorang anak yang punya kefahaman bagus itu benar sekali untuk dilakukan penjagaan yang positif serta perawatan yang baik pula, ini adalah adalah tanda mereka menerima dan termotivasi untuk ilmu yang bersemayam di relung hatinya selama belum ada apa-apa ini bisa menempatkan mereka dan memantapkan mereka serta membersihkan hatinya, beberapa pendapat yang berbeda dari setiap bentuk itu adalah siap untuk berkuda Penyebab-penyebabnya misalnya naik, melempar , bermain memanah. (Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud: 202)
Melihat pernyataan Ibnu Qayyim adalah bahwa peran orang tua sangatlah penting dalam upaya mengembangkan bakat dan kreativitas anak dengan cara membiasakan untuk diberikan aktivitas yang dapat merangsang perkembangan otaknya dan mengisinya dengan berbagai kesibukan berupa aktivitas-aktivitas positif sesuai dengan tingkat usianya. Ia dapat merangsang perkembangan otak dan memunculkan kreativitasnya. Pada sisi yang bersamaan, anak juga harus dibiasakan dengan sikap keseriusan dan sungguhan dalam setiap hal terutama belajar dan berkreasi.
d. Metode Pendidikan Islam
Pemikiran Ibnu Qayyim tentang metode pendidikan dapat diketahui dari pernyataan-pernyataan tentang aspek-aspek pendidikan di atas, misalnya ada pernyataan:
Sebagian dari apa yang dibutuhkan anak adalah kebutuhan mereka untuk mendapatkan ketenangan ketika di ajarkan pada mereka akhlak-akhlak tersebut akan tumbuh dari kebiasaan yang dilakukan oleh pendidik. ketika sang anak masih kecil maka jauhkan dari kekerasan, marah, keras hati, tergesa-gesa, tidak punya pendirian, sering lupa ,berkelompok, bersedih. Maka sulit baginya ketika dia besar menghilangkan hal tersebut, akhlak ini menjadi sifat dan tingkah yang kotor baginya, walaupun pemeliharaan sikap itu bertujuan untuk memelihara yang benar-benar maka kemudian akan jelas baginya di lain hari, karena hal ini maka mayoritas manusia yang kamu tahu rusak akhlaknya dan yang demikian sebelum ada pendidikan yang ditumbuhkan padanya. (Ibnu Qayyim,Tuhfa al-Maudud bi Ahkam al-Maulud , hal.200
Dari pendapat tersebut, maka dapat diketahui bahwa bentuk metode pendidikan akhlaq anak didik adalah dengan metode pembiasaan. Pembiasaan merupakan cara tepat untuk pembentukan akhlaq atau karakter anak karena sifat akhlaq tidak hanya bersifat teoritik tetapi bersifat aplikatif.
Ibnu Qayyim menganjurkan metode pendidikan anak yang beragam, sesuai dengan tingkat perkembangan anak. Metode keteladan bagi pembentukan prilaku anak, pembinaan budi pekerti dan penanaman sifat-sifat mulia pada diri mereka. Ibnu Qayyim mendorong agar para orang tua dan pendidik, menjadikan dirinya orang yang istiqamah dan kokoh dalam perilaku akhlaknya, agar mereka mampu mendidik anak-anaknya dengan lisan hal (qudwah) sebelum mendidik dengan kata-kata. (Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud).
Ibnu Qayyim juga menekankan tentang penggunaan metode pelatihan dan pembiasaan. Ibnu Qayyim menegaskan bahwa sedari kecil anak harus dilatih dan dibiasakan untuk mengerjakan berbagai hal yang bermanfaat baginya, agar ketika dewasa, apa yang sering dilakukannya menjadi sebuah kebiasan yang tidak bisa ditingalkan.
Disamping itu, Ibnu Qayyim merekomendasikan penggunaan metode learning by doing a good thing. Mengaktifkan dan menyertakan anak dalam berbuat baik,vseorang anak hendaknya diaktifkan dalam perbuatan-perbuatan baik sehingga akhlak yang utama menjadi sesuatu yang dicintainya. Ibnu Qayyim sepakat untuk tidak merekomendisikan penggunaan metode perdebatan dalam mendidik anak.
Masih banyak lagi metode yang digunakan oleh Ibnu Qayyim seperti metode: hafalan pemberian contoh/misal hiwar, tanya jawab, hafalan, pemberian misal, cerita/kisah, nasihat, ganjaran dan hukuman, dan lain-lain. Penggunaan metode harus diselaraskan dengan tahapan perkembangan, tingkat kecerdasan, bakat dan pembawaan anak, dan tujuannya pendidikan dan karakteristik materi.
e. Pandangan tentang Guru dan Murid
1) Guru / Pendidik
Ibnu Qayyim menyebut pendidik dengan sebutan alim rabbani. Beliau mengadopsi dari pemikiran para sahabat Nabi dan para Ulama. Beliau menukil pendapat Ibnu Abbas bahwa alim rabbani adalah mu’allim yang menekuni dunia pendidikan atau yang berprofesi mendidik manusia dengan ilmu, sebagaimana seorang ayah mendidik anaknya. Juga pendapat Al-Wahidi, bahwa kata rabbani dinisbatkan kepada Tuhan yang memiliki arti takhshish (pengkhususan) sebagai ilmu yang mengajarkan syariat dan sifat-sifat Allah SWT. Jadi menurut Ibnu Qayyim, seorang alim tidak disifati akan dengan rabbani, kecuali benar-benar mengamalkan dan mengajarkan ilmunya. Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, (2009: 281-282)
Sedangkan adab-adab Pendidik, sebagaimana dalam Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, (Manhaj: 298-305) adalah (1) Pendidik itu harus zuhud. (2) Memiliki pemahaman yang mendalam tentang agama. (3) Mau mendakwai manusia kepada cahaya petunjuk, bersabar serta mau menghidupkan hati manusia dengan ilmu dan Al-Qur’an. (4) Pendidik itu harus berhati-hati dalam memberi fatwa. (5) Termasuk dari sifat-sifat pendidik ialah tasabbut (hati-hati) dalam menjawab sesuatu yang ditanyakan kepadanya, sebelum ia menjawab atau membahasnya. (6) Pendidik harus haus terhadap ilmu bahkan rela berpergian jauh dalam rangka mencari dan menambah ilmunya. (7) Pendidik harus selalu mengamalkan ilmunya. (8) Pendidik harus memiliki sifat khasyatullah (takut kepada Allah). (9) Pendidik itu harus i rindu dan cinta kepada ilmu. (10) Pendidik hendaknya senantiasa teratur dalam proses belajar dan mengajar.
2) Murid / Peserta Didik
Ibnu Qayyim memiliki pandangan tentang fitrah anak, bahwa setiap anak dilahirkan dalam keadaan fitrah yang suci, sedangkan faktor lingkungan memiliki peranan yang dominan dalam pembentukan karakter anak, apakah ia berperilaku baik atau buruk.
Imron Rossidy (Makalah) mengatakan, bahwa Ibnu Qayyim berpendapat setiap bayi dilahirkan dalam keadaan fitrah mencintai Penciptanya, mengakui kerububiahan-Nya. Ia juga dilahirkan dengan membawa fitrah ketundukan, kesiapan untuk beribadah kepada-Nya semata. Maka jika fitrah itu benar-benar terbebas dari pengaruh-pengaruh sesat, maka ia tetap pada kesuciannya, dienul Islam. Segala keburukan yang menimpa anak adalah merupakan bentukan dari pola pendidikan yang salah ataupun pengaruh lingkungan sekitarnya.
Ibnu Qayyim dalam Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, (Solo, 2009: 283), menyebut peserta didik dengan sebutan mu’allim. Menurut beliau mu’allim adalah orang-orang yang mencari ilmu demi mendapatkan keselamatan dirinya sendiri. Orang seperti ini ikhlas dalam mencari ilmu. Ia termasuk orang yang mempelajari hal-hal yang bermanfaat dan mengerjakan apa yang dipelajarinya karena memang harus demikian jika orang yang mencari ilmu mengharapkan keselamatan (keberhasilan).
Sedangkan adab murid dalam menuntut ilmu, sebagaimana dalam Hasan bin Ali Hasan al-Hijazy (Manhaj: 319-320) adalah (1) Seorang murid hendaklah selalu mulazamah (menyertai) gurunya berusaha mengambil faedah darinya, sebab ilmu itu adalah sunnah yang diikuti dan diambil dari lisan para ulama. (2) Seorang murid jika sudah mulazamah kepada seorang guru, hendaklah ia senantiasa menuruti nasehat dan petunjuknya. (3) Wajib atas seorang pelajar untuk melembutkan suaranya ketika bertanya dan tidak sekali-kali mendebat gurunya dengan keras dan hendaklah senantiasa tekun mendengarkan keterangannya dan serius di dalamnya.
3. Relevansi Konsep Pendidikan Ibnu Qayyim Terhadap Pendidikan Islam Saat Ini
Perkembangan anak di usia dini merupakan dasar bagi perkembangan selanjutnya. Pendidikan bisa berhasil pada hakikatnya ditentukan oleh dua faktor besar yang masing-masing saling memberikan aksi dan reaksi serta saling mempengaruhi terhadap individu, dan disamping itu manusia merupakan makhluk yang perkembangannya dipengaruhi oleh pembawan dan lingkungan. Karena tidak bisa berjalan keduanya itu bila sifat-sifat bawaan belum ada , misalnya bentuk fisik, keadaan mental, kecerdasan dan sebagainya. Tidak mungkinakan saling aksi dan bereaksi yang keduanya saling mempengaruhi, hal ini telah terjadi sejak pertama kali menjadi embrio atau masa konsepsi, dan tidak mugkin pengaruh keturunan akan kelihatan kecuali dalam lingkungan.
Berdasarkan konsep pendidikan anak menurut Ibnu Qayyim di atas mengandung beberapa implikasi terhadap komponen-komponen pendidikan agama Islam kontemporer, sebagai berikut:
a. Implikasinya terhadap makna pendidikan Islam kontenporer. Makna pendidikan agama dewasa ini telah mengalami pergeseran akibat pengaruh sekularisme. Sekularisme memperlakukan pendidikan agama hanya sebagai materi pelajaran yang bersifat pengetahuan kognitif. Makna pendidikan direduksi menjadi pengajaran tentang agama bukan pendidikan agama. Akibatnya aktifitas pendidikan hanya terbatas pada transfer pengetahuan agama guna memperluas wawasan intelektual siswa, sementara substansi pendidikan yang berupa penanaman nilai-nilai moral/akhlak siswa cenderung diabaikan. Dalam konteks ini, maka makna tarbiyah menurut Ibnu Qayyim menjadi relevan. Implikasinya, meniscayakan desekularisasi makna pendidikan agama kontemporer, mengembalikan makna pendidikan sebagaimana terkandung dalam istilah tarbiyah, ta’lim dan ta’dib.
b. Implikasinya terhadap pemahaman hakikat fitrah anak dalam pendidikan Islam kontemporer. Dalam diskursus pendidikan Islam kontemporer terjadi kerancauan dan kesalah pahaman tentang hakikat anak dilahirkan dalam keadaan fitrah. Beberapa pemikir pendidikan Islam mengidentikkan konsep fitrah dalam Islam dengan konsep tabularasa. Pandangan ini, tentu saja tidak tepat bahkan menimbulkan kerancauan dan kesalah pahaman. Berdasarkan hasil analisis hakikat anak dilahirkan dalam keadaaan fitrah menurut Ibnu Qayyim berimplikasi pada penegasan dan klarifikasi bahwa konsep fitrah dalam perspektif pendidikan Islam tidak identik dengan faham/teori empirisme. Karena fitrah tidak sepenuhnya netral/kosong sebagaimana dipahami oleh pendukung aliran emperisme, tetapi mengandung makna fitrah anak sebagai makhluk yang telah dibekali potensi untuk beriman kepada Allah SWT mengakui kerububiahan-Nya, sesuai dengan tabi’at dasarnya yang memang cenderung pada agama tauhid (Islam).
Dengan demikian, dalam perspektif Islam, teori konvergensi inilah yang mendekati “kebenaran”.
c. Implikasinya terhadap orientasi tujuan pendidikan Islam kontemporer. Tujuan pendidikan Islam kontemporer mengalami disorientasi, terperangkap kedalam tujuan jangka pendek, terjerembab ke jurang pragmatisme, materialisme .
Rumusan tujuan pendidikan menurut Ibnu Qayyim berimplikasi pada perlunya reorientasi tujuan pendidikan Islam kontemporer agar kembali pada jalur yang benar demi keberhasilan proses pendidikan dalam mencapai tujuan utama pendidikan Islam agar bersifat religius dan moral, dan holistik mengarah pada realisasi tujuan keagamaan dan akhlak, dimana taqarrub kepada Allah dan akhlak mulia merupakan tujuan yang paling penting dalam pendidikan agar dapat mengantarkan pada kebahagiaan dunia dan akhirat.
d. Implikasinya terhadap pemahaman perkembangan anak dalam pendidikan Islam kontemporer. Dewasa ini masih banyak di kalangan orang tua maupun pendidik yang menganggap anak sebagai miniatur orang dewasa, mereka diperlakukan sama seperti orang dewasa. Akibatnya kreatifitas dan potensi anak tidak dapat berkembang secara optimal. Disamping itu, mayoritas orang tua dan pendidik memahami perkembangan anak dari sudut pandang teori perkembangan barat yang sekular, sehingga para pendidik kurang memahami tugas-tugas perkembangan dan perlakuan-perlakuan pendidikan yang Islami bagi anak.
e. Kelima, implikasinya terhadap cakupan aspek-aspek pendidikan Islam kontemporer. Pendidikan Islam kontemporer kurang konsen terhadap aspek-aspek pendidikan Islam. Mayoritas pendidik masih mengacu pada aspek pendidikan barat yang meliputi aspek kognitif, afektif dan psikomotorik dan menafikan aspek ruhani dan keimanan. Penekanannya pun terbatas pada aspek kognitif semata. Analisa terhadap aspek-aspek pendidikan Ibnu Qayyim berimplikasi pada reformulasi aspek- aspek pendidikan Islam kontemporer. Ibnu Qayyim mengajak kepada para orang tua dan guru untuk menfokuskan pendidikan anak pada beberapa aspek pendidikan Islam, yang meliputi aspek imaniyah, aqliyah, nafsiyah, ijtima’iyah, riyadhiyah
f. Implikasinya terhadap materi pendidikan anak pada pendidikan Islam kontemporer. Materi pendidikan agama Islam dewasa ini sering kali kurang memperhatikan tahap-tahap perkembangan anak disamping itu kurang memiliki koherensi dengan tujuan utama pendidik Islam. Konsekuensi logisnya, kurikulum pendidikan Islam di beberapa lembaga Islam masih terkesan adanya dikotomis, belum sepenuhnya merefleksikan konsep ilmu dalam perspektif Islam. Telaah tentang materi pendidikan menurut Ibun Qayyim berimplikasi pada pengembangan kurikulum di sekolah-sekolah Islam dengan kurikulum yang berisi muatan yang bersifat terpadu dan komprehensif, yang terangkum didalamnya ilmu-ilmu fardhu kifayah dengan fardhu ‘ain untuk memenuhi kebutuhan yang bersifat jasmani maupun rohani, aqliyah maupun qalbiyah secara seimbang agar memperoleh kebahagiaan di dunia dan Akhirat.
g. Ketujuh, implikasinya terhadap metode pendidikan Islam kontemporer. Pendidikan Islam kontemporer masih didominasi dengan penggunaan metode ceramah dan tanya jawab sehingga terkesan monoton dan kurang menarik minat dan motivasi belajar anak.
Pembahasan tentang metode pendidikan menurut Ibnu Qayyim yang beragam, berimplikasi pada perlunya bagi orang tua dan pendidik untuk menggunakan metode pendidikan agama yang lebih variatif. Dalam menerapkan metode-metode tersebut harus diselaraskan dengan tahapan perkembangan, tingkat kecerdasan, minat dan pembawaan anak, dan karakteristik materi dan tujuannya pendidikan agar aktivitas pendidikan menjadi efisien dan efektif.
C. PENUTUP
Tarbiyah yang diserukan oleh Ibnu Qayyim adalah tarbiyah yang dijelaskan rambu-rambu dan jalan/metode/manhajnya, bersandar kepada manhaj Allah yang suci dan bersumber dari kitabullah Al-Qur’an Al-Karim dan sunnah Nabi-Nya yang mulia. Ia adalah tarbiyah yang dinamis, yang mendidik individu dan menjadikannya mampu berinteraksi dengan masyarakat Mukmin yang dia hidup di dalamnya, dan yang menjelaskan tanggung jawab setiap lembaga sosial kemasyarakatan terhadap pendidikan. Keluarga mempunyai peranan agung dalam tarbiyah, karena keluargalah yang membentuk dan mencetak kepribadian anggota masyarakat yang memiliki karakteristik khusus sebagai simbol dari akhlak dan perilaku kedua orang tuanya, saudara-saudaranya dan seluruh anggota keluarganya. Setiap individu dalam sebuah keluarga memiliki pengaruh dan bisa dipengaruhi, mengambil dan memberi.
Ibn Qayyim al-Jawziyyah merupakan tokoh pendidikan Islam dan sekaligus seorang psikologis. Pemikirannya tentang psikologi perkembangan dan pendidikan anak memberikan kontribusi yang sangat besar bagi khazanah pendidikan Islam.
Pokok utama pemikirannya tentang psikologi dan pendidikan anak berangkat dari konsep praktis mendidik dan membesarkan anak yang didasarkan pada dua hal: pertama, bahwa anak-anak, dengan kebutuhannya yang khas, berhak mendapat perhatian dan perawatan khusus, kedua, bahwa cara bayi dan anak-anak diperlakukan mempunyai pengaruh yang panjang terhadap sifat fisik maupun psikologis mereka.
Sebagai pendapat pembanding, Mahmud Yunus dalam bukunya “Sejarah Pendidikan Islam,” menuliskan bahwa pendidikan Islam pada fase ini meliputi empat hal, adalah (1) Pendidikan kegamaan, yaitu hendaklah membaca dengan nama Allah semata-mata, jangan dipersekutukan dengan nama berhala, karena Tuhan itu Maha Besar dan Maha Pemurah. Sebab itu hendaklah dienyahkan berhala itu sejauh-jaunya. (2) Pendidikan akaliyah dan ilmiah, yaitu mempelajari kejadian manusia dari segumpal darah dan kejadian alam semesta. Allah akan mengajarkan demikian itu kepada orang-orang yang mau menyelidiki dan membahasnya. Sedangkan mereka dahulu belum mengetahuinya. Untuk mempelajari hal-hal itu haruslah dengan banyak membaca dan meyelidiki serta memakai pena untuk mencatat. (3) Pendidikan akhlak dan budi pekerti, Nabi Muhammad Saw Mengajar sahabatnya agar berakhlak baik sesuai dengan ajaran tauhid. (4) Pendidikan jasmani (kesehatan), yaitu mementingkan kebersihan pakaian, badan dan tempa kediaman. (Zuhairini , 2000 : 18-50
DAFTAR KEPUSTAKAAN
A. Susanto M.Pd., Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta : Amzah, 2009
Departemen Agama, Ensiklopedia Islam di Indonesia, Jakarta : CV. Anda Utama, 1993
Hasan bin Ali Hasan Al-Hijazy, Manhaj Tarbiyah Ibnu Qayyim, terjemahan Muzaidi Hasbullah, Jakarta: Al-Kautsar, 2001
Hussein Bahresi, Al-Jamiush Shahih: Hadits Shahih Bukhari-Muslim Pilihan, Surabaya: Karya Utama, tt
Ibnu Qayyim A-Jauziyah, Roh, Jakarta:Al-Kautsar, 2001
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Ighasatul Lahfan min Mashidis Syaithan, Kairo : Daar Ibnul Jauzi, 1320 H, Jilid 1
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Miftah Darus Sa’adah: Kunci Surga Mencari Kebahagiaan dengan Ilmu, terjemahan Abdul Matin dan Salim Rusydi Cahyono, Solo: Tiga Serangkai, 2009
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Mukhashar Raudhatul Muhibbin, terjemahan Tengku Azhar, Solo:Pustaka Al-Arafah, 2005
Ibnu Qayyim Al-Jauziyah, Tuhfatul Maudud Bi Akmamil Maulud, Bingkisan Kasih Untuk si Buah Hati, terjemahan Abu Umar Basyir al-Maedani, Solo: Pustaka Arafah, 2006
Ibnu Qayyim Al-Jauziyyah, Al-Fawaid: Menuju Pribadi Takwa, terjemahan Munirul Abidin, Jakarta: Al-Kautsar, 2008
Ismail SM,,et al, Paradigma Pendidikan Islam, Semarang:Fakultas Tarbiyah IAIN Walisongo, 2001
Jalal, Abdul Fattah, Azas-Azas Pendidikan Islam. Bandung: CV Diponegoro, 1988
Jalaluddin dan Said, Usman, Filsafat Pendidikan Islam dan Perkembangan, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1998. cet. Ke-2
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001
Mastuhu, Memberdayakan Sistem Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 1999
Nata, Abuddin, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta : Logos, 2001. cet. Ke-4
Ramayulis. Ilmu Pendidikan Islam, Jakarta: Kalam Mulia. 1994
Tafsir, Ahmad. Ilmu Pendidikan dalam Perspektif Islam, Bandung: PT. Rosdakarya, 1994
Zuharini, et.al, Sejarah Pendidikan Islam, Jakata : Bumi Aksara, 2000
sumber: http://dahare.blogspot.com/
Choose EmoticonEmoticon