-->

Rabu, 06 Mei 2015

Tsumamah bin Utsal al Hanafi adalah pemuka dari Bani Hanifah dan salah seorang Raja Yamamah yang diakui kepemimpinanya oleh masyarakat jahiliah. Pada tahun 6 hijriah, Nabi SAW mengirim suratkepadanya untuk diseru kepada Islam. Tsumamah menerima surat Nabi SAW dengan sombong dan menghinakan, bahkan ia sesumbar akan membunuh beliau untuk menghentikan dakwah Islamiyah. Ia selalu mencari peluang dan kesempatan untuk bisa membunuh Nabi SAW dan para sahabatnya, karena itu beliau menghalalkan darahnya (yakni, kaum muslimin diperbolehkan membunuhnya) dan beliau mengumumkan hal itu secara luas.

Suatu ketika Tsumamah berniat umrah ke Makkah, di perjalanan di dekat Madinah ia bertemu serombongan sahabat yang memang ditugaskan Nabi SAW untuk berjaga-jaga. Kedua pasukan terjadi bentrok, dan para sahabat tidak tahu kalau mereka adalah rombongan Tsumamah dari Yamamah. Pasukan Tsumamah dapat dikalahkan dan ditawan, kemudian diikat di tiang-tiang masjid untuk menunggu keputusan dari Nabi SAW.

Ketika beliau datang ke masjid, beliau mengamati para tawanan, beliau bertanya kepada para sahabat, "Tahukah kalian, siapakah para tawanan ini?"

Para sahabat menjawab kalau mereka tidak tahu. Maka Nabi SAW berkata, "Dia adalah Tsumamah bin Utsal al Hanafi, Raja Yamamah. Layanilah dia dengan baik…!"

Walaupun sebelumnya Nabi SAW telah menghalalkan darah Tsumamah, tetapi beliau tidak memerintahkan para sahabat membunuhnya,bahkan memerintahkan untuk melayani diri dan pasukannya dengan baik. Sungguh cerminan akhlak yang mulia dan sifat Rahmatan lil ‘Alamin. Sepulang dari Masjid, Nabi SAW menemui para istrinya dan memerintahkan untuk mengumpulkan makanan yang dimiliki untuk melayani Tsumamah dan tawanan lainnya. Beliau juga memerintahkan beberapa sahabat untuk memerah susu untuk minuman mereka.

Setelah para tawanan selesai menikmati suguhan yang diberikan, Rasulullah SAW mendatangi Tsumamah, dan beliau menanyakan keadaannya. Tsumamah berkata, "Keadaanku baik saja, wahai Muhammad, sekiranya engkau ingin membunuh, bunuhlah mereka yang telah melukai dan membunuh orang-orangmu. Dan sekiranya engkau ingin mengampuni, maka ampunilah orang yang tahu bersyukur. Dan sekiranya engkau ingin harta, kami akan memberikan sebanyak apa yang kau minta."

Nabi SAW hanya tersenyum mendengar jawaban itu tanpa berkata apapun, kemudian meninggalkannya. Beliau membiarkannya dalam keadaan seperti itu selama dua hari, tetapi tetap memberikan hidangan dan minuman yang mereka butuhkan.

Setelah dua hari itu, Nabi SAW menemui Tsumamah lagi dan bertanya, “Hai Tsumamah, bagaimana keadaanmu?"

"Wahai Muhammad," Kata Tsumamah, "Aku tidak mempunyai keputusan lain, selain apa yang kusampaikan padamu tempo hari."

Kemudian ia mengulang apa yang ia ucapkan sebelumnya, dan Nabi SAW meninggalkannya. Keesokan harinya, beliau mendatanginya lagi dan menanyakan keadaan dan keputusannya, tetapi Tsumamah tetap teguh dengan apa yang disampaikannya sebelumnya. Nabi SAW bersabda pada para sahabatnya, "Bebaskanlah Tsumamah dan berikanlah tunggangannya..!"

Tsumamah-pun dilepaskan, ia berjalan ke luar kotaMadinah. Di suatu tempat dekat Baqi’ dimana banyak ditanami pohon kurma dan terdapat mata air, ia beristirahat dan membersihkan diri di mata air tersebut. Ia duduk merenung. Masih jelas tergambar di fikirannya, bagaimana aktivitas Nabi SAW dan para sahabat dalam tiga hari tersebut. Ia juga menyadari bagaimana beliau tidak membunuh atau menyuruh membunuhnya walaupun sebelumnya telah menghalalkan darahnya. Bahkan walaupun tertawan, beliau masih melayani kebutuhan makan minumnya dengan baik. Terbukalah pintu hatinya, dan hidayahpun menghampirinya.

Ia kembali ke masjid, di depan para sahabat yang sedang berkumpul, ia dengan lantang mengucapkan dua kalimah syahadat untuk menyatakan keislamannya. Kemudian ia menghadap Nabi SAW dan berkata, "Ya Muhammad, Demi Allah, dahulu tidak ada wajah yang paling aku benci kecuali wajahmu, tetapi hari ini, wajahmu menjadi wajah yang paling aku cintai. Demi Allah, dahulu tidak ada agama yang paling aku benci kecuali agamamu, tetapi hari ini, agamamu menjadi agama yang paling aku cintai. Demi Allah, dulu tidak ada tempat yang paling aku benci kecuali tempatmu, tetapi hari ini, tempatmu adalah menjadi tempat yang paling aku cintai."

Nabi SAW menyambut gembira keislaman Tsumamah. Ketika ia menanyakan tentang apa yang harus dilakukannya untuk menebus dosa-dosanya karena menyebabkan banyak musibah yang menimpa sahabat-sahabat Nabi SAW, beliau bersabda, "Tidak ada cercaan bagimu, hai Tsumamah, keislamanmu telah menghapuskan dosa-dosamu yang kau lakukan dalam masa jahiliah."

Kemudian Nabi SAW memerintahkan para sahabatnya membebaskan tawanan lainnya, yang merupakan anggota pasukan dan kawan-kawan Tsumamah. Mereka semua akhirnya mengikuti jejak Tsumamah memeluk Islam. Tsumamah berkata, "Demi Allah, wahai Rasulullah, selama ini aku banyak memberikan kesusahan kepada sahabat-sahabatmu, jauh lebih hebat daripada yang dilakukan oleh orang-orang Quraisy, karena itu sejak saat ini, aku akan menyerahkan diriku, pedangku, dan orang-orang yang bersamaku untuk membantumu dan membantu agamamu."

Nabi SAW menerima ikrar (ba’iat) yang disampaikan oleh Tsumamah dan pasukannya tersebut, dan beliau mendoakan mereka dengan kebaikan.

Kemudian Tsumamah berkata lagi, "Wahai Rasulullah, aku dan pasukanku berniat untuk umrah ke Makkah ketika pasukanmu menangkapku, apakah aku harus mengurungkan niatku itu?"

Nabi SAW melarangnya untuk membatalkan niat pelaksanaan umrah tersebut, hanya saja mereka harus melakukannya dengan tata cara yang sesuai tuntunan Allah dan RasulNya, dan Nabi SAW mengajarkan tata cara umrah menurut syariat Islam.

Segera setelah itu Tsumamah dan pasukannya bertolak ke Makkah, dengan niat yang sama tetapi dengan jiwa dan semangat yang jauh berbeda dengan sebelumnya. Sampai di Makkah, rombongan umrah Tsumamah melantunkan talbiah sebagaimana diajarkan Nabi SAW dengan gegap gempita, dengan pedang dan persenjataan tersandang siap digunakan. Inilah pertama kalinya talbiah bergema menggetarkan kota Makkah.

Tentu saja hal itu menarik perhatian rombongan umrah lainnya, dan kaum Quraisypun sebagai pengelola tanah suci menjadi marah. Mereka datang dengan pedang terhunus dan panah menghambur ke rombongan Tsumamah. Ketika hampir saja Tsumamah dan pasukannya yang siap siaga itu diserang dan ditangkap, tiba-tiba terdengar teriakan salah seorang Quraisy, "Celaka kalian! Tahukah kalian siapa dia? Dia adalah Tsumamah bin Utsal, Raja Yamamah. Demi Allah, jika kalian menangkap dan membunuhnya, kaumnya akan menghentikan bantuan makanan kepada kita, dan kita akan mati kelaparan."

Mendengar peringatan tersebut, mereka batal menyerang, dan menghampiri Tsumamah dengan pedang masih terhunus, kemudian bertanya, "Apa yang terjadi denganmu, wahai Tsumamah, apakah engkau murtad dari agama nenek moyangmu?"

"Tidak, aku tidak murtad, tetapi aku telah mengikuti sebaik-baiknya agama, yakni agama Muhammad," Kata Tsumamah dengan tegas, lalu melanjutkan, "Aku bersumpah Demi Tuhannya Ka'bah, setelah aku pulang ke Yamamah, tidak akan ada satu butir gandum yang sampai ke Makkah, sebelum kalian mengikuti agama Muhammad."

Kaum Quraisy tak berkutik dengan ancaman tersebut, dan mereka membiarkan rombongan Tsumamah berumrah secara Islami.

Ancaman Tsumamah ternyata bukan hanya gertak sambal, ia melakukan embargo makanan untuk kaum Quraisy, sehingga mengakibatkan penderitaan dan kesulitan makanan di Makkah, bahkan bencana kelaparan mulai menjadi-jadi. Tentu mereka amat berat untuk memeluk Islam seperti “persyaratan” yang diminta Tsumamah. Tetapi mereka menemukan pilihan lain, para pimpinan Quraisy datang ke Madinah, meminta tolong kepada Nabi SAW agar Tsumamah menghentikan embargo makanannya ke Makkah. Mereka meminta atas nama kekerabatan dan kemuliaan akhlak beliau, yang suka menolong dan menyambung silaturahmi. Nabi SAW pun menulis surat kepada Tsumamah untuk mengirimkan bantuan makanan lagi bagi penduduk Makkah.

Setelah menerima surat Nabi SAW, Tsumamahpun langsung mematuhinya. Padahal sebenarnya ia menginginkan agar mereka memeluk Islam dahulu baru ia memberikan bantuan makanan itu. Tetapi kecintaan dan ketaatannya kepada Rasulullah SAW mengalahkan keinginannya sendiri. Makkahpun selamat dari bencana kelaparan.

Ketika Musailamah al Kadzdzab mendakwahkan dirinya sebagai nabi di Yamamah, saat itu Nabi SAW masih hidup, Tsumamah menentangnya dengan keras. Musailamah yang juga pembesar Bani Hanifah itu akhirnya menjadi pemimpin dari orang-orang yang murtad sekaligus menjadi nabinya.

Ketika Nabi SAW wafat, semakin banyak orang menjadi pengikutnya dan kekuatannya makin besar, Tsumamah-pun berseru lantang kepada kaumnya, "Hai Bani Hanifah, ini adalah perbuatan orang-orang yang dzalim. Kecelakaan besar dari Allah bagi orang-orang yang mengikuti Musailamah, dan ujian bagi orang yang tidak mengikutinya. Hai Bani Hanifah, tidak akan ada dua nabi dalam masa yang sama, dan tidak ada nabi lagi setelah Nabi Muhammad SAW."    Kemudian Tsumamah bersama orang-orang yang masih teguh dengan keislamannya memerangi pasukan Musailamah, sehingga akhirnya ia syahid dalam memerangi nabi palsu yang masih kerabatnya tersebut.





Baca Artikel Terkait: