-->

Senin, 11 Mei 2015

Ya’juj dan Ma’juj merupakan salah satu tanda besar akan tibanya hari kiamat, yakni setelah terbunuhnya Dajjal oleh Nabi Isa AS. Namun Ya’juj dan Ma’juj itu sendiri telah ada jauh sebelum diutusnya Nabi Muhammad SAW. 

Sebagian ulama menyebutkan bahwa Ya’juj dan Ma’juj merupakan jenis, bangsa atau ras manusia juga yang diturunkan dari salah cucu Nabi Nuh AS, Sanaf bin Yafits bin Nuh, hanya saja tidak diketahui pasti pada generasi yang ke berapa. Yang jelas, bangsa atau ras Ya’juj dan Ma’juj ini mempunyai agresivitas tinggi, yang sifatnya sangat merusak dan menganggu kehidupan manusia lainnya. Mereka suka menyerang dan merampok bangsa-bangsa di sekitarnya, dan bertindak sangat kejamnya, sehingga menjadi momok dan ancaman bagi masyarakat sekitarnya.

‘Rekaman’ paling sahih tentang keberadaan Ya’juj dan Ma’juj ini terdapat dalam QS Al Kahfi ayat 92 hingga 98, yang merupakan bagian dari kisah Dzul-Qarnain. Sedang munculnya menjelang kiamat, setelah terbebasnya Ya’juj dan Ma’juj ini dari dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain, disitir dalam QS Al Anbiya ayat 96. Beberapa hadits tentang tanda-tandakiamat, juga menjelaskan tentang keberadaan Ya’juj dan Ma’juj ini.

Dzul-Qarnain, atau dikenal dengan nama Iskandar Zulkarnain, dalam sejarah terkadang dihubungkan (disamakan) dengan nama Iskandar dari Macedonia atau The Great Alexander, bukanlah seorang Nabi atau Rasul, tetapi seseorang yang memiliki keutamaan dan prestasi luar biasa sehingga namanya diabadikan dalam Al Qur’an. Sebagian riwayat menyebutkan ia hidup pada masa Nabi Isa AS, tetapi ada juga yang menyebutkan sebelumnya, yakni sekitar tahun 300 sebelum Masehi. Ada juga pendapat yang menyebutkan ia hidup sekitar 1500 sebelum Hijriah, atau 900 sebelum Masehi, Wallahu A’lam. 

Allah memberikan kepada Dzul-Qarnain keimanan, kecerdasan, kekuatan dan kekuasaan, serta pasukan yang sangat kuat. Ia bisa menaklukkan dan menyatukan wilayah barat (Afrika) hingga wilayah di timur (India), menghapuskan segala macam kedzaliman dan menebarkan keimanan serta kedamaian di wilayah-wilayah tersebut. Kemudian Dzul-Qarnain melanjutkan misinya ke arah utara hingga tiba di suatu negeri yang bergunung-gunung. Ada yang menyebutkan itu di wilayah Turki, atau wilayah Azerbaijan atau Armenia sekarang ini. 

Dzul-Qarnain kesulitan melakukan komunikasi dengan penduduk di daerah itu karena mempunyai bahasa yang berbeda, tetapiakhirnya ia memahami kalau masyarakat di sana sering mengalami gangguan dan ancaman dari bangsa Ya’juj dan Ma’juj yang berdiam di antara gunung-gunung yang menjulang tinggi. 

Mereka berkata: "Hai Dzul-Qarnain, sesungguhnya Ya'juj dan Ma’juj itu orang-orang yang membuat kerusakan di muka bumi, maka dapatkah kami memberikan sesuatu pembayaran kepadamu, supaya kamu membuat dinding antara kami dan mereka?"

Sejak awal melakukan ‘muhibah’ ke segala penjuru bumi, Dzul-Qarnain mempunyai misi untuk menyebarkan kebaikan dan keamanan semata-mata karena mengharap keridhoan Allah, tidak karena ambisi kekuasaan, kekayaan dan nama besar. Karena itu ia berkata, “Apa yang telah dikuasakan oleh Tuhanku kepadaku terhadapnya adalah lebih baik, maka tolonglah aku dengan kekuatan (manusia dan alat-alat), agar aku membuatkan dinding antara kamu dan mereka!!”

Dzul-Qarnain mulai menggerakkan pasukannya untuk membuat proyek dinding atau bendungan yang akan menutup akses Ya’juj dan Ma’juj keluar dari wilayahnya, dengan bantuan penduduk setempat. Ia meminta mereka untuk mengumpukan potongan-potongan besi dan tembaga sebagai bahan pembuatannya. Sebagian ulama menyebutkan, dinding atau bendungan itu terdiri atas dua lapisan besi setinggi dua gunung yang mengapitnya, di tengah-tengahnya dituangkan tembaga yang telah dicairkan dengan panas sangat tinggi. 

Entah teknologi atau arsitektur apa yang digunakan Dzul-Qarnain dalam merealisasikan bendungan baja tersebut, sehingga begitu kokohnya hingga dekat datangnya hari kiamat kelak. Tetapi yang jelas, hal itu tidak terlepas dari bimbingan ilham (wahyu) Allah kepadanya. Sikap tawadhu Dzul-Qarnain tampak sekali ketika dinding atau bendungan itu telah selesai dikerjakan. Ia berkata, “

Ini (dinding) adalah rahmat dari Tuhanku, maka apabila sudah datang janji Tuhanku, Dia akan menjadikannya hancur luluh, dan janji Tuhanku itu adalah benar!!"

Sebagian riwayat menyebutkan, tempat tinggal Ya’juj dan Ma’juj itu adalah jurang yang begitu dalam, terkurung oleh dua gunung yang mendindinginya begitu tinggi, hampir tidak bisa didaki karena begitu licinnya. Di balik gunung-gunung itu hanya batu-batuan yang sangat curam dan terjal, serta lautan luas yang begitu ganas gelombangnya. Setelah jalan keluarnya tertutup dengan dinding yang dibuat oleh Dzul-Qarnain itu, praktis Ya’juj dan Ma’juj terisolasi dari dunia luar, bahkan sinar matahari tidak bisa menembus tempat tinggalnya. Namun demikian, dengan kehendak Allah, mereka tetap bertahan hidup hingga menjelang kiamat kelak, bahkan berkembang biak dengan sangat cepatnya sehingga jumlahnya jauh lebih banyak daripada manusia. 

Sahabat Abu Hurairah meriwayatkan, bahwa Nabi SAW menjelaskan kalau setiap harinya Ya’juj dan Ma’juj itu melakukan penggalian untuk menembus gunung atau dinding baja tersebut. Setelah seharian penuh melakukan penggalian begitu dalam dan jauhnya, bahkan hampir saja mereka bisa melihat sinar matahari, salah satu pemimpinnya akan berkata, “Berhenti, kembalilah kamu sekalian, kita lanjutkan besok pagi untuk menggalinya!!”

Malam harinya Allah mengembalikan lagi dinding gunung atau bendungan itu seperti semula, sehingga pagi harinya mereka harus menggali lagi dari awal. Ketika mereka telah hampir menembus dan nyaris melihat sinar matahari, lagi-lagi pemimpinnya menghentikan untuk melanjutkan penggalian keesokan harinya. Pada malam harinya Allah mengembalikan galian mereka seperti semula. Begitulah berulang-ulang hingga hari kiamat menjelang, dan memang seperti itulah yang dikehendaki Allah, Ya’juj dan Ma’juj akan muncul ketika kiamat benar-benar telah sangat dekat. 

Sebagian ulama berpendapat, ketika kemunculannya menjelang hari kiamat kelak, Ya’juj dan Ma’juj mempunyai bentuk yang sangat berbeda dengan umumnya manusia sekarang, walau sebenarnya berasal dari ras manusia juga. Mereka terdiri dari tiga bentuk dengan ukuran yang berbeda. Pertama mirip dengan lebah atau pohon besar (al arzi) dengan ukuran yang sangat besar, yakni 120 hasta atau sekitar 60 meter. Kedua ukurannya lebih kecil dan berbentuk persegi panjang dengan daun telinga yang sangat lebar. Ketika tidur, satu telinga dipakai untuk alas dan telinga satunya untuk selimut. Ketiga sangat kecil, tak lebih dari sejengkal saja. Tetapi mereka itu semuanya bercakar, atau kukunya sangat panjang, dan suaranya seperti auman singa atau gonggongan anjing.

Tentu sulit dijelaskan secara ilmiah bagaimana bisa seperti itu, tetapi kalau mengutip Teori Evolusi Darwin, terlepas bahwa kita tidak boleh mempercayai pendapatnya bahwa manusia berasal dari jenis primata atau kera, bisa saja Ya’juj dan Ma’juj mengalami evolusi dan menjalani proses adaptasi sehingga menjadi tiga bentuk dan ukuran yang berbeda seperti itu. Untuk diketahui, Nabi Adam AS diciptakan Allah setinggi 60 hasta atau sekitar 30 meter, tentunya Nabi Nuh AS tidak jauh berbeda dengan beliau. Tetapi apapun bentuk dan ukurannya, benar atau tidak seperti itu hanyalah Allah saja yang lebih mengetahui, mereka memang ‘disiapkan’ oleh Allah untuk menjadi tanda besar datangnya kiamat. Dan mereka semua itu hanya akan menjadi penghuni neraka jahanam karena tidak ada satupun yang beriman.

Dalam sebuah hadist cukup panjang tentang tanda-tanda kiamat, dari sahabat Nawwas bin Sim’an, Nabi SAW menceritakan bahwa setelah membunuh Dajjal dan menyelamatkan kaum muslimin dari fitnahnya, Allah berfirman kepada Nabi Isa AS, “Sesungguhnya Aku akan mengeluarkan hamba-hamba-Ku yang tidak akan terkalahkan oleh siapapun juga (maksudnya adalah Ya’juj dan Ma’juj), karena itu selamatkanlah mereka (yakni kaum muslimin yang saleh-saleh) ke bukit Thursina…!!”

Maka Nabi Isa membawa kaum muslimin menuju bukit Thursina, dan tak lama setelah itu, atas kehendak Allah, dinding baja yang dibuat Dzul-Qarnain berhasil ditembus oleh Ya’juj dan Ma’juj, yang dengan cepatnya bergerak ‘membanjiri’ bumi di sekitarnya, seperti digambarkan dalam QS Al Anbiya ayat 96, “Hingga apabila dibukakan (tembok) Ya’juj dan Ma’juj, dan mereka turun dengan cepat dari seluruh tempat yang tinggi...”

Walau dalam bentuk yang tidak lazim seperti manusia, tetapi Ya’juj dan Ma’juj itu juga bersenjata semacam panah. Mereka merusak, menyerang dan menghancurkan apapun yang mereka temui. Manusia dan binatang-binatang yang telah terbunuh, kecil ataupun besar, langsung dimakannya mentah-mentah. Bahkan jika ada sesamanya dari Ya’juj dan Ma’juj yang mati, mereka memakannya juga, dan tidak ada dari mereka yang mati kecuali telah menurunkan (berkembang biak) paling tidak seribu orang. Ketika melalui danau Thabariyah yang begitu luas dan penuh airnya, mereka meminumnya hingga habis dalam sekejab, bahkan bagian belakang dari pasukan Ya’juj dan Ma’juj ini mendapatinya dalam keadaan kering, dan berkata, “Tentunya di sini ada air sebelumnya!!”

Hampir seluruh penjuru bumi telah diserang dan dipenuhi oleh Ya’juj dan Ma’juj, kecuali empat tempat, Makkah, Madinah, Baitul Maqdis dan bukit Thursina. Sama seperti ketika Dajjal menjelajah bumi, empat tempat itu dijaga ketat oleh para malaikat sehingga mereka tidak mampu memasukinya. Di tempat lainnya, hampir tidak ada manusia yang bertahan hidup, atau kalaupun ada, mereka merasakan kesengsaraan yang luar biasa. Tidak ada sungai, danau atau sumber air lainnya kecuali telah mengering dihabiskan airnya. Begitu juga hampir tidak ada pepohonan dan tanam-tanaman, atau sumber makanan lainnya kecuali telah dirusak, dihancurkan atau dihabiskan oleh mereka ini. Bahkan orang-orang yang bertahan hidup di empat tempat tersebut, termasuk Nabi Isa AS dan para pengikutnya juga mengalami penderitaan yang tidak terperikan karena terbatasnya makanan. Satu kepala sapi saat itu bisa lebih berharga dari pada seratus dinar (satu dinar adalah uang emas berkadar 22 karat dengan berat hampir 4 gram). 

Dalam puncak penderitaan itu, Nabi Isa berdoa kepada Allah agar Ya’juj dan Ma’juj dilenyapkan, dan Allah mengabulkannya. Tiba-tiba mereka dihinggapi penyakit, semacam ulat yang menggerogoti leher dan mereka jatuh bergelimpangan di tempatnya masing-masing. Riwayat lainnya menyebutkan, mereka dihantam oleh angin puyuh yang pernah menghancurkan kaum ‘Ad, dan hanya dalam waktu satu jam tidak satupun dari mereka yang masih hidup.

Nabi Isa dan kaum muslimin lainnya langsung sujud syukur. Tetapi permasalahan belum selesai sampai di situ. Begitu turun dari bukit Thursina, mereka sangat terganggu dengan adanya bangkai Ya’juj dan Ma’juj yang tidak mungkin mereka kuburkan secara normal karena begitu banyaknya. Lagi-lagi Nabi Isa berdoa, dan Allah mengirimkan ribuan burung sebesar unta, yang berwarna hitam dan berparuh besar. Dengan paruhnya, mereka membawa bangkai-bangkai itu ke tempat yang tidak dihuni manusia. Dalam riwayat lainnya, bangkai-bangkai itu dibuang ke laut untuk makanan ikan-ikan dan penghuni laut lainnya. 

Walau bangkainya telah lenyap, tetapi kotoran Ya’juj dan Ma’juj itu masih berserakan di seantero bumi, begitu juga dengan baunya yang menusuk hidung. Maka Nabi Isa kembali berdoa kepada Allah, dan Allah menurunkan hujan yang begitu derasnya, membersihkan dan menyucikan bumi seperti sediakala. Tetapi baunya tidak bisa lenyap begitu saja, diperlukan waktu tujuh tahun sampai bau Ya’juj dan Ma’juj itu benar-benar hilang, terkadang dibantu dengan menyalakan api untuk mengurangi baunya.

Tentang Ya’juj dan Ma’juj ini, ada juga sekelompok ulama yang menganggap bahwa nama itu hanyalah istilah untuk suatu bangsa yang suka menyerang, mengganggu atau membantai bangsa lainnya. Seperti misalnya pasukan Monggolia yang dipimpin oleh Hulagu, yang pernah menghancurkan hampir separuh Asia, termasuk imperium Islam saat itu, berikut simbol-simbol dan buku-buku ilmu pengetahuan. Tetapi mayoritas ulama menolak pendapat ini, karena jelas-jelas Al Qur’an dan beberapa hadits sahih menjelaskan keberadaannya. Wallahu A’lam.





Baca Artikel Terkait: