-->

Selasa, 12 Mei 2015

Seorang guru dan ulama bernama Hariri selalu menjaga akhlak dan tingkah lakunya agar menjadi teladan bagi murid-murid dan orang-orang di sekitarnya. Hal itu menjadikan dirinya terkenal dan dianggap sebagai orang yang terpercaya. Tetapi tanpa disadarinya, sikap ‘jaim’ Hariri agar menjadi teladan masyarakat itu hampir saja mencelakakan dirinya.

Suatu ketika ada seorang pedagang yang akan bepergian jauh. Ia mempunyai budak wanita sangat cantik yang sangat disayanginya, karena khawatir akan keselamatan budaknya itu jika diajak serta dalam perjalanannya, ia menitipkan pada ‘pondoknya’ Hariri. Ia beranggapan, dibawah pengawasan dan penjagaan Hariri yang begitu baik akhlaknya, budak kesayangannya itu akan selamat hingga ia kembali lagi.

Tetapi namanya bersama-sama dengan wanita yang begitu rupawannya, sedikit demi sedikit muncul perasaan cinta pada diri Hariri. Dalam pepatah Jawa dikatakan : Rasa cinta itu muncul karena sering bertemu dan bersama (Trisno jalaran saka kulino), hal inilah yang terjadi pada diri Hariri. Terjadi pertentangan dalam jiwanya, antara menuruti gairah cinta yang muncul, atau menjaga akhlak dan sikap amanat yang telah dipupuknya selama ini. 

Ketika pertentangan jiwanya makin memuncak, Hariri mendatangi gurunya di bidang sufi, syaikh al Haddad. Setelah menceritakan semua yang dialaminya, Al Haddad hanya berkata, “Pergilah kamu menghadap Yusuf bin Husein!!”

Berbeda dengan dirinya yang mempunyai nama harum dan terjaga, nama Yusuf bin Husein mempunyai ‘cacat’ di masyarakat. Tetapi karena gurunya yang memerintahkan, Hariri tetap berangkat ke tempat tinggalnya. Orang-orang yang bertemu dengannya selalu mengucap salam penuh hormat dan menanyakan kepergiannya. Begitu dijawab kalau ia mencari Yusuf bin Husein, mereka selalu berkata, “Wahai orang yang saleh, janganlah engkau mendekati Ibnu Husein, karena ia orang yang sangat nista. Ia orang yang suka membuat bid’ah dan minum anggur (khamr)…!!”

Walau mengucapkan terima kasih atas nasehat mereka itu, Hariri tetap menuju rumahnya. Tetapi ketika ia telah berdiri di pintu rumahnya, dan melihat Yusuf bin Husein tengah duduk dengan seorang pemuda menghadapi sebotol anggur di meja, ia berkata keras, “Apakah artinya tingkah lakumu ini??”

Hariri lupa bahwa maksud kedatangannya adalah atas perintah gurunya, Al Haddad karena permasalahan yang tengah dihadapinya. Perasaannya sebagai teladan dan tokoh masyarakat langsung mengemuka ketika melihat ‘kemaksiatan’ di depan matanya. Tetapi Yusuf bin Husein tetap tenang dan hanya memandangnya sesaat, kemudian berkata, “Sengaja aku memilih sikap yang seperti ini, sehingga orang-orang tidak akan pernah mengamanatkan budak-budaknya yang cantik rupawan kepadaku!!”

Hariri tersentak kaget, ia belum menceritakan apapun, dan tidak mungkin gurunya Al Haddad telah menceritakan keadaan jiwanya kepada Ibnu Husein karena ia langsung berangkat setelah dari rumah gurunya itu. Sadarlah ia kalau Yusuf bin Husein ini bukan orang sembarangan, hanya saja ia ‘menyembunyikan’ hakikat dirinya dari masyarakat umum. Segera saja Hariri meminta maaf, dan meminta nasehat lebih lanjut tentang permasalahannya. 

Setelah pertemuannya dengan Ibnu Husein tersebut, Hariri tidak lagi menyibukkan diri menjaga nama dan image dirinya. Tetapi ia lebih memfokuskan diri untuk melatih dan menjaga hawa nafsunya agar tidak terjebak dalam perangkap dan tipuan syaitan terkutuk, khususnya atas nama ketinggian akhlak dan kebaikan amal-amal ibadahnya.





Baca Artikel Terkait:




Choose EmoticonEmoticon