-->

Rabu, 08 April 2015

Kisah Sahabat Nabi

Sa'd Bin Ubadah Ra

Sa'd bin Ubadah adalah sahabat Anshar pada angkatan pertama, ia memeluk dan mengukuhkan keislamannya di hadapan Nabi SAW pada Ba'iatul Aqabah kedua. Ia seorang tokoh dari suku Khazraj, putra dari Ubadah bin Dulaim bin Haritsah, seorang tokoh yang terkenal kedermawanannya di masa jahiliah. Ubadah bin Dulaim selalu menyediakan makanan bagi tamu dan musafir siang dan malam, pada siang hari ia menugaskan orang untuk mengundang siapa saja untuk makan dirumahnya. Dan pada malam harinya ia menyuruh seseorang lainnya menyalakan api sebagai petunjuk jalan, sekaligus mengundang orang untuk makan malam di rumahnya. Tidak heran jika sifat dan sikap tersebut menurun pada diri anaknya, Sa'd bin Ubadah.

Pada masa awal hijrah di Madinah, Rasulullah SAW mempersaudarakan orang-orang Muhajirin, yang kebanyakan dalam keadaan miskin karena meninggalkan harta kekayaannya di Makkah dengan seorang sahabat Anshar. Umumnya para sahabat Anshar menjamin dan melayani dua atau tiga orang sahabat Muhajirin, tetapi Sa'd bin Ubadah membawa 80 orang Muhajirin ke rumahnya. Karena kebiasaan sejak nenek moyangnya yang sulit atau tidak bisa ditinggalkannya itu, Sa’d pernah berdoa, "Ya Allah, tiadalah (harta) yang sedikit ini memperbaiki diriku, dan tidak pula baik bagiku…."

Nabi SAW mendengar doanya, dan beliau memahami bahkan sangat memuji sifat dermawannya tersebut. Maka beliau ikut mendoakannya, "Ya Allah, berilah keluarga Sa'd bin Ubadah, karunia dan rahmat-Mu yang tidak terbatas!!”

Karena doa Rasulullah SAW tersebut, Sa'd bin Ubadah beserta keluarganya selalu dilimpahi kelebihan harta sehingga "tradisi" kedermawanan seolah menjadi "brandmark" keluarga besar ini. Putranya, Qais bin Sa'd juga mempunyai "kegemaran" yang sama, bahkancenderung berlebihan dalam bersedekah pada usianya yang masih sangat muda. Sa'd tidak pernah melarang atau mencegahnya, sehingga Abu Bakar dan Umar pernah memperbincangkan "gaya hidup" pemuda tersebut dengan berkata, "Kalau kita biarkan pemuda ini dengan kedermawanan dan kepemurahannya, pastilah akan habis tandas kekayaan orang tuanya….!"

Ketika pembicaraan tersebut sampai kepada Sa'd bin Ubadah, ia berkata, "Siapakah yang dapat membela/memberi hujjah diriku atas Abu Bakar dan Umar? Diajarkannya kepada anakku bersikap kikir dengan memakai namaku…!"

Sa'd bin Ubadah juga terkenal sebagai tokoh Madinah yang sering memberikan perlindungan dan menjamin keamanan perdagangan dari mereka yang lewat atau berkunjung di Madinah, termasuk kafilah dagang kaum Quraisy. Ada peristiwa menarik yang terjadi pada Ba'iatul Aqabah kedua.

Sekitar tujuh puluh lima atau lebih orang Yatsrib yang berba'iat kepada Nabi SAW sebenarnya hanya sebagian saja dari rombongan haji (tradisi jahiliah) dari kota tersebut yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul. Ketika ba'iat yang dilakukan pada sepertiga malam akhir di salah satu hari tasyriq telah selesai, tiba- tiba ada orang yang memergoki pertemuan tersebut dan berteriak memanggil kaum Quraisy. Nabi SAW segera menyuruh mereka kembali ke perkemahannya, berbaur dengan kaum musyrikin Yatsrib lainnya dan pura-pura tidur.

Pada pagi harinya ketika kaum Quraisy mendatangi perkemahan orang Yatsrib untuk mengecek kebenaran berita tentang pertemuan (sebagian) mereka dengan Nabi SAW, dan tentu saja Abdullah bin Ubay menolak dengan keras ‘tuduhan’ tersebut. Memang, selama ini penduduk Yatsrib selalu memberitahukan kepada Abdullah bin Ubay, tindakan dan keputusan yang mereka ambil, mereka tidak berani melangkahinya begitu saja. Tetapi pada peristiwa ini, untuk pertama kalinya mereka menyembunyikan sikapnya dari pemimpinnya tersebut, yang kemudian hari menjadi pimpinan dan tokoh dri kaum munafik. Kaum kafir Quraisy tidak bisa berbuat banyak dengan penolakannya itu, tetapi diam-diam mereka melakukan penyelidikan.

Ketika musim haji telah selesai dan para peziarah telah pulang ke daerahnya masing-masing, kaum kafir Quraisy memperoleh bukti dan saksi kuat bahwa orang-orang Yatsrib memang terlibat dalam pertemuan tersebut. Merekamelakukan pengejaran, tetapi terlambat, hanya saja mereka mendapati dua orang yang tertinggal, yakni Sa'd bin Ubadah dan Mundzir bin Amir. Mereka melepaskan Mundzir karena tampak lemah, sedang Sa'd diikat dan dibawa kembali ke Makkah.

Sampai di Makkah, Sa'ddikerumuni, lalu dipukul dan disiksa layaknya kalangan miskin di Makkah yang memilih memeluk Islam, padahal ia adalah tokoh terpandang dan dermawan yang sangat dihormati di Madinah. Inilah sahabat Anshar pertama yang disiksa karena keislamannya, atau bisa jadi Sa'd satu-satunya sahabat Anshar yang "menikmati" pengalaman pahit sahabat muhajirin yang memeluk Islam, yakni penyiksaan tokoh-tokoh kaum kafir Quraisy. Ketika penyiksaan makin memuncak dan ia mulai tampak lemah, ada seseorang yang berkata kepadanya, "Tidak adakah kalangan di antaramu yang mengikat jaminan perlindungan dengan salah seorang Quraisy?"

"Ada..!!" Kata Sa'd bin Ubadah.

"Siapa orang Quraisy itu?"

"Jubeir bin Muth'im dan Harits bin Harb bin Umayyah…!"

Sa'd bin Ubadah memang pernah memberikan jaminan perlindungan kepada kafilah dagang mereka berdua ketika melewati Madinah, bahkan menjamu mereka dengan baik. Lelaki itu menghubungi kedua tokoh Quraisy tersebut dan mengabarkan tentang lelaki Khazrajbernama Sa'd bin Ubadah yang disiksa. Segera saja keduanya datang ke tempat penyiksaan dan membebaskan Sa'd dari tangan-tangan jahat orang kafir Quraisy.

Sa'd segera meninggalkan Makkah menyusul rombongan haji Yatsrib, khususnya sekelompok orang yang telah memeluk Islam. Mereka ini harap-harap cemas menunggu kedatangan Sa'd dan berembug untuk kembali ke Makkah menyusul Sa'd. Tetapi belum sempat mereka mewujudkan niat tersebut, terlihat Sa'd datang dalam keadaan luka dan lemah.

Sa'd bin Ubadah adalah seorang yang mempunyai karakter keras dan teguh pendirian, tidak mudah digoyahkan oleh pendirian dan pendapat orang lain. Pengalaman pahit setelah Ba'iatul Aqabah kedua tersebut makin mengukuhkan kekerasan sikapnya dalam membela Nabi SAW dan Islam, terkadang terlihat menjadi ekstrim seperti yang terjadi saat Fathul Makkah.

Fathul Makkah, berawal dari pelanggaran kaum Quraisy atas perjanjian Hudaibiyah. Bani Bakr yang menjadi sekutu Quraisy menyerang Bani Khuza'ah yang menjadi sekutu Nabi SAW di Madinah, bahkan kaum Quraisy diam-diam memberikan dukungan senjata dan personal kepada Bani Bakr. Ketika orang-orang Bani Khuza'ah berlindung ke tanah suci Makkah yang memang diharamkan menumpahkan darah di sana, mereka tetap membunuhnya, dan kaum Quraisy sebagai "pengelola" tanah suci Makkah membiarkan itu terjadi.

Beberapa orang Bani Khuza'ah pergi melaporkan peristiwa tersebut kepada Nabi SAW di Madinah. Beliau-pun menghimpun pasukan besar berbagai kabilah, dan masing-masing dipimpin oleh tokoh kabilahnya. Dan bendera kaum Anshar diserahkan kepada Sa'd bin Ubadah. Ketika mulai memasuki Kota Makkah, terbayanglah di pelupuk matanya bagaimana Nabi SAW dan para sahabat pada masa awal mengalami berbagai siksaan dan ancaman dari kaum kafir Quraisy. Terbayang juga bagaimanaperilaku mereka ketika merusak dan menyayat jenazah para syahid di medan perang Uhud. Bahkan masih jelas terasa siksaan yang dialaminya ketika ia selesai mengikuti Ba'iatul Aqabah kedua. Karena itu ia berkata, "Hari ini hari berkecamuknya perang, hari ini dihalalkan hal yang disucikan, hari ini Allah akan menghinakan Quraisy!!"

Perkataannya ini terdengar oleh Abu Sufyan yang merupakan pucuk pimpinan kaum Quraisy, walau saat itu ia telah mulai tertarik untuk memeluk Islam, dan melaporkannya kepada Nabi SAW. Utsman dan Abdurrahman bin Auf juga mengkhawatirkan sikapnya, bahkan Umar bin Khaththab berkata, "Ya Rasulullah, dengarkanlah apa yang dikatakan oleh Sa'd bin Ubadah, saya khawatir kalau-kalau ia akan menyerang kaum Quraisy hingga tumpas…!!”

Mendengar pendapat-pendapat tersebut, Nabi bersabda, "Justru hari ini adalah hari diagungkannya Ka'bah, dimuliakannya kaum Quraisy…"

Setelah itu Nabi SAW mengirim utusan untuk memerintahkan Sa'd menyerahkan bendera Anshar kepada anaknya, Qais bin Sa'd. Sebagian riwayat menyebutkan bendera tersebut diserahkan kepada Ali atau Zubair bin Awwam. Tentu saja dengan senang hati Sa'd memenuhi perintah Nabi SAW tersebut, karena apa yang dikatakannya, hanyalah ekspresi dirinya dalam rangka membela Nabi SAW dan Islam, bukan sikap dendam pribadi.

Sikap tegas dan jauh dari kemunafikan tampak pada diri Sa'd bin Ubadah seusai perang Hunain. Pada pertempuran tersebut, banyak sekali ghanimah (rampasan perang) yang diperoleh pasukan muslim, tetapi Nabi SAW mendahulukan membagikannya kepada orang-orang Quraisy yang baru memeluk Islam, bahkan ada yang masih menunda memeluk Islam, padahal pada awal peperangan mereka ini sempat meninggalkan arena pertempuran. Sementara kepada kaum Anshar, beliau tidak menyisakan sedikitpun dari ghanimah tersebut, padahal justru mereka yang banyak berperan melindungi Nabi SAW, dan akhirnya berhasil membalikkan keadaan dan memenangkan pertempuran.

Para sahabat Anshar hanya berbisik-bisik memperbincangkan sikap beliau tanpa berani menyampaikannya kepada Nabi SAW. Keadaan ini tidak disukai oleh Sa'd, karena itu ia menghadap Nabi SAW dan berkata, "Ya Rasulullah, golongan Anshar merasa kecewa atas sikap engkau dalam hal harta rampasan (ghanimah) yang kita peroleh. Engkau membagi-bagikan kepada kaummu dan pemimpin-pemimpin Quraisy secara berlebih, sementara kepada kaum Anshar engkau tidak memberikan sedikitpun…"

Nabi SAW tersenyum mendengar perkataan Sa'd yang terus terang tersebut, dan bersabda, "Bagaimana dengan dirimu (sikapmu) sendiri wahai Sa'd?"

"Ya Nabiyallah, aku ini tidak lain hanyalah salah satu dari kaumku saja…!!"

Nabi SAW memerintahkan Sa'd mengumpulkan kaum Anshar di suatu tempat. Sa'd melaksanakan perintah beliau, beberapa orang Muhajirin ingin ikut serta tetapi Sa'd menolaknya, tetapi pada sebagian yang lain Sa'd membolehkan mereka hadir dalam kumpulan kaum Anshar tersebut. Setelah semua berkumpul, Sa'd menjemput Nabi SAW.

Di majelis kaum Anshar ini Nabi SAW berbicara panjang lebar mengenai apa yang menjadi ganjalan dan beban terpendam dalam diri mereka soal ghanimah, beliau juga mengingatkan tentang masa jahiliah dan keislaman mereka. Terlalu panjang untuk dijabarkan pada kisah Sa'd ini, tetapi pada ujungnya, Nabi SAW seolah menetapkan bagaimana sebenarnya ketinggian dan keutamaan kaum Anshar di mata Allah dan Rasul-Nya, dan itu semua tidak terlepas dari "keberanian" Sa'd berterus terang kepada beliau walaupun tampaknya kurang sopan dan tidak etis.

Antara lain Nabi SAW bersabda, "….Tidakkah kalian rela, wahai kaum Anshar, mereka pulang membawa unta, domba dan harta lainnya, sedang kalian pulang membawa Rasulullah ke tanah tumpah darah kalian. Demi Allah yang jiwa Muhammad ada di tangan-Nya, kalau tidaklah karena hijrah, tentulah aku ini termasuk kaum Anshar. Jika orang-orang menempuh jalan di celah gunung, dan orang Anshar menempuh jalan di celah lainnya, tentulah aku mengikuti jalan yang ditempuh orang-orang Anshar……Ya Allah, rahmatilah orang-orang Anshar, anak orang-orang Anshar, cucu orang-orang Anshar, generasi demi generasi….."

Orang-orang Anshar, termasuk Sa'd menangis sesenggukan mendengar penjelasan Nabi SAW tersebut, hingga air mata membasahi jenggot-jenggot mereka. Dengan haru mereka berkata, "Kami ridha dengan pembagian Allah dan Rasul-Nya….!!"

Ketika Nabi SAW wafat, dan para tokoh muslimin bertemu di saqifah Bani Saidah untuk menentukan khalifah pengganti beliau, Sa'd berdiri pada kelompok sahabat Anshar yang menuntut agar kekhalifahan dipegang kaum Anshar. Tetapi ketika musyawarah mengarah kepada dipilihnya Abu Bakar, yang memang sudah sangat dikenal keutamaannya di sisi Rasulullah SAW, ia bersama kaum Anshar yang mendukungnya dengan ikhlas hati berba'iat kepada Abu Bakar dan melepaskan tuntutannya.

Ketika Abu Bakar wafat dan Umar terpilih sebagai khalifah, Sa'd ikut berba'iat kepadanya. Hanya saja ia sadar, Umar mempunyai watak keras dan teguh pendirian seperti dirinya juga, yang bisa saja sewaktu-waktu terjadi perbenturan yang berakibat buruk. Sangat mungkin terjadi perpecahan karena kaum Anshar pasti akan berdiri di belakangnya menghadapi Umar, karena itu, ia bermaksud pindah dari tanah kelahiran yang dicintainya. Namun seolah tidak ingin kehilangan sikap terus terangnya dan takut dihinggapi kemunafikan, ia mendatangi Umar dan berkata, "Demi Allah, sahabat anda, Abu Bakar lebih aku sukai daripada anda…!!"

Setelah itu Sa'd pergi ke Syria (Syam), tetapi ketika ia singgah di Hauran (sudah termasuk wilayah Syam), ia sakit dan meninggal dunia di sana.




Baca Artikel Terkait: