A.
Pendahuluan
Seorang
perawi dalam meriwayatkan hadis terlebih dahulu melakukan usaha mencari dan
menemukan hadis dari seorang guru atau syaikh. Dalam istilah ilmu hadis usaha tersebut disebut dengan al-Thuruq al-Tahamul dan al-Thuruq al-Ada’. Cara tersebut
digunakan agar hadis yang diriwayatkan terjaga kebenarannya dan dapat diterima.
Makalah
ini membahas tentang berbagai metode yang digunakan oleh perawi dalam menemukan
dan mencari hadis (al-Tahamul)
setelah perawi menemukan hadis kemudian diriwayatkan kepada orang lain.
B.
Pengertian
Al-Tahamul dan Al-Ada’
Tahamul secara bahasa
berasal dari kata “hamila” yang
artinya membawa, ditambahkan “ta”
pada awal kalimat dan “tasydid”
diatas huruf “mim” memiliki makna
sebagai berikut mencari atau memperoleh. Maksud dari pengertian ini adalah
membahas tentang cara ulama hadis menerima hadis dari ulama atau rawi
sebelumnya.
Kata
al-Ada’ berasal dari kata “adda” yang artinya menunaikan tugas
dengan semestinya, maksudnya adalah sorang perawi setelah menemukan hadis dari
seorang guru atau syaikh kemudian menyampaikan hadis kepada orang lain.
Pengertian tahamul dan al-ada di atas sangat jelas menunjukkan
usaha sorang perawi menemukan hadis dan menyampaikan kepada orang lain.[1]
Menurut
istilah ulamatahamul dan al-ada diartikan sebagai berikut:
الاخذ
عن الغير والاداء التحديث بما تحمله عن الغير
Tahamul
adalah mengambil atau menerima dari orang lain dan al-ada adalah meriwayatkan atau menyampaikan apa yang diterima dari
orang lain.
بيان
طرق اخذه وتلقيه عن الشيوخ
Tahamul
adalah penjelasan tentang cara atau jalan menerima hadis dan menyampaikan dari
orang guru atau syaikh.
اخذه
ونقله عن الغير والاداء روايةالحديث وتبليغه لطالب الحديث بعد تحمله
Tahamul
adalah menerima dan memindahkan dari orang lain (syaikh) sedangkan Al-ada’ adalah meriwayatkan hadis dan
menyampaikannya kepada orang yang mencari hadis setelah menerima hadis.[2]
Dari pengertian di atas dapat
diinterpertasi bahwa tahamul dan al-ada adalah penjelasan tentang cara
atau metode seorang perawi dalam mengumpulkan dan mendapatkan hadis serta
penjelasan tentang cara menyampaikan hadis itu kepada orang lain.
Dalam menerima hadis para ulama
mengklasifikasikan sebagai berikut sah dan boleh orang yang belum mukallaf
menerima dan meriwayatkan hadis, maka riwayat seorang yang belum masuk islam,
ketika dia mendengarkan hadis pada saat itu boleh diriwayatkan dan dapat
diterima ketika dia masuk islam seperti kisah yang terjadi pada Jabir bin
Mu’attham yang belum masuk mendengarkan Nabi Muhammad saw pada waktu sholat
magrib membaca surat al-Thur, kemudian Jabir meriwayatkan hadis tersebut ketika
masuk islam.[3]
Orang yang belum baligh boleh
mendengarkan hadis dan ketika dia sudah baligh maka dia meriwayatkan hadis yang
dia dengar dan diterima dari orang lain, namun terdapat pengecualian bagi yang
telah baligh ketika terjadi kesalahan penyampaian maka tidak boleh meriwayatkan
hadis. Uraian di atas merupakan penjelasan para ulama tentang kebolehan orang
yang telah baligh meriwayatkan hadis yang dia dengar pada saat belum baligh
seperti para sahabat Nabi saw yaitu Hasan, Husain, Ibnu Abbas, Ibnu Zubair,
Nu’man bin Basyir dan lain-lain.[4]
Ibnu Amar Usman bin Abdurrahman mensyaratkan
seseorang yang akan dibuat hujjah (diterima riwayatnya) harus ‘adil, dhabit,
muslim baligh, ‘aqil, terhindar dari sifat-sifat fasiq dan terhindar dari
hilangnya muru’ah, tidak pelupa dan hafal terhadap hadis dan mampu untuk
menuliskannya.[5]
Dari penjelasan di atas dapat
diinterpertasi bahwa perawi yang akan
menerima dan menyampaikan hadis dan hadis yang diriwayatkan dapat diterima disyaratkan
harus memiliki sifat adil, dhabit, terhindar dari kefasikan dan muru’ah, tidak
pelupa, hafal hadis dan mampu menuliskan hadis. Mahmud at-Thahan mengatakan
menurut pendapat yang benar dalam menerima hadis tidak syaratkan harus islam
dan baligh[6],
namun ketika akan menyampaikan hadis maka harus islam dan baligh, bahkan orang
yang tamyis[7]boleh
mendengarkan, menerima dan meriwayatkan hadis. Sebagian ulama berpendapat bahwa
seseorang boleh mendengar dan meriwayatkan hadis ketika sudah mencapai umur 10
tahun, 20 tahun dan 30 tahun[8]
hal ini dimaksudkan menurut penulis bahwa batasan umur tersebut sangat
mendukung terhadap sifat adil dan dhabit seseorang.
C.
Metode
Menerima Hadis
Pada
pembahasan di atas telah dimengerti bahwa perawi dalam meriwayatkan hadis
terlebih dahulu harus mencari atau memperoleh hadis dari syaikh (guru). metode
ini digunakan agar perawi terhindar dari kesalahan dan hadis yang disampaikan
dapat diterima. Terdapat delapan Metode untuk memperoleh hadis yaitu:As-Sima’, Al-Qiro’ah, Al-Ijazah, Al-Munawalah,
Al-Kitabah, Al-I’lam, AlWasiah, Al-Wijadah.
Penjelasan dari delapan metode
penerimaan hadis akan dijelaskan sebagi berikut:
1.
As-Sima’
Menurut
Imam as-Suyuti as-Sima’ adalah
وهو املاء وغيره من حفظه ومن كتابه
Menurut
Mahmud at-Thahan as-Sima’ adalah
ان يقراء الشيخ ويسمع الطالب سواء
قراء الشيخ من حفظه او كتابه وسواء سمغ الطالب وكتب ما سمعه اوسمع فقط ولم يكتب
As-Sima’ adalah seorang
syaikh membaca hadis dari hafalan atau tulisannya dan pencari (penerima) hadis
mendengarkan hadis tersebut lalu ditulis apa yang didengar maupun tidak ditulis[10].
Dari penjelasan di atas dapat
diinterpertasi bahwa as-Sima’ adalah
mendengarkan penyampaian hadis yang disampaikan oleh syaikh dari hafalan atau
tulisannya kemudian perawi menuliskan kembali hadis yang didengar dari syaikh
atau tidak ditulis. Menurut jumhur ulama as-Sima’
adalah metode menerima hadis yang paling tinggi derajatnya.
Ahmad Umar Hasyim mensyaratkan dalam as-Sima’ tidak diperbolehkan adanya
kesibukan lain dari perawi misalnya (bercerita, menulis hal lain) ketika
mendengarkan hadis. Jika terjadi kesibukan lain maka hadis tidak dapat
dibenarkan dan ini disepakati oleh Ibrahim al-Harabi, Abu Ahmad bin ‘Adi
al-Hafiz, Abu Ishaq al-Isfaraim namun menurut Musa bin Harun al-Hamal perawi
yang memiliki kesibukan lain ketika mendengarkan hadis dapat dibenarkan dan
hadisnya dapat diterima.[11]
2.
Al-Qiro’ah
Menurut
Ulama ahli hadis al-Qiro’ah adalah
“al-ghardhu” artinya penyetoran. Menurut Haris Sulaiman al-Qiro’ah adalah:
ان تقراء علي الشيخ بنفسك اويقراء
غيرك عليه وانت تسمع سواء كانت القراءة منك او من غيرك من كتاب او حفظ
Qiro’ah adalah
kamu membaca sendiri hadis dihadapan syaikh atau orang lain yang membaca hadis
kepada syaikh dan kamu mendengarkan bacaan itu baik dari dirimu sendiri atau
orang lain dari tulisan atau hafalan seorang syaikh.[12]
Dari
penjelasan di atas bahwa melalui metode al-Qira’ah
penerima (perawi) membacakan hadis dari tulisan atau hafalannya dihadapan
syaikh atau orang lain yang membacanya dan perawi hanya mendengarkan saja. Pada
saat itu baik syaikh hafal atau tidak dari hadis yang dibacakan kepadanya atau
tidak hafal tetapi syaikh melihat buku atau kitabnya.
Para
ulama jumhur berpendapat bahwa al-Qira’ah
merupakan metode yang sah. Menurut Imam Malik dan Imam Bukhari, ulama Hijaz
dan Kufah al-Qira’ah adalah sama
dengan metode as-Sima’ dan menurut
ulama ahli Masyriq misalnya metode al-Qira’ah
adalah riwayat yang shahih. Sedangkan menurut imam Abu Hanifah dan Ibnu Abi
Daad al-Qira’ah adalah sama dengan
metode as-Sima’
Penjelasan
ulama ini lebih meyakinkan penulis bahwa metode al-Qira’ah memiliki kedudukan yang sangat tinggi dari pada metode as-Sima’ karena di dalam al-Qira’ah terdapat interaksi langsung
antara perawi dan syaikh. Pada prinsipnya juga syaikh telah meneliti atas hadis
yang dibacakan atau disetorkan kepadanya, dapat dipahami ketelitian dari hasil
pemeriksaan syaikh terhadap hadis yang disampaikan perawi dapat diterima,
dibenarkan dan diamalkan.
3. Al-Ijazah
Metode
yang digunakan perawi dalam menerima hadis selanjutnya disebut “al-Ijazah”. Ijazah adalah الاذن
بالرواية لفظا او كتابا memberikan izin untuk meriwayatkan hadis secara lafadz atau
tulisan.
Menurut
Mahmud al-Thahan Ijazah adalah:
ان يقول الشيخ لاحد طلابه "اجزت
لك ان تروي عني صحيح البخاري"
Seorang
syaikh mengatakan kepada para muridnya (perawi) “saya izinkan (ijazahkan)
kepadamu untuk meriwayatkan hadis shahihnya Imam Bukhari” [13]
Di
dalam metode al-Ijazah menghendaki
adanya izin dari seorang syaikh kepada perawi untuk meriwayatkan hadis baik dari
tulisannya atau secara lafadz. Metode ijazah yang terpenting adalah pemberian
izin kepada perawi untuk meriwayatkan suatu hadis atau kitab. Ijazah terbagi
menjadi empat bagian:
a. Ijazah
dari orang khusus kepada orang khusus terhadap sesuatu yang khusus “من
معين لمعين في معين”
misalnya jika syaikh mengatakan “saya ijazahkan kepadamu untuk meriwayatkan
hadis dariku melalui kitab ini” periwayatan melalui ijazah seperti ini dapat
diterima.
b. Ijazah
dari orang khusus kepada orang khusus tetapi tidak kepada sesuatu yang khusus “من
معين لمعين في غير معين” misalnya jika seorang syaikh mengatakan
“saya ijazahkan kepadamu apa yang aku riwayatkan” periwayatan melalui ijazah
juga dapat diterima.
c. Ijazah
kepada orang umum “غير
معين”misalnya
jika seorang syaikh mengatakan ‘aku ijazahkan kepada kaum muslimin” atau
“kepada orang yang mengucapkan laa ilahaillallah” periwayatan melalui metode
ini juga dapat diterima.
d. Ijazah
kepada yang tidak diketahuai terhadap sesuatu yang tidak diketahui “من
مجهول الى مجهول” misalnya
jika syaikh mengatakan “saya ijazahkan kitab hadis. Ijazah seperti ini tidak
dapat diterima karena tidak ada kejelasan kepada siapa syaikh berijazah dan apa
yang diijazahkan juga tidak jelas.[14]
4. Al-Munawalah
Metode
yang selanjutnya adalah al-Munawalah[15]
secara bahasa artinya menerima atau memperoleh. Secara istilah al-Munawalah terbagi menjadi dua:
a. Munawalah
beserta ijazah artinya ketika sorang syaikh mengijazahkan suatu kitab atau
hadis maka di dalam ijazah tersebut terkandung menerima atau memperoleh hadis
dari syaikh serta diberikan izin untuk meriwaytkannya.
b. Munawalah
tidak berserta ijazah artinya ketika syaikh memberikan kitab namun tidak sampai
kepada perintah untuk meriwayatkan misalnya ketika syaikh mengatakan “ini
adalah riwayat yang diberikan oleh orang lain maka kuberikan kepadamu”.
Sebagian ulama hadis mengatakan al-Munawalah lebih tinggi derajatnya
dari metode as-Sima’ dan al-Qira’ah karena perawi memperoleh
kitab dari syaikh dan izin darinya untuk meriwayatkan namun menurut pendapat
yang benar munawalah lebih rendah derajatnya dari as-Sima’dan al-Qira’ah.[16]
5.
Al-Kitabah
Metode
yang selanjutnya adalah al-Kitabah
artinya tulisan. Secara istilah adalah ketika syaikh menuliskan apa yang dia
dengar kepada para hadirin (dimajlis) atau orang yang tidak hadir dengan
tulisan sendiri atau melalui orang kepercayaan.
Metode
ini terbagi menjadi dua:
a. Al-Kitabah
beserta Ijazah artinya al-Kitabah
telah terkandung di dalam ijazah. Misalnya jika syaikh mengatakan “aku
ijazahkan kepadamu hadis yang aku tulis ini” hukum periwayatannya dapat
dibenarkan.
b. Al-Kitabah
tidak beserta ijazah artinya dalam berijazah tidak terkandung unsur kitabah di
dalamnya. Misalnya seorang syaikh menuliskan sebagian hadis namun tidak
diperintahkan untuk meriwayatkan maka hukum periwayatan dalam kitabah yang
kedua diperinci (tafsil) sebagian
ulama melarang periwayatan dari kitabah yang kedua misalnya Imam al-Mawardi dan
Imam Syafi’i dan Ulama Mutaqadimin seperti imam Abu Ayub as-Syahrastani, Imam
Mansur, Imam Lais, Imam Abu Mudhoffar as-Sama’ani dan ashabul Ushul seperti
Imam Al-Razi tidak membenarkan hadir melalui metode kitabah yang ke dua.
Cukup
dalam periwayatan hadis melalui kitabah
dengan penerima tulisan mengerti tulisan orang yang menuliskannya maksudnya
perawi mengerti tulisan syaikh tentang hadis-hadis walau tidak adanya saksi.
Namun, sebagian ulama mensayaratkan adanya saksi agar tulisan tidak terjadi
kesalahan tetapi pendapat yang kedua merupakan pendapat yang lemah.
6. Al-I’lam
ان
يخبر الشيخ الطالب ان هذا الحديث او هذا الكتاب سماعه
I’lam
adalam pengajaran atau kabar, keterangan dia atas i’lam adalah jika syaikh mengabarkan kepada perawi bahwa hadis atau
tulisan ini merupakan yang dia dengar. Metode i’lam menggambarkan syaikh mengabarkan kepada perawi bahwa hadis
yang disampaikan atau kitab yang disampaikan kepada perawi merupakan yang
didengar dari orang lain, akan tetapi syaikh tidak menyampaikan untuk
meriwayatkan hadis atau tulisannya.[17]
Para
ulama berbeda pendapat tentang periwayatan dengan metode i’lam sebagian ahli hadis dan ushul fiqih berpendapat boleh
periwayatan dengan menggunakan metode i’lam
sebagian ulama berpendapat tidak boleh meriwayatkan hadis dengan metode i’lam dan ini pendapat yang paling benar
karena syaikh mengerti akan kecacatan hadis maka tidak boleh untuk diriwayatkan
tetapi jika ada izin dari syaikh untuk meriwayatkan maka boleh untuk
meriwayatkan.
7. Al-Washiyah
Metode
al-washiyah adalah jika seorang
syaikh atau rawi berwasiat kepada seseorang suatu kitab untuk diriwayatkan
kepada orang lain sebelum meninggal dan sebelum melakukan perjalanan jauh.
Metode al-washiyah amat langka dan
jarang digunakan. Para ulama berbeda pendapat tentang periwayatan dengan metode
al-washiyah. Sebagian ulama salaf
memperbolehkan bagi yang mendapat wasiat untuk meriwayatkan hadis. Menurut Ibnu
as-Sahalah metode al-washiyah tidak
dapat dipakai atau tidak diperbolehkan diterima wasiatnya. Imam Nawawi
mengatakan pendapat yang benar adalah tidak boleh meriwayatkan hadis dengan
metode washiyah.
Seorang
perawi meriwayatkan hadis dengan metode wasiyah
jika ia mengatakan seseorang berwasiat kepadaku untuk meriwayatkan kitab. Dalam
metode washiyah harus terdapat kata ‘ausha ilayya” kemudian di dalam wasiat
disyaratkan adanya pertemuan antara pewasiat dan yang diwasiati jika tidak maka
hadis dengan jalan al-washiyah tidak
dapat diamalkan.[18]
8. Al-Wijadah
Berasal
dari kata “wajada” yang artinya
menemukan. Secara istilah berasal al-wijadah
adalah
ان يجد الطالب احاديث بخط شيخ يرويها
ذالك الطالب وليس له سماع منه ولااجازة
Al-wijadah
adalah perawi menemukan beberapa hadis dari tulisan syaikh lalu perawi
mengertia diriwayatkan hadis-hadis itu tetapi perawi tidak dengan mendengar dan
tidak melalui ijazah.
Dalam
hal ini perawi menerima hadis secara langsung melalui tulisan syaikh namun
perawi tidak melalui cara as-sima’ dan ijazah. Al-wijadah termasuk kedalam hadis yang terputus karena penerima
hadis tidak menerima sendiri dari orang yang menuliskannya[19]
artinya periwayatan melalui metode wijadah
tidak dapat dibenarkan. Menurut Imam Ibnu Kasir bahwa “wijadah” bukan termasuk kedalam pembahasan periwayatan tetapi
pembahasan tentang hikayat atau cerita-cerita hikmah yang perawi dapatkan dari
sebuah kitab. Hukum mengamalkan hadis melalui metode wijadah adalah tidak diperbolehkan menurut fuqoha dan ahli hadis,
Muhammad Ajjaj al-Khatib mengatakan bahwa mengamalkan isinya adalah wajib jika
disampaikan dari orang-orang yang dapat dipercaya.[20]
D.
Metode
Meriwayatkan Hadis
Setelah
perawi menerima hadis maka yang dilakukan adalah menyampaikan atau meriwayatkan
hadis kepada orang lain. Periwayatan yang dilakukan rawi dari metode menerima
hadis memiliki bahasa penyampaian (al-Ada’)
tersendiri. Bahasa penyampaian (shighat)
tersebut memiliki derajat dan tingkatan yang berbeda dan memiliki kualitas
tersendiri.
Melalui
metode as-Sima’ perawi meriwayatkan
dengan shighat“hadasana, akhbarona,
anbaana, sami’tu fulanan, waqala lana, wadzakara lana”menurut Imam Khatib
yang paling tinggi derajat diantara shigat itu adalah “sami’tu” kemudian “hadasana” danakhbarona
periwayatan dengan shighat ini sering
berlaku dikalangan ulama, dan shighatanbaana
jarang dan sedikit sekali berlaku dikalangan ulama.[21]
Melalui
metode al-qiraah perawi dalam
meriwayatkan dengan menggunakan shighat“qara’tu
‘ala fulan, aw quria ‘ala fulan, wa ana asma’u faaqarra bihi”kemudian dalam
metode qira’ah perawi juga dapat
mengunakan shighat dari metode as-Sima’
namun dengan dibatasi dengan kata-kata qira’ah
misalnya “hadasana qiraata ‘alaihi”
dalam kalimat tersebut terdapat bahasa penyampaian hadasana dan dibatasi dengan kata qira’ahnamun jika hanya mengunakan kata hadasana atau akhbarona
maka menurut ibnu mubarak, Imam Yahya dan Ahmad bin Hambal, Imam Nasa’i tidak
diperbolehkan untuk meriwayatkan hadis. Sedangkan menurut Imam Zuhri, Malik,
Ibnu ‘Uyainah, Yahya al-Qhatan, dan Imam Bukhari.
Dari
penjelasan di atas bahwa shigat yang digunakan dalam metode as-Sima’ dapat juga digunakan sebagai
shigat periwayatan hadis yang digunakan pada metode al-qira’ah namun perlu adanya batasan tidak cukup hanya menggunakan
kata “hadasana” tetapi harus
dimasukkan kata qira’ah agar
perbedaan dari kedua metode ini dapat dipahami secara pasti.[22]
Melalui
metode al-ijazah perawi dalam
meriwayatkan hadis menggunakan shigat pengijazahan dan shigat ijazah
disesuaikan dengan pembagian ijazah
yang sudah dijelaskan pada metode ijazahdan
pembagiannya namun pada umumnya menggunakan shigat ijazah misalnya “ajazani” atau “ajazani fulan” artinya seseorang telah mengijazahkan kepadaku.
Melalui
metode al-Munawalah perawi
menggunakan shigatsebagai berikut “akhbarana Munawalah” (telah memberikan
kabar kepada kami dengan cara munawalah) “Fi
ma Nawalani” (mengenai apa yang diberikan kepadaku dengan cara munawalah)
atau ungkapan yang lain yang sama. Sebagian ulama berpendapat bahwa dalam
munawalah seorang perawi mengatakan “qala”
atau ‘an Fulan”.
Melalui
metode al-Kitabah mengatakan “kataba
ilayya fulan, qala hadasa fulan” (telah memberikan hadis kepadaku dengan
cara mukatabah fulan, katanya telah meriwayatkan kepada kami fulan). Melalui
metode al-‘Ilam perawi menggunakan shigat misalnya “fi ma A’lamani syaikhi”saya meriwayatkan apa yang telah disampaikan
dan diajarkan oleh guruku.
Melalui
metode al-Wasiat seorang perawi dapat menggunakan shigat misalnya “telah
mewasiatkan kepadaku fulan” atau “telah memberikan kabar kepadaku Fulan dengan
cara wasiat atau saya menemukan dalam wasiat fulan kepadaku. Melalui metode
al-Wijadah perawi menggunakan shigat penjelasan dalam hal wijadah (menemukan)
misalnya “wajadtu fi kitab Fulan”(saya
menemukan dalam kitab fulan) dan ungkapan yang sama dengan kata-kata itu.[23]
Dari
penjelasan di atas dapat dipahami bahwa setiap metode menerima hadis seorang perawi
memiliki cara periwayatan yang berbeda-beda. Perbedaan ini merupakan cara agar
dapat terhindar dari kesalahan selain itu cara periwayatan ini juga dapat
menjadi penilaian terhadap kualitas hadis.
E.
Kesimpulan
Pembahasan
di atas menjelaskan tentang periwayatan hadis. Perawi dalam meriwayatkan hadis
memiliki dua metode atau cara yang dilakukan. Dalam istilah ilmu hadis dua cara
ini disebut dengan al-Tahamul dan al-Ada’ (metode menerima hadis dan
metode manyampaikan hadis). Al-Tahamul
artinya penjelasan tentang cara perawi dalam menerima dan memperoleh hadis
sedangkan al-‘Ada’ adalah penjelasan tentang cara atau metode yang digunakan
oleh perawi ketika meriwayatkan hadis.
Terdapat
delapan metode dalam menerima atau memperolah hadis (as-sima’, al-qiraah, al-ijazah, al-munawalah, al-kitabah, al-‘ilam,
al-wasiyah, dan al-wijadah)pada setiap metode memperoleh hadis terdapat
ciri atau bahasa periwayatan (shigat) tersendiri yang membedakan antara metode
satu dengan yang lain. Metode-metode yang dilakukan menunjukkan kehati-hatian
dari para ulama untuk selalu melestarikan dan menjaga hadis agar terhindar dari
kesalahan dan hadis yang diriwayatkan dapat diterima dan dibenarkan.
F.
Saran
Penulis
telah berusaha dengan maksimal dalam menyajikan makalah dan penulis sadari
bahwa makalah ini perlu untuk dibahas dan dikaji lebih luas lagi. Kebenaran
hanyalah milik Allah ‘azza wa jalla untuk
penulis mengharapkan kritik dan saran yang membangun jika terdapat kesalahan di
dalam makalah ini. Atas kritik dan saran yang diucapkan terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushul al-Hadis, (Lebanon, ‘Alam
al-Kutub: 1997).
Haris Sulaiman
al-Dhariy, Muhadarat Fi ‘Ulum al-Hadis,
(Dar an-Nafais: 2000).
Ibnu Kasir, al-Ba’is al-Hasis Ikhtisar Fi ‘Ulum al-Hadis,
(Lebanon, Dar al-Kutub al-Alamiah: 2012).
Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qosim al-Ghazi,
(Maktabah Dahlan, t.t...).
Ibnu Amr Usman
bin Abdurrahman, Muqoddimah Ibnu
As-Sholah Fi ‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamah cet. Ke-2:
2002).
Jalaluddin Abdurahman
bin Abi Bakr al-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi
Syarh Tadrib al-Nawawi, (Madina Munawarah, al-Maktabah al-Ilmiah, cet. Ke-2
juz ke- 2, 1997).
Kamus Idris al-Marbawi
(Dar Fikir... t.t)
Muhammad Ajjad
al-Khatib, Ushul al-Hadis
diterjemahkan H.M Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok Ilmu Hadis, (Jakarta, PT. Gaya Media Pratama: 2001).
Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Lebanon, Dar
‘Alimul al-Kutub: 1998).
Munzier
Suparta, Ilmu Hadis, (Jakarta, Rajawali Press: 2011).
Syaikh
Manna al-Qhattan, Mabahis Fi ‘Ulum
al-Hadis diterjemahkan oleh Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi Hadis, (Jakarta, PT. Pustaka Kausar: 2005).
Syamsuddin
Muhammad bin Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, Mughni al-Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani al-Fadz, (Lebanon, Dar
al-Kutub al-‘Alamiah, cet. Ke- 1, 1994).
Taufik Abdullah ...
(at.al) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, Jakarta: 2002).
[1]Taufik Abdullah ...
(at.al) Ensiklopedi Tematis Dunia Islam:
Pemikiran dan Peradaban, (PT. Ichtiar Baru Vanhoeve, Jakarta: 2002). Hlm.
67-68.
[2]Mahmud al-Thahan, Taisir Musthalah al-Hadis, (Lebanon, Dar
‘Alimul al-Kutub: 1998). Hlm. 176
[3]عن جبير بن
معطم انه سمع النبي صلي الله عليه وسلم يقراء في المغرب بالطور (رواه الشيخان)
Diriwayatkan
dari Jabir bin Mu’attham bahwa dia mendengar Nabi Muhammad saw membaca surat
al-Thur pada waktu shalat Magrib (H.R Bukhari dan Muslim).
[4]Haris Sulaiman al-Dhariy,
Muhadarat Fi ‘Ulum al-Hadis, t.t.
Hlm. 113.
[5]Ibnu Amr Usman bin
Abdurrahman, Muqoddimah Ibnu As-Sholah Fi
‘Ulum al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamah cet. Ke-2: 2002). Hlm.
159-160.
[6]Baligh
adalah
yang cukup umur, orang yang sudah wajib melaksanakan hukum-hukum syar’i Lihat
Kamus Idris al-Marbawi (Dar Fikir... t.t). hlm. 64. Ukuran baligh dapat dilihat
dari batasan umur atau melalui bermimpi basah. Lihat Syamsuddin Muhammad bin
Muhammad al-Khatib al-Syarbaini, Mughni
al-Muhtaj Ila Ma’rifat Ma’ani al-Fadz, (lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamiah,
cet. Ke- 1, 1994). Hlm. 312
[7]Tamyis
adalah
anak kecil yang belum mencapai usia baligh ukuran tamyis menurut para ulama adalah
sebagai berikut berumur 7 tahun, jika anak sudah mampu makan, minum, dan buang
air (bersuci) sendiri, dapat membedakan tangan kanan dan kiri hal ini sesuai
dengan hadis Nabi saw. Suatu ketika Nabi saw ditanya oleh para sahabat,”kapan
anak mulai diperintah untuk shalat? Nabi saw menjawab “ketika anak sudah mampu
membedakan tangan kanan dan kiri”. Ada juga yang berpendapat bahwa ukuran tamyis adalah ketika seorang anak mampu
memahami pembicaraan dan dapat menjawab pertanyaan dan mengertia apa yang
bermanfaat dan berbahaya bagi dirinya. Lihat Ibrahim al-Bajuri, Hasyiah
al-Bajuri ‘Ala Ibnu Qosim al-Ghazi, (Maktabah Dahlan, t.t...). hlm. 130.
[8]Ibnu Kasir al-Maqdisi, al-Ba’is al-Hasis Syarkh Ikhtisar ‘Ulum
al-Hadis, (Lebanon, Dar al-Kutub al-‘Alamiah: 2012). Hlm. 122.
[9]Jalaluddin Abdurahman bin
Abi Bakr al-Suyuti, Tadrib ar-Rawi Fi
Syarh Tadrib al-Nawawi, (Madina Munawarah, al-Maktabah al-Ilmiah, cet. Ke-2
juz ke- 2, 1997). Hlm. 8
[10]Mahmud al-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis, ... hlm. 130.
[11]Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushul al-Hadis, (Lebanon, ‘Alam
al-Kutub: 1997). Hlm. 177
[12]Haris Sulaiman al-Dhariy,
Muhadarat Fi ‘Ulum al-Hadis, (Dar
an-Nafais: 2000). Hlm. 116
[13]Mahmud al-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis, ... hlm. 134
[14]Ibnu Kasir, al-Ba’is al-Hasis Ikhtisar Fi ‘Ulum al-Hadis,
(Lebanon, Dar al-Kutub al-Alamiah: 2012). Hlm. 132.
[15]Menurut Ulama Ushul dasar
bagi metode munawalah adalah hadis yang disampaikan oleh Imam al-Bukhari bahwa
Nabi saw
ان النبي صلي
الله عليه وسلم كتب لامير السرية كتابا وقال لاتقراؤه حتى بلغ مكان كذا وكذا فلما
بلغ المكان قراءه على الناس واخيرهم بامر النبي صلى الله عليه وسلم
[16]Ahmad Umar Hasyim, Qowa’id Ushul al-Hadis, (Lebanon, ‘Alam
al-Kutub: 1997). Hlm. 181.
[17]Mahmud al-Thahan, Taisir
Musthalah al-Hadis, ... hlm. 136
[18]Munzier Suparta, Ilmu
Hadis, (Jakarta, Rajawali Press: 2011), hlm. 204
[19]Syaikh Manna al-Qhattan, Mabahis Fi ‘Ulum al-Hadis diterjemahkan oleh
Mifdhal Abdurrahman, Pengantar Studi
Hadis, (Jakarta, PT. Pustaka Kausar: 2005). Hlm. 185.
[20]Muhammad Ajjaj al-Khatib,Ushul al-Hadis diterjemahkan oleh H.M
Qodirun Nur & Ahmad Musyafiq, Pokok-Pokok Ilmu Hadis, (Jakarta, PT. Gaya
Media Pratama: 1998). Hlm. 212
[21]Jalaluddin Abdurrahman
bin Abi Bakar As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi,
juz ke-2 ... hlm. 10
[22]Jalaluddin Abdurrahman
bin Abi Bakar As-Suyuthi, Tadrib ar-Rawi,
juz ke-2 ... hlm. 16
[23]Muhammad Ajjad al-Khatib,
Ushul al-Hadis diterjemahkan H.M
Qadirun Nur dan Ahmad Musyafiq, Pokok-pokok
Ilmu Hadis, (Jakarta, PT. Gaya Media Pratama: 2001). Hlm. 214-215
Choose EmoticonEmoticon