PEMIKIRAN FILSAFAT IBNU
SINA
(Avicenna)
Makalah ini Disusun Untuk Memenuhi Tugas
Individu Mata Kuliah
SEJARAH PERKEMBANGAN PEMIKIRAN DALAM ISLAM
Oleh
Afdhal Ilahi
Dosen Pengampu
Dr. Khairunnas
Rajab, M.Ag
PROGRAM STUDI
PENDIDIKAN AGAMA ISLAM
FAKULTAS PASCA SARJANA UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SULTAN SYARIF KASIM RIAU
PEKANBARU
2014
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dinamika
pemikiran dalam dunia Islam tetap berkembang sampai sekarang. Kenyataan ini
dimungkinkan terjadi berkat doktrin yang menghargai akal setinggi mungkin
sebagai salah satu sumber pengetahuan dan kebenaran.
Menurut
Ibnu Sina, jiwa merupakan satu kesatuan dan memiliki wujud sendiri. Jiwa nihil
sebagai fungsi-fungsi fisikan dan tugasnya ialah untuk berfikir dalam rangka
ini, jiwa memerlukan tubuh. Pada mulanya tubuh menolong jiwa manusia untuk
berfikir.
Namun,
jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan maka sebaliknya, tubuh hanya akan
menjadi penghalang bagi jiwa untuk berkembang. Karena jiwa merupakan satu unit
sendiri yang terlepas dari badan. Inilah sebagian pendapat yang dikemukakan
oleh Ibnu Sina dasar ajaran filsafatnya. Untuk lebih jelasnya, dalam makalah
ini akan kami jelaskan lebih lanjut mengenai filsafat Ibnu Sina
B. Rumusan Masalah
1.
Siapakah Ibnu
Sina?
2.
Apa saja
pemikiran filsafat yang dihasilkan oleh Ibnu Sina?
3.
Apa saja
karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina?
C. Tujuan Penulisan
1.
Untuk mengetahui
sejarah singkat Ibnu Sina
2.
Untuk memahami
dan mengetahui pemikiran Ibnu Sina
3.
Untuk mengetahui
karya-karya yang dihasilkan oleh Ibnu Sina
BAB
11
PEMBAHASAN
A. Riwayat Hidup Ibnu Sina
Nama
lengkap Ibnu Sina adalah Abu 'Ali al-Husein ibnu 'Abd Allah ibn al-Hasan ibnu
'Ali Ibn Sina al -Hakim . Ia dilhirkan di desa Afsyanah, dekat Bukhara,
Transoxiana (Persia Utara) pada tahun
370 H (8-980 M) dan meninggal dunia pada tahun 428 H (1037 M) dalam usia 58
tahun dan jasadnya dikebumikan di Hamadzan. Orang tuanya adalah pegawai tinggi pada pemerintahan Dinasti Saman,
ayahnya berasal dari kota Balakh kemudian pindah ke Bukhara pada masa raja Nuh
ibn Mansur dan diangkat oleh raja sebagai penguasa di Kharmaitsan, suatu
wilayah dari kota Bukhara. Di
kota ini, ayahnya menikahi Sattarah dan mendapat tiga orang anak, Ali, Husein
(Ibn Sina), dan Muhammad.
Ayahnya mendidik Ibnu Sina dengan sangat hati-hati dengan menyekolahkan Ibnu
Sina di Bukhara. [1]
Nama Ibnu Sina di Barat populer dengan sebutan Avicenna
akibat dari terjadinya metamorfose Yahudi-Spanyol-Latin. Dengan lidah Spanyol
kata Ibnu diucapkan Aben atau Even. Terjadinya perubahan ini berawal dari
usaha penerjemahan naskah-naskah Arab ke dalam bahasa Latin pada pertengahan
abad ke-12 di Spanyol.
Ibnu Sina mempunyai ingatan dan kecerdasan yang luar biasa sehingga dalam
usia 10 tahun telah mampu menghafal al-Qur'an, sebagian besar sastra Arab, dan
ia juga hafal kitab metafisika karangan Aristoteles setelah dibacanya empat
puluh kali, kendati pun ia belum memahaminya sampai membaca ulasan Al-Farabi. Ini
dilakukanya karena Ibnu Sina bermaksud untuk menyatukan filsafat Yunani dengan
ajaran Islam. [2] Pada
usia 16 tahun ia telah banyak menguasai ilmu pengetahuan, sastra Arab, Fikih,
ilmu hitung, ilmu ukur, dan filsafat. Sesudah itu ia mempelajari ilmu
kedokteran pada Isa bin Yahya, seorang Masehi. kemahirannya dalam ilmu
kedokteran sudah dikenal orang, bahkan banyak orang yang berdatangan untuk
berguru kepadanya. Ia tidak cukup dengan teori-teori kedokteran, tetapi juga
melakukan praktek dan mengobati orang-orang sakit. Dan ketika Ibnu Sina berusia 17 tahun,
dengan kepintarannya yang sangat mengagumkan, ia telah memahami seluruh teori
kedokteran yang ada pada saat itu dan melebihi siapapun juga. Karena kepintarannya ini, ia diangkat sebagai konsultan dokter-dokter
praktisi. Peristiwa ini terjadi ketika ia berhasil mengobati Pangeran Nuh ibnu
Mansur, yang sebelumnya tidak seorang dokterpun mampu menyembuhkannya. Ia juga
pernah diangkat menjadi menteri oleh Sultan Syams Al-Dawlah yang berkuasa di
Hamdan. Bahkan, ilmu
kedokteran yang ia dapatkan adalah hasil dipelajarinya sendiri.
Di
antara guru-gurunya hanya Abu 'Abdullah al-Natili (dalam bidang logika) dan
Isma'il (seorang zahid). Pada usia 18 tahun ia telah berprofesi dalam berbagai
bidang, guru, penyair, filsuf, pengarang, dan seorang dokter termasyhur
sehingga diundang untuk mengobati sultan Samanid di Bukhara, Nuh ibn Manshur.
Keberhasilannya tersebut merupakan perintis hubungan baiknya dengan Sultan,
sehingga dia diberikan kesempatan untuk menelaah buku-buku yang tersimpan di
perpustakaan Sultan. Dengan daya ingatnya yang luar biasa, Ibn Sina dapat
menghafal sebagian besar isi buku-buku tersebut. Hal itu menjadi modalnya untuk
menulis buku pertamanya tentang psikologi menurut metode Aristoteles, dan
dipersembahkan untuk Sultan Nuh ibn Manshur. Buku itu berjudul Hadiyah
al-Ra'is ila al-Amir (Hadiah Ibn Sina kepada Amir).
Pada
masa mudanya Ibn Sina tertarik kepada aliran Syi'ah Isma'iliyah dan aliran
kebatinan. Ia banyak mendengar percakapan antara tokoh-tokoh kedua aliran
tersebut dengan ayahnya atau dengan kakaknya. Mereka berdiskusi mengenai
soal-soal akal pikiran dan kejiwaan menurut cara mereka. Tetapi,
sebagaimana dikatakannya sendiri dalam autobiografinya, ia tidak dapat menerima
aliran-aliran tersebut dan menjahuinya. Hal itu menunjukkan kemandirian
berpikir Ibn Sina dan tidak mengikuti mazhab Sunnah maupun mazhab Syi'ah. Ia
muncul dengan mazhabnya sendiri, yakni mazhab Sinawi (mazhab Ibn Sina). Jadi,
amat sukar mendapatkan keterangan yang pasti tentang corak mazhab yang
dikembangkannya, apakah cenderung ke Syi'ah atau cenderung ke Sunnah.
Tampaknya, Ibn Sina mempunyai pandangan tersendiri dan mandiri dalam usaha
menemukan hakikat kebenaran, baik di bidang filsafat maupun di bidang
keagamaan.
Atas
keberhasilan Ibnu Sina dalam mengembangkan pemikiran filsafat sehingga dapat
dinilai bahwa filsafat di tangannya telah mencapai puncaknya, dan karena
prestasinya itu, ia berhak memperoleh gelar kehormatan dengan sebutan al Syeikh
al Ra'is.[3] Sebagai pemikir
inovatif dan kreatif pada umumnya, Ibnu Sina tidak terlepas dari cobaan yang
menimpa dirinya. Meskipun dengan
halangan dan kesibukan dalam hal politik Ibnu
Sina tetap bisa menghasilkan berpuluh-puluh karangan. Hal ini dapat dilakukanya
karena Ibnu Sina pandai mengatur waktu, hafalan yang sangat kuat, dan melihat
buku-buku ayng ditulis oleh pendahulunya yaitu Al Farabi. [4]
B. Pemikiran Filsafat
Ibnu Sina
1. Filsafat Al – Nafs (Jiwa)
Ibnu
Sina berpendapat bahwa akal pertama mempunyai dua sifat : sifat wajib wujudnya
sebagai pancaran dari Allah, dan sifat mungkin wujudnya jika ditinjau dari
hakekat dirinya atau necessary by virtual
of the necessary being and possible in essence . Dengan demikian ia
mempunyai tiga obyek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan
dirinya sebagai mungkin wujudnya. Kata jiwa dalam Al-Qur’an dan Hadist diistilahkan
dengan Al-Nafs atau Al-Ruh terekam dalam surat Shad: 71-72,
al-Isra’: 85 dan al-Fajr: 27-30. Sebagaimana
firman Allah dalam surat al-Isra ayat 85
berbunyi sebagai berikut:
tRqè=t«ó¡our Ç`tã Çyr9$# ( È@è% ßyr9$# ô`ÏB ÌøBr& În1u !$tBur OçFÏ?ré& z`ÏiB ÉOù=Ïèø9$# wÎ) WxÎ=s% ÇÑÎÈ
Artinya: dan mereka bertanya
kepadamu tentang roh. Katakanlah: "Roh itu Termasuk urusan Tuhan-ku, dan
tidaklah kamu diberi pengetahuan melainkan sedikit"(al-Isra:85)
Adapun
secara garis besarnya pembahasan Ibnu Sina tentang jiwa sebagai berikut:
a.
Fisika, membicarakan
tentang jiwa tumbuh-tumbuhan, binatang dan manusia
1)
Jiwa tumbuh-tumbuhan mempunyai
tiga jiwa yaitu: makan (Nutrition), Tumbuh (growth), berkembang biak (reproduction). [5]
2)
Jiwa binatang mempunyai dua bagian: Gerak (locomotion), Menangkap
(perception).
3)
Jiwa manusia mempunyai dua
daya yaitu praktis dan teoritis. Daya praktis hubungannya dengan jasad
sedangkan daya teoritis hubungannya dengan hal-hal yang abstrak. [6]
b.
Metafisika, membicarakan tentang hal-hal berikut:
1)
Wujud Jiwa
Untuk
membuktikan adanya jiwa Ibnu Sina mengemukakan empat dalil yaitu
a)
Dalil dalam
kejiwaan, pada dalil ini didasarkan pada fenomena gerak dan
pengetahuan
b)
Dalil aku dan
kesatuan gejala kejiwaan
Menurut
Ibnu Sina apabila seorang sedang membicarakan, tentang dirinya atau mengajak
bicara orang lain, maka yang di maksud ialah jiwanya, bukan badannya. Jadi
ketika menyatakan saya keluar atau tidur maka byukan gerak kaki, atau pemejaman
mata yan dimaksud tetapi hakikat kita dan seluruh pribadi kita
c)
Dalil
kelangsungan (kontinuitas)
Dalil
ini menyatakan bahwa masa kita sekarang berisi juga masa lampau dan masa depan.
Kehidupan rohani kita pada pagi ini ada hubungannya dengan kehidupan kita yang
kemarin, dan hubungannya ini tidak terputus oleh tidur kita, bahkan juga ada
hubungannya dengan kehidupan kita yang terjadi beberapa tahun yang lewat. Dalil
kelangsungan Ibnu Sina ini telah membuka ciri kehidupan yang khas dan
mencerminkan penyelidikan dan pembahasan yang mendalam, bahkan telah mendahului
masanya beberapa abad.
d)
Dalil orang
terbang atau tergantung di udara.
Dalil ini adalah
yang terindah dari Ibnu Sina dan yang paling jelas menunjukkan daya kreasinya.
Meskipun dalil tersebut di dasarkan atas perkiraan dan khayalan, namun tidak
mengurangi kemampunnya utuk memberikan keyakinan
2)
Hakikat jiwa
Definisi
jiwa yang dikemukakan oleh Aristoteles yang berbunyi “kesempurnaan awal bagi
jasad alami yang organis” ternyata tidak memuaskan Ibnu Sina. Pasalnya definisi
tersebut belum memberikan gambaran tentang hakikat jiwa yang membedaknnya dari
jasad. Ibnu Sina mendefinisikan jiwa dengan Jauhar. Definisi
ini mengisyaratkan bahwa jiwa merupakan substansi rohani, tidak tersusun dari
materi – materi sebagaimana jasad. Kesatuan di antara keduanya bersifat Acciden, hancurnya jasad tidak membawa
pada hancurnya jiwa (roh). Pendapat Ibnu Sina ini lebih dekat pada Plato yang
mengatakan jiwa adalah subtansi yang berdiri sendiri.
3)
Hubungan jiwa dengan jasad
Adapun
menurut Ibnu Sina hubungannya antara jiwa dan jasad sangat erat, keduanya juga
saling mempengaruhi atau saling membantu, jasad adalah tempat bagi jiwa, adanya
jasad merupakan syarat mutlak terciptanya jiwa. Dengan kata lain jiwa tidak
akan tercita tanpa adanya jasad yang di tempatinya.
4)
Kekekalan Jiwa
Tentang
kekekalan jiwa Ibnu Sina lebih cenderung berkesimpulan sesuai dengan apa yang
di sinyalkan Al–Qur’an. Menurutnya jiwa manusia berbeda dengan tumbuhan dan
hewan yang hancur dengan hancurnya jasad. Jiwa manusia akan kekal dalam bentuk
individual, yang akan menerima pembalasan di akhirat, akan tetapi kekalnya ini di kekalkan Allah (al-khulud). Jadi jiwa adalah baharu(al-hudus)
karena diciptakan(punya awal) dan kekal(tidak punya akhir). [7]
2. Filsafat Tentang Emanasi
Filsafat
tentang emanasi ini bukan hasil renungan Ibnu sina (juga Al-Farabi), akan
tetapi dari “ramuan Plotinus” yang menyatakan bahwa alam ini terjadi karena
pancaran dari Yang Esa (The One).
Kemudian filsafat Plotinus yang berprinsip bahwa “Dari yang satu hanya satu
yang melimpah” hal ini diIslamkan oleh Ibnu na bahwa Allah menciptakan alam
secara emanasi. Hal ini memungkinkan karena dalam al-Qur’an tidak ditemukan
informasi yang rinci tentang penciptaan alam dari materi yang sudah ada atau
dari sesuatu yang tidak ada. Dengan semikian, walaupun prinsip Ibnu sina dan
Plotinus sama, namun hasil dan tujuannya berbeda. Oleh karena itu dapat
dikatakan yang Esa Plotinus sebagai penyebab yang pasif bergeser menjadi Allah
Pencipta yang aktif. Dia menciptakan alam dari materi yang sudah ada pancaran.
Adapun
proses terjadinya pancaran tersebut adalah ketika Allah wujud (bukan dari
tiada) sebagai akal (‘aql) langsung
memikirkan (ber-ta’aqul) terhadap dzat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya,
maka memancarlah Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancarlah Akal Kedua,
Jiwa Pertama dan Langit Pertama. Demikianlah seterusnya sampai akal kesepuluh
yang sudah lemah dayanya dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya dan hanya
menghasilkan jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi
keempat unsur pokok : air, udara, api dan tanah.
Perbedaan mendasar emanasi Plotinus dengan emanasi Ibnu Sina adalah bagi
Plotinus alam ini hanya terpancar dari yang satu(Tuhan) yang mengesakan Allah
tidak pencipta dan tidak aktif. Sedangkan Ibnu Sina berpendapat bahwa emanasi
ini adalah cara Allah menciptakan alam. Karena alam adalah ciptaan Allah maka
dalam agama Islam ini termasuk ajaran pokok yang wajib diimani oleh kaum
muslimin, barang siapa yang tidak mengimaninya bisa termasuk kepada kekafiran. Ada
tiga unsur yang dikombinasikan oleh Ibnu Sina dalam teori emanasinya, yaitu:
a.
Unsur
ilmu kalam, terdiri dari wajibul wujud (adanya tidak tergantung dengan
adanya yang lain dan ini khusus untuk Tuhan) dan mukminul wujud (keberadaanya
tergantung dengan adanya yang lain, ini
meliputi seluruh mahluk)
b.
Unsur prinsip filsafat
Prinsip ini mengatakan bahwa tiap-tiap yang satu hanya
akan mengeluarkan satu juga, hal ini berarti kalau Tuhan mengadakan suatu
wujud, maka wujudnya hanya satu saja
c.
Unsur
filsafat Aristoteles dan Neo Platinus
Unsur disini adalah akal.
Ibnu Sina menyebut dengan istilah
akal. Akal kalau memikirkan dirinya, memikirkan satu diluar dirinya,sehingga
akal itu menjadi sebab timbulnya akal lain yang dinamakan akal pertama. Akal
pertama bertaakul pula menjadi akal kedua bagitu seterusnya. [8]
3. Filsafat Ketuhanan
Ibnu Sina
membuktikan adanya Tuhan (isbat wujud
Allah) dengan dalil wijib al-wujud dan
mumkin
al-wujud. Dalam
filasafatnya bahwa segala yang ada Ibnu
Sina membagi kepada tiga tingkatan:
a.
Wajib al-wujud
Disini essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud.
Essensi dan wujud adalah sama dan satu kesatuan. Di sini essensi tidak dimulai
oleh tidak berwujud dan kemudian berwujud, tetapi essensi ini mesti dan wajib
mempunyai wujud selama lamanya.
Lebih jauh Ibnu Sina membagi wajib al wujud ke dalam wajib al wujud dzatihi dan wajib
alwujud bi ghairihi. Wajib al wujud dzatihi ialah yang wujudnya dan sebab
zatnya karena Allah sendiri.[9]
Wajib
alwujud bi ghairihi ialah wujudnya yang
terkait dengan sebab adanya sesuatu yang lain di luar zatnya.
b.
Mumkin al-wujud
Essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh pula
tidak mempunyai wujud. Yaitu sesuatu yang mungkin berwujud tetapi mungkin pula
tidak berwujud. Contohnya adalah alam ini yang pada mulanya tidak ada kemudian
ada dan akhirnya akan hancur menjadi tidak ada
c.
Mumtani’al-wujud
Sesuatu yang
mustahil berwujud (impossible being). Contohnya rasa sakit
Ibnu Sina dalam membuktikan adanya Allah tidak perlu mencari dalil dengan
salah satu mahlukNya tetapi cukup dengan dalil adanya wujud pertama yakni Wajib al-wujud. Tentang sifat-sifat Allah, sebagaimana Al-Farabi, Ibnu
Sina juga mensucikan Allah dari segala
sifat-sifat yang dikaitkan dengan esensiNya. Karena Allah Maha Esa dan
Maha Sempurna. Ia adalah tunggal dan
tidak terdiri dari bagian-bagian. [10]
4. Falsafat Wahyu dan Nabi
Mengenai
pemikiran Ibnu Sina tentang kenabian, ia berpendapat bahwa Nabi dan Rasul adalah manusia yang paling unggul, lebih unggul dari
filosof, karena Nabi memiliki akal aktual yang sempurna tanpa latihan atau
studi keras.[11]
Sedangkan filosof mendapatkannya dengan usaha dan susah
payah. Sedangkan wahyu mendorong manusia untuk beramal dan menjadi orang
baik, tidak hanya murni sebagai wawasan intelektual dan ilham belaka. Maka tak
ada agama yang hanya berdasarkan akal murni.
Pandangan Ibnu Sina dalam hal kenabian memandang ada wujud yang berdiri sendiri dan ada pula yang tidak
berdiri sendiri yang pertama lebih unggul daripada yang kedu selanjutnya ada
manusia yang memiliki akal aktual dengan sempurna secara langsung (tanpa
latihan, tanpa belajar keras) dan ada pula yang memiliki akal aktual dengan
sempurna secara tidak langsung (yakni melalui latihan dan studi), maka yang
pertama yakni para Nabi yang lebih unggul daripada yang kedua, yakni para
filsuf. Para Nabi berada di puncak keunggulan atau keutamaan tertinggi dari intelek manusia. [12]Karena yang lebih unggul harus memimpin segenap
manusia yang diunggulinya.
Pokok –pokok kenabian ini berisi tentang Ummul Kitab yang kunci-kuncinya hanya berupa
bacaan basmallah. [13]
Ibnu Sina membagi
akal dalam empat tingkatan, yaitu:
a.
Akal
materi, hanya memiliki potensi untuk berfikir, belum terlatih
b.
Akal
intelectus in habitu yaitu akal
yang mulai dilatih untuk berfikir
c.
Akal aktual, akal yang dapat berfikir akan tentang
hal-hal abstrak
d.
Akal
mustafad akal yang telah sanggup berfikir tentang hal –hal abstrak [14]
5.
Rekonsiliasi
Agama dan Filsafat (Al-Tawfiq)
Ibnu adalah sosok filsuf yang rasional sekaligus sangat religius. Ditambah
lagi dengan sifat Ibnu Sina yang shaleh,
tatkala ia mendapatkan kesulitan dalam filsafatnya, ia pergi ke Mesjid
untuk menunaikan shalat menjumpai Sang Khalik. Di dalam banyak risalahnya, ia
juga menekankan keutamaan ibadah. Dari
pikiran dan sikap inilah maka tidak heran bahwa Ibnu Sina dikenal sebagai filosuf
soleh yang mencoba menggabungkan kebenaran agama dengan kebenaran filsafat.
Sehingga ada juga yang mengatakan bahwa filsafat Ibnu Sina ini dengan filsafat timur. Karena Ibnu Sina
berusaha membawa kebenaran filsafat dari logika ke kebenaran filsafat berdasarkan pengalaman
batin yaitu melalui agama
Baginya kebenaran agama yang dibawa oleh para Nabi berjalan seiringan
dengan kebenaran yang dibawa oleh para filsuf. Bedanya di sini bahwa para Nabi meski berada pada akal
material sudah mampu melakukan kontak dengan Jibril sedangkan para filsuf harus
melewati terlebih dahulu berbagai daya upaya sehingga mampu sampai kepada level
akal perolehan(mustafad). [15]
6.
Pemikiran
Ibnu Sina Tentang Pendidikan
a.
Tujuan
Pendidikan
Tujuan pendidikan menurut Ibnu Sina Diarahkan kepada
pengembangan seluruh potensi yang dimiliki seseorang menuju perkembangan yang
sempurna baik perkembangan fisik, intelektual maupun budi pekerti. Diarahkan pada upaya dalam rangka
mempersiapkan seseorang agar dapat hidup bersama-sama di masyarakat dengan
melakukan pekerjaan atau keahlian yang dipilihnya disesuaikan dengan bakat,
kesiapan, kecenderungan dan potensi yang dimilikinya.
b.
Kurikulum
Menurut Ibn Sina, kurikulum didasarkan pada tingkat
perkembangan usia anak didik, seperti mata pelajaran olah raga, budi pekerti,
kebersihan, seni suara dan kesenian, ini semua untuk anak usia 3 sampai 5
tahun. Mengenai mata pelajaran olah raga yang dipengaruhi oleh pandangan
psikologis yang dapat diketahui dari perkembangan usia, dan bakat, sehingga
dapat diketahui mana yang lebih banyak dilatih olah raga yang memerlukan fisik
yang kuat serta keahlian dan mana olah raga yang tergolong ringan, cepat,
lambat dan sebagainya.
c.
Metode
Pengajaran
Konsep dalam setiap pembahasan materi pelajaran selalu
membicarakan tentang bagaimana cara mengajarkan kepada anak didik yang
disesuaikan dengan psikologis anak. Ibn Sina berpandangan bahwa suatu materi
pelajaran tidak dapat dijelaskan dalam satu cara saja kepada anak didik, tapi
harus menggunakan berbagai macam cara berdasarkan pada perkembangan
psikologisnya. Sehingga penyampaian materi pelajaran pada anak sesuai baik
sifat materi pelajaran maupun metode yang akan diajarkan. Menurut Ibn Sina ada
beberapa metode pengajaran diantaranya, metode talqin, demonstrasi, pembiasaan
dan teladan, diskusi, magang, dan metode penugasan.[16]
d.
Konsep
Guru
Berbicara tentang guru yang baik, menurut Ibnu Sina
guru yang baik itu adalah guru yang beragama, berakal cerdas, tahu cara
mendidik akhlak, cakap mendidik, berpenampilan tenang, jauh dari olok-olokan
muridnya, tidak bermuka masam, sopan, santun, bersih dan suci murni, sebaiknya
dari kaum pria yang terhormat dan menonjol budi pekertinya, telaten dalam
mendidik anak, sabar dalam membimbing anak, adil, hemat dalam menggunakan
waktu, gemar bergaul dengan anak-anak, mengutamakan kepentingan umum dari pada
kepentingan pribadi dan lain-lain.
Ciri –ciri guru di atas juga sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Hasan Al
Banna[17],
menurutnya guru yang baik itu adalah guru yang memiliki pemahaman agama yang
benar dan berahlak mulia. [18]
e.
Hukuman dalam
pengajaran
Konsep hukuman (Punishment) Ibn Sina sangatlah
hati-hati dalam memberikan hukuman karena ia sangat menghargai martabat
manusia, hukuman diperlukan jika dalam keadaan terpaksa. Atas dasar kemanusiaan
ia membatasi hukuman tersebut, serta membolehkan pelaksanaan hukuman dengan
cara yang ekstra hati-hati hal ini dalam keadaan tidak normal. Sedangkan dalam
keadaan normal hukuman tidak boleh dilakukan. [19]
7.
Pemikiran
Ibnu Sina Tentang Ahlak
Pandangan Ibnu Sina dalam pendidikan ahlak menyatakan bahwa tugas Ibu Bapak atu guru adalah memberikan penekanan
kepada pendidikan agama kepada anak-anak, karena hal itu bertujuan untuk membentuk ahlak dan adab yang baik. Selain itu guru juga bertanggung jawab
memberikan contoh yang baik kapada anak-anak, karena mereka adalah golongan
pertama yang wajib diberikan pendidikan. Hal ini kareana anak-anak melihat
tingkah laku orang dwasa yang ada disekelilingnya.
Jika tingkah laku Ibu Bapak baik,
maka secara tidaklangsung anak akan
mengikuti ahlak tersebut. Setiap guru perlu memberikan pendidikan ahlak
kepada anak seperti yang dicontohkan oleh Nabi Muhammad saw. Ibnu Sina juga
mengatakan bahwa kehidupan itu adalah ahlak, tiada kehidupan tampa ahlak. [20]
C. Karya–karya
Ibnu Sina
Karya-karya
Ibnu Sina yang termasyhur dalam Filsafat adalah As-Shifa, An-Najat dan Al-Isyarat. An-Najat adalah ringkasan dari kitab As-Shifa. Al-Isyarat,
berisikan tentang logika dan hikmah. Selain dari pada itu, ia banyak menulis
karangan- karangan pendek yang dinamakan Maqallah.
Kebanyakan maqallah ini ditulis ketika ia memperoleh inspirasi dalam sesuatu abentuk baru dan
segera dikarangnya.
Walaupun
ia sibuk dengan soal negara, tetapi ia berhasil menulis sekitar dua ratus lima
puluh karya. Diantaranya karya yang paling masyhur dalam bidang kedokteran
adalah “Al-Qanun” yang berisikan pengobatan Islam dan diajarkan
hingga kini di Timur. Buku ini dterjemahkan ke bahasa Latin dan diajarkan
berabad lamanya di Universitas Barat. Karya keduanya adalah ensiklopedinya yang
monumental “As-Syifa”.
Dalam
sejarah kehidupannya, Ibnu Sina juga dikenal sebagai seorang ilmuwan yang
sangat produktif dalam menghasilkan berbagai karya buku. Buku-buku karangannya
hampir meliputi seluruh cabang ilmu pengetahuan, diantarannya ilmu kedokteran,
filsafat, ilmu jiwa, fisika, logika, politik dan sastra arab. Adapun
karya-karyanya sebagai berikut :
1.
Kitab Qanun fi al-Thib, merupakan karya Ibnu Sina terbesar dalam
bidang ilmu kedokteran. [21] Buku ini pernah menjadi satu-satunya rujukan dalam
bidang kedokteran di Eropa selama lebih kurang lima abad. Buku ini merupakan
iktisar pengobatan Islam juga diajarkan hingga kini di Timur. Di Eropa dan
China buku ini sudah lama menjadi rujukan kedoktoran. Al-Qanun Fii al-Tibb diterjemahkan
dengan judul Canon of Medicine
digunakan sebagai rujukan utama dalam bidang perubatan di seluruh pusat
pengajian Barat termasuk Universiti Franfurt
di Jerman, Universiti Paris di Perancis, dan Universiti Oxford di England. Di dalam buku al-Qanun Fii al-Tibb karya Ibnu Sina dinyatakan bahawa “darah
mengalir terus-menerus dalam satu kitaran dan tidak pernah berhenti”.
3.
Kitab Fi Aqsam al-Ulum al-Aqliyah, merupakan
karya Ibnu Sina dalam bidang ilmu fisika. Buku ini ditulis dalam bahasa Arab
juga masih tersimpan dalam berbagai perpustakaan di Istanbul, penerbitannya
pertama kali dilakukan di Kairo pada tahun 1910 M, sedangkan terjemahannya
dalam bahasa Yahudi dan Latin masih terdapat hingga sekarang. Buku mengenai
politik seperti: Risalah As-Siyasah, Fi Isbati an-Nubuwah, Al-Arzaq. Buku mengenai
Tafsir seperti: Surah al-Ikhlas,
Surah al-Falaq, Surah an-Nas, Surah al-Mu’awizataini, Surah al-A’la. Buku tentang
Logika seperti: Al-Isyarat wat Tanbihat,
al-Isyaquji, Mujiz, Kabir wa Shaghir. Buku tentang musik seperti: Al-Musiqa.
4.
Kitab al-
Isyarat wa al-Tanbihat, isinya mengandung uraian tentang logika dan hikmah.[23]
Ibnu Sina banyak
membuat analisis tentang berbagai penyakit dan menyebutkan lebih kurang 760
jenis penyakit serta kaedah merawatnya. Penyelidikan dan penulisan Ibnu Sina
banyak mempengaruhi perkembangan ilmu perobatan moden. Ibnu Sina juga banyak
telah menyumbang ilmu dan pemikiran. Jasa Ibnu Sina dihargai hingga hari ini.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Dari uraian yang telah dipaparkan tentang
filsafat Ibnu Sina maka dapat disimpulkan bahwa Ibnu Sina merupakan filsuf Islam
yang sangat banyak memberikan kontribusi kepada dunia Islam khususnya, dunia
barat secara umum. Terbukti dengan pemikiran-pemikiran dan karya beliau, hingga
sekarang tetap masih menjadi rujukan para intelektual Islam bahkan barat di
berbagai bidang. Adapun pokok pemikiran Ibnu Sina yaitu:
1.
Filsafat
Al
– Nafs (Jiwa)
2.
Filsafat Tentang
Emanasi
3.
Filsafat Ketuhanan
4.
Falsafat Wahyu
dan Nabi
5.
Rekonsiliasi
Agama dan Filsafat (Al-Tawfiq)
6.
Pemikiran
Ibnu Sina Tentang Pendidikan
7.
Pemikiran
Ibnu Sina Tentang Ahlak
Karya-karya Ibnu Sina yang sangat terkenal
meliputi:
1. Kitab Qanun fi
al-Thib
2. Kitab al-Syifa
3. Kitab Fi Aqsam
al-Ulum al-Aqliyah
4. Kitab al- Isyarat wa al-Tanbihat
B. Saran
Saran penulis agar para generasi muda Islam
hendaknya lebih giat lagi dalam menimba dan menuntut ilmu dalam bidang apapu
itu, apalagi pada bidang keislaman.
Sehingga kedepanya generasi muda Islam ini menjadi para pemikir-pemikir Islam yang benar dan
kaya akan berbagai pengetahuan.
DAFTAR PUSTAKA
Abd.
Rachman Assegaf, Aliran
Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, 2013
Anggota IKAPI, Ilmu, Filsafat, dan Agama,
Surabaya: PT Bina Ilmu, 1987
Amroeni Drajat, Filsafat Islam, Medan: PT Glora Aksara
Pratama, 2006
Ahmad Daudy, Kuliah Filsafat Islam, Jakarta:Bulan Bintang,
1989
Albert Hourani, Pemikiran Liberal di Dunia Arab, (Terj. Suparno dkk),
Bandung:Mizan, 2004
Abdurrahman Abul Khaliq, Ihsan Ilahi
Zhahir, Pemikiran Sufisme Dibawah Bayan –bayang Fatamorgana, Jakarta:
Amzah, 2001
Aan Rukmana, Ibnu Sina Sang Ensiklopedi ,
Pemantik Pijar Peradaban Islam, Jakrta;Dian Rakyat, 2013
Harun Nasution, Islam Ditinjau dari
Berbagai Aspeknya, Jakarta:UI-Press, 1986
Ibrahim Madkour, Alirandan Teori Filsafat Islam, (Terj. Yudian
Wahyudi Asmin), Jakarta:Bumi Aksara, 2009
M. Yusra Asmuni, Pertumbuhan dan
perkembangan Berfikir dalam Islam,
Surabaya: Al Ikhlas, 1994
Muhaimin, Kawasan dan Kawasan Studi Islam, Jakarta: Kencana, 2007
Nurholis Majid, Kaki Langit Peradaban Islam,
Jakarta:Paramadina, 1997
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta:PT Rineka Cipta, 1997
Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, Jejak
Pemikiran Tokoh Pendidikan, Jogjakarta:Arruz Media, 2011
Susanto, Pemikiran Pendidikan
Islam, Jakarta:Amzah, 2010
Sirajudin Zar, Filsafat Islam Filosof dan Fisafatnya, Jakarta:PT. Raja Grafindo
Persada, 2010
Seyyed Hossein Nasr,2009, Intelektual
Islam, ( Terj. Suharsono dan Djamaludi), Jogjakarta:Pustaka Pelajar
Zainudin Alavi, PemikiranPendidikan Islam,
Bandung:Angkasa,2003
[1] Abd. Rachman Assegaf, 2013, Aliran
Pemikiran Pendidikan Islam, Jakarta:PT Raja Grafindo Persada, Cet-2 , hh.
77-78
[3] Sirajudin Zar, 2010, Filsafat Islam
Filosof dan Filsafatnya, Jakarta:PT.
Raja Grafindo Persada, Cet- 4, h. 93. Lihat juga Nurholis Majid, 1997, Kaki
Langit Peradaban Islam, Jakarta:Paramadina, h. 94
[7] Sirajudin Zar, Op Cit., h. 111.
Lihat juga Ahmad Daudy, 1989, Kuliah
Filsafat Islam, Jakarta:Bulan Bintang, hh.181-182
[8] M. Yusra Asmuni, 1994, Pertumbuhan
dan Perkembangan Berfikir dalam Islam,
Surabaya: Al Ikhlas, hh. 44-45
[9] Ibrahim Madkour, 2009, Alirandan Teori
Filsafat Islam, (Terj. Yudian Wahyudi Asmin), Jakarta:Bumi Aksara, Cet-4,
h. 123
[12] Albert Hourani, 2004, Pemikiran Liberal
di Dunia Arab, (Terj. Suparno dkk), Bandung:Mizan, h. 29
[13] Abdurrahman Abul Khaliq, Ihsan Ilahi
Zhahir. 2001, Pemikiran Sufisme Dibawah Bayan –bayang Fatamorgana,
Jakarta: Amzah, Cet-2, h. 25
[15] Aan Rukmana, 2013, Ibnu Sina Sang Ensiklopedi , Pemantik Pijar Peradaban
Islam, Jakrta;Dian Rakyat, h. 67
[16] Syamsul Kurniawan, Erwin Mahrus, 2011, Jejak Pemikiran Tokoh Pendidikan,
Jogjakarta:Arruz Media, hh. 77-82
[17] Hasan al Banna adalah salah satu filsuf islam
yang memilki pemikiran yang berpengaruh di dunia Islam. Beliau terkenal dengan
sebutan As-Sa’aty, salah satu
karangan Hasan al Bana adalah al-Bada al-Musnad.
[21] Seyyed
Hossein Nasr,2009, Intelektual Islam, ( Terj. Suharsono dan
Djamaludi), Jogjakarta:Pustaka Pelajar, h. 38
Choose EmoticonEmoticon