BAB II
PEMBAHASAN
Hadis Dha’if dan Macam-macamnya
Dari
segi bahasa do’if berarti lemah lawan dari kuat[1] sedangkan menurut istilah
adalah hadis yang tidak memiliki ciri-ciri hadis shohih dan hadis hasan. Adapun
ciri-ciri hadis sohih dan hasan adalah: bersambungnya sanad, perawi yang adil,
dobit, tidak memiliki cacat, serta adanya hadis pendukung jika didalam sanad
terdapat kebohongan bukan disebabkan banyaknya kesalahan, maka setiap hadis
yang tidak memiliki semua atau sebagian ciri-ciri diatas di sebut hadis do’if.[2]
Menurut pendapat Ibn Taimiyah, pembagian kualitas hadis
menjadi sahih, hasan dan da’if itu berlaku mulai zaman Imam Turmuzi (w 279
H/892 M). Pada zaman sebelumnya, pembagian kualitas hadis hanya dikenal dua
macam saja, yaitu sahih dan da’if.
Menurut Ibn Hibban al-Bustiy (wafat 354 H = 965 M), jumlah
hadis dha’if ada empat puluh sembilan macam. Menurut al-Mannawiy (wafat
1031 H), secara teoritis hadis dha’if dapat mencapai seratus duapuluh
sembilan macam, tetapi yang dimungkinkan terwujudnya, ada delapan puluh satu
macam. Sebagian ulama lagi menyebutkan jumlah yang berbeda dari jumlah yang
telah disebutkan sebelumnya. Walaupun angka jumlah hadis dha ‘if tidak
disepakati oleh ulama, akan tetapi di sisi yang lain penyebutan angka itu
menunjukkan bahwa hadis dha ‘if memang cukup banyak jumlahnya.
Dalam pembahasan ini, macam-macam hadis dha’if tersebut
tidak diuraikan secara terinci dan mendalam. Pokok pembahasan dibatasi hanya
pada pengertian beberapa macam hadis dha’if secara umum saja. Ada
beberapa sebab yang menjadikan sebuah hadis diberi nilai dha’if. Ada kalanya
sanadnya tidak bersambung, ada kalanya juga karena periwayatnya tercacat atau
sebab lain
Adapun
fokus kajian ini akan diarahkan lebih pada hal-hal yang berkaitan
pembagian hadis yang berkaitan dengan kritik sanad dan matan
A.
Dhaif
Karena Terputus Sanadnya
Dalam hubungannya dengan tidak terpenuhinya unsur sanad
bersambung, secara garis besar Ibn Hajar al-’Asqalaniy membagi hadis dha’if
kepada lima macam. Yakni, hadis mu’allaq, hadis mursal, hadis
mu’dhal, hadis munqathi’, dan hadis mudallas[3].Kelima
macam istilah ini menerangkan letak dan jumlah periwayat yang terputus dalam sanad.
- Hadis Mu’allaq.
Yang dimaksud dengan hadis mu ‘allaq [4]ialah
hadis yang periwayat di awal sanad-nya (periwayat yang disandari oleh
penghimpun hadis) gugur (terputus), seorang atau lebih secara berurutan. Jadi,
yang menjadi patokan dalam hal ini adalah keterputusan periwayat di awal sanad.
Apabila yang terputus lebih dari seorang periwayat, maka keterputusan itu
harus dimulai dari awal sanad secara berurutan. Sekiranya periwayat yang
terputus (gugur) bukan di awal sanad, atau tidak berurutan, maka hadis
itu tidak dinamakan sebagai mu’allaq. Di segi yang lain, hadis mu’allaq.
adalah hadis marfu’, karena hadis itu disandarkan kepada Nabi.
- Hadis Mursal.
Yang dimaksud dengan hadis mursal [5]menurut
mayoritas ulama hadis, ialah hadis yang disandarkan langsung kepada Nabi oleh al-tabi’iy,
baik al-tabi’iy besar maupun al-tabi’iy kecil, tanpa terlebih
dahulu hadis itu disandarkan kepada sahabat Nabi. Menurut pendapat ini, hadis
dinyatakan sebagai mursal, apabila hadis itu marfu’ dan periwayat
yang berstatus al-tabi ‘iy tidak menyebutkan nama sahabat yang menerima
langsung hadis itu dari Nabi. Dalam hal ini, al-tabi ‘iy tidak dibedakan
antara yang senior dan yang yunior.
Sebagian ulama mensyaratkan, al-tabi’iy
yang menyandarkan hadis langsung kepada Nabi itu haruslah al-tabi’iy besar,
misalnya Sa’id bin al-Musayyab (wafat 94 H = 712 M). Karena, al-tabi’iy besar
menerima hadis pada umumnya langsung dari sahabat Nabi. Sedang apabila yang
menyandarkan al-tabi’iy kecil, misalnya Ibn Syihab al-Zuhriy (wafat 124
H = 742 M), maka hadis itu tidak disebut sebagai hadis mursal, melainkan
disebut sebagai hadis munqathi’. Karena, al-tabi’iy kecil
menerima hadis pada umumnya dari al-tabi ‘iy besar dan tidak langsung
dari sahabat Nabi. Menurut pendapat ini, hadis mursal itu harus marfu’,
periwayat yang terputus (gugur) haruslah periwayat yang berstatus sahabat
Nabi dan periwayat yang menggugurkan haruslah al-tabi’iy besar
- Hadis Muaddhal.
Yang dimaksud hadis mu’dhal adalah
hadis yang terputus sanad-nya, dua orang periwayat atau lebih secara berturut-turut[6] dan terjadi di
tengan sanad[7]. Termasuk jenis ini adalah hadis
yang dimursalkan oleh tabi’ al-tabi’i.
Menurut ulama hadis, apabila
kalangan ulama fiqh, misalnya al-Sya-fi’iy, menyatakan dalam kitabnya,
“Telah bersabda Rasulullah SAW …,” maka hadis tersebut adalah mu ‘dhal. Karena,
ulama fiqh yang sezaman dengan al-Syafi’iy pada umumnya hidup pada masa
sesudah generasi al-tabi’in. Dengan demikian mereka menerima riwayat
hadis Nabi melalui, sedikitnya, dua generasi. Jadi, dalam riwayat hadis yang
mereka kemukakan seperti contoh di atas, terdapat dua atau tiga orang periwayat
secara berurut yang tidak mereka sebutkan. Sedang menurut ulama fiqh atau
ushul al-fiqh, sebagaimana telah dikemukakan di atas, hadis yang
demikian itu disebut sebagai hadis mursal.
Keriteria hadis Muaddal adalah:
a.
sanad yang
gugur lebih dari satu orang
b.
keterputusan
sanad berturut-turut
c. tempat keterputusan
sanad ada di tengah-tengah
- Hadis Munqathi’[8] berbeda pendapat dalam hal ini.
Pendapat-pendapat ulama tersebut sebagai berikut:
a.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya terputus di bagian mana
saja, baik di bagian periwayat yang berstatus sahabat, maupun periwayat yang
bukan sahabat.
b.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya terputus, karena periwayat
yang tidak berstatus al-tabi‘in dan sahabat Nabi telah menyatakan
menerima hadis dari sahabat Nabi.
c.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang bagian sanad-nya sebelum sahabat, jadi
periwayat sesudah sahabat, hilang atau tidak jelas orangnya.
d.
hadis
munqathi’ adalah hadis yang dalam sanad-nya ada periwayat yang
gugur seorang atau dua orang tidak secara berurutan.
e.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang dalam sanad-nya ada seorang periwayat
yang terputus atau tidak jelas.
f.
hadis
munqathi’ ialah hadis yang sanad-nya di bagian sebelum sahabat,
jadi periwayat sesudah sahabat, terputus seorang atau lebih tidak secara
berurut dan tidak terjadi di awal sanad.
g.
hadis
munqathi’ ialah pernyataan atau perbuatan al-tabi’in.
Menurut Al Khatib Al-baghdadi hadi mungqoti’ sama dengan hadis mursal,
hanyasaja sebutan munqoti’ biasanya digunakan untuk riwayat dari seseorang yang
bukan tabi’in yang periwayatannya dari sahabat.
Untuk menghindari ketidak jelasan , maka hadis munqoti’ adalah hadis
yang ditengah sanadnnya ada perawi yang gugur baik satu orang atau lebih tetapi
tidak berurutan.
5. Hadis
mauquf dan maqtu’
Hadis mauquf
adalah hadis yang diriwayatkan dari sahabat berupa perkataan, perbuatan, dan
persetujuannya. Dilihat dari bahasa kata mauquf berasal dari “waqofa yaqifu”
yang berarti dehentika atau di waqofkan . maksudnya hadis ini berhenti hanya
sampai pada sahabat dan tidak sampai kepada nabi.
Menurut Ibn
Hajar Al asqolai sebuah hadis dinamkan hadis mauquf jika disadarkan pada
sahabat baik sanatnya muttasil ataupun munqoti’.
Hadis maqtu’
berasal dari “qoto’a yaqto’u” yang artinya memotong, sedangkan meurut istilah
adalah hadis yang berupa perkataan, perbuatan, dan persetujuan yang disandarkan
hanya sapmpai kepada tabiin.
B. Do’if Karena Perawi Tidak Adil
a. Hadis matruk
Ø Pengertian
Dari segi bahasa matruk adalah berakar dari lafad متروك فهو تركا يترك ترك yang artinya tertinggal. Orang arab menyebutkan kulit telur setelah
mengeluarkan anak ayam disebut تريكة yang artinya tertinggal dan tidak ada
faedahnya. Sedangkan menurut istilah متروك adalah hadis yang salah satu perowinya seorang tertuduh
dusta.
Adapun
sebab-sebab tertuduhnya dusta seorang perawi adalah sebagai berikut:
·
Perawi
yang meriwayatkan hadis sendirian karena tidak ada perawi yang lain yang
eriwayatkan hadis tersebut.
·
Seorang
perawi terkenal sebagai pembohong dan pendusta.
·
Menyalahi
kewajiban-kewajiban yang ma’lum seperti beragama, sholat, puasa haji dan
kewajiban-kewajiban yang lainnya.
Ø Contoh
hadis matruk
Hadis yang diriwayatkan oleh Ibnu Abu Ad-Dunya dalam
Qodo’ Al-Hawa’ij melalui jalan Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi dari Adh-Dhahhak dari
Ibnu Abbas dari Nabi SAW:
Wajib atas kamu berbuat yang ma’ruf sesungguhnya ia
mencegah pergulatan kejahatan dan wajib atas kamu shadaqoh samaran (sirr)
sesungguhnya ia mematikan murka Alloh Azza Wajalla.
Pada sanad
hadis diatas terdapat Juwaibir bin Sa’id Al-Azdi, An-Nasa’i dan Ad-Darul Quthni
berkata, bahwa ia matruk Al-hadist menurut Ibnu Ma’in : tidak ada apa-apa.
Ø Tingkatan
hadis matruk
Sebagaimana yang telah dijelaskan pada bab-bab yang telah
lalu bahwa menurut Ibnu Hajara Al- Asqolani urutan hadis do’if yang terburuk
adalah Maudu’, Matruk, Mungkar, mu’allal, Mudraj, Maqlub, kemudian Mudtharib.
Hadis matruk adalah hadis yang terburuk setelah hadist maudu’ tidak dapat
diamalkan sama sekali, karena cacat yang sangat fatal yaitu tertuduh dusta
posisinya dekat dengan hadi maudu. Oleh karena itu, sesuai dengan namanya
natruk, artinya tertinggal, tidak didenngar, tidak dianggap, dan tidak
diamalkan. [9]
b. Hadist majhul
Ø Pengertian
Kata majhul keluar dari kata : مجهول. فهو .جهلا.يجهل.جهل=
tidak diketahui antonim dari kata ma’lum = di maklumi atau di ketahui. Misalnya
seorang pewaris hadist yang tidak dikenal atau tidak diketahui asal usulnya dan
latar belakangnya yang menyangkut kepercayaan seorang padahal untuk menilai
hadis diperlukan pembawaannya seorang yang memiliki kredibilitas yang dapat
diandalkan. Menurut istilah hadist majhul adalah :
صفته
او عينه تعرف لم من هو
Seorang
yang tidak dikenal jati diri dan identitanya
Penyebab kemajhulannya adalah:
a. seseorang mempunyai banyak nama atau sifat, baik nama
asli, nama panggilan, nama gelar, sifat, profesi atau suku dan bangsa.
Sesmentara orang tersebuat hanya dikenal sebagai namanya saja, tetai kemudian
disebutkan nama atau sifat yang tidak dikenal karena ada tujuan tertentu, maka
ia diduga perawi lain.
b. seorang perawi yanng sedikit periwayatan hadist. Tidak
banyak yang mengambilnya sebagai perawiyang kecuali hanya satu orang saja
misalnya.
c. tidak tegas menyebut nama perawi karena diringkas
menjadi nama kecil atau nama panggilan atau kerena tujuan lain.
Ø Macam-macam
hadist majhul
Majhul dapat dibagi menjadi tiga macam:
1) Majhul Al-‘Ain : seorang perawi disebutkan didalam
sanad tetapi tidak ada yang mengambil periwayatannya selain seorang perawi.
Misalnya hadist yang diriwayatkan At-Tirmidzi dari
Al-Hakim melalui jalan Hisyam bin Yusuf dari Abdullah bin Sulaiman An-Nufali
dari muhammad bin ali bin abdullah bin
Abbas dari ayahnya dari kakeknya secara marfu’:
Cintailah Allah karena sesuatu
yang diberikan kepadamu daripada nikmat-nikmatnya, cintailah aku karena Allah,
dan cintailah keluarganya karena mencintaiku.
Abdullah bin Sulaiman An nufail tidak diketahui
jatidirinya (majhulAl-‘ayn) karena tidak ada yang meriwayatkan daripadanya
kecuali hisyam bin yusuf.
2) Majhul Al-Hal disebut juga Almastur adalah:
periwayatan seseorang diambil dua orang atau lebih, tetapi tidak ada yang
tsiqqoh. Atau diartikan: tidak ada yang menukil tentang jarh (cacat) dan
Ta’dilnya (adil)
Contoh hadist yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah melalui
Itsman bin Ali dari Al-A’masy dari Abu Ishaq dari hani’ bin hani’ berkata :
ammar masu kerumah Ali msks Ali menyambutnya : selamat datang seorang suci dan
disucikan aku mendengar dari rasulullah SAW bersabda:
Ammar dipenuhi imannya sampa
ketulang-tulangnya.
Hani’ bin hani’ tidak diketahui identitasnya karena tidak
ada yang tsiqoh yang meriwayatkan hadistnya atau tidak ada yang menerangkan
ketsiqohannya . dengan demikian hadis diatas menurut yang sohih di tolak.
c. Hadist Mubham
Arti Mubham menurut bahasa adalah samar tidak jelas. Jadi perawinya atau
orang ketiga yang menjadi objek pembicaraan tidak dijelaskan siapa nama dan
darimana dia. Menurut istilah adalah:
Seorang perawi yang tidak
disebutkan namanya baik dalam sanad atau dalam matannya .
Jadi mubham adalah tidak adanya penyebutan nama seorang
perawi yang jalas, karena hanya disebutkan seorang laki-laki atau seorang
perempua saja tidak disebutkan nama jelasnya. Mubham adakalanya dalam sanad dan
adaklanya dalam matan. Cotoh: hadis yang diriwayatkan Abu Daud dalam sanadnya,
melalui Hajjaj bin Farafisyah dari seorang laki-laki dari Abu Salamah dari Abi
Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda:
Seorang mukmin adalah seorang
mulia yang murah sedangkan seorang durhaka adalah penipu yang tercela.
Hadis tersebut dinamakan hadis mubham karena tidak menyebutkan nama
laki-laki yang ada dalam sanad tersebut maka dinamakan mubham.
Contoh Mubham Matan:
Hadis yang diriwayatkan Al-Bukhari dari Abu Hurairah Rasulullah SAW
bersabda: ada seorang
laki-laki bertanya kepada
Rasulullah : sedekah apa yang paling utama? Rasul menjawab : sedekah sedang
anda dalam keadaaan sehat.
Hukum Mubham dala sanad, jika terjadi pada sahabatmaka tidak apa-apa
karena sahabat dijamin keadilannya, sedangkan jika terjadi pada selain sahabat,
maka jumhur ulama sepakatmenolaknya sehingga diketahui kemajhulannya. Sedangkan
mubham dalam matan tidak apa-apa dan tidak mengganggu kesahihan suatu hadis.
1. Hadis Munkar.
Yaitu hadis yang pada sanadnya ada
seorang perawi yang parah kesalahannya atau banyak kelupaannya atau nampak
kefasikannya[10].
Dengan definisi ini maka ia kebalikan dari hadis ma’ruf, yang biasa
didefinisikan “Hadis yang diriwayatkan oleh periwayat tsiqah yang
menyalahi riwayat orang dha’if.”
C. Dha’if
karena kedhabitannya
1. Hadis Mu’allal.
Yaitu hadis. Pada
umumnya, cacat itu pada sanad. Misalnya, “menyam-bung” sanad yang sebenarnya
terputus. Sedangkan cacat pada matan, sering kali mengambil bentuk penambahan
kalimat oleh periwayat atas teks hadis, seolah-olah, tam-bahan itu termasuk
matan hadis.
Meneliti ‘illat hadis dimaksud
sangat rumit, karena, hadis itu kelihatannya sudah shahih. Untuk penelitian ini
di-perlukan intuisi, kecerdasan, kekuatan hafalan, dan banyak-nya hadis yang
dihafal. Kata Imam al-Hakim, kemampuan meneliti ‘illat hadis semacam ini
bagaikan kemampuan se-seorang dapat membedakan uang logam palsu dari yang asli
melalui pendengaran lentingannya.
2. Hadis Syadz.
Yaitu yang diriwayatkan oleh orang
terpercaya, tetapi bertentangan dengan hadis yang diriwayatkan oleh orang yang
lebih terpercaya lagi. Jadi, sebuah hadis disebut syadz apabila terdapat di
dalamnya periwayat yang menyendiri dan bertentangan. Sementara, hadis yang
lebih kuat sebagai bandingannya disebut mahfuzh. Misalnya, sebuah hadis
yang mendeskripkan perkataan Nabi tentang sesuatu, tetapi periwayat lain yang
lebih kuat mengatakan bahwa itu adalah perbuatan beliau, bukan perkataan. Beda
antara hadis munkar dengan syadz, kalau hadis munkar diriwayatkan
oleh orang yang “lemah”, sedangkan hadis syadz diriwayatkan oleh orang
terpercaya.
Untuk sampai pada kesimpulan bahwa sebuah hadis itu syadz,
diperlukan ketekunan yang sungguh karena kegiatan-nya menghimpun matan
hadis yang temanya sama dengan jalur yang berbeda-beda.
3. Hadis Mudhtharib
Mudhtharib artinya goncang.
Dimaksudkan disini adalah hadis yang periwayatannya menyampaikan berbagai hadis
yang isinya bertentangan dan tidak dapat di kelompokkan[11]
. Pertentangan tersebut tidak dapat disatukan atau salah satunya dikalahkan.
Bila salah satunya dapat di kalahkan, maka yang menang dijadikan dalil. Atau
dapat disimpulkan bahwa pertentangan itu, yang satu menghapus (naskh) terhadap
lain, maka hadis yang menghapus dipergunakan sebagai dalil.
Adapun hadis yang diriwayatkan
melalui berbagai jalur dengan redaksi yang berbeda tetapi isinya sama, maka
hadis semacam itu tidak termasuk mudhtharib, tetapi riwayat
bil-ma’na. Justru, hadis jalur satu menguatkan jalur yang lain-nya.
Misalnya, sebuah hadis yang menyebutkan bahwa Nabi menikahkan seorang shahabat
sebagai tercantum dalam hadis riwayat shahabat yang bernama Sahal ibn Sa’ad.
4. Hadis Maqlub.
Yaitu hadis yang periwayatannya di
dalam menyebut matan atau periwayat lain secara terbalik-balik[12]. Contoh sebuah hadis riwayat Abu
Hurairah tentang perilaku sujud dalam salat: Bila salah seorang di antara
kamu bersujud, maka hendaknya ia tidak merebahkan diri seperti onta, tetapi
hendaknya ia meletakkan kedua tangannya sebelum kedua lututnya. Setelah
diadakan penelitian, ternyata hadis ini berten-tangan dengan hadis jalur lain
yang mengatakan bahwa ketika sujud itu hendaknya meletakkan tangan dulu, bukan
meletakkan lutut dulu.
- Hadis Mudallas.[13]
Dikatakan mudallas, karena
dalam hadis itu terdapat tadlis yaitu bercampurnya gelap dan terang.
Adapun hadis mudallas dinamai demikian karena ia mengandung kesamaran dan
ketertutupan. Jadi yang dimaksud dengan hadis mudallas adalah hadis yang di
dalamnya ada sesuatu yang disembunyikan.
Menurut ulama hadis, jenis tadlis
secara umum ada dua macam, tadlis al-isnad dan tadlis al-syuyukh[14]. Yang dimaksud dengan tadlis
al-isnad ialah seorang periwayat menerima hadis dari orang yang semasa,
tetapi tidak bertemu langsung. Atau ia menerima/bertemu langsung, tetapi tidak menyebut namanya. Misalnya, ia
hanya mengatakan, “saya mendengar hadis dari si polan”. Diperkirakan, tidak
menyebut nama itu mengandung maksud agar aib yang ada pada guru tidak
kelihatan. Ulama sangat mencela periwayat yang melakukan tadlis, khususnya
tadlis al-isnad. Karena, orang yang me-lakukan tadlis telah
melakukan pengelabuan kualitas hadis kepada orang lain. Kualitas hadis yang
bercacat dilaporkan seolah-olah tidak bercacat.
Periwayat yang telah diketahui
pernah melakukan tadlis, misalnya dia menggunakan kata-kata sami’tu atau
haddasaniy pada hal dia tidak me-nerima riwayat hadis itu dengan al-sama’,
seluruh hadis yang disampaikan oleh periwayat tersebut ditolak oleh ulama
hadis. Sikap ulama menolak riwayat dari periwayat yang telah men-tadlis-kan
hadis, walaupun pen-tadlis-an itu hanya dilakukan sekali saja,
merupakan sikap yang sangat hati-hati dari ulama hadis.
Selanjutnya, yang dimaksud dengan tadlis
al-syuyukh ialah seorang periayat menyebut nama pemberi hadis, bukan
namanya yang dikenal oleh halayak, tetapi namanya kurang dikenal. Misalnya,
al-Khatib berkata, “Telah bercerita kepada kami Ali Ibn Abu Ali
al-Bishri……” nama yang terkenal tokoh yang dimaksud adalah Abul Qasim Ali ibn
Abu Ali, bukan Ali saja. Tampaknya hal yang lumrah bila orang itu lebih dikenal
nama kampungnya dari pada namanya sendiri, seperti ada juga orang yang lebih
dikenal dengan namanya dari pada gelarnya.
Kesalahan penyebutan identitas
pribadi guru tersebut memang sangat dimungkinkan. Karena, periwayat hadis yang
memiliki nama ataupun kunyah yang mirip cukup banyak jumlahnya dengan
kualitas pribadi yang berbeda.[15]
Ulama hadis telah membahas cukup
panjang berbagai hadis yang termasuk jenis mudallas. Hal ini sebagai
salah satu bukti, betapa ulama hadis sangat hati-hati dalam melakukan
penelitian hadis.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari
penjelasan di atas dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:
- Pembahasan tentang pembagian
hadis sangat komplek dan beragam menurut para ulama. Namun secara umum
pembagian hadis dapat dibedakan dari hadis yang ditinjau dari segi
kuantitas dan kualitas.
- Mengenai pembahasan tentang
syadz dan illat adalah merupakan bagian terkecil dari pembagian hadis di
atas, artinya unsur tidak adanya syadz dan tidak adanya illat hanyalah
sebagai syarat diterimanya sebuah hadis.
Demikianlah
pembahasan ini kami sampaikan, tentunya sangat jauh dari kesempurnaan, sehingga
pemakalah mengharap sikap kritis temen-temen yang akan membantu perbaikan
makalah ini nantinya.
DAFTAR
PUSTAKA
Noer, Ali.
Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, Cetakan Kedua,2010
Madjid Khon, Abdul, Ulumul Hadis, Jakarta: AMZAH, 2010
Agus Sholahudin, Agus Suyadi, Ulumul Hadis, Bandung: Pustaka Setia, 2010
M. Syuhudi
Ismail, Kaedah Kesahihan Sanad Hadis, Bandung: Bulan Bintang, 1995
Idris ,M. Studi
Hadis.Jakarta. kencana 2010
[1]
) Dr. H. Abdul Majid Khon, M. Ag.Ulumul
Hadis. Amzah. Jakarta 2009. Hal 164.
[2]
) Dr. Ahmad Umar Hasyim. Qoidah usulul
hadis. Darul fikr. Hal 86.
[4] (Sebagian ulama menyatakan, kata mu’allaq yang secara bahasa
berarti tergantung, diambil dari pemakaian astilah ta’liq al-Thalaq
(cerai gantung) dan ta’liq al-Jidar (dinding gantung), karena ada unsur
kesamaan dalam hal keterputusan sambungan.
[5] Kata
mursal disini, menurut bahasa, pada mulanya berarti lepas atau terceraikan
denga cepat, atau tanpa halangan. Misalnya, burung terlepas dengan cepat dari
kedua tangan. Kata terxsebut kemudian dipakaikan untuk hadis tertentu yang
periwayatnya “melepaskan” hadis tanpa terlebih dahulu mengaitkannya kepada
sahabat yang menerima riwayat ini dari dari Nabi.)
[6] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS
Riau-Kepri, (Cetakan Kedua,2010), hal. 66)
[7] Idris ,M. Studi
Hadis.Jakarta. kencana 2010
[8] Kata
munqathi’ berasal dari kata kerja inqatha’a, dapat berarti yang berhenti, yang kering, yang patah, yang
pecah, atau yang putus
[10] Abdul Madjid
Khon, Ulumul Hadis, (Jakarta: AMZAH,
2010), hal. 188.
[11] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS
Riau-Kepri, (Cetakan Kedua ,2010), hal.69.
[12] Ali Noer. Pengantar Studi Hadts, BKS-PTAIS Riau-Kepri, (Cetakan Kedua, 2010),
hal. 69.
[13] Tadlis
adalah kata kerja jadian (masdar) dari kata kerja dallasa. Menurut bahasa,
tadlis berarti penipuan atau penyembunyian cacat. Jadi mudallas berarti yang
terdapat di dalamnya tipuan atau cacat.
[14]Abdul Madjid Khon, Ulumul Hadis,( Jakarta: AMZAH, 2010), hal. 179.
[15] Misalnya
periwayat yang memiliki kunyah Abu Bakar dalam kitab rijal al-Hadis ada lebih
dari enam puluh orang. Di antara mreka ada yang berstatus sahabat Nabi dan ada
yang tidak berstatus sahabat. Periwayat yang tidak berstatus sahabat nabi itu
ada yang berkualitas siqat dan ada yang tidak siqat.
Choose EmoticonEmoticon