TIPE - TIPE BELAJAR SECARA UMUM
Mengetahui pola belajar peserta didik adalah modal bagai
seorang guru untuk menentukan strategi pembelajaran. Robert M. Gagne (1979)
membedakan pola-pola belajar peserta didik ke dalam delapan tipe, yang tiap
tipe merupakan prasyarat bagi lainnya yang lebih tinggi hierarkinya. Delapan
tipe belajar dimaksud adalah: 1) signal , (belajar isyarat), 2) stimulus-response
learning (belajar stimupons), 3) chaining (rantai atau
rangkaian), 4) verbal association,(asosiasi verbal), 5) discrimination
learning (belajar diskriminasi), 6) concept learning (belajar
konsep), 7) rule learning (belajar aturan), problem solving (memecahkan
masalah).
Kedelapan tipe belajar sebagaimana disebutkan di atas akan
dijelaskan satu per satu secara singkat dan jelas sebagai berikut.
Belajar
Tipe 1: Signal Learning (Belajar Isyarat)
Belajar tipe ini merupakan tahap yang paling dasar. Jadi,
tidak ada persyaratan, namun merupakan hierarki yang harus dilalui untuk menuju
jenjang belajar yang paling tinggi. Signal learning dapat diartikan
sebagai penguasaan pola-pola dasar perilaku bersifat involuntary ( tidak
sengaja dan tidak disadari tujuannya). Dalam tipe ini terlibat aspek reaksi
emosional di dalamnya. Kondisi yang diperlukan untuk berlangsungnya tipe
belajar ini adalah diberikannya stimulus (signal) secara serempak
dan perangsang-perangsang tertentu secara berulang kali. Signal
learning. Ini mirip dengan conditioning menurut Pavlov yang
timbul setelah sejumlah pengalaman tertentu. Respon yang timbul bersifat umum
dan emosional selain timbulnya dengan tidak sengaja dan tidak dapat dikuasai. Contoh:
Aba-aba “Siap!” merupakan suatu signal atau isyarat mengambil sikap
tertentu. Melihat wajah ibu menimbulkan rasa senang. Wajah ibu di sini
merupakan isyarat yang menimbulkan perasaan senang itu. Melihat ular yang besar
menimbulkan rasa takut. Melihat ular merupakan isyarat yang menimbulkan
perasaan tertentu.
Belajar
Tipe 2: Stimulus-Respons Learning (Belajar Stimulus-respon)
Bila tipe di atas digolongkan dalam jenis classical
condition, maka belajar 2 ini termasuk ke dalam instrumental conditioning
atau belajar dengan trial and error (mencoba-coba). Proses belajar
bahasa pada anak-anak merupakan proses yang serupa dengan ini. Kondisi yang
diperlukan untuk berlangsungnya tipe belajar ini adalah faktor inforcement.
Waktu antara stimulus pertama dan berikutnya amat penting. Makin singkat
jarak S-R dengan S-R berikutnya, semakin kuat reinforcement.
Contoh: Anjing dapat diajar “memberi’ salam”.dengan
mengangkat kaki depannya bila kita katakan “Kasih tangan! ” atau “Salam “. Ucapan
`kasih tangan’ merupakan stimulus yang menimbulkan respons `memberi’ salam’
oleh anjing itu.
Belajar
Tipe 3: Chaining (Rantai atau Rangkaian)
Chaining adalah belajar menghubungkan satuan ikatan
S-R (Stimulus-Respons) yang satu dengan yang lain. Kondisi yang
diperlukan bagi berlangsungnya tipe belajar ini antara lain, secara internal
anak didik sudah harus terkuasai sejumlah satuan pola S-R, baik psikomotorik
maupun verbal. Selain itu prinsip kesinambungan, pengulangan, dan reinforcement
tetap penting bagi berlangsungnya proses chaining.
Contoh: Dalam bahasa kita banyak contoh chaining
seperti ibu-bapak, kampung-halaman, selamat tinggal, dan
sebagainya. Juga dalam perbuatan kita banyak terdapat chaining ini,
misalnya pulang kantor, ganti baju, makan malam, dan sebagainya. Chaining
terjadi bila terbentuk hubungan antara beberapa S-R, sebab yang terjadi
segera setelah yang satu lagi. Jadi berdasarkan hubungan conntiguity).
Belajar
Tipe 4. Verbal Association (Asosiasi Verbal)
Baik chaining maupun verbal association, yang
kedua tipe belajar ini, menghubungkan satuan ikatan S-R yang satu
dengan lain. Bentuk verbal association yang paling sederhana adalah
bila diperlihatkan suatu bentuk geometris, dan si anak dapat mengatakan “bujur
sangkar”, atau mengatakan “itu bola saya”, bila melihat bolanya. Sebelumnya, ia
harus dapat membedakan bentuk geometris agar dapat mengenal `bujur sangkar’
sebagai salah satu bentuk geometris, atau mengenal ‘bola’, `saya’, dan ‘itu’.
Hubungan itu terbentuk, bila unsurnya terdapat dalam urutan tertentu, yang
satu segera mengikuti satu lagi (conntiguity).
Belajar
Tipe 5: Discrimination Learning (Belajar Diskriminasi)
Discrimination learning atau belajar membedakan.
Tipe ini peserta didik mengadakan seleksi dan pengujian di antara perangsang
atau sejumlah stimulus yang diterimanya, kemudian memilih pola-pola respons
yang dianggap paling sesuai. Kondisi utama berlangsung proses belajar ini
adalah anak didik sudah mempunyai pola aturan melakukan chaining dan association
serta pengalaman (pola S-R)
Contoh:. Guru mengenal peserta didik serta nama
masing-masing karena mampu mengadakan diskriminasi di antara anak itu.
Diskriminasi didasarkan atas chain. Anak misalnya harus mengenal mobil
tertentu berserta namanya. Untuk mengenal model lain diadakannya chain baru
dengan kemungkinan yang satu akan mengganggu yang satunya lagi. Makin banyak
yang dirangkaikan, makin besar kesulitan yang dihadapi, karena kemungkinan
gangguan atau interference itu, dan kemungkinan suatu chain dilupakan.
Belajar
Tipe 6: Concept Learning (Belajar Konsep)
Concept learning adalah belajar pengertian. Dengan
berdasarkan kesamaan ciri-ciri dari sekumpulan stimulus dan objek-objeknya, ia
membentuk suatu pengertian atau konsep. Kondisi utama yang diperlukan adalah
menguasai kemahiran diskriminasi dan proses kognitif fundamental sebelumnya.
Belajar konsep dapat dilakukan karena kesanggupan manusia
untuk mengadakan representasi internal tentang dunia sekitarnya dengan
menggunakan bahasa. Manusia dapat melakukannya tanpa batas berkat bahasa dan
kemampuannya mengabstraksi. Dengan menguasai konsep, ia dapat menggolongkan
dunia sekitarnya menurut konsep itu, misalnya menurut warna, bentuk, besar,
jumlah, dan sebagainya. la dapat menggolongkan manusia menurut hubungan
keluarga, seperti bapak, ibu, paman, saudara, dan sebagainya; menurut bangsa,
pekerjaan, dan sebagainya. Dalam hal ini, kelakuan manusia tidak dikuasai oleh
stimulus dalam bentuk fisik, melainkan dalam bentuk yang abstrak. Misalnya kita
dapat menyuruh peserta didik dengan perintah: “Ambilkan botol yang di
tengah! ” Untuk mempelajari suatu konsep, peserta didik harus mengalami
berbagai situasi dengan stimulus tertentu. Untuk itu, ia harus dapat mengadakan
diskriminasi untuk membedakan apa yang termasuk dan tidak termasuk konsep itu.
Proses belajar konsep memakan waktu dan berlangsung secara berangsur-angsur.
Belajar
Tipe 7: Rule Learning (Belajar Aturan)
Rule learning belajar membuat generalisasi, hukum,
dan kaidah. Pada tingkat ini peserta didik belajar mengadakan kombinasi
berbagai konsep dengan mengoperasikan kaidah-kaidah logika formal (induktif,
dedukatif, sintesis, asosiasi, diferensiasi, komparasi, dan kausalitas)
sehingga peserta didik dapat menemukan konklusi tertentu yang mungkin
selanjutnya dipandang sebagai “rule “: prinsip, daliI, aturan, hukum,
kaidah, dan sebagainya.
Belajar
Tipe 8: Problem Solving (Pemecahan Masalah)
Problem solving adalah belajar memecahkan masalah.
Pada tingkat ini para peserta didik belajar merumuskan memecahkan masalah,
memberikan respons terhadap rangsangan yang menggambarkan atau membangkitkan
situasi problematik, yang mempergunakan berbagai kaidah yang telah dikuasainya.
Belajar memecahkan masalah itu berlangsung sebagai berikut: Individu
menyadari masalah bila ia dihadapkan kepada situasi keraguan dan kekaburan
sehingga merasakan adanya semacam kesulitan. Langkah-langkah yang
memecahkan masalah, adalah sebagai berikut:
Merumuskan
dan Menegaskan Masalah
Individu melokalisasi letak sumber kesulitan, untuk
memungkinkan mencari jalan pemecahannya. la menandai aspek mana yang mungkin
dipecahkan dengan menggunakan prinsip atau dalil serta kaidah yang diketahuinya
sebagai pegangan.
Mencari
Fakta Pendukung dan Merumuskan Hipotesis
Individu menghimpun berbagai informasi yang relevan termasuk
pengalaman orang lain dalam menghadapi pemecahan masalah yang serupa. Kemudian
mengidentifikasi berbagai alternatif kemungkinan pemecahannya yang dapat dirumuskan
sebagai pertanyaan dan jawaban sementara yang memerlukan pembuktian (hipotesis).
Mengevaluasi
Alternatif Pemecahan yang Dikembangkan
Setiap alternatif pemecahan ditimbang dari segi untung
ruginya. Selanjutnya dilakukan pengambilan keputusan memilih alternatif yang
dipandang paling mungkin (feasible) dan menguntungkan.
Mengadakan
Pengujian atau Verifikasi
Mengadakan pengujian atau verifikasi secara eksperimental
alternatif pemecahan yang dipilih, dipraktikkan, atau dilaksanakan. Dari hasil
pelaksanaan itu diperoleh informasi untuk membuktikan benar atau tidaknya yang
telah dirumuskan.
Sumber : http://zaifbio.wordpress.com/2010/01/14/konsep-dasar-strategi-pembelajaran-3/
Choose EmoticonEmoticon