Al Quran Sebagai Sumber Syariat Islam
Al-Qur`an
adalah firman Allah. Muncul dari zat-Nya dalam bentuk perkataan yang tidak
dapat digambarkan. Diturunkan kepada Rasul-Nya dalam bentuk wahyu. Orang-orang
mukmin mengimaninya dengan keimanan yang sebenar-benarnya. Mereka beriman tanpa
keraguan, bahwa Alquran adalah firman Allah dengan sebenarnya. Bukan
ciptaan-Nya, seperti layaknya perkataan makhluk, barang siapa mendengarnya dan
menganggap sebagai perkataan manusia, maka ia telah kafir.
Allah subhanahu wa ta’ala memberikan sifat kepadanya, sebagaimana disebutkan
dalam firman-Nya:إِنَّ الَّذِينَ كَفَرُوا بِالذِّكْرِ لَمَّا جَاءهُمْ وَإِنَّهُ لَكِتَابٌ عَزِيزٌ . لَا يَأْتِيهِ الْبَاطِلُ مِن بَيْنِ يَدَيْهِ وَلَا مِنْ خَلْفِهِ تَنزِيلٌ مِّنْ حَكِيمٍ حَمِيدٍ
“Dan sesungguhnya Alquran itu adalah kitab yang mulia. Yang tidak datang kepadanya (Alquran) kebatilan baik dari depan maupun dari belakangnya, yang diturunkan dari Tuhan Yang Maha Bijaksana lagi Maha Terpuji”. (Fushshilat: 41-42)
Di dalam ayat yang lain Allah juga mensifatinya dengan firman-Nya:
كِتَابٌ أُحْكِمَتْ آيَاتُهُ ثُمَّ فُصِّلَتْ مِن لَّدُنْ حَكِيمٍ خَبِيرٍ
“(inilah) suatu kitab yang ayat-ayatnya disusun dengan rapi serta dijelaskan secara terperinci yang diturunkan dari sisi (Allah) yang Maha Bijaksana lagi Maha Tahu”. (Huud: 1).
Sungguh
ayat-ayat Alquran ini sangat cermat dan teliti, jelas dan terperinci, yang
telah ditetapkan oleh yang Maha Bijaksana, dan yang telah diuraikan oleh yang
Maha Tahu. Kitab ini akan terus menjadi mukjizat dari segi keindahan bahasa,
syariat, ilmu pengetahuan, sejarah dan lain sebagainya. Sampai Allah mengambil
kembali bumi dan yang ada di dalamnya, tidak akan terdapat sedikitpun
penyelewengan dan perobahan terhadapnya, sebagai bukti akan kebenaran firman
Allah:
إِنَّا نَحْنُ نَزَّلْنَا الذِّكْرَ وَإِنَّا لَهُ لَحَافِظُونَ
“Sesungguhnya Kami-lah yang menurunkan Alquran, dan sesungguhnya Kami benar-benar memeliharanya”. (Al-Hijr: 9).
Dunia
secara keseluruhan belum pernah memperoleh sebuah kitab seperti Al Quran yang
mulia ini, yang mencakup segala kebaikan, dan memberi petunjuk kepada jalan
yang paling lurus, serta mencakup semua hal yang akan membahagiakan manusia.
Allah berfirman: “Sesungguhnya Alquran ini memberikan petunjuk kepada (jalan)
yang lebih lurus dan memberi kabar gembira kepada orang-orang Mukmin yang mengerjakan
amal saleh bahwa bagi mereka ada pahala yang besar”. (Al-Israa,: 9).
Alquran ini diturunkan kepada Rasul-Nya, Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam untuk menyelamatkan manusia dari kegelapan, menuju cahaya. Allah
berfirman:كِتَابٌ أَنزَلْنَاهُ إِلَيْكَ لِتُخْرِجَ النَّاسَ مِنَ الظُّلُمَاتِ إِلَى النُّورِ بِإِذْنِ رَبِّهِمْ إِلَى صِرَاطِ الْعَزِيزِ الْحَمِيدِ
“(Ini adalah) Kitab yang Kami turunkan kepadamu supaya kamu mengeluarkan manusia dari gelap gulita kepada cahaya terang benderang dengan izin Tuhan mereka, (yaitu) menuju jalan Tuhan Yang Maha Perkasa lagi Maha Terpuji”. (Ibrahim: 1).
Dengan
Alquran, Allah telah membukakan mata yang buta, telinga yang tuli dan hati yang
lalai. Bila dibaca dengan benar, dipahami setiap surat dan ayat-ayatnya, dipahami
secara mendalam setiap kalimat dan kata-katanya, tidak keluar dari
batas-batasnya, melaksanakan perintah-perintah yang ada di dalamnya, menjauhi
larangan-larangan, berakhlak dengan apa yang disyariatkan, dan menerapkan
prinsip-prinsip dan nilai terhadap dirinya, keluarga dan masyarakatnya, maka
akan menjadikan umat Islam merasa aman, tenteram dan bahagia di dunia dan
akhirat. Allah berfirman:
الَّذِينَ آتَيْنَاهُمُ الْكِتَابَ يَتْلُونَهُ حَقَّ تِلاَوَتِهِ أُوْلَـئِكَ يُؤْمِنُونَ بِهِ
“Orang-orang yang telah Kami berikan Al-Kitab kepadanya, mereka membacanya dengan bacaan yang sebenarnya, mereka itu beriman kepadanya”. (Al-Baqarah: 121).
Ibnu
Abbas berkata: “Mereka mengikutinya dengan sebenarnya, menghalalkan yang telah
dihalalkan dan mengharamkan yang telah diharamkan serta tidak menyelewengkannya
dari yang semestinya”. Dan Qatadah berkata: “Mereka itu adalah sahabat-sahabat
Muhammad shalallahu ‘alaihi wasallam. Beriman kepada kitab Allah, lalu
membenarkannya, menghalalkan yang halal dan mengharamkan yang haram serta
melaksanakan apa yang ada di dalamnya”.
Makhluk jin sangat terkesan sekali tatkala mendengarkan bacaan Alquran; hati
mereka dipenuhi dengan kecintaan dan penghargaan terhadapnya, dan mereka
bersegera mengajak kaumnya untuk mengikutinya, sebagaimana yang disebutkan
Allah dalam firman-Nya: lalu mereka berkata:إِنَّا سَمِعْنَا قُرْآنًا عَجَبًا . يَهْدِي إِلَى الرُّشْدِ فَآمَنَّا بِهِ وَلَن نُّشْرِكَ بِرَبِّنَا أَحَدًا . وَأَنَّهُ تَعَالَى جَدُّ رَبِّنَا مَا اتَّخَذَ صَاحِبَةً وَلَا وَلَدًا
“Sesungguhnya kami telah mendengarkan Alquran yang menakjubkan, (yang) memberi petunjuk kepada jalan yang benar, lalu kami beriman kepadanya. Dan kami sekali-kali tidak akan mempersekutukan seorang pun dengan Tuhan kami, dan bahwasanya Maha Tinggi kebesaran Tuhan kami, Dia tidak beristri dan tidak (pula) beranak”.(Jin: 1-3).
Allah telah bercerita tentang mereka dalam Al Quran:
قَالُوا يَا قَوْمَنَا إِنَّا سَمِعْنَا كِتَابًا أُنزِلَ مِن بَعْدِ مُوسَى مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ يَهْدِي إِلَى الْحَقِّ وَإِلَى طَرِيقٍ مُّسْتَقِيمٍ . يَا قَوْمَنَا أَجِيبُوا دَاعِيَ اللَّهِ وَآمِنُوا بِهِ يَغْفِرْ لَكُم مِّن ذُنُوبِكُمْ وَيُجِرْكُم مِّنْ عَذَابٍ أَلِيمٍ
“Mereka berkata: Hai kaum kami, sesungguhnya kami telah mendengarkan kitab (Al Quran) yang diturunkan setelah Musa yang membenarkan kitab-kitab yang sebelumnya lagi memimpin kepada kebenaran dan kepada jalan yang lurus. Hai kaum kami, terimalah (seruan) orang yang menyeru kepada Allah dan berimanlah kepada-Nya, niscaya Allah akan mengampuni dosa-dosa kamu dan melepaskan kamu dari azab yang pedih”.(Al-Ahqaf: 30-31).
Oleh karenanya, kitab yang mulia ini mengungguli kitab-kitab samawi sebelumnya. Dan kedudukannya pun di atas kitab-kitab itu. Allah berfirman:
وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Alquran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah”.(Az-Zukhruf: 4).
Dan firman Allah dalam ayat yang lain:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الْكِتَابَ بِالْحَقِّ مُصَدِّقًا لِّمَا بَيْنَ يَدَيْهِ مِنَ الْكِتَابِ وَمُهَيْمِنًا عَلَيْهِ
“Dan Kami telah turunkan kepadamu Alquran dengan membawa kebenaran, membenarkan apa yang sebelumnya, yaitu kitab-kitab (yang diturunkan sebelumnya) dan batu ujian terhadap kitab-kitab yang lain itu”. (Al-Ma,idah: 48)
Para
ulama tafsir berkata: “Al Quran lebih unggul dari kitab-kitab samawi lainnya
sekalipun semuanya turun dari Allah, dengan beberapa hal, diantaranya: jumlah
suratnya lebih banyak dari yang ada pada semua kitab-kitab yang lain. Telah
disebutkan dalam sebuah hadis bahwa Nabi kita Muhammad shalallahu ‘alaihi
wasallam diberi kekhususan dengan surat Al-Faatihah dan penutup surat
Al-Baqarah. Di dalam Musnad Ad Darimi disebutkan, dari Abdullah bin Masud
radhiyallahu ‘anhu ia berkata: “Sesungguhnya Assab’uthiwal (Tujuh surat panjang
dalam Alquran; Al-Baqarah, Ali ,Imran, An-Nisaa`, Al-A’raaf, Al-An’aam,
Al-Maa-idah dan Yunus) sama seperti taurat, Al-Mi`in (Surat-surat yang berisi
kira-kira seratus ayat lebih, seperti Hud, Yusuf, Mu,min dan lain sebagainya)
sama seperti Zabur dan Al-Matsani (Surat-surat yang berisi kurang dari seratus
ayat. Seperti, Al-Anfaal, Al-Hijr dan lain sebagainya) sama dengan kitab Zabur.
Dan sisanya merupakan tambahan”. Dikeluarkan oleh Imam Ahmad dan Thabrani, dari
Wasilah bin Al-Asqa’, bahwa Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Telah diturunkan kepadaku Assab’uthiwal sebagai ganti yang ada pada Taurat.
Diturunkan kepadaku Al Mi`in sebagai ganti yang ada pada Zabur. Diturunkan
kepadaku Al Matsani sebagai ganti yang ada pada Injil, dan aku diberi tambahan
dengan Al Mufashshal (surat-surat pendek).”
Assab’uthiwal,
adalah dari awal surat Al-Baqarah hingga akhir surat Al-A’raaf, yang berjumlah
enam surat. Para ulama berselisih pendapat tentang surat yang ke tujuh; Apakah
surat Al-Anfaal dan Al-Bara`ah sekaligus karena antara keduanya tidak dipisah
dengan bismillah, maka dianggap satu surat, atau surat Yunus? “Al-Mi`un” yaitu
surat-surat yang ayatnya sekitar atau lebih dari seratus. “Matsani” yaitu; surat-surat
yang jumlah ayatnya di bawah seratus. Dinamakan demikian karena ayat-ayatnya
berulang-ulang melebihi yang ada pada surat-surat yang terhimpun dalam
sab’uthiwal dan mi`un. Sedangkan yang dimaksud dengan “Al-mufashal”, adalah
surat-surat yang lebih pendek dari surat-surat dalam Al-Matsani. Para ulama
berselisih pendapat tentang awal dari surat-surat itu; Ada yang berpendapat
bahwa Al-Mufashal bermula dari awal surat Ash-Shaffaat, pendapat lain
mengatakan, diawali dari surat Al-Fat-h, dan yang lainnya berpendapat, dari
surat Al-Hujuraat, dan ada juga yang berpendapat, dari surat Qaaf. Pendapat ini
dibenarkan oleh Al-Hafiz Ibnu Katsir dan Ibnu Hajar. Ada pula pendapat selain
yang disebut di atas. Namun demikian para ulama sepakat bahwa akhir dari Mufashal
adalah surat terakhir dalam Alquran.
Diantara keunggulan Al Quran juga, bahwa Allah menjadikan gaya bahasanya
mengandung mukjizat, sekalipun kitab-kitab lain juga mengandung mukjizat dari
segi pemberitaan tentang yang gaib dan hukum-hukum, namun gaya bahasanya
biasa-biasa saja, maka dari segi ini Al Quran lebih unggul. Hal ini
diisyaratkan oleh firman Allah:وَإِنَّهُ فِي أُمِّ الْكِتَابِ لَدَيْنَا لَعَلِيٌّ حَكِيمٌ
“Dan sesungguhnya Alquran itu dalam induk Al-Kitab (Lauh Mahfuzh) di sisi Kami, adalah benar-benar tinggi (nilainya) dan amat banyak mengandung hikmah”. (Az-Zukhruf:4)
Dan firman Allah:
كُنتُمْ خَيْرَ أُمَّةٍ أُخْرِجَتْ لِلنَّاسِ
“Kamu adalah umat yang terbaik yang dilahirkan untuk manusia”.(Ali ,Imran:110).
Al-Hafiz Ibnu Katsir dalam kitabnya, Fadhailul Quran (keutamaan-keutamaan Al Quran) halaman:102-123, mengatakan: “Hal ini mereka raih berkat Al Quran yang agung, yang mana Allah telah memuliakannya dari semua kitab yang pernah diturunkan-Nya, dan Dia jadikan sebagai batu ujian, penghapus dan penutup bagi kitab-kitab sebelumnya, karena semua kitab terdahulu diturunkan ke bumi dengan sekaligus, sedangkan Al Quran diturunkan secara berangsur-angsur sesuai dengan peristiwa yang terjadi, demi untuk menjaganya dan menghargai orang yang diberi wahyu. Setiap kali ayat Alquran turun, seperti keadaan turunnya kitab-kitab sebelumnya”.
Kitab yang mulia ini telah mengungkap banyak sekali kebenaran ilmiah kosmos, dalam ayat-ayat yang membuktikan wujud Allah, kekuasaan dan keesaan-Nya. Allah berfirman:
وَجَعَلْنَا مِنَ الْمَاء كُلَّ شَيْءٍ حَيٍّ أَفَلَا يُؤْمِنُونَ
“Dan dari air Kami jadikan segala sesuatu yang hidup. Maka mengapakah mereka tiada juga beriman”? (Al-Anbiyaa,:30).
Al Quran juga menganjurkan agar memanfaatkan apa yang dapat ditangkap oleh indra mata dalam kehidupan sehari-sehari dari ciptaan Allah, sebagaimana difirmankan:
قُلِ انظُرُواْ مَاذَا فِي السَّمَاوَاتِ وَالأَرْضِ
“Katakanlah: “Perhatikanlah apa yang ada di langit dan di bumi”.(Yunus:101).
Dan Allah berfirman:
اللَّهُ الَّذِي سخَّرَ لَكُمُ الْبَحْرَ لِتَجْرِيَ الْفُلْكُ فِيهِ بِأَمْرِهِ وَلِتَبْتَغُوا مِن فَضْلِهِ وَلَعَلَّكُمْ تَشْكُرُونَ
“Dan Dia menundukkan untukmu apa yang ada di langit dan apa yang ada di bumi semuanya, (sebagai rahmat) daripada-Nya”. Sesungguhnya pada yang demikian itu benar-benar terdapat tanda-tanda (kekuasaan Allah) bagi kaum yang berpikir. (Al-Jaatsiah:13).
Kaum muslimin hendaknya mempelajari ilmu-ilmu alam, serta menikmati manfaat dari kekuatan-kekuatan yang tersimpan di langit dan bumi.
Sesungguhnya pembicaraan tentang Al Quran tidak akan ada habis-habisnya. Al Quranlah yang menganjurkan kaum muslimin untuk bersikap adil dan bermusyawarah, dan menanamkan kepada mereka kebencian terhadap kezaliman dan tindakan semena-mena. Syiar para pemeluknya adalah kekuatan iman, tidak sombong, solidaritas dan bersikap kasih sayang antara sesama mereka.
Hendaknya kita hidup dengan Alquran, membaca, memahami, mengamalkan dan menghafal. Hidup dengan Alquran adalah perbuatan yang paling terpuji, yang patut dilakukan oleh orang mukmin. Allah berfirman:
إِنَّ الَّذِينَ يَتْلُونَ كِتَابَ اللَّهِ وَأَقَامُوا الصَّلَاةَ وَأَنفَقُوا مِمَّا رَزَقْنَاهُمْ سِرًّا وَعَلَانِيَةً يَرْجُونَ تِجَارَةً لَّن تَبُورَ . لِيُوَفِّيَهُمْ أُجُورَهُمْ وَيَزِيدَهُم مِّن فَضْلِهِ إِنَّهُ غَفُورٌ شَكُورٌ
“Sesungguhnya orang-orang yang selalu membaca kitab Allah dan mengerjakan salat dan menafkahkan sebahagian dari rezeki yang Kami anugerahkan kepada mereka dengan diam-diam dan terang-terangan, mereka itu mengharapkan perniagaan yang tidak akan merugi, agar Allah menyempurnakan kepada mereka pahala mereka dan menambah kepada mereka dari karunia-Nya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Mensyukuri”.(Faathir:29-30).
Dalam
dua ayat tersebut di atas, Allah menganjurkan bagi orang-orang yang membaca
Alquran agar disertai dengan perenungan, sehingga akan menimbulkan pengetahuan
yang pada gilirannya akan menimbulkan pengaruh. Tidak diragukan lagi bahwa
pengaruh membaca Alquran adalah melaksanakan dalam bentuk perbuatan.
Oleh
karena itu Allah iringi amalan membaca Al Quran dengan mendirikan salat,
menafkahkan sebagian rezki yang dikarunia Allah secara diam-diam dan
terang-terangan, kemudian dengan demikian orang-orang yang membaca Al Quran itu
mengharapkan perdagangan yang tidak akan merugi. Mereka mengetahui bahwa
karunia Allah lebih baik dari apa yang mereka infakkan. Oleh karena mereka
mengadakan perniagaan di mana Allah menambahkan karunia-Nya. Sesungguhnya Allah
Maha Pengampun lagi Maha Berterima kasih, mengampuni kelalaian, dan berterima
kasih atas pelaksanaan tugas.
Oleh karena itu kita harus selalu membaca Alquran dengan perenungan dan
kesadaran, sehingga dapat memahami Alquran secara mendalam. Bila seorang
pembaca Alquran menemukan kalimat yang belum dipahami, hendaknya bertanya
kepada orang yang mempunyai pengetahuan. Allah berfirman:فَاسْأَلُواْ أَهْلَ الذِّكْرِ إِن كُنتُمْ لاَ تَعْلَمُونَ
“Maka bertanyalah kepada orang yang mempunyai pengetahuan jika kamu tidak mengetahui”.(An-Nahl:43).
Mempelajari Alquran sangat diperlukan. Disebutkan dalam sebuah hadis yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata: Rasul shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah, membaca kitab Allah dan mempelajarinya, melainkan akan diturunkan kepada mereka ketenangan, diliputi oleh rahmat, dan dikelilingi oleh malaikat, dan mereka akan disebut-sebut Allah dihadapan orang-orang yang ada di sisi-Nya (para malaikat), dan barang siapa amalnya kurang, tidak dapat ditambah oleh nasabnya. (Diriwayatkan oleh Muslim, 2699).
Sabda
Rasul dalam hadis ini, “Tidaklah suatu kaum berkumpul di sebuah rumah Allah”,
“Rumah” di sini bukanlah batas, terbukti dengan sebuah hadis riwayat Muslim
yang lain yang mengatakan: “Tidaklah suatu kaum berzikir kepada Allah,
melainkan akan diliputi oleh para malaikat….” Jika berkumpul di tempat lain,
selain rumah Allah (masjid) maka bagi mereka keutamaan yang sama dengan mereka
yang berkumpul di masjid. Pembatasan “di rumah Allah” dalam hadis di atas,
hanyalah karena seringnya tempat itu dijadikan tempat berkumpul, akan tetapi
tidak ada keharusan; Berkumpul untuk membaca dan mempelajari ayat-ayat Alquran
dan kandungan hukumnya, di mana pun tempatnya akan mendapatkan keutamaan yang
sama. Adapun jika berkumpul untuk belajar di masjid lebih utama, hal itu
dikarenakan masjid mempunyai keistimewaan dan kekhususan yang tidak dimiliki
oleh tempat yang lain.
Diriwayatkan
oleh ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu ‘alaihi
wasallam bersabda: “Barang siapa membaca satu huruf dari Alquran, maka ia akan
memperoleh kebaikan. Kebaikan itu berlipat sepuluh kali. Aku tidak mengatakan,
Alif Laam Miim satu huruf, akan tetapi, Alif adalah huruf, Lam huruf, dan Mim
huruf. (H. R. Tirmizi. Nomor:3075).
Dari
Usman bin Affan radhiyallahu ‘anhu dari Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam ia
bersabda; “Sebaik-baik kalian adalah yang belajar Alquran dan mengajarkannya
kepada orang lain”.(Bukhari). Nomor:4739). Hadis ini menunjukkan akan keutamaan
membaca Alquran.
Suatu
ketika Sufyan Tsauri ditanya, manakah yang engkau cintai orang yang berperang
atau yang membaca Alquran? Ia berkata, membaca Alquran, karena Rasulullah
shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sebaik-baik kalian adalah orang yang
belajar Alquran dan mengajarkannya kepada orang lain”. Imam Abu Abdurrahman
As-Sulami tetap mengajarkan Alquran selama empat puluh tahun di masjid agung
Kufah disebabkan karena ia telah mendengar hadis ini. Setiap kali ia
meriwayatkan hadis ini, selalu berkata: “Inilah yang mendudukkan aku di kursi
ini”.
Al hafiz Ibnu Katsir
dalam kitabnya Fadhail Quran halaman 126-127 berkata: [Maksud dari sabda
Rasulullah shalallahu 'alaihi wasallam; "Sebaik-baik kalian adalah orang
yang belajar Alquran dan mengajarkan kepada orang lain" adalah, bahwa ini
sifat-sifat orang-orang mukmin yang mengikuti dan meneladani para rasul. Mereka
telah menyempurnakan diri sendiri dan menyempurnakan orang lain. Hal itu
merupakan gabungan antara manfaat yang terbatas untuk diri mereka dan yang
menular kepada orang lain. Allah berfirman:
الَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ اللّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يُفْسِدُونَ
الَّذِينَ كَفَرُواْ وَصَدُّواْ عَن سَبِيلِ اللّهِ زِدْنَاهُمْ عَذَابًا فَوْقَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يُفْسِدُونَ
"Orang-orang yang kafir dan menghalangi (manusia) dari jalan Allah, Kami tambahkan kepada mereka siksaan di atas siksaan".(An-Nahl:88).
Sebagaimana firman Allah:
وَهُمْ يَنْهَوْنَ عَنْهُ وَيَنْأَوْنَ عَنْهُ
"Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Alquran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya" (Al-An'aam:26).
وَهُمْ يَنْهَوْنَ عَنْهُ وَيَنْأَوْنَ عَنْهُ
"Mereka melarang (orang lain) mendengarkan Alquran dan mereka sendiri menjauhkan diri daripadanya" (Al-An'aam:26).
Penafsiran yang
paling benar dalam ayat ini, dari dua penafsiran ahli tafsir adalah bahwa,
mereka melarang orang-orang untuk mengikuti Alquran, sementara mereka sendiri
pun menjauhkan diri darinya. Mereka menggabungkan antara kebohongan dan
berpaling, sebagaimana firman Allah:
أَوْ تَقُولُواْ لَوْ أَنَّا أُنزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَى مِنْهُمْ فَقَدْ جَاءكُم بَيِّنَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَّبَ بِآيَاتِ اللّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يَصْدِفُونَ
Atau agar kamu (tidak) mengatakan: "Sesungguhnya jika kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka." Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (Al-An'aam:157).
Beginilah perihal orang-orang kafir yang jahat, sedangkan orang-orang mukmin
yang baik dan pilihan selalu menyempurnakan dirinya dan berusaha menyempurnakan
orang lain, sebagaimana tersebut dalam hadis di atas. Allah berfirman:أَوْ تَقُولُواْ لَوْ أَنَّا أُنزِلَ عَلَيْنَا الْكِتَابُ لَكُنَّا أَهْدَى مِنْهُمْ فَقَدْ جَاءكُم بَيِّنَةٌ مِّن رَّبِّكُمْ وَهُدًى وَرَحْمَةٌ فَمَنْ أَظْلَمُ مِمَّن كَذَّبَ بِآيَاتِ اللّهِ وَصَدَفَ عَنْهَا سَنَجْزِي الَّذِينَ يَصْدِفُونَ عَنْ آيَاتِنَا سُوءَ الْعَذَابِ بِمَا كَانُواْ يَصْدِفُونَ
Atau agar kamu (tidak) mengatakan: "Sesungguhnya jika kitab itu diturunkan kepada kami, tentulah kami lebih mendapat petunjuk dari mereka." Sesungguhnya telah datang kepada kamu keterangan yang nyata dari Tuhanmu, petunjuk dan rahmat. Maka siapakah yang lebih lalim daripada orang yang mendustakan ayat-ayat Allah dan berpaling daripadanya? Kelak Kami akan memberi balasan kepada orang-orang yang berpaling dari ayat-ayat Kami dengan siksaan yang buruk, disebabkan mereka selalu berpaling. (Al-An'aam:157).
وَمَنْ أَحْسَنُ قَوْلًا مِّمَّن دَعَا إِلَى اللَّهِ وَعَمِلَ صَالِحًا وَقَالَ إِنَّنِي مِنَ الْمُسْلِمِينَ
"Siapakah yang lebih baik perkataannya daripada orang yang menyeru kepada Allah, mengerjakan amal yang saleh dan berkata: "Sesungguhnya aku termasuk orang-orang yang berserah diri?".(Fushilat:33)
Ayat ini menggabungkan antara seruan kepada Allah, baik dengan azan atau yang lainnya, seperti mengajarkan Alquran, hadis, fikih dan lainnya yang mengacu kepada keridaan Allah, dan dengan perbuatan saleh, dan juga berkata dengan ucapan yang baik].
Rahmat Allah akan dilimpahkan kepada orang-orang yang membaca Alquran dan mereka yang menegakkan hukumnya, juga mencakup orang-orang yang mendengarkan bacaannya. Allah berfirman:
إِنَّمَا الْمُؤْمِنُونَ الَّذِينَ إِذَا ذُكِرَ اللّهُ وَجِلَتْ قُلُوبُهُمْ وَإِذَا تُلِيَتْ عَلَيْهِمْ آيَاتُهُ زَادَتْهُمْ إِيمَانًا وَعَلَى رَبِّهِمْ يَتَوَكَّلُونَ . الَّذِينَ يُقِيمُونَ الصَّلاَةَ وَمِمَّا رَزَقْنَاهُمْ يُنفِقُونَ
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman itu adalah mereka yang apabila disebut nama Allah gemetarlah hati mereka, dan apabila dibacakan kepada mereka ayat-ayat-Nya bertambahlah iman mereka (karenanya) dan kepada Tuhanlah mereka bertawakkal, (yaitu) orang-orang yang mengerjakan salat dan yang menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka. Itulah orang-orang yang beriman dengan sebenar-benarnya. Mereka akan memperoleh beberapa derajat ketinggian di sisi Tuhannya dan ampunan serta rezeki (nikmat) yang mulia”.(Al-Anfaal:2-4)
Dari Abdullah Ibnu Masud radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata kepadaku: ” Bacakan Alquran kepadaku”. Aku bertanya: “Wahai Rasulullah! Aku harus membacakan Alquran kepada Anda, sedangkan kepada Andalah Alquran itu diturunkan?” Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya aku senang bila mendengarkan dari orang selainku.” Aku lalu bacakan surat An Nisaa`. Ketika sampai pada firman yang berbunyi:
فَكَيْفَ إِذَا جِئْنَا مِن كُلِّ أمَّةٍ بِشَهِيدٍ وَجِئْنَا بِكَ عَلَى هَـؤُلاء شَهِيدًا
(Maka bagaimanakah “halnya orang kafir nanti”, jika Kami mendatangkan seorang saksi “rasul” dari tiap-tiap umat dan Kami mendatangkan kamu “Muhammad” sebagai saksi atas mereka itu “umatmu”).
Beliau berkata: “Cukup”, lalu aku menoleh kepada beliau, tiba-tiba aku lihat beliau mencucurkan air mata. (H.R. Bukhari nomor:4582, Muslim nomor:800 dan Abu Daud Nomor:3668).
Imam
Nawawi berkomentar: [Ada beberapa hal yang dapat dipetik dari hadis ini, di
antaranya: sunat hukumnya mendengarkan bacaan Alquran, merenungi, dan menangis
ketika mendengarnya, dan sunat hukumnya seseorang meminta kepada orang lain
untuk membaca Al Quran agar dia mendengarkannya, dan cara ini lebih mantap
untuk memahami dan mentadabburi Al Quran, dibandingkan dengan membaca sendiri].
Setiap
orang muslim hendaknya tahu akan hak-hak Alquran; menjaga kesuciannya, komitmen
terhadap batas-batas yang telah ditetapkan oleh agama saat mendengarkan
bacaannya, dan meneladani para salaf (pendahulu) saleh dalam membaca dan
mendengarkannya. Sungguh mereka itu bagaikan matahari yang menerangi dan dapat diteladani
dalam kekhusyukan yang sempurna dan meresapi, mengimani firman Allah:
وَإِنَّهُ لَتَنزِيلُ رَبِّ الْعَالَمِينَ . نَزَلَ بِهِ الرُّوحُ الْأَمِينُ . عَلَى قَلْبِكَ لِتَكُونَ مِنَ الْمُنذِرِينَ . بِلِسَانٍ عَرَبِيٍّ مُّبِينٍ
“Dan sesungguhnya Alquran ini benar-benar diturunkan oleh Tuhan semesta alam, dia dibawa turun oleh Ar-Ruh Al-Amin (Jibril), ke dalam hatimu (Muhammad) agar kamu menjadi salah seorang di antara orang-orang yang memberi peringatan, dengan bahasa Arab yang jelas”.(Asy-Syu’ara:192-195).
Memang
benar adanya, bahwa Alquran, baik lafal maupun makna adalah firman Allah, yang
merupakan sistem dari langit untuk seluruh makhluk, khususnya manusia. Selain
itu ia merupakan rujukan utama perkara-perkara agama dan sandaran hukum.
Hukum-hukum yang ada di dalamnya tidaklah diturunkan sekaligus, akan tetapi
diturunkan secara berangsur selama masa kerasulan; ada yang turun untuk
menguatkan dan memperkokoh pendirian Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam, ada yang
turun mendidik umat yang baru saja tumbuh dan ada pula yang diturunkan oleh
karena peristiwa keseharian yang dialami oleh umat Islam di tempat dan waktu
yang berbeda-beda. Setiap kali ada peristiwa, turunlah ayat Alquran yang sesuai
dan menjelaskan hukum Allah atas peristiwa itu. Di antaranya adalah kasus-kasus
dan peristiwa yang terjadi pada masyarakat Islam, pada masa pensyariatan hukum,
di mana umat Islam ingin mengetahui hukumnya, maka turunlah ayat yang
menjelaskan hukum Allah, seperti larangan minuman keras.
Diriwayatkan oleh
Imam Ahmad, dari Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu ia berkata, Rasul shalallahu
‘alaihi wasallam datang ke Madinah dan mendapati orang-orang meminum minuman
keras, dan makan dari hasil berjudi. Lalu mereka bertanya kepada Rasul
shalallahu ‘alaihi wasallam tentang masalah itu, maka Allah menurunkan ayat:
يَسْأَلُونَكَ عَنِ الْخَمْرِ وَالْمَيْسِرِ قُلْ فِيهِمَا إِثْمٌ كَبِيرٌ وَمَنَافِعُ لِلنَّاسِ وَإِثْمُهُمَآ أَكْبَرُ مِن نَّفْعِهِمَا
“Mereka bertanya kepadamu tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari manfaatnya”.(Al-Baqarah:219)
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ لاَ تَقْرَبُواْ الصَّلاَةَ وَأَنتُمْ سُكَارَى حَتَّىَ تَعْلَمُواْ مَا تَقُولُونَ ا
“Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”.(An-Nisaa,:43).
Akan tetapi, Orang-orang masih juga banyak yang meminum minuman keras, hingga salah seorang melakukan salat dalam keadaan mabuk. Lalu turunlah ayat Alquran yang lebih keras lagi:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ إِنَّمَا الْخَمْرُ وَالْمَيْسِرُ وَالأَنصَابُ وَالأَزْلاَمُ رِجْسٌ مِّنْ عَمَلِ الشَّيْطَانِ فَاجْتَنِبُوهُ لَعَلَّكُمْ تُفْلِحُونَ
“Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan”.(Al-Maa-idah:90)
Mereka berkata: “Kami tidak akan melakukannya lagi wahai Tuhan!” Lalu orang-orang berkata: “Wahai Rasulullah banyak orang yang terbunuh di jalan Allah, atau mati di atas kasurnya, padahal mereka telah meminum khamar dan makan dari hasil perjudian, sedangkan Allah telah menjadikan keduanya, najis yang merupakan perbuatan setan”. Maka turunlah ayat:
لَيْسَ عَلَى الَّذِينَ آمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ جُنَاحٌ فِيمَا طَعِمُواْ إِذَا مَا اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ وَعَمِلُواْ الصَّالِحَاتِ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّآمَنُواْ ثُمَّ اتَّقَواْ وَّأَحْسَنُواْ وَاللّهُ يُحِبُّ الْمُحْسِنِينَ
“Tidak ada dosa bagi orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan yang saleh karena memakan makanan yang telah mereka makan dahulu, apabila mereka bertakwa serta beriman, dan mengerjakan amalan-amalan yang saleh, kemudian mereka tetap bertakwa dan beriman, kemudian mereka (tetap juga) bertakwa dan berbuat kebaikan. Dan Allah menyukai orang-orang yang berbuat kebaikan”.(Al-Maa-idah:93)
Nabi bersabda: “Jika diharamkan atas mereka sebelumnya, niscaya mereka akan meninggalkannya sebagaimana halnya kalian meninggalkan.(Musnad Ahmad 2/251 dan 252).
Dalam
sahih Bukhari, hadis nomor:4620, disebutkan, dari Anas bin Malik radhiyallahu
‘anhu ia berkata: “Dulu aku pernah jadi penyuguh minuman (khamar) di rumah Abu
Thalhah, dan turunlah ayat pengharaman minuman keras. Lalu diutuslah seseorang
untuk menyerukan larangan ini. Abu Thalhah berkata, “Keluarlah dan lihat suara
apakah itu”. Lalu aku keluar, dan aku berkata: “Sungguh minuman keras telah
diharamkan”. Ia berkata kepadaku: “Pergi, dan tumpahkanlah”. Anas berkata: “Aku
pun keluar dan menuangkannya. Saat itu khamar mengalir di jalan-jalan Madinah.”
Anas berkata: “Jenis khamar pada saat itu adalah yang terbuat dari kurma.”
Sebagian orang berkata: “Telah banyak yang terbunuh, sedangkan minuman itu ada
di dalam perut mereka”. Ia berkata, lalu turunlah ayat: “Tidak ada dosa bagi
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amalan saleh karena memakan makanan
yang telah mereka makan dahulu”.
Dari yang disebutkan
di atas, kita mengetahui bahwa larangan meminum khamar (minuman keras) terjadi
dalam tiga tahap, yaitu ketika turun surat Al-Baqarah: “Mereka bertanya kepadamu
tentang khamar dan judi. Katakanlah: “Pada keduanya itu terdapat dosa besar dan
beberapa manfaat bagi manusia, tetapi dosa keduanya lebih besar dari
manfaatnya”.
Ayat
ini mengandung larangan meminum minuman keras dengan cara yang halus. Maka yang
meninggalkannya ketika itu hanya sekelompok orang yang tingkat ketakwaan mereka
sangat tinggi. Umar radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan
yang terang tentang hukum meminum minuman keras. Lalu turunlah ayat yang
berbunyi: “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu salat, sedang kamu
dalam keadaan mabuk, sehingga kamu mengerti apa yang kamu ucapkan”. Lalu umat
Islam menghindari untuk meminumnya pada waktu-waktu mendekati shalat. Umar
radhiyallahu ‘anhu berkata, Ya Allah, berikanlah penjelasan yang terang tentang
minuman keras. Maka turunlah surat Al-Maa-idah: “Hai orang-orang yang beriman,
sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, (berkorban untuk) berhala, mengundi
nasib dengan panah, adalah perbuatan keji termasuk perbuatan setan. Maka jauhilah
perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan, Sesungguhnya setan
itu bermaksud hendak menimbulkan permusuhan dan kebencian di antara kamu
lantaran (meminum) khamar dan berjudi itu, dan menghalangi kamu dari mengingat
Allah dan sembahyang; maka berhentilah kamu (dari mengerjakan pekerjaan itu).
Saat
itulah ketika diserukan dan dibacakan ayat ini, Umar radhiyallahu ‘anhu
berkata, “Kami berhenti (dari melakukannya)”. Demikianlah proses pensyariatan
yang bertahap, di mana Allah menyucikan umat Islam dari adat istiadat yang
bertentangan dengan sistem Islam, dan melengkapi mereka dengan sifat-sifat yang
mulia, seperti: pemaaf, penyabar, kasih sayang, jujur, menghormati tetangga,
berlaku adil dan perbuatan baik yang lain.
Hanya Allah semata yang menetapkan syariat untuk para hambanya. Allah
berfirman:إِنِ الْحُكْمُ إِلاَّ لِلّهِ يَقُصُّ الْحَقَّ وَهُوَ خَيْرُ الْفَاصِلِينَ
“Menetapkan hukum itu hanyalah hak Allah. Dia menerangkan yang sebenarnya dan Dia Pemberi keputusan yang paling baik” (Al-An,am:57).
Syariat itu ditetapkan tiada lain kecuali hanya untuk kebaikan dan kebahagiaan manusia, baik hikmah yang terkandung di dalamnya tampak atau pun tidak. Alquran adalah sumber pertama syariat.
Adapun sumber kedua adalah sunah, dan tidak ada perselisihan antara para ulama bahwa sunah merupakan hujah dalam syariat di samping Alquran. Allah berfirman:
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُواْ أَطِيعُواْ اللّهَ وَأَطِيعُواْ الرَّسُولَ وَأُوْلِي الأَمْرِ مِنكُمْ فَإِن تَنَازَعْتُمْ فِي شَيْءٍ فَرُدُّوهُ إِلَى اللّهِ وَالرَّسُولِ إِن كُنتُمْ تُؤْمِنُونَ بِاللّهِ وَالْيَوْمِ الآخِرِ ذَلِكَ خَيْرٌ وَأَحْسَنُ تَأْوِيلاً
“Hai orang-orang yang beriman, taatilah Allah dan taatilah Rasul (Nya), dan ulil amri di antara kamu. Kemudian jika kamu berlainan pendapat tentang sesuatu, maka kembalikanlah ia kepada Allah (Alquran) dan Rasul (sunahnya), jika kamu benar-benar beriman kepada Allah dan hari kemudian. Yang demikian itu lebih utama (bagimu) dan lebih baik akibatnya”.(An-Nisaa,:59).
Dalam ayat yang lain Allah berfirman:
وَأَنزَلْنَا إِلَيْكَ الذِّكْرَ لِتُبَيِّنَ لِلنَّاسِ مَا نُزِّلَ إِلَيْهِمْ وَلَعَلَّهُمْ يَتَفَكَّرُونَ
“Dan Kami turunkan kepadamu Alquran, agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka”.(An-Nahl:44).
Dan firman Allah:
وَمَا آتَاكُمُ الرَّسُولُ فَخُذُوهُ وَمَا نَهَاكُمْ عَنْهُ فَانتَهُوا
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu maka terimalah dia. Dan apa yang dilarangnya bagimu maka tinggalkanlah”.(Al-Hasyr:7)
Imam
Ibnu Qayimil Jauziah dalam bukunya “A’lamul Muwaqqi’in ‘An Rabil Alamin”,
halaman, 263, menjelaskan tentang peran sunah terhadap Alquran, ia berkata:
“Peran sunah terhadap Alquran ada tiga: Pertama: Mempunyai maksud sama dengan
Alquran dilihat dari semua segi. Sehingga masing-masing ayat Alquran dan hadis
Nabi yang sama-sama menunjukkan kepada hukum yang sama termasuk dalam kategori
suatu yang hukum mempunyai lebih dari satu dalil. Kedua: Menjelaskan maksud
dari Alquran dan penafsirannya. Ketiga: Menetapkan suatu hukum, wajib atau
haram, yang tidak ada terdapat dalam Al Quran. Peran itu tidak keluar dari tiga
hal ini dan tidak ada pertentangan sama sekali antara Alquran dan sunah.
Oleh
karenanya, sunah menegaskan suatu hukum dari Alquran, kadang kala ia
menafsirkan teks Alquran atau menguraikan hukum yang dijelaskan secara ringkas
dalam Alquran, bahkan juga menetapkan suatu hukum yang tidak disebutkan dalam
Alquran. Namun demikian sunah tidak menetapkan sebuah hukum, kecuali bila di
dalam Alquran tidak diketemukan hukum yang dimaksud. Sunahlah yang menjelaskan
kepada kita -umat Islam- bahwa salat yang diwajibkan adalah lima kali sehari
semalam, darinya juga diketahui jumlah rakaat dalam salat dan rukun-rukunnya,
menjelaskan hakikat zakat, dan ke mana disalurkan serta berapa nisabnya. Dan
sunah juga yang menjelaskan kepada kita cara-cara haji dan umrah, dan bahwa
ibadah haji hanya wajib sekali dalam seumur hidup, dan ia pula yang menerangkan
tentang miqat-miqat haji, zamani dan makani (waktu dan tempat) dan jumlah
putaran tawaf.
Maka bagi mereka
yang hanya berpegang terhadap Alquran dengan meninggalkan sunah, hendaknya
segera memperbaharui keimanannya dan segera kembali kepada Allah subhanahu wa
ta’ala. Allah berfirman:
وَإِنِّي لَغَفَّارٌ لِّمَن تَابَ وَآمَنَ وَعَمِلَ صَالِحًا ثُمَّ اهْتَدَى
“Dan sesungguhnya Aku Maha Pengampun bagi orang yang bertobat, beriman, beramal saleh, kemudian tetap di jalan yang benar.(Thaha:82).
الْحَمْدُ لِلّهِ الَّذِي هَدَانَا لِهَـذَا وَمَا كُنَّا لِنَهْتَدِيَ لَوْلا أَنْ هَدَانَا اللّهُ
“Segala puji bagi Allah yang telah menunjuki kami kepada (surga) ini. Dan kami sekali-kali tidak akan mendapat petunjuk kalau Allah tidak memberi kami petunjuk”.(Al-A’raaf:43)[1]
[1]
http://abihumaid.wordpress.com/2011/02/28/al-quran-keutamaan-kedudukan-dan-posisinya-sebagai-sumber-syariat-islam/
Choose EmoticonEmoticon